Share

6. Rencana lain? Nope!

Menempuh seribu langkah dengan berlari dan membawa perasaan yang tidak tenang, Jingga menyusuri bahu jalan sambil sesekali memutar arah kepala ke belakang. Dia sedang panik dan butuh diselamatkan seseorang yang berbaik hati menawarkannya bantuan. Napasnya juga tersengal-sengal karena harus menggunakan energinya lebih sering.

Sepertinya ide untuk meminta bantuan akan terasa sia-sia saja jika dilakukan. Suasana di kota sekarang amat sepi dan mencekam. Tidak ada orang, tidak ada kendaraan darat, bahkan tidak ada toko yang buka. Kota ini tampak seperti kota mati yang tidak dihuni warganya karena pindah ke daerah lain.

Alasan gadis itu berlari seperti dikejar anjing adalah karena sosok yang sedang mengejarnya di belakang. Ketika pandangannya berputar lagi ke arah belakang, sosok bertudung hitam dari atas kepala hingga ujung kaki mengejarnya. Tanpa mengenal kata ampun pula padahal gadis itu sudah merasa lelah. Dia tadinya ingin berhenti dan menyerahkan diri, namun kala melihat rupa mengerikan itu dia ketakutan.

Di depan, dia melihat jalan kecil yang berada di sisi kiri. Tanpa pikir panjang pula dia berbelok ke jalan tersebut untuk mengamankan diri. Dia yang mengenal daerah ini berharap kalau jalan itu bisa digunakan sebagai cara untuk bisa kabur dari kejaran makhluk aneh. Tubuhnya juga tidak kuat lagi ketika dipaksa berlari.

Dia masuk ke sebuah gang kecil, yang mana ada deretan rumah yang dibangun berdampingan. Dia masuk ke sebuah perumahan yang ternyata berbatasan langsung dengan Perumahan Nusantara. Setelah itu, dia bisa langsung pulang ke rumah dan melaporkan kejadian aneh itu kepada ibunya. Dia pikir bisa melalui semua itu dengan mudah asalkan dia harus rela mengeluarkan tenaganya lagi.

Kala otaknya sibuk berputar-putar di arah yang sama, dia bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri kalau ada seorang pria yang sedang menyusuri tepi jalan dan memperlihatkan punggungnya saja. Sebelum melihat orang itu, dia pikir dunianya akan berakhir karena tidak melihat orang lain selain dirinya dan sosok hitam tersebut. Kehadiran pria itu seperti malaikat pelindung.

Oleh karena itu, dia tersenyum lega. Dengan semangat pula dia menghampiri orang yang belum menyadari keberadaannya.

“Permisi!” seru Jingga yang menyapa pria tersebut walaupun hanya bisa terlihat punggungnya saja. Orang itu berhenti, karena itu dia juga berhenti. “Maaf tapi bisakah Anda menolong saya? Saya dikejar sosok aneh di belakang,” sambungnya yang melaporkan pengejaran tadi. Dia sudah merasa yakin kalau orang itu pasti bisa membantunya.

“Kamu Jingga ‘kan?” Bersuara, hal yang pertama kali ditanyakan pria itu adalah nama sang puan. Tanpa melihat ke belakang pula.

Jingga terpaku dan membisu. Dia tidak menyangka kalau dari warga di sini ada yang mengenalnya. Untuk memastikan lagi, dia bertanya dengan wajah bingung. “Dari mana Anda tahu?”

Pria itu berbalik badan. Seorang pria berwajah rupawan yang lebih tinggi dari Jingga dan mata bundar dengan iris mata hitam menatap sang puan dengan senyum mengembang dari sudut bibirnya. Menatap bola mata gadis itu lekat-lekat, dia mengulurkan tangan. “Akhirnya kita bertemu.”

Jingga yang tidak tahu apa pun perlahan mengulurkan tangannya, bermaksud mengajaknya untuk jabat tangan. Tetapi yang terjadi adalah gadis itu tumbang beberapa saat kemudian. Dia mendadak pingsan.

*

BRUK!

“Aduh.” Bersamaan dengan suara rintihan tersebut, Jingga bangkit dari lantai ruang tidurnya. Dia baru saja terjatuh dari atas ranjang. Akibatnya, kepala yang sama sekali tidak dilindungi apa pun adalah hal pertama yang terbentur di lantai.

Masih dalam keadaan setengah sadar, gadis itu mengangkat tulang duduknya dan naik ke ranjang tidur sambil memegang bagian punggungnya. Terjatuh dari tempat tidur membuat punggungnya seperti dibelah dua. Rasanya sakit yang tidak terhingga. Dia benar-benar menderita, selain juga karena terpaksa bangun lebih awal.

Memulihkan sakit di punggungnya dan mengumpulkan kesadaran, tulang duduk Jingga kini berada di tepi ranjang. Sambil mengusap kelopak mata, dia teringat mimpi tadi yang juga merupakan kilasan masa depannya. Dia yakin kalau apa yang dilihatnya tadi bukan mimpi biasa.

“Gak bisa nih, gak bisa. Gue gak boleh gini aja. Gue harus ngubah masa depan! Gimana pun caranya,” batinnya yang seakan-akan mengucapkan dengan penuh tekad. Dia bahkan sudah berniat sejak satu matanya terbuka. Dia tahu kejadian itu akan terjadi di saat berikutnya, namun dia tidak ingin itu terjadi kepada dirinya yang malah akan merugikan diri.

Jingga bangkit dari tempatnya. Dia melangkahkan kaki menuju lemari pakaian berbahan dasar kayu yang menjadi pusat atensinya. Kemudian, dia membuka pintu lemari dengan terburu-buru. Dengan cekatan, dia membongkar seluruh isi di dalam lemari.

“Jingga? Kamu sudah bangun?” Pada saat yang sama, suara ibunya menggema dari lantai bawah dan menyerukan namanya.

“Sudah, Bu!” jawab Jingga yang bisa dipastikan kalau kesadarannya sudah kembali dan dikumpulkan ke tempat yang benar. Mata dan tangannya tetap melakukan hal yang sama.

“Nanti tolong ibu bawain pesanan Bu Ratna. Yang pernah ibu bilangin itu, lho, kalau dia jualan di butik. Entar kembaliannya buat kamu aja,” titah ibunya lagi yang kali ini ingin memohon bantuan kepada sang putri tertua.

Jingga membeku. Tiba-tiba, satu ide yang datang dari negeri antah-berantah dan tidak pernah terpikirkan sama sekali olehnya muncul di dalam kepala. Sepertinya, dia tahu apa yang akan dikatakan selanjutnya. Dia akhirnya tahu cara menolak permintaan ibunya. “Aku gak bisa deh kayaknya.”

“Kenapa? Kamu sakit?”

Hening, tidak ada jawaban. Jingga kini muncul dari balik tembok ruang utama setelah turun dari ruang tidurnya di lantai dua. Dengan langkah lesu, dia mendekati ibunya yang saat itu sedang sarapan roti panggang. Sengaja menarik napas pendek juga agar dia kelihatan terkena flu dan hidungnya meler. “Kayaknya aku flu deh. Dingin banget semalam,” jawabnya kemudian duduk di depan kursi ibunya.

“Demam?”

“Iya.”

“Sini ibu rasain dahimu.”

Jingga terdiam. Dia tahu ucapan tadi hanya akal bulus saja, tapi dia tidak menyangka kalau ibunya akan mengajukan pertanyaan ini. Dia tidak bisa berkelit lagi, tapi terpaksa memajukan posisi wajahnya. Ibu kemudian meraba dahinya dengan telapak tangan. “Gak hangat kok.”

Gadis itu cengar-cengir dan tersenyum lebar. Kebohongannya terbongkar. “Oh, mungkin perasaan aku doang soalnya kepalaku pusing banget. Kayaknya aku harus minum air hangat deh,” ujarnya yang memberi sebarang kilah lagi.

“Entar bawain pesanan ibu ya.”

“Iya, Bu.”

*

Berada di sebuah butik pakaian wanita bernama Na Boutique yang berada di pusat kota, Jingga sedang menunggu sesuatu di depan meja pembayaran. Kedatangannya ke sini karena permintaan ibunya yang diminta membawakan barang yang dipesan jauh hari. Toko ini milik teman ibunya yang pernah diceritakan akrab waktu berada di bangku SMA.

Di depan kasir, dia yang menunggu mengalihkan pandangan ke seluruh bagian di dalam toko untuk mengisi waktu kosong. Dia sudah terlalu bosan jika menunggu di sini sendirian. Sangat jauh berbeda jika dia ditemani orang lain, maka dia tidak akan merasa kosong dan hampa. Dalam hati, dia sudah merapal permohonan agar bisa keluar dari tempat ini dan pulang ke rumah.

Muncul dari balik pintu bersamaan dengan bunyi lonceng, seorang wanita rambut pendek baru saja keluar dari ruangan lain di dalam toko. Saat itu pula, Jingga mengarahkan pandangan ke arah semula dan dia bisa melihat dengan jelas kalau wanita itu membawa sebuah kantung kertas. “Udah lama juga ya gak ketemu. Jingga sekarang udah gede ya,” ujar wanita rambut pendek itu yang mengajak sang puan berbicara.

Jingga tersenyum dengan tatapan ramah. Sejujurnya, dia juga sudah lupa kapan tepatnya mereka pernah bertemu. Rumahnya selalu kedatangan tamu yang mengaku teman ibu, namun dia sudah lupa wajah mereka. “Begitu deh, Bu. Kapan-kapan datang aja ke rumah. Ibu juga bilang udah lama gak ketemu Bu Ratna,” jawabnya dengan sederhana.

“Masih tinggal di Perum Nusantara ‘kan?”

“Masih, Bu. Kalau gitu saya pamit dulu ya,” balas Jingga yang kemudian memohon pamit sebelum keluar dari butik. Setelah diizinkan oleh pemilik toko, dia berbalik badan dan segera mengulurkan tangannya ke gagang pintu.

Saat pintu dari dalam toko terbuka, gadis itu berhenti di tempat dan mendadak mematung. Keadaan di luar mendadak sepi. Tidak ada apa pun yang melintas di depan mata. Situasinya seperti berada di kota terbengkalai, sangat hening. Merasa ada yang aneh, dia berbalik badan. Tidak ada siapa pun yang bisa dilihatnya dari dalam toko, padahal sebelumnya ada Bu Ratna dan beberapa pengunjung yang datang.

“Bu Ratna?” panggilnya yang ingin memastikan sesuatu. Dia yakin kalau dia ada di dalam mimpi, namun sepertinya terlalu nyata untuk disebut sebagai bunga tidur. “Bu Ratna!” serunya lagi setelah tidak ada jawaban dari pemilik nama.

Sekarang, dia sadar kalau ada yang tidak beres. Oleh karena itu, dia segera keluar dari butik dengan panik dan tergesa-gesa. Dia juga setengah berlari saat menyusuri bahu jalan. Dia harus pulang ke rumah dan tidak boleh lengah.

Berbelok di jalan kecil, dia bisa melihat dengan jelas kalau ada beberapa sosok jubah hitam yang berlari ke arahnya seperti mengejar pencuri. Kejadian ini mirip kejadian yang ada di dalam mimpi. Dia akhirnya sadar kalau ini adalah bagian dari kilasan masa depan dan sudah menjadi kenyataan. Tidak ingin mengalami hal yang sama, dia berbalik badan dan kabur.

Masa depan itu terulang kembali seperti yang dilihatnya. Dia kembali dikejar oleh sosok jubah hitam yang membuatnya harus merelakan tenaga di bahu jalan kota. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi, makanya dia tidak ingin tertangkap oleh mereka.

Please! Jangan kejar gue!” serunya dengan nada memohon walaupun masih berusaha kabur dari kejaran, persis seorang pencuri yang dikejar kawanan petugas polisi. Dia berteriak lagi, “Gue gak salah apa-apa juga. Kenapa jadi gue yang kena!”

Di hadapan setelah empat gedung terlewati, dia melihat sebuah gang masuk ke sebuah perumahan. Dia kembali ingat kalau jalan ini adalah cara yang seharusnya dia tempuh untuk bisa pulang, namun berakhir dengan bertemu insan yang berbahaya. Oleh karena itu, dia memilih jalan lurus agar tidak bertemu orang itu. Tekadnya hanya satu, dia ingin mengubah masa depan.

Setelah menempuh perjalanan sejauh beberapa ratus meter, Jingga menyadari kalau sosok jubah hitam itu tidak lagi mengejarnya. Mungkin karena mereka juga lelah karena mengejarnya tanpa kata ampun. Makanya, dia memelankan jalan dan memutar kepala ke belakang. Memang benar kalau tidak ada lagi sosok aneh itu di belakang.

Namun, dia baru saja melakukan kesalahan ceroboh. Dia menabrak punggung seseorang yang memiliki bahu lebar, akibatnya dia terjatuh di bahu jalan. “Maaf, maafin saya. Maaf karena saya gak sengaja…”

Ucapannya terhenti kala mata sang puan terbuka dan hal yang pertama kali dia lihat adalah sepasang sepatu kulit warna hitam. Dia kemudian mendongak untuk mengetahui siapa yang baru saja ia tabrak. Seorang pria berwajah rupawan kini benar-benar muncul di depan mata. Mimpi itu kembali terulang.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status