Aliandra menaikkan sebelah alisnya, masih menatap lurus ke arah Yasmin. "Setidaknya turunlah dulu dari pangkuanku. Sampai kapan kamu mau terus aku pangku begini?"
Mendengar ucapan Aliandra, Yasmin segera bangkit dan berkali-kali membungkukkan tubuh untuk meminta maaf kepada pria tampan itu.
"Maafkan aku, aku sungguh tidak bermaksud untuk duduk di atas sana," ujar Yasmin, sembari menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.
"Iya juga tidak apa-apa," ucap Aliandra tanpa ekspresi. “Katakan ada keperluan apa sehingga kamu menjelajahi seluruh ruangan yang ada di rumahku?”
“Sudah aku bilang ‘kan tadi, kalau aku ingin makan cokelat dengan Anda,” jawab Yasmin.
“Oh, ya, dalam rangka apa? Apa dalam rangka karena kamu telah berhasil menolak lamaran dariku kemarin. Sehingga kamu merasa kasihan padaku lalu berusaha menghiburku dengan sebatang cokelat! Maaf saja, Yasmin, aku ini bukan anak kecil. Rasa kesal dan sakitku t
Yasmin duduk dengan gelisah sambil menggerakkan kakinya di dalam sebuah kamar besar dan sederhana. Tidak ada interior yang istimewa di kamar itu. Hanya terdapat rak buku yang terletak di sudut ruangan dan juga meja kerja yang berukuran besar di tengah ruangan, tepat di hadapan sebuah ranjang berukuran King Size yang sekarang sedang ia duduki. Dadanya berdetak dengan kencang menanti kedatangan si pemilik kamar yang beberapa waktu lalu ia ketahui masih berada di kantor.Yasmin meraih ponsel dari dalam tasnya lalu kembali membaca pesan yang pagi tadi Aliandra kirimkan padanya.‘Mau ke kampus? Mampirlah ke rumah. Ada yang ingin kubicarakan, tapi sekarang aku masih di kantor. Tunggu aku sebentar saja dan jangan lupa berhati-hatilah di jalan, Yas.’Begitulah isi pesan yang membuat dada Yasmin seketika menghangat. Ia memang sudah lama sekali tidak pernah mendapatkan perhatian dari seorang pria. Maklum saja karena dirinya memang selalu bersikap dingin kepada
Yasmin membelalak, menatap dengan takjub pada apa yang ada di depannya. Rasa takjubnya itu bahkan membuatnya lupa pada rasa yang lain, seperti rasa bingung dan penasaran.Seharusnya ia bertanya pada Aliandra atau pada ayahnya tentang semua yang sekarang sedang ia lihat—ruangan dengan dekorasi berwarna putih, beberapa tamu yang berpakaian rapi, meja kecil di tengah ruangan dan ratusan atau bahkan ribuan kelopak mawar putih yang tergeletak anggun di atas karpet merah yang akan ia lewati.“Ayo, Yas. Pak penghulu sudah menunggu.” Waluyo menepuk pundak Yasmin, membuat Yasmin tersadar dari lamunan.Tanpa banyak bertanya, Yasmin mengekor langkah Waluyo menuju meja yang terletak di tengah ruangan. Meja berkaki pendek itu dilapisi dengan taplak berwarna putih juga, di hadapannya duduk seorang pria berjas hitam yang terlihat sangat tampan. Pria itu adalah Aliandra.“Rilekslah. Setelah akad, kita akan langsung menuju hotel,” bisik Alian
Burhan Lubis menatap Aliandra dan istrinya dengan tatapan tidak suka. Pria berambut putih itu bahkan tidak segan untuk menunjukkan kemarahannya di hadapan tamu undangan yang hadir. Apalagi saat ia melihat Aliandra dan juga istri barunya berciuman dengan mesra di hadapan semua orang.Awalnya Burhan berpikir bahwa Aliandra pasti hanya memainkan siasat agar kedudukannya di perusahaan tidak terancam dan pernikahan yang sedang berlangsung pastilah pernikahan pura-pura. Jika memang benar begitu, maka mudah baginya untuk membuat para pemegang saham lainnya berpikir bahwa pernikahan Aliandra hannyalah sebuah sandiwara. Namun, kemudian Aliandra berciuman di depan para tamu undangan. Seolah menegaskan bahwa tidak ada sandiwara di antara dirinya dan juga wanita yang sekarang berstatus sebagai Nyonya Mahesa. Dengan mempertontonkan adegan romantis seperti itu, maka sulit bagi Burhan untuk meracuni pikiran rekan bisnis lainnya.“Bagaimana ini? Kita tidak bisa menyingkirkannya,
Keesokan harinya, Yasmin terbangun dengan keadaan yang masih sangat mengantuk. Bagaimana tidak mengantuk jika dirinya tidak dapat tidur semalaman.Yasmin tidak bisa tertidur dengan nyenyak jika ia terus merasa gugup. Jika ditanya kenapa dirinya merasa gugup? Maka jawabannya sudah pasti karena Aliandra!Pria tampan itu tidur di sebelahnya tanpa mengenakan pakaian. “Panas,” kata Aliandra saat Yasmin menanyakan alasannya membuka pakaian dan hanya mengenakan kolor berwarna hitam.Panas! Ya, tentu saja panas. Yasmin merasa sangat kepanasan saat melihat punggung Aliandra membelakanginya, membuat dirinya berpikiran gila untuk menanggalkan pakaiannya sendiri lalu memeluk tubuh kekar itu dari belakang. Kulit bertemu kulit pasti akan nyaman sekali.Semalam Yasmin sungguh merasa penasaran bagaimana bisa Aliandra tertidur pulas. Tidakkah pria itu merasa gelisah seperti dirinya? Tidakkah jantung Aliandra merasa ingin terlepas dari tempatnya.Sekaran
Eza memasuki ruang makan dan duduk tepat di hadapan Aliandra. Ia menyapa saudara tirinya itu dengan ramah sebelum mengambil sepotong roti yang tersaji di atas meja.“Selamat pagi, Ayah mertua!” Eza juga menyapa Waluyo.Waluyo dan Aliandra sama-sama tersedak mendengar kalimat yang diucapkan oleh Eza Mahesa.“Ada apa? Aku salah bicara?” tanya Eza, lalu menyuapkan sepotong roti dengan utuh ke dalam mulutnya dan mengunyahnya dengan kasar.“Aku yang menikah, lalu kenapa Waluyo menjadi ayah mertuamu juga? Bukankah dia hannyalah ayah mertuaku,” ujar Aliandra.Eza tertawa terbahak-bahak mendengar kejengkelan dalam nada bicara Aliandra. “Jangan bilang kalau kamu cemburu? Tenang saja, aku tidak akan menyebut Yasmin sebagai istriku juga,” ucapnya dengan seringai jahil. “Walaupun harus kuakui, tadinya aku hampir tertarik dengan istrimu itu. Untunglah aku dapat mengendalikan diri.”Aliandra mend
Yasmin melambai riang begitu melihat Aliandra dari kejauhan. Pria itu terlihat sangat rupawan dengan setelah jas berwarna hitam dan dasi berwarna navy. Belum lagi ditambah dengan kacamata yang ia kenakan, membuatnya terlihat semakin memesona.Yasmin mengecup pipi Aliandra begitu ia tiba di samping pria tampan yang sekarang berstatus sebagai suaminya tersebut. Aliandra terkejut dengan sikap Yasmin, tetapi ia berusaha untuk terlihat biasa saja. Apalagi banyak mata yang sedang mengawasinya saat ini.“Selamat siang, semua,” ucap Yasmin, tersenyum ramah kepada semua orang yang sedang duduk bersama dengan suaminya.Mereka yang disapa, balas tersenyum dan menyapa Yasmin dengan ramah.“Istri Anda sangat cantik, Pak Andra. Anda sangat beruntung mendapatkan istri secantik dia,” ucap salah satu rekan bisnis Aliandra.Aliandra yang sejak tadi sibuk membaca dokumen seketika mendongak dan melempar senyum ramah kepada rekan bisnisnya itu.
Yasmin mengembuskan napas dengan kesal setelah Burhan keluar dari ruangan Rektor. Ia kesal sekali karena Irene yang sombong itu ternyata sangat berlebihan. Bisa-bisanya gadis itu membawa-bawa kakeknya dalam urusan mereka. Kekesalannya semakin bertambah saat mengetahui bahwa kakek Irene adalah salah satu pemegang saham yang berusaha untuk menjatuhkan Aliandra. Kakek dan cucu sama menyebalkannya!Segera Yasmin keluar dari ruang Rektor dan berjalan menuju kelas, mencari Virni.“Virni!” teriak Yasmin, begitu ia melihat sahabatnya itu sedang sibuk memainkan ponsel di dalam kelas.“Apa?!” Virni balas berteriak, tanpa memandang wajah Yasmin. Gadis itu masih terlalu sibuk dengan ponselnya.Yasmin menghampiri Virni dan segera menarik ponsel gadis itu. “Aku memanggilmu. Ke mana perhatianmu?” ucap Yasmin.Virni terkekeh sambil menatap wajah kesal Yasmin. “Ada apa?” tanya Virni.“Ajari aku membuat ku
Yasmin terkejut saat bibir Aliandra tiba-tiba mendarat di atas bibirnya. Akan tetapi, ia tidak berusaha untuk menolak. Wanita normal mana yang bisa menolak kecupan luar biasa seperti itu dari seorang pria tampan seperti Aliandra. Alih-alih menjauhkan bibirnya. Yasmin malah ikut berpartisipasi dengan mengangkat tangannya untuk menyusuri wajah bercambang tipis itu. Hanya sekadar ciuman. Aliandra sama sekali tidak ingin melanjutkan lebih jauh. Bagaimanapun juga, dirinya sadar akan kekurangan yang dimilikinya. Jika dirinya saja terkadang malu dan merasa terhina saat orang-orang mulai membicarakan kakinya, bagaimana dengan anaknya atau istrinya? Itulah sebabnya, Aliandra sama sekali tidak ingin memiliki keturunan. Ia tidak mau jika orang-orang yang disayanginya merasa malu akan kondisinya kelak. Aliandra tersenyum sambil menyentuh pipi Yasmin dengan lembut saat akhirnya bibir mereka saling menjauh. “Terima kasih,” ujarnya. Kedua pipi Yasmin merona. Ia sege