Share

LAMARAN DARI SI GUNUNG ES

Yasmin berbaring telentang di atas ranjang kayu yang beralas matras dengan seprai berwarna merah muda. Gadis itu berbaring dengan tangan direntangkan di kedua sisi tubuhnya dan pandangan lurus menatap langit-langit kamar. Sesekali terdengar helaan napas yang ia embuskan dengan berat. Kejadian siang tadi masih terbayang di dalam kepalanya. Terus berulang bagai filem yang diputar tanpa henti.

Sejak tadi Yasmin berusaha untuk mengenyahkan bayangan kejadian itu dari dalam kepalanya, tapi tidak bisa. Setiap kali ia berusaha melupakannya, maka bayangan kejadian itu semakin jelas menari-nari di dalam kepalanya. Seolah mengejek kebodohan yang ia lakukan dengan sempurna.

“Aaah, apa yang telah aku lakukan, ya, Tuhan!” keluh Yasmin, sambil mengacak rambut dengan frustrasi. “Kenapa aku bodoh sekali? Kenapa kamu bodoh sekali, Yasmin?” ia kembali berteriak sambil menenggelamkan wajah ke dalam bantal.

“Ya, kenapa kamu bodoh sekali, hah?”

Terdengar suara berat seorang pria yang sudah sangat akrab di telinganya. Suara itu adalah suara sang ayah. Yasmin segera bangkit dan menghampiri Waluyo yang tengah berdiri di bingkai pintu dengan tangan dilipat di depan dada.

“Ayah. Bagaimana?” tanya Yasmin dengan wajah khawatir begitu ia tiba di hadapan Waluyo.

“Apanya yang bagaimana?” Waluyo balas bertanya.

“Tuan itu, Ayah. Apa dia marah? Apa dia memarahi Ayah? Atau jangan-jangan dia memecatmu, Ayah?”

Waluyo memasang wajah sedih sebelum berbalik pergi meninggalkan Yasmin yang terlihat benar-benar khawatir. Yasmin tidak tinggal diam, gadis itu segera mengekor langkah Waluyo menuju dapur.

“Ayah, katakanlah sesuatu,” pinta Yasmin. “Apa benar dia memecatmu? Benarkah?”

“Tidak usah pikirkan apa yang kualami. Sekarang katakan saja bagaimana bisa kamu menjadi seperti ini, hah?” Waluyo menunjuk lebam pada wajah Yasmin.

“Ah, ini? Ini bukti ketangguhanku, Ayah.”

Waluyo mengetuk kepala Yasmin dengan tangan, membuat gadis itu menjerit kesakitan. “Ketangguhan apa? Bisa-bisanya kamu bertengkar dengan Irene dan membuatnya cedera. Untung kakinya tidak patah, apa yang kamu lakukan padanya, Yasmin?”

Yasmin membelalak menatap Waluyo. “Sungguh, kakinya tidak patah? Ah, sayang sekali, padahal aku berusaha keras untuk mematahkannya.”

Mendengar perkataan Yasmin, Waluyo kembali mengetuk kepala sang putri. Namun, di detik berikutnya ia menarik lengan Yasin dan memintanya untuk duduk di kursi yang ada di ruangan itu, sementara ia menghampiri lemari yang ada di ruang keluarga untuk mengambil kotak obat-obatan.

“Apa yang Ayah lakukan?” tanya Yasmin saat melihat Waluyo kembali dengan membawa kotak obat-obatan.

“Tentu saja mengobatimu. Sejak tadi kenapa kamu belum juga mengobati luka-lukamu, Nak. Setidaknya tutup dengan perban agar tidak infeksi.” Waluyo segera mengeluarkan obat merah, kasa, alkohol, perban dan juga plaster. Lalu ia mulai merawat luka pada kening Yasmin.

“Sebenarnya aku sengaja tidak mengobatinya, Ayah, agar—“

“Agar aku yang melakukannya?” potong Waluyo. Ia hafal sekali dengan tingkah Yasmin.

“Tentu saja,” cengirnya. “Katakan, Ayah, apa dia marah padamu atau padaku?”

“Tidak. Dia tidak marah,” jawab Waluyo sambil memasang perban pada  kening Yasmin.

“Benarkah?” Yasmin mengerjap bingung. Rasanya mustahil sekali jika tuan muda itu tidak marah. Bukankah ia terkenal arogan dan tidak punya hati.

Seperti dapat membaca isi kepala Yasmin, Waluyo pun mengatakan, “Dia tidak sekejam yang terlihat, Yas. Jika kamu sudah mengenalnya, kamu akan tahu serapuh apa dia. Tuan Aliandra adalah pribadi yang baik. Ia hanya terlalu banyak mengalami kepahitan dalam hidupnya, sehingga hal itu berpengaruh pada sikapnya.”

“Sepahit apa hingga dia menjadi seperti itu? Dia kaya raya, seorang pewaris tunggal dari perusahaan ternama. Dia pasti tidak pernah tahu rasanya dipermalukan di depan kelas karena terlambat membayar uang sekolah. Dia juga pasti tidak tahu bagaimana rasanya makan nasi hanya dengan garam.”

Waluyo menatap putrinya lekat-lekat. “Harta bukan segalanya, Yasmin. Kamu tahu apa yang paling manusia butuhkan selain harta? Coba kamu pikirkan, Nak. Apakah kamu akan bahagia jika kamu memiliki banyak uang tetapi aku tidak ada di sampingmu? Apa makan daging akan terasa lebih nikmat jika kamu makan seorang diri tanpa ada aku yang ikut makan di sampingmu?”

Mendengar perkataan sang ayah membuat mata Yasmin berkaca-kaca. Gadis cantik itu kemudian menggeleng dan tanpa ia sadari bulir bening melesak keluar dari sudut mata indahnya.

Waluyo tersenyum lalu merangkul Yasmin dan menepuk halus punggungnya. “Sebuah kasih sayang dan sebuah kebersamaan tidak akan tergantikan, Yas, bahkan dengan harta sekalipun,” ucap Waluyo. “Terima kasih untuk hari ini. Aku sungguh berterima kasih kepadamu.”

“Terima kasih untuk apa, Ayah? Seharusnya akulah yang mengucapkan terima kasih, karena Ayah tidak marah padaku.”

Waluyo melepaskan rangkulannya pada tubuh Yasmin. “Terima kasih karena telah membuat Tuan Aliandra tertawa. Karena perbuatanmu itu, maka aku tidak akan menghukummu, tapi lain kali tidak ada ampun buatmu, Nak.” Waluyo mengacak rambut Yasmin, lalu melenggang pergi meninggalkan putrinya yang terlihat bingung.

“Tertawa? Kapan? Aku tidak melihatnya tertawa,” gumam Yasmin.

***

Di minggu pagi yang cerah, seperti biasa Aliandra mengenakan pakaian santai untuk berjemur di bawah sinar matahari. Hal yang tidak bisa dilakukannya di hari-hari biasa, karena biasanya ia akan sibuk untuk bersiap berangkat ke kantor. Namun, di hari minggu ia akan menyempatkan waktu untuk berjemur dan menikmati sejuknya angin di balkon lantai atas kediamannya. Seandainya saja kakinya berfungsi sebagaimana mestinya, maka ia pasti akan melakukan lari pagi, bukannya hanya duduk diam di atas kursi roda sambil menatap langit.

Membosankan! 

Baru saja ia keluar dari dalam kamar dengan Waluyo yang mendorong kursi rodanya, Eza tiba-tiba muncul di hadapannya.

“Jangan merusak hariku dengan cara menampakan diri di hadapanku, Eza. Jika kamu butuh sesuatu maka katakan pada pelayanan. Mereka semua bisa memberikan apa yang kamu butuhkan. Sementara aku, aku tidak bisa banyak membantu. See, aku bahkan tidak bisa berjalan,” ucap Aliandra dengan malas.

“Mari kita bicara, Andra,” pinta Eza.

“Aku tidak ada waktu. Ayo, Waluyo.”

“Plis!” Eza menghentikan kursi roda yang mulai bergerak sesuai perintah Aliandra.

Aliandra menatap Eza dengan kesal. Sebenarnya sangat berat bagi Aliandra untuk membenci seorang Eza Mahesa. Ya, mereka memang berbeda ibu, walaupun demikian mereka memiliki hubungan yang sangat baik. Eza tidak pernah sekalipun membuat Aliandra merasa kesal. Akan tetapi semua berubah setelah hari itu. Hari di mana Aliandra mengetahui sebuah kebenaran yang mengerikan.

“Lima menit. Ikuti aku!” titah Aliandra.

Eza tersenyum, lalu segera mengekor di belakang Waluyo. “Bolehkah aku yang mendorong kursi rodanya?” tanya Eza dengan riang.

“Jangan macam-macam. Aku masih tidak menyukaimu sama seperti sebelumnya, Eza,” ujar Aliandra dengan sinis.

“Ah, baiklah, maafkan aku, Kakak.” Eza sengaja menekankan kalimat terakhir pada ucapannya. Ia ingin Aliandra tahu, bahwa dirinya masih sangat menyayangi Aliandra. Sama seperti dulu, bahkan setelah semua yang terjadi.

Aliandra tidak menghiraukan ucapan Eza. Ia telah membangun pertahanan diri yang kokoh di sekitaran hatinya. Sehingga tidak akan mudah tersentuh oleh perasaan apa pun. Perasaan sayang dan peduli, semua itu adalah penyebab utama retaknya sebuah hati. Maka Aliandra sebisa mungkin menghindari semua perasaan itu untuk menjaga hatinya yang memang sudah retak. Ia tidak ingin merusak bagian di dalam dirinya itu lebih banyak lagi hanya karena orang-orang munafik yang tidak penting.

Setibanya di balkon. Waluyo segera undur diri, ia harus memberikan privasi kepada tuannya. Namun, di luar dugaan, Aliandra menahannya dan memintanya untuk tetap berdiri di belakangnya sementara ia meladeni permintaan Eza. Entah apa yang ingin dikatakan oleh pria bermata sendu itu.

“Aku tidak akan mendorongmu dari atas sini,” ucap Eza.

“Ragaku tidak sepenting itu sekarang, Eza. Aku hanya ingin Waluyo tahu setiap permasalahanku. Dia baru bekerja dua tahun di sini, dia pasti belum tahu banyak tentangmu selain desas-desus yang beredar bahwa kamu akan menjadi penggantiku di perusahaan. Maka dari itu aku memintanya untuk tetap di sini. Katakan saja apa yang ingin kamu katakan. Jangan merasa terganggu akan keberadaannya,” jelas Aliandra.

“Aku tidak merasa terganggu, sungguh. Aku hanya berpikir mungkinkah kamu mengira aku akan berbuat jahat kepadamu. Padahal aku tidak seperti itu, Kakak.”

“Jangan sebut aku seperti itu, Za. Maaf, tapi aku merasa sangat tidak nyaman. Panggil saja namaku,” pinta Aliandra, tanpa memandang Eza sekalipun.

Eza hanya mengangguk paham. Sebenarnya ia merasa sangat terpukul dengan sikap yang Aliandra tunjukan padanya. Akan tetapi ia berusaha untuk mengabaikan perasaan itu. Ia dapat memahami luka yang dirasakan oleh saudaranya, sehingga lukanya sendiri menjadi tidak begitu penting.

Eza menghela napas sebelum memulai pembicaraan nya dengan Aliandra. “Ini tentang perusahaan, Ndra—“

“Aku sudah menebaknya.” Aliandra memotong ucapan Eza.

“Masalah kepemimpinan itu, aku—“

“Sama seperti ibumu. Kamu memang serakah!”

“Aku sama sekali tidak berminat untuk menduduki posisi itu—“

“Tidak mungkin. Apa ini siasat?” Aliandra menatap Eza dengan sinis dan tidak percaya.

“Ini bukan siasat. Aku sudah membaca wasiat yang ayah tujukan untuk kita dan juga email yang Tuan Lubis kirimkan padaku beberapa hari lalu. Mereka ingin menggesermu hanya karena kondismu dan menggantikannya denganku, bukankah begitu?”

“Tepat sekali.”

“Aku tidak berminat, Andra. Aku akan menolaknya saat rapat besok. Dengan begitu mereka tidak akan berusaha untuk menggesermu lagi.” Eza berkata dengan sungguh-sungguh.

“Benarkah?” Aliandra tersenyum sinis. Masih tidak percaya akan ucapan Eza. Ia tahu benar bagaimana perangai Ibu Eza yang suka berpura-pura baik dan bisa saja perangai itu menempel pada putra semata wayangnya. “Bagaimana jika mereka memaksa?” tanya Aliandra lagi.

“Aku akan membuka identitas asliku.” Eza menjawab singkat dengan suara bergetar. “Aku tahu jika kamu sudah mengetahuinya, ‘kan?”

Suasana seketika menjadi hening. Aliandra dan Eza saling menatap satu sama lain.

“Seharusnya kamu katakan sejak dulu kepadaku, Andra. Aku baru mengetahuinya satu tahun yang lalu.” Eza tertawa sinis dengan air mata yang mulai tampak menggenang  di kelopak matanya. “Mungkin kamu berpikir bahwa aku menutup-nutupi kenyataan itu, tapi yang sebenarnya adalah aku sama sekali tidak tahu. Aku sungguh tidak tahu.” Eza menekankan kata-katanya. Pria itu bahkan mulai terisak, membuat Waluyo yang sejak tadi menyimak pembicaraan mereka menjadi iba kepada Eza. Serumit apa permasalahan keluarga kaya ini. Kenapa semuanya terlihat seperti benang kusut?

“Kamu tenang saja. Aku akan menghadiri rapat besok dan akan mengungkapkan semuanya.” Eza kemudian berbalik pergi meninggalkan Aliandra yang tiba-tiba saja merasa bersalah kepada Eza.

“Waluyo,” panggil Aliandra.

“Ya, Tuan.” Waluyo menjawab dengan suara pelan.

“Bolehkah aku menjadikan Yasminmu  sebagai Yasminku?” tanya Aliandra tanpa keraguan sedikit pun.

Waluyo terkejut bukan main mendengar pertanyaan dari Aliandra. “Ma-maksud, Tuan?”

Aliandra tersenyum. “Aku melamar putrimu, Pak Tua!”

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status