Share

SENYUM MENAWAN SI GUNUNG ES

Aliandra tertawa melihat tingkah konyol Yasmin. Sesuatu yang jarang sekali terjadi. Seorang Aliandra Mahesa dapat tertawa seperti itu merupakan hal yang langka bahkan mendekati mustahil. Bukanya ia tidak pernah tertawa sama sekali. Dulu Aliandra merupakan pribadi yang periang sebelum akhirnya sesuatu hal yang buruk terjadi kepadanya dan hal buruk itu merenggut semua kebahagiaan di dalam dirinya.

Sekarang pria itu dikenal dengan sikapnya yang dingin bagai es dan sekeras batu. Tidak ada sesuatu yang dapat membuat bibirnya menyunggingkan senyuman. Akan tetapi, sekarang pria itu justru  tertawa terbahak-bahak karena sikap konyol seorang gadis yang baru ditemuinya. Ia bahkan harus menyeka matanya yang mulai berair karena terlalu banyak tertawa sembari terus menatap punggung Yasmin yang terlihat semakin menjauh. 

"Gadis konyol," gumamnya.

“Maafkan dia, Tuan. Saya akan memarahinya begitu saya tiba di rumah nanti. Dia pasti tidak tahu bahwa Anda adalah atasan saya, itulah sebabnya dia bersikap kurang ajar seperti tadi.” Waluyo berkata dengan perasaan khawatir. Ia khawatir sekali jika Aliandra merasa keberatan dengan sikap putrinya yang terkesan tidak menghormati Aliandra. Selama ini semua orang hormat kepada pria itu. Hanya Yasminlah yang berani menyentuh lengannya dan menuntunnya ke sana-kemari seperti tadi. Tentu saja Waluyo menjadi merasa takut dan tentu saja ia merasa tidak enak juga.

“Tidak usah memarahinya, Waluyo, urusi saja matanya yang terlihat seperti mata panda itu. Lagi pula kenapa harus minta maaf, apa aku terlihat marah? Tidak, ‘kan. Aku hanya penasaran, dari mana dia mendapatkan lebam dan luka di wajahnya itu.” Aliandra tersenyum kepada Waluyo.

“Dia habis berkelahi, Tuan—“

“Berkelahi?” Aliandra kembali tertawa. “Dia seorang gadis, Waluyo, bagaimana bisa seorang gadis berkelahi hingga terluka seperti itu.”

Waluyo menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Ya, jika dipikirkan lagi terkadang dirinya pun bingung, bagaimana bisa seorang gadis suka sekali berkelahi hingga lebam seperti yang selalu putrinya lakukan.

“Yasmin saya memang seperti itu, Tuan. Dia terlalu keras kepala dan pantang menyerah. Bahkan saat gadis lain lebih memilih untuk saling menjambak saat sedang bertengkar, tidak dengan Yasmin saya, dia akan mengayunkan tinjunya ke sana-kemari seperti seorang pria. Yasmin saya tangguh sekali, Tuan.”

Aliandra membayangkan kembali wajah Yasmin. Wajah gadis itu terluka di mana-mana, tetapi tidak sekali pun ia mengeluh kesakitan. Gadis itu malah terlihat terlalu riang, bahkan gadis itu masih sempat mengomel kepadanya. Sepertinya benar apa yang Waluyo katakan, gadis itu adalah gadis yang tangguh.

“Menarik. Aku suka karakternya,” ujar Aliandra sambil melamun.

Waluyo berdeham mendengar ucapan Aliandra. 

“Ah, ayo kita kembali ke rumah. Aku, lelah sekali. Putrimu itu membawaku berjalan terlalu jauh.”

***

Eza Mahesa menatap bangunan megah yang ada di hadapannya. Bangunan yang dulu merupakan tempat tinggalnya itu terlihat masih sama seperti lima tahun yang lalu sebelum ia memutuskan untuk pergi meninggalkan semuanya ke luar negeri. Meninggalkan kuliahnya, Teman-teman nya, ayah dan juga saudaranya. 

Bukan tanpa alasan Eza memutuskan untuk pergi. Saat itu suasana sedang sangat kacau. Kecelakaan yang menimpa saudara tirinya membuat keluarga besar menjadi berpikiran buruk kepadanya, seolah dirinyalah yang bertanggung jawab atas kemalangan yang menimpa Aliandra. Sehingga menyingkir untuk sementara waktu adalah hal yang paling tepat dan paling masuk akal yang harus ia lakukan saat itu.

Sekarang ia telah kembali, di sinilah ia berdiri dengan canggung sambil membawa ransel di punggung. Bingung harus melakukan apa terlebih dahulu. Haruskah ia mengabari Aliandra bahwa ia sekarang sedang berdiri di depan rumah, atau langsung saja menekan bel dan segera masuk ke dalam rumah tanpa meminta izin terlebih dahulu pada Aliandra. Toh, ia juga merupakan putra di keluarga Mahesa, walaupun ia dilahirkan dari rahim seorang istri kedua.

Tit, tiiit!

Suara klakson mobil mengagetkan Eza. Pria tampan bermata coklat dan berhidung mancung itu kemudian menyingkir. Memberikan jalan pada sebuah mobil mewah yang sepertinya hendak masuk ke dalam pekarangan rumah milik Aliandra.

Mobil itu kemudian kembali bergerak perlahan begitu Eza menyingkir. Namun, bukannya terus masuk ke dalam pekarangan rumah bahkan setelah Pagarnya terbuka, mobil itu malah berhenti tepat di hadapan Eza.

Perlahan kaca mobil bagian belakang terbuka. Memperlihatkan sosok tampan yang tidak asing di matanya sedang menatapnya dengan wajah cemberut.

“Andra,” gumam Eza. Tidak ada yang berubah dari seorang Aliandra. Pria itu masih sama seperti dulu. Sempurna, kata itulah yang paling cocok untuk seoarang Aliandra Mahesa.

Aliandra hanya terus menatap Eza tanpa menyapanya sekalipun.

“Antar aku ke dalam, Waluyo. Setelah itu urus dia. Dia tamu penting di rumah ini,” titah Aliandra, lalu membuang muka dan kembali menutup jendela kendaraan yang ia tumpangi.

Waluyo yang menerima perintah itu segera melaksanakan Titah dari Aliandra tanpa banyak bertanya.

Perlahan mobil memasuki halaman rumah dan berhenti tepat di depan teras. Waluyo segera turun dari dalam mobil dan membukakan pintu mobil untuk Aliandra.

“Biar aku saja. Aku bisa sendiri,” ujar Aliandra, menolak bantuan Waluyo yang biasa dilakukannya saat Aliandra bersiap turun dari dalam mobil.

“Hati-hati, Tuan.” Waluyo terlihat khawatir.

“Tidak masalah. Aku pasti bisa. Oh, ya, urusi tamu tadi. Minta dia untuk masuk dan beritahu semua pelayanan di rumah ini agar memperlakukannya dengan baik.”

“Baik, Tuan.” Waluyo segera pergi menghampiri Eza yang masih berdiri mematung di luar pagar.

Sesampainya di hadapan pria muda itu, Waluyo segera memintanya untuk masuk sesuai instruksi dari Aliandra.

Eza terlihat ragu untuk sesaat, tetapi kemudian ia mengikuti Waluyo yang berjalan lebih dulu di depannya.

“Anda pekerja baru di sini?” tanya Eza setelah beberapa saat, berusaha memecah keheningan yang meliputi mereka berdua.

“Iya, Tuan, saya baru dua tahun di sini.” Waluyo menjawab dengan sopan seperti biasanya.

“Oh, aku harap kita bisa berteman. Aku Eza Mahesa.” Eza  tersenyum saat tiba-tiba Waluyo membalik badan agar dapat menatapnya.

“Kalau begitu Anda adalah saudara Tuan Aliandra yang tinggal di luar negeri?” tanya Waluyo, pria tua itu terlihat terkejut sekaligus khawatir.

“Ya, benar,” jawab Eza singkat.

‘Gawat. Jelas ini adalah tanda bahaya. Tuan Aliandra harus menikah secepatnya! Harus!’ batin Waluyo.

Bersambung  .... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status