"Kita putus!" Malam itu, hubungan yang dijalani selama empat tahun oleh Jena harus berakhir. Dikarenakan Aran yang memilih sahabat Jena, Sasha. Membuat seorang duda keren, bernama Brian, mulai mendekati Jena. Baru saja Jena terbawa angan-angan untuk membersamai Brian, ibunya malah menerima lamaran dari Viar, anak sahabat ayahnya. Jena yang mendapat perlakuan baik dari Brian pun bingung. Tapi, di lain sisi dia meminta ayahnya untuk membatalkan lamaran itu. Lantas, setelah lamaran Viar dibatalkan, ujian untuk hubungan Jena dan Brian pun tetap ada. Riana, mantan istri Brian yang tiba-tiba muncul kembali untuk menghancurkan hubungan keduanya. Tapi, Brian selalu mengusahakan cintanya. Sesuatu terjadi pada saat Brian akan melamar Jena. Namun, akhirnya mereka tetap bersama hingga akhir.
Lihat lebih banyakSuasana temaram lampu baru saja menyelimuti perasaan hangat sepasang kekasih. Ya, baru saja. Sebelum suatu kata yang menghancurkan suasana hangat malam ini.
Jena masih tercengang. Otaknya mendadak buntu untuk menangkap maksud dari lelaki yang berdiri di hadapannya. Masih tampak belum percaya dengan kata yang keluar tadi. “Pu … tus?” Lelaki itu mengangguk yakin. “Iya, putus. Kita putus,”ujarnya. Tampak tidak ragu dari wajahnya. Dia bahkan hanya mengedikkan bahu saat Jena menatapnya dengan tatapan penuh selidik. “Alasannya?” Jena masih tidak menyangka bahwa hubungan yang dia pertahankan selama bertahun-tahun ini akan lenyap seketika. Dia masih berharap lelaki itu membatalkan atau mungkin hanya mengusilinya saja. Namun, “Je … aku tahu ini berat buat kamu. Tapi, please … aku belum siap kalau harus ke jenjang serius. Alias, aku masih belum yakin untuk menikah.” Jena menggeleng pelan. “Nggak. Nggak mungkin cuma itu, kan? Aku udah kenal lama sama kamu, Ran! Aku yakin kamu nggak benar-benar dalam keputusan kamu!” “Terserah! Terserah apa pun yang kamu bilang. Aku tetap ingin putus!” Aran mengatakannya dengan lantang dan lugas. Setelahnya, dia pergi meninggalkan Jena yang termangu. Di bawah lampu temaram yang menyirami setengah tubuh Jena. Jena mengambil langkah lunglai. Dia berjalan perlahan menelusuri area taman. Dia bingung sendiri. Tidak mengerti dengan maksud Aran. Padahal yang dimaksud ayah Jena bukan perihal menikah. Tapi, mungkin saja Aran salah paham yang mengakibatkan hubungan keduanya harus kandas. Setelah bertahun-tahun. Jena dan Aran sudah menghabiskan waktu empat tahun. Namun, apa hasilnya? Kandas. Jena berdecak. Langkahnya tetap terayun keluar area taman. Kini, dia menjejaki trotoar. Sendirian. Dia benar-benar seperti perempuan yang kehilangan arah. Langkahnya terhenti. Sorotan lampu mobil yang membunyikan klakson di dekat Jena, membuatnya membalik tubuh. Dia masih berharap Aran datang, menjemputnya, membawanya pulang, dan mengatakan bahwa semuanya adalah kebohongan. Namun, “Jena? Kamu kok di sini?” Seseorang yang menyembulkan kepala dari kaca yang diturunkan itu membuat Jena terdiam. Dia pikir, seseorang yang membawa mobil itu Aran. Ternyata, bukan. “Jena?” Sekali lagi, lelaki itu kembali bersuara karena Jena masih terdiam. Namun, kali kedua sama saja. Jena masih memilih diam. Tatapnya tertuju pada lelaki berkemeja hitam itu. Dia masih bergeming. Lelaki itu memutuskan untuk keluar dan menghampiri Jena. Penampilannya benar-benar tidak berubah dari yang Jena lihat pagi tadi. “Je? Kamu baik-baik aja?”tanyanya, “Aku antar pulang. Yuk!” Tanpa menunggu jawaban Jena, lelaki itu menuntunnya. Membukakan pintu di samping jok pengemudi. Setelah memastikan Jena sudah duduk dengan nyaman, lelaki itu memutari mobil dan masuk ke jok pengemudi. “Aku … aku sebenarnya nggak apa-apa kok,”ucap Jena tanpa menoleh. Dia hanya menatap lurus dengan pandangan yang mulai kabur. Lelaki itu mengangguk. Seketika hening saat lelaki itu mendekat ke arah Jena. Tubuhnya condong dan membuat Jena panik. Jena sontak menutup mata saat wajah lelaki itu berada di depan wajahnya. Hembusan nafas lelah itu bisa Jena rasakan. Begitu mengundang debar di dada. Jena bahkan menggenggam erat bajunya tanpa membuka mata. Click! “Udah. Aku udah pasangin seat belt kamu,”ucap lelaki itu saat menjauh. Dia bahkan tidak menyadari muka memerah milik Jena. Mata Jena terbuka lebar. Dia memastikan seat belt yang baru dipasangkan lelaki itu. Benar. Ya ampun! Apa yang diharapkan Jena? Apa Jena mengharapkan sebuah ciuman dari lelaki itu? “Makasih,”ucap Jena tanpa menoleh. Dia yakin mukanya sudah merah merona. Tidak mungkin dia berbalik dengan perasaan canggung yang menyelimutinya. Jena berdehem. Dia menoleh sekilas, “Kamu baru pulang, ya?” “Iya. Tadi Pak Christ minta ditemani. Sekaligus aku harus temui konsultan dulu. Jadi … ya, begini aja.”jawabnya. Tatapnya lurus pada jalanan. Kini, mobil mereka sudah berada pada keramaian. “Kamu sendiri? Kok di jalan?” “Oh … aku—itu apa? Hmm … sama teman tadi.” Bohong. Jena sengaja agar kisah cintanya tidak terdengar menyedihkan. Dia bahkan menoleh sekilas saat lelaki itu mengerutkan kening. “Jadi? Kamu mau langsung pulang?” Astaga, Jena! Pertanyaan macam apa itu? Lihat? Lelaki itu tertawa pelan melihat tingkah absurd Jena. Dia sempat menggeleng, “Kamu nih lucu. Ya iyalah, langsung pulang. Kenapa memangnya?” Dia melirik sekilas, “Mau kamu kenalin ke orang tua kamu?” Jena mengibaskan tangannya, “Eh, enggak ya … entar orang tuaku pingsan kalau aku bawa pulang duda.” Sontak lelaki itu tertawa terbahak-bahak. “Nggak apa-apa dong. Duren nih bos. Senggol dong,”ucapnya bernada. Yang membuat tawa Jena meledak. Mobil mereka mulai memasuki area gang. Jena melirik lelaki itu sekilas. Iya, dia akui lelaki itu memiliki paras yang rupawan. Side profil yang dimilikinya membuat beberapa perempuan pasti memujanya. Rahang yang tampak kokoh itu, dipadukan dengan mata yang indah, lekuk hidung yang runcing, dan bibir tipis, serta alis tebalnya. Siapa yang akan menolak? Namun, untuk Jena? Tentu saja Jena akan menolak. Meski lelaki itu selalu berperilaku baik padanya. Lelaki itu berdehem. Sekilas melirik, lalu kembali menatap jalan setapak yang akan sampai pada area perumahan. “Untung aku masih ingat rumah kamu di mana.” Jena tersenyum tipis. Dia membuka mulut hendak bersuara. Namun, pemandangan di seberang jalan lebih menarik perhatiannya. Aran. Ya. Dia sedang berciuman dengan seorang perempuan yang Jena kenali. Seketika dunia terasa senyap. Mata Jena terus mengikuti keduanya meski mobil sudah melewati mereka. Jena termangu. Meratapi kebodohannya selama ini. Dia pikir, Aran tulus mencintainya. Namun, setulus apa dia sampai-sampai bisa mencium bibir dari seseorang yang Jena anggap sahabat? “Je?” Suara itu membuat lamunan Jena buyar. Tatap Jena berpendar. Ternyata mereka telah sampai. “Oh … udah sampai, ya?”gumamnya. Terlihat bodoh. Jena tidak memperdulikan sorot mata yang ditujukan lelaki itu. Dia memilih turun. Sesaat setelah menutup pintu mobil. Sebelum Jena mengucapkan kalimat terima kasih, sebuah suara bariton khas yang Jena kenali terdengar. “Jena? Baru pulang? Mana Aran?” Mulut Jena tergagap. Dia menatap ayahnya yang baru keluar rumah dan lelaki yang sekarang sedang di dalam mobil. “Aran … Aran lagi ada urusan, Yah.” Ayahnya manggut-manggut. Kepalanya bergerak mengintip seseorang yang di dalam mobil. Namun, belum sempat memperhatikannya dengan baik, lelaki itu turun. Dengan senyum khasnya, dia berjalan menghampiri Ayah Jena. Mengulurkan tangan. “Saya Brian, Om. Teman Jena.” Melirik sekilas perempuan yang jantungnya hampir copot itu. Ayah membalas uluran tangan Brian. Setelahnya, dia menatap Brian dan Jena bergantian. Keningnya mengkerut, “Teman?” Wajar ayahnya keheranan, karena yang ayahnya tahu Jena jarang bergaul dengan lelaki semenjak berpacaran dengan Aran. “Teman kantor,”jelas Jena. Suaranya bahkan hampir tidak kedengaran saking rendahnya. “Oh … teman kantor.” Ayah manggut-manggut sambil memerhatikan penampilan Brian. “Masuk dulu?” Brian mengangguk. Namun, Jena menggeleng. Sesuatu yang buruk akan terjadi jika Brian masuk ke dalam. “Dia mau langsung pulang ke rumahnya kok, Yah.” Tatap Jena beralih pada Brian. “Iya, kan?” Meski ragu dan keheranan, Brian tetap mengangguk. “Mungkin lain kali, Om.” Satu kalimat yang membuat Jena menutup mata. Tidak! Seharusnya Brian tidak mengatakan hal itu. Ayah Jena mengangguk antusias. “Baik. Saya tunggu kedatangan kamu, ya?” Telunjuknya mengacung, lalu lelaki paruh baya itu bergegas masuk. Meninggalkan keduanya. Embusan nafas kasar terdengar dari Jena. Berkali-kali dia melepaskan nafas kasar. Mengundang rasa penasaran Brian. “Ada apa, sih?” “Kamu nggak seharusnya iyain dong. Nggak segampang itu!”protes Jena. Matanya melotot pada Brian. “Maksudnya? Emangnya kalau aku datang ke rumah kamu. Kita langsung bakal dinikahin?” Oh, Ya Tuhan! Bagaimana Jena akan menjelaskannya?Selepas obrolan siang itu, dan setelah pekerjaannya selesai, Jena memutuskan untuk segera pulang. Dia sudah membereskan desk nya, dan meraih tas kerjanya. Melewati Mbak Nurul yang masih berkutat dengan dokumennya.“Wiii … tumben,”celetuk Mbak Nurul.Jena tertawa kecil. Pasalnya baru kali ini dia memecahkan rekornya sendiri. Dia adalah pekerja yang terbiasa pulang malam. Baru kali ini dia pulang di pukul empat sore. “Iya nih, gue duluan, ya?”“Mau kencan, yaa?”tanya Mbak Nurul sambil memainkan kedua alisnya. “Iya, kan? Sama Iksan?”Jena mengibaskan tangannya. “Nggak. Nggak kencan sama siapapun. Gue cuma mau pulang, terus istirahat.”Mbak Nurul mengangguk pelan, “Iya deh. Gue mau lanjutin kerja gue dulu. Bye!”“Bye!”Jena berhasil melewati beberapa divisi dan turun menggunakan elevator. Baru saja pintu elevator terbuka, dari sini Jena melihat Brian tengah mengobrol dengan Pak Ajri di lobi. Pak Ajri tersenyum pada Jena. “Wiii … mau jalan, ya?”Jena mengibaskan tangannya. “Nggak, Pak. Sa
Jena menoleh pada Brian. Dia tidak ambil pusing atas kepergian Riski dengan perasaan kesalnya. Keningnya mengernyit tajam, “Jenoy? Kok jelek banget, sih?”Brian melepaskan tawanya. “Jelek gimana?”Jena melanjutkan jalannya. “Nggak ada yang lebih bagus apa? Jidatku nggak jenong lho, Bi …” Tangan Brian terulur untuk membuka pintu ruang arsip. Tentu saja sisa tawanya masih terdengar. “Terus? Jenay?”Jena mendelik sini. “Aku bukan jablay.”Dan Brian kembali tertawa. Dia tidak peduli oleh beberapa karyawan yang tengah sibuk menata beberapa berkas di dalam rak. Langkahnya tetap mengikuti ke mana arah perempuan itu berjalan. “Terus apa dong?” Brian menjentikkan jarinya, sesaat membuat perempuan itu menoleh. “Umi? Kan kamu panggil aku ‘Bi’. Iya, kan, Mi?”“Kalau putus berasa jadi janda,”balas Jena.“Ya nggak apa-apa. Janda ketemu duda. Wiiii … senggol dong!” Astaga! Brian sampai tidak menyadari tingkahnya membuat karyawan lain cekikikan.“Ah, terserah!” Perempuan itu melangkah keluar dengan
Jena menoleh pada Brian. Dia tidak ambil pusing atas kepergian Riski dengan perasaan kesalnya. Keningnya mengernyit tajam, “Jenoy? Kok jelek banget, sih?”Brian melepaskan tawanya. “Jelek gimana?”Jena melanjutkan jalannya. “Nggak ada yang lebih bagus apa? Jidatku nggak jenong lho, Bi …” Tangan Brian terulur untuk membuka pintu ruang arsip. Tentu saja sisa tawanya masih terdengar. “Terus? Jenay?”Jena mendelik sini. “Aku bukan jablay.”Dan Brian kembali tertawa. Dia tidak peduli oleh beberapa karyawan yang tengah sibuk menata beberapa berkas di dalam rak. Langkahnya tetap mengikuti ke mana arah perempuan itu berjalan. “Terus apa dong?” Brian menjentikkan jarinya, sesaat membuat perempuan itu menoleh. “Umi? Kan kamu panggil aku ‘Bi’. Iya, kan, Mi?”“Kalau putus berasa jadi janda,”balas Jena.“Ya nggak apa-apa. Janda ketemu duda. Wiiii … senggol dong!” Astaga! Brian sampai tidak menyadari tingkahnya membuat karyawan lain cekikikan.“Ah, terserah!” Perempuan itu melangkah keluar dengan
Jena baru saja bangkit dari duduknya setelah mengerjakan ulang sebuah desain yang dipilih oleh Pak Mungga. Dia meraih beberapa berkas yang akan disimpan di ruang arsip. Berkas-berkas itu dia kumpulkan dan didekap erat saat melewati beberapa kubikel.“Je, mau ke ruang arsip, ya?”tanya Mbak Nurul. Setelah mendapat anggukan, Mbak Nurul mengangsurkan sebuah map berisi berkas padanya. Dengan cengiran khasnya, “Titip, ya … Sekalian gitu …”Jena meraihnya dengan senyuman tipis. Setelahnya, dia berjalan keluar dari WS. Kaki jenjangnya dengan cepat melangkah melewati beberapa divisi dan sampai akhirnya dia berpapasan dengan Iksan di koridor.Wajah tampan itu banyak bekas membiru. Terutama bagian pelipis dan di garis rahangnya. Jena memelankan langkahnya dengan bibir yang digigit kencang. “Maaf, ya …”Iksan tersenyum, namun kemudian meringis kesakitan sembari memegang pelipisnya. “Nggak apa-apa,”ucapnya saat melihat perempuan itu panik. “Oh iya, bingkisannya udah aku terima. Kamu harusnya nggak
Pagi-pagi sekali dia sudah sampai di kantor. Di tangannya terdapat sebuah bingkisan yang telah dipesannya dari toko online. Rencananya, dia akan mampir sebentar ke divisi Humas dan memberikan kado itu di atas sebuah meja. Kebetulan si empunya belum datang, jadi bukan kah itu sebuah keberuntungan?Dia meletakkan bingkisan itu di sebelah komputer. Menatanya dengan baik, lalu menyapa seseorang di seberang kubikel itu. Setelahnya, dia keluar dari sana.Baru saja dia keluar dari pintu divisi humas, sosok yang dia kenal sedang berdiri menyamping sambil menyandarkan sisi kanan tubuhnya di dinding. Lelaki itu melirik arlojinya sebentar sebelum akhirnya bersidekap. “Wow. Pagi sekali udah main di divisi lain …” Entah itu sebuah cibiran atau mungkin lelaki itu sengaja menyinggungnya. Jena melepaskan nafas kasar. “Aku mau minta maaf sama dia.”Brian memberikan tatap tidak pedulinya. Kepalanya mengangguk dengan tatap tidak acuh. “Sebuah kalimat yang sama sekali belum pernah kamu ucapkan buat aku
Iksan berdehem sesaat, menghilangkan gugupnya yang sedari tadi menimpanya. “Kamu tau nggak, sih. Pak Mungga berkali-kali nyebut nama kamu atas kelancaran produk baru ini.”“Oh ya?” Jena menoleh dengan senyum yang tertahan. “Bukannya harusnya Mbak Nurul, ya?”“Kata Pak Mungga, kamu sama Mbak Nurul itu paket komplit. Pekerjaannya selalu bisa diandalkan, apalagi soal kerja sama dengan PT. Eier.” Iksan menghembuskan nafasnya. Lalu, “Kamu nggak seburuk itu kok. Kamu nggak di bawah siapa-siapa. Jangan terlalu insecure sama kemampuan kamu sendiri.”Jena tersenyum. Manis sekali. “Makasih. Makasih banget.” Dia sampai membungkukkan badannya dengan antusias.Iksan menanggapi kekonyolan itu dengan membungkukkan badannya juga. Setelahnya, keduanya tertawa bersama.Perbincangan hangat itu terus berlanjut, sampai akhirnya mereka melihat mobil Pak Ajri sudah keluar dan melaju jauh. Itu pertanda bahwa sudah tidak ada siapapun di kantor.Jadi, kini keduanya mulai melangkah pergi. Berjalan bersisian sam
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen