Sebuah mobil berwarna putih diparkir di halaman depan rumah yang besar dan hanya memiliki satu lantai saja. Seorang laki-laki yang mengenakan kemeja putih dimasukkan dalam celana baru saja keluar dari mobil yang dikendarainya. Di tangan, dia membawa sebuah keranjang berisi buah-buahan segar yang dibeli sebelum ke sini. Langkah kakinya menuju ke arah pintu rumah yang saat ini tertutup rapat. Dari luar, rumah itu seperti tidak berpenghuni.
Lelaki itu berhenti di depan daun pintu. Satu tangannya kemudian menekan bel yang sejajar dengan gagang pintu. Bel berdering tiga kali yang bisa didengar dari dalam rumah. Dia hanya menunggu pemilik rumah yang membukakan pintu untuknya. Dia sangat yakin kalau pemilik rumah pasti ada di naungannya.
Tidak lama kemudian, gagang pintu bergerak. Pintu terbuka setengahnya, kemudian muncul seorang laki-laki hidung mancung yang kelihatan dari balik pintu. Rupa wajahnya hampir seiras dengan lelaki yang mengenakan kemeja putih tersebut. Jika dilihat dari dekat, bibirnya tampak kering dan pucat. Wajahnya juga tampak lemah dan tidak semangat. “Kak?” ucapnya dengan lesu.
“Lo udah baikan, Dev?” ujar lelaki yang mengenakan kemeja putih setelah dipanggil tadi. Dia kemudian mengajukan pertanyaan mengenai keadaan sang adik yang hari ini tampak tidak baik-baik saja.
Devin―nama yang disebut kakaknya―membuka pintu lebih lebar sebelum mengajak Kevin masuk ke dalam rumah dan berbincang-bincang dengannya. “Udah mendingan sih, Kak Kev. Gak terlalu parah juga dibandingkan pagi tadi,” jawabnya yang kini meminta sang kakak tertua agar tidak khawatir. Dia melanjutkan, “Silakan masuk, Kak!”
Kevin menjejakkan kaki di lantai rumah setelah diizinkan oleh sang pemilik rumah. “Gue dengar dari papa kalau penyakit lo kambuh lagi, makanya gue ke sini. Gue khawatir banget,” balasnya selagi melangkahkan kaki saat diajak adiknya ke ruang utama. Saat mereka berada di ruang utama, dia berkata, “Papa bilang juga gue harus sering-sering ke sini buat jagain lo.”
Devin duduk, diikuti Kevin yang juga duduk di sofa seberang. “Gak perlu khawatir, Kak. Aku juga bisa jaga diri selama papa di luar kota. Ngomong-ngomong, kakak ipar gak ikut?” jawabnya yang meminta sang kakak untuk tidak perlu merasa bimbang. Dengan cepat pula, dia mengalihkan subjek pembicaraan seperti membanting setir ke arah lain.
“Justru itu gue semakin bimbang sama keadaan lo. Lo tuh udah lama ngalamin kejadian ini sampai sekarang. Pasti sakit ‘kan,” kelit kakaknya yang memutarbalikkan fakta. Untuk pembicaraan ini, dia tidak akan mudah terpengaruh pada pertanyaan adiknya yang mencoba untuk mengalihkan topik.
Devin mengembuskan napas. Untuk saat ini, dia sudah dipastikan kalau dia kalah berdebat dengan kakaknya. Kevin selalu bisa menemukan celahnya dan karena itu kadang-kadang dia tidak bisa berkutik serta mengarang lagi. “Mau gimana lagi, Kak. Aku juga gak ngerti sama penyakit ini,” jawabnya dengan nada muram. Dia kemudian bangkit dari tempatnya dan menawarkan sesuatu kepada kakaknya, “Mau dibuatin kopi?”
“Gak perlu, Dev. Gue bisa buat sendiri. Lo masih belum sembuh total,” balas Kevin yang menolak tawarannya, juga ikut berdiri dari tempat.
“Gak apa-apa kok, Kak. Aku juga udah agak baikan,” balas Devin yang mencoba menenangkannya. Dia merasa tidak enak hati kala meminta kakak yang dihormati malah membuat kopi sebagai teman bicara. Sebagai pemilik rumah, dia harus menghormati tamunya sekalipun itu kakaknya sendiri. “Tunggu bentar ya. Aku bakal kembali!” tambahnya lalu berbalik badan sebelum mendengar tanggapan Kevin.
Ditinggalkan sendirian oleh sang adik, Kevin mengedarkan pandangan ke seluruh bagian dalam ruang utama. Dia sudah meninggalkan rumah ini sejak lima tahun yang lalu setelah menikah. Mendadak dia merindukan suasana rumah yang dulu dihuni oleh Keluarga Prabuwicaksana yang bahagia. Kini, tinggal Devin dan papanya saja yang tidak ingin meninggalkan naungan.
Satu potret ukuran raksasa berada di dinding rumah. Potret sebuah keluarga bahagia yang tersenyum di depan kamera sebelum satu per satu meninggalkan rumah. Potret Kevin dan Devin yang bersebelahan dan mengenakan pakaian batik bersama orang tuanya. Itu terjadi dua bulan sebelum mamanya meninggal dunia.
Beberapa saat kemudian, telinganya mendengar suara pecahan kaca yang berasal dari arah belakang. Secepat kilat juga Kevin mengalihkan pandangan ke asal suara dan mengira-ngira apa yang sedang terjadi. Dia terkejut. “Devin?” panggilnya yang ingin tahu keadaan sang bungsu di sana.
Tidak ada jawaban dari pemilik nama. Setelah pecahan kaca itu terdengar, mendadak hening. “Devin?” panggilnya lagi yang ingin memastikan ulang. Namun tetap sama, tidak ada jawaban. Oleh karena itu, dia bangkit dari tempatnya dan bergegas menuju sumber suara. Rasa khawatirnya kembali muncul.
Di dapur, Devin tergeletak di lantai bersama pecahan kaca yang tidak jauh dari tubuhnya. Wajahnya memerah dan terdengar rintihan yang baginya amat sakit untuk diterima. Dia meringkuk seperti udang rebus. Laju napasnya semakin lama terdengar semakin cepat, seperti kehabisan oksigen.
“Devin! Lo kenapa?” Muncul dari balik dinding, Kevin yang memergokinya berseru kaget. Dia bergegas menghampiri sang adik dengan wajah panik. “Lo kambuh lagi?” tanyanya dengan diiringi rasa khawatir.
“Kak …,” panggilnya yang kemudian diikuti tetesan air mata yang keluar dari kantung mata. Dia ingin berkata sesuatu kepada Kevin, namun mulutnya tidak mampu untuk mengucapkan sebarang kata.
Berkat bantuan Kevin, Devin sekarang berada di atas ranjang tidur double size. Ruang tidur ini tidak terlalu besar untuk bisa ditempati Devin sendirian. Ruang tidur kakaknya juga tidak terlalu besar atau hampir sama dengannya. Dia ditinggalkan sendiri oleh Kevin karena kakaknya pergi ke dapur untuk membawakan segelas air untuknya.
Lelaki berwajah pucat itu terbaring lemah. Energinya seolah terkuras dari dalam tubuh dan dia tidak mampu bangkit lagi. Keadaannya benar-benar memprihatinkan bagi seorang lelaki yang usianya masih muda.
Kevin muncul dari balik pintu dengan membawakan dua buah gelas di atas nampan. Segelas air putih untuk Devin dan segelas kopi untuk dirinya yang tadi ingin dibuat sang adik. Dia menyajikan minuman itu di atas meja kecil sebelah tempat tidur. “Minum obat lo sering-sering,” titahnya saat menempatkan tulang duduk di tepi ranjang.
“Makasih, Kak. Maaf kalau jadinya ngerepotin,” balas Devin yang mengucapkan rasa syukur. Berkat bantuan kakaknya, kekacauan yang dibuatnya tadi beres dengan mudah.
“Lo juga udah dibilang ‘kan, tapi lo aja yang gak mau ngedengerin gue.”
Devin tersenyum di balik bibirnya yang pucat. Dia merasa terhibur dengan ocehan kakaknya yang mungkin akan bisa didengar setiap hari. “Gak apa-apa, Kak. Kan capek juga bawa mobil dari Bekasi.”
“Terus kalau udah gini, lo gak mau dibawa ke rumah sakit?”
Lelaki itu menggelengkan kepala sebagai jawabannya. Dia mencoba memalingkan muka dan mengalihkan tatapan dari bola mata kakaknya yang saat ini sedang mengawasi keadaan dengan wajah serius. “Kayaknya bakalan sama aja, Kak. Dokter bilang tulang aku gak apa-apa, organ dalam juga gak apa-apa. Tapi rasanya kayak remuk di dalam. Aneh banget,” keluhnya.
“Kapan lo sembuh kalau gini mulu kejadiannya,” ujar Kevin yang kemudian mengembuskan napas dengan lemah. Devin memilih diam dan tidak menjawabnya sama sekali.
*
Jingga baru saja keluar dari toko roti setelah memenuhi permintaan ibunya. Hari ini, dia diminta dibelikan roti tawar dan roti selai kacang untuk camilan. Dia yang membawa satu kantung plastik ukuran besar di tangan kemudian menuju area parkir yang ada di depan toko. Langkahnya menuju satu motor matic yang tergantung helm cokelat di spion kanan.
Secara kebetulan, Irene juga ada di bahu jalan dan sedang berjalan kaki setelah bangun tidur. Pagi-pagi buta, dia ingin menyegarkan tubuh dan juga pikiran akibat hanya bisa tidur selama tiga jam. Perumahan tempat ia tinggal juga tidak jauh dari bahu jalan ini, makanya dia berjalan kaki saja daripada naik kendaraan.
Mereka berpapasan di area parkir saat Jingga baru saja menggantungkan barang bawaan ke gantungan motor. Dia juga sempat bertatapan mata dengan gadis kulit putih tersebut. Bola mata mereka bertemu secara langsung.
Membaca objek masing-masing, mereka tahu apa yang sedang dipikirkan. Di pikiran Irene, dia bisa melihat dengan jelas kilasan dirinya bersama gadis itu yang saling menatap tajam. Dia juga melihat mereka beradu mulut karena berbeda pendapat. Mereka juga bertengkar dan saling melontarkan ejekan.
Kilasan itu membuat Irene bingung dan tidak mengerti apa yang baru saja datang di pikirannya. Sementara itu, Jingga yakin kalau dia adalah salah satu orang yang dilihatnya di mimpi. Dia juga ingin memastikan masa depan gadis tersebut, makanya dia mencoba untuk membaca masa depan.
Setelah saling membelakangi, Jingga baru teringat hal yang dilupakannya. “Goblok! Gue lupa dia bisa baca pikiran gue,” gerutunya dalam hati yang ingin melampiaskan pada dunia dan semesta yang malah bisa melupakan ingatannya untuk sementara.
Irene mendadak berhenti mendengar pikiran itu. Dia membelalakkan mata. Kemudian, dia memutar kepalanya ke belakang dan bisa melihat dengan jelas kalau punggung gadis rambut gelombang tadi belum beranjak dari tempatnya.
“Anjir, gue ngomong apa sih!” batin Jingga lagi yang segera menyalakan mesin motornya. Dengan satu kali tarikan gas juga, dia pergi dari tempat ini dengan terburu-buru seperti dikejar waktu.
Irene sadar kalau gadis tadi bukan orang biasa. Oleh karena itu, dia berniat untuk menyusul sang puan yang semakin jauh berdasarkan intuisi. Dia yakin kalau instingnya tidak salah. Dia yakin kalau gadis tadi mengetahui identitasnya, tetapi dengan cepat kehilangan jejak karena tidak sebanding. Dia hanya ingat kalau gadis rambut gelombang tadi menggunakan motor. Wajahnya mungkin samar-samar diingat.
***
Menempuh seribu langkah dengan berlari dan membawa perasaan yang tidak tenang, Jingga menyusuri bahu jalan sambil sesekali memutar arah kepala ke belakang. Dia sedang panik dan butuh diselamatkan seseorang yang berbaik hati menawarkannya bantuan. Napasnya juga tersengal-sengal karena harus menggunakan energinya lebih sering.Sepertinya ide untuk meminta bantuan akan terasa sia-sia saja jika dilakukan. Suasana di kota sekarang amat sepi dan mencekam. Tidak ada orang, tidak ada kendaraan darat, bahkan tidak ada toko yang buka. Kota ini tampak seperti kota mati yang tidak dihuni warganya karena pindah ke daerah lain.Alasan gadis itu berlari seperti dikejar anjing adalah karena sosok yang sedang mengejarnya di belakang. Ketika pandangannya berputar lagi ke arah belakang, sosok bertudung hitam dari atas kepala hingga ujung kaki mengejarnya. Tanpa mengenal kata ampun pula padahal gadis itu sudah merasa lelah. Dia tadinya ingin berhenti dan menyerahkan diri, namun kala melih
Pemandangan yang gelap gulita beberapa saat sebelumnya perlahan semakin terang, hingga menyilaukan mata. Bersamaan dengan itu, terdengar suara langkah kaki yang disertai suara pijakan ranting kayu. Suara itu muncul bersamaan hingga kesadaran seseorang terpanggil kembali.Jingga membuka dua mata dan menyesuaikan diri dengan cahaya. Dia yang mencoba mengumpulkan kesadarannya baru saja menyadari kalau kepalanya tadi bersandar di bahu seseorang. Melihat ke arah samping, dia mendapati Jeslyn yang saat itu sedang menatapnya dengan penuh tanda tanya.Masih membawa rasa penasaran, Jingga memutar kepala ke belakang. Bukan hanya dirinya saja, tapi dia bersama enam orang yang terjebak di lapangan terbuka bahkan tidak tahu keberadaannya. Ada Irene, Rama, Devin, Alden dan seorang gadis dengan baju lengan panjang. Persis di dalam mimpi.Di lapangan ini dibatasi beragam pohon bercabang seperti hutan. Mereka yang tidak mengenal satu sama lain sudah jelas kebingungan. Mereka jug
Menyusul Jingga yang masih membawa kantung kertas di belakang, Alden yang menjelang sore itu berada di kawasan Perumahan Nusantara. Setelah pertemuan tidak biasa yang terjadi di lapangan terbuka beberapa saat sebelumnya, lelaki yang bahunya sama tinggi dengan puncak kepala Jingga menawarkan diri untuk pulang bersama. Ketika ditanya, alasannya adalah dia ingin mengunjungi rumah sang puan dan bertemu orang tuanya.Alasan lain yang lebih masuk akal sebenarnya adalah dia ingin melihat-lihat keadaan perumahan itu sekarang. Sekaligus bernostalgia dan mengingat kenangannya yang pernah tinggal di sini waktu kecil. Dia lahir dan dibesarkan bersama lingkungan sekitar dan warga Perumahan Nusantara. Oleh karena itu, dia bisa berteman akrab dengan Jingga sampai masuk SMP.Seperti sekarang saat membuntuti sang puan di belakang. Dia sedang mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Selama pengamatan, dia sadar kalau kondisi perumahan ini sudah jauh berbeda dibandingkan keadaan beberapa t
Saat jarum pendek jam dinding menunjuk ke angka empat dan jarum panjang naik sedikit dari angka sembilan, Devin baru saja keluar dari kamar kecil di dalam ruang tidurnya. Dia yang sendirian sedang melangkahkan kaki menuju cermin yang berada di sebelah lemari. Melalui pantulan cermin, dia melihat bayangan dirinya yang kini dengan sorot mata cerah dan bibir yang tidak kering. Mirip seperti bunga yang baru mekar.Dia saat ini tinggal sendirian di dalam rumah. Kevin yang biasa menemaninya saat sang kepala keluarga di luar kota tidak terlihat untuk sementara waktu. Dia juga baru saja mendapat kabar kalau besok ayahnya pulang, dan besok juga Kevin harus pulang ke Bekasi.Dia yang sedang bercermin sekarang menatap bayangan dirinya dengan wajah bingung. Ada yang berbeda dan itu membingungkan pikiran yang mungkin butuh waktu lama untuk bisa mencerna segala kejadian. Dia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi, makanya saat keluar dari kamar mandi tadi dia butuh jawaban pasti.
Pulang dari halte bus, Jingga sedang dalam perjalanan pulang menuju rumahnya yang terletak di komplekas perumahan persis di pusat kota. Bagi warga Jakarta, mencari tempat tinggal dengan harga yang terjangkau bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Semuanya bisa ditemukan dengan mudah, dibantu pula dengan internet yang semakin canggih. Di perumahan itu sendiri, hampir semua kepala menitipkan anggota keluarga. Bulan depan pula mereka akan kedatangan tetangga baru.Setelah mengantarkan Alden ke pemberhentian bus, dia langsung pulang ke rumah tanpa memikirkan tujuan lain. Di dalam kepala, dia sudah membayangkan apa yang akan dilakukan. Hal yang paling utama adalah mandi dan membersihkan diri setelah berada di luar rumah hampir seharian. Dia juga sudah memikirkan kalau dia akan tidur sebentar setelah mandi. Membayangkan rencana indah itu membuat jantungnya berdebar dan tidak sabar menanti.Dia yang sudah masuk ke halaman depan rumah mengulurkan tangan ke arah gagang pintu yan
Lapangan terbuka yang dikelilingi deretan pohon bercabang banyak menjadi tujuan kedatangan tujuh pemuda yang diundang langsung oleh Sagara. Tempat ini adalah tempat yang sama saat mereka dipaksa melawan sosok jubah hitam dan berwajah menyeramkan yang juga dibawa oleh Sagara. Mereka duduk bersebelahan sembari menunggu insan yang belum kelihatan batang hidungnya.Lapangan ini terletak di pinggir kota Jakarta. Bagi mereka yang tinggal di pusat kota, mereka harus naik bus untuk bisa sampai ke pemberhentian terdekat dari lapangan dan berjalan kaki. Tempat ini bisa disebut sebagai tempat yang sepi dari penduduk pinggiran. Jarang ada yang mengetahuinya dan lebih bisa disebut sebagai tempat terbengkalai.Untuk saat ini, Sagara belum kelihatan dan mereka sedang menunggunya. Selagi menunggu, mereka berkenalan dengan masing-masing kepala dan menanyakan nama. Termasuk juga berkenalan dengan gadis yang mengenakan baju lengan panjang bernama Mentari. Setelah itu, mereka mengobrol ba
“Selanjutnya!”Berselang setelah seruan Sagara berakhir walau hanya satu kata saja, Mentari yang diminta ke depan dan menghadap teman-teman barunya kembali ke tempat. Meninggalkan Alden yang masih berdiri di sebelah Sagara. Lelaki itu sedang menarik napas panjang sebelum bersuara dan mengenalkan diri kepada beberapa pasang mata yang memperhatikannya.Pertemuan baru saja dimulai bagi anggota Fantasy Club yang bergabung, namun posisi sang matahari semakin menjorok di ufuk barat dan tidak lama lagi akan menghilang dari langit. Masih ada sedikit waktu untuk memperkenalkan diri dan berbagi informasi.Setelah mengembuskan napas, dia menaikkan sudut bibir dan tersenyum kepada mereka dengan wajah bersahabat. “Selamat sore, semuanya. Saya Alden dan usia saya tahun ini 22 tahun. Salam kenal juga. Kemampuan saya bisa mengalirkan energi listrik dari ujung jari. Sekian dan terima kasih,” ucapnya yang menyebutkan nama dan informasi penting lain.
Pertemuan yang berlangsung selama dua jam bagi anggota Fantasy Club telah berakhir. Setelah saling mengenal dengan sesama anggota, mereka diminta berlatih menggunakan kemampuan oleh Sagara. Sampai pertemuan mereka resmi berakhir, anggota seperti Jeslyn, Alden dan Rama diminta memisahkan diri dari anggota lain dengan dibimbing oleh Sagara.Sementara itu, anggota lain memilih duduk di bawah pohon. Khususnya Devin yang sedang memulihkan diri setelah mengorbankan tenaga. Setelah pembuktian diri tadi, dia diminta Sagara untuk istirahat penuh agar bisa mengisi ulang tenaga. Menurut pria itu, duplikatnya membutuhkan banyak energi. Makanya pula dia tidak boleh sakit.Mereka yang akan berpisah sebentar lagi saling berbicara satu sama lain selagi menyusuri bahu jalan. Sore ini, tidak banyak kendaraan darat yang melintas di jalan kecil. Menjelang mentari terbenam juga, warga yang berjalan kaki juga tidak banyak. Sudah menjadi hal yang biasa jika penduduk kota berada di dalam ruma