Share

5. Apakah terasa sakit seperti ini?

Sebuah mobil berwarna putih diparkir di halaman depan rumah yang besar dan hanya memiliki satu lantai saja. Seorang laki-laki yang mengenakan kemeja putih dimasukkan dalam celana baru saja keluar dari mobil yang dikendarainya. Di tangan, dia membawa sebuah keranjang berisi buah-buahan segar yang dibeli sebelum ke sini. Langkah kakinya menuju ke arah pintu rumah yang saat ini tertutup rapat. Dari luar, rumah itu seperti tidak berpenghuni.

Lelaki itu berhenti di depan daun pintu. Satu tangannya kemudian menekan bel yang sejajar dengan gagang pintu. Bel berdering tiga kali yang bisa didengar dari dalam rumah. Dia hanya menunggu pemilik rumah yang membukakan pintu untuknya. Dia sangat yakin kalau pemilik rumah pasti ada di naungannya.

Tidak lama kemudian, gagang pintu bergerak. Pintu terbuka setengahnya, kemudian muncul seorang laki-laki hidung mancung yang kelihatan dari balik pintu. Rupa wajahnya hampir seiras dengan lelaki yang mengenakan kemeja putih tersebut. Jika dilihat dari dekat, bibirnya tampak kering dan pucat. Wajahnya juga tampak lemah dan tidak semangat. “Kak?” ucapnya dengan lesu.

“Lo udah baikan, Dev?” ujar lelaki yang mengenakan kemeja putih setelah dipanggil tadi. Dia kemudian mengajukan pertanyaan mengenai keadaan sang adik yang hari ini tampak tidak baik-baik saja.

Devin―nama yang disebut kakaknya―membuka pintu lebih lebar sebelum mengajak Kevin masuk ke dalam rumah dan berbincang-bincang dengannya. “Udah mendingan sih, Kak Kev. Gak terlalu parah juga dibandingkan pagi tadi,” jawabnya yang kini meminta sang kakak tertua agar tidak khawatir. Dia melanjutkan, “Silakan masuk, Kak!”

Kevin menjejakkan kaki di lantai rumah setelah diizinkan oleh sang pemilik rumah. “Gue dengar dari papa kalau penyakit lo kambuh lagi, makanya gue ke sini. Gue khawatir banget,” balasnya selagi melangkahkan kaki saat diajak adiknya ke ruang utama. Saat mereka berada di ruang utama, dia berkata, “Papa bilang juga gue harus sering-sering ke sini buat jagain lo.”

Devin duduk, diikuti Kevin yang juga duduk di sofa seberang. “Gak perlu khawatir, Kak. Aku juga bisa jaga diri selama papa di luar kota. Ngomong-ngomong, kakak ipar gak ikut?” jawabnya yang meminta sang kakak untuk tidak perlu merasa bimbang. Dengan cepat pula, dia mengalihkan subjek pembicaraan seperti membanting setir ke arah lain.

“Justru itu gue semakin bimbang sama keadaan lo. Lo tuh udah lama ngalamin kejadian ini sampai sekarang. Pasti sakit ‘kan,” kelit kakaknya yang memutarbalikkan fakta. Untuk pembicaraan ini, dia tidak akan mudah terpengaruh pada pertanyaan adiknya yang mencoba untuk mengalihkan topik.

Devin mengembuskan napas. Untuk saat ini, dia sudah dipastikan kalau dia kalah berdebat dengan kakaknya. Kevin selalu bisa menemukan celahnya dan karena itu kadang-kadang dia tidak bisa berkutik serta mengarang lagi. “Mau gimana lagi, Kak. Aku juga gak ngerti sama penyakit ini,” jawabnya dengan nada muram. Dia kemudian bangkit dari tempatnya dan menawarkan sesuatu kepada kakaknya, “Mau dibuatin kopi?”

“Gak perlu, Dev. Gue bisa buat sendiri. Lo masih belum sembuh total,” balas Kevin yang menolak tawarannya, juga ikut berdiri dari tempat.

“Gak apa-apa kok, Kak. Aku juga udah agak baikan,” balas Devin yang mencoba menenangkannya. Dia merasa tidak enak hati kala meminta kakak yang dihormati malah membuat kopi sebagai teman bicara. Sebagai pemilik rumah, dia harus menghormati tamunya sekalipun itu kakaknya sendiri. “Tunggu bentar ya. Aku bakal kembali!” tambahnya lalu berbalik badan sebelum mendengar tanggapan Kevin.

Ditinggalkan sendirian oleh sang adik, Kevin mengedarkan pandangan ke seluruh bagian dalam ruang utama. Dia sudah meninggalkan rumah ini sejak lima tahun yang lalu setelah menikah. Mendadak dia merindukan suasana rumah yang dulu dihuni oleh Keluarga Prabuwicaksana yang bahagia. Kini, tinggal Devin dan papanya saja yang tidak ingin meninggalkan naungan.

Satu potret ukuran raksasa berada di dinding rumah. Potret sebuah keluarga bahagia yang tersenyum di depan kamera sebelum satu per satu meninggalkan rumah. Potret Kevin dan Devin yang bersebelahan dan mengenakan pakaian batik bersama orang tuanya. Itu terjadi dua bulan sebelum mamanya meninggal dunia.

Beberapa saat kemudian, telinganya mendengar suara pecahan kaca yang berasal dari arah belakang. Secepat kilat juga Kevin mengalihkan pandangan ke asal suara dan mengira-ngira apa yang sedang terjadi. Dia terkejut. “Devin?” panggilnya yang ingin tahu keadaan sang bungsu di sana.

Tidak ada jawaban dari pemilik nama. Setelah pecahan kaca itu terdengar, mendadak hening. “Devin?” panggilnya lagi yang ingin memastikan ulang. Namun tetap sama, tidak ada jawaban. Oleh karena itu, dia bangkit dari tempatnya dan bergegas menuju sumber suara. Rasa khawatirnya kembali muncul.

Di dapur, Devin tergeletak di lantai bersama pecahan kaca yang tidak jauh dari tubuhnya. Wajahnya memerah dan terdengar rintihan yang baginya amat sakit untuk diterima. Dia meringkuk seperti udang rebus. Laju napasnya semakin lama terdengar semakin cepat, seperti kehabisan oksigen.

“Devin! Lo kenapa?” Muncul dari balik dinding, Kevin yang memergokinya berseru kaget. Dia bergegas menghampiri sang adik dengan wajah panik. “Lo kambuh lagi?” tanyanya dengan diiringi rasa khawatir.

“Kak …,” panggilnya yang kemudian diikuti tetesan air mata yang keluar dari kantung mata. Dia ingin berkata sesuatu kepada Kevin, namun mulutnya tidak mampu untuk mengucapkan sebarang kata.

Berkat bantuan Kevin, Devin sekarang berada di atas ranjang tidur double size. Ruang tidur ini tidak terlalu besar untuk bisa ditempati Devin sendirian. Ruang tidur kakaknya juga tidak terlalu besar atau hampir sama dengannya. Dia ditinggalkan sendiri oleh Kevin karena kakaknya pergi ke dapur untuk membawakan segelas air untuknya.

Lelaki berwajah pucat itu terbaring lemah. Energinya seolah terkuras dari dalam tubuh dan dia tidak mampu bangkit lagi. Keadaannya benar-benar memprihatinkan bagi seorang lelaki yang usianya masih muda.

Kevin muncul dari balik pintu dengan membawakan dua buah gelas di atas nampan. Segelas air putih untuk Devin dan segelas kopi untuk dirinya yang tadi ingin dibuat sang adik. Dia menyajikan minuman itu di atas meja kecil sebelah tempat tidur. “Minum obat lo sering-sering,” titahnya saat menempatkan tulang duduk di tepi ranjang.

“Makasih, Kak. Maaf kalau jadinya ngerepotin,” balas Devin yang mengucapkan rasa syukur. Berkat bantuan kakaknya, kekacauan yang dibuatnya tadi beres dengan mudah.

“Lo juga udah dibilang ‘kan, tapi lo aja yang gak mau ngedengerin gue.”

Devin tersenyum di balik bibirnya yang pucat. Dia merasa terhibur dengan ocehan kakaknya yang mungkin akan bisa didengar setiap hari. “Gak apa-apa, Kak. Kan capek juga bawa mobil dari Bekasi.”

“Terus kalau udah gini, lo gak mau dibawa ke rumah sakit?”

Lelaki itu menggelengkan kepala sebagai jawabannya. Dia mencoba memalingkan muka dan mengalihkan tatapan dari bola mata kakaknya yang saat ini sedang mengawasi keadaan dengan wajah serius. “Kayaknya bakalan sama aja, Kak. Dokter bilang tulang aku gak apa-apa, organ dalam juga gak apa-apa. Tapi rasanya kayak remuk di dalam. Aneh banget,” keluhnya.

“Kapan lo sembuh kalau gini mulu kejadiannya,” ujar Kevin yang kemudian mengembuskan napas dengan lemah. Devin memilih diam dan tidak menjawabnya sama sekali.

*

Jingga baru saja keluar dari toko roti setelah memenuhi permintaan ibunya. Hari ini, dia diminta dibelikan roti tawar dan roti selai kacang untuk camilan. Dia yang membawa satu kantung plastik ukuran besar di tangan kemudian menuju area parkir yang ada di depan toko. Langkahnya menuju satu motor matic yang tergantung helm cokelat di spion kanan.

Secara kebetulan, Irene juga ada di bahu jalan dan sedang berjalan kaki setelah bangun tidur. Pagi-pagi buta, dia ingin menyegarkan tubuh dan juga pikiran akibat hanya bisa tidur selama tiga jam. Perumahan tempat ia tinggal juga tidak jauh dari bahu jalan ini, makanya dia berjalan kaki saja daripada naik kendaraan.

Mereka berpapasan di area parkir saat Jingga baru saja menggantungkan barang bawaan ke gantungan motor. Dia juga sempat bertatapan mata dengan gadis kulit putih tersebut. Bola mata mereka bertemu secara langsung.

Membaca objek masing-masing, mereka tahu apa yang sedang dipikirkan. Di pikiran Irene, dia bisa melihat dengan jelas kilasan dirinya bersama gadis itu yang saling menatap tajam. Dia juga melihat mereka beradu mulut karena berbeda pendapat. Mereka juga bertengkar dan saling melontarkan ejekan.

Kilasan itu membuat Irene bingung dan tidak mengerti apa yang baru saja datang di pikirannya. Sementara itu, Jingga yakin kalau dia adalah salah satu orang yang dilihatnya di mimpi. Dia juga ingin memastikan masa depan gadis tersebut, makanya dia mencoba untuk membaca masa depan.

Setelah saling membelakangi, Jingga baru teringat hal yang dilupakannya. “Goblok! Gue lupa dia bisa baca pikiran gue,” gerutunya dalam hati yang ingin melampiaskan pada dunia dan semesta yang malah bisa melupakan ingatannya untuk sementara.

Irene mendadak berhenti mendengar pikiran itu. Dia membelalakkan mata. Kemudian, dia memutar kepalanya ke belakang dan bisa melihat dengan jelas kalau punggung gadis rambut gelombang tadi belum beranjak dari tempatnya.

“Anjir, gue ngomong apa sih!” batin Jingga lagi yang segera menyalakan mesin motornya. Dengan satu kali tarikan gas juga, dia pergi dari tempat ini dengan terburu-buru seperti dikejar waktu.

Irene sadar kalau gadis tadi bukan orang biasa. Oleh karena itu, dia berniat untuk menyusul sang puan yang semakin jauh berdasarkan intuisi. Dia yakin kalau instingnya tidak salah. Dia yakin kalau gadis tadi mengetahui identitasnya, tetapi dengan cepat kehilangan jejak karena tidak sebanding. Dia hanya ingat kalau gadis rambut gelombang tadi menggunakan motor. Wajahnya mungkin samar-samar diingat.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status