Share

2

“Hei, apa kalian sudah bertemu dengan AE baru kita?” tanya Ririn pada staff operasional yang baru kembali dari lapangan.

“Kalau aku sih sudah mbak,” jawab Nina, satu-satunya staff wanita di bagian operasional dengan logat jawanya yang kental.

Area resepsionis yang berfungsi sebagai area kerja memang berjarak sangat dekat dengan area operasional. Antara area operasional dan meja resepsionis hanya di batasi oleh dinding semi permanent yang di jadikan latar belakang area resepsionis.

Untuk sampai ke area operasional, Ririn cukup berbalik badan dan mengambil dua langkah keluar dari areanya, maka dia sudah berada di area operasional.

Sudah menjadi sifat dasar seorang wanita memang untuk berceloteh dan bercerita, tidak terkecuali dengan Ririn. Sebagai pusat informasi dan gerbang GP, sering kali ia mendapatkan informasi-informasi yang orang lain tidak dapatkan.

Banyak sudah orang yang mampir di mejanya dan meluangkan waktu untuk sekedar menyapa maupun berbagi cerita. Dimana ia merekam dan mengumpulkan informasi yang disampaikan kepadanya. Ririn ibarat mata dan telinga GP. Hampir tidak ada hal yang tidak ia ketahui.

Meskipun berbagi cerita dengan pria tidak seseru bercerita dengan wanita, Ririn tetap suka berbagi cerita dengan staff operasional yang kebanyakan laki-laki. Namun semua terasa lebih menyenangkan semenjak Nina bergabung sebagai staff operasional tujuh bulan yang lalu.

“Dengar-dengar dia dari Jakarta ya? Tapi sepertinya saya belum pernah bertemu dengannya.” Gumam pak Umar yang keluar dari ruangannya dan turut serta dalam percakapan.

“Bukannya minggu lalu bapak sedang cuti? Lalu setelahnya bapak juga terus sibuk di lapangan.” Ucap Nina mengingatkan.

“Oh, benar juga.” Pak Umar mengiyakan.

“Waktu itu sepertinya hanya Krisna yang sempat berkenalan dengan Alma. Iya kan Kris?” tanya Ririn pada seorang pria berkacamata pemilik meja yang saat ini sedang Ririn hampiri.

Pria itu melirik sekilas kepada Ririn sembari memperbaiki letak kacamatanya yang mulai melorot. “Mungkin, aku tidak begitu memperhatikan.” Jawab pria bernama Krisna itu.

Krisna tampak acuh meladeni pembicaraan rekan-rekannya dan tetap fokus pada layar komputer di depannya sambil sesekali mengetik sesuatu.

“Ah, kau sok sibuk sekali.” Cibir Ririn yang di balas Krisna dengan wajah meledek.

“Oh iya Rin, siapa tadi nama AE barunya?” tanya pak Umar lagi.

“Namanya Alma pak, Alma Rinjani.” Jawab Ririn.

“Wah, namanya cantik ya, apa secantik orangnya?”

“Jangan di tanya pak, cuantik tenan...” kali ini giliran Nina yang menjawab.

Dalam benaknya, Kris mencoba untuk mengingat kembali sosok yang Ririn tanyakan. Sepertinya memang saat itu pak Rommel memperkenalkan seorang staff baru, namun ia tidak begitu memperhatikannya karena saat itu sedang menerima telpon dari klien. Tapi apakah dia memang secantik itu?

Ntah lah, Krisna tidak begitu ingat. Namun ia masih bisa membayangkan wangi parfum yang saat itu sempat menarik perhatiannya. Sebuah aroma yang manis sekaligus segar.

“Wah, kalau begitu sepertinya saya harus lebih sering mampir ke lantai tiga” timpal Pak Burhan yang terkenal genit.

Mendengar perkataan pak Burhan membuat Ririn secara terang-terangan mengamati pak Burhan dari ujung kaki ke ujung kepala lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

 “Hmm, sepertinya lebih baik bapak menyerah karena bapak nampaknya sama sekali tidak punya harapan.” Ucap Ririn dengan wajah yang serius yang di sambut oleh senyum geli orang-orang.

“Hush! Sembarangan kamu, gini-gini aku dulu itu idola para wanita.” Sembur pak Burhan.

“Iya deh pak, saya percaya. Bapak bohong pun saya akan tetap percaya sama bapak.” Ledek Ririn lagi.

Tulililit... Tulililit...

Telepon di meja Krisna tiba-tiba berdering membuat semua orang terdiam sesaat.

“Halo, dengan Krisna.” Sapa Krisna pada orang di seberang telepon.

“Halo Kris, ini aku Frans.”

“Oh, halo Frans, ada apa?”

“Aku dengar hari ini kau ada kunjungan ke TIG”

“Iya, kenapa?”

“Begini, hari ini aku di minta pak Rommel untuk mengantarkan Alma ke TIG, tapi aku masih punya kontrak yang harus ku urus. Apa kau bisa tolong gantikan aku untuk mengantar Alma? Kau cukup antarkan saja dia dan kenalkan pada pak Winar, nanti pulangnya biar aku yang jemput.” Pinta Frans.

“Oh, oke. Kalau begitu tolong tanyakan Alma apa dia sudah siap? Sepertinya aku akan berangkat sekitar tiga puluh menit lagi.”

“Sepertinya sudah. Nanti aku akan minta dia untuk turun menemuimu mungkin dalam dua puluh menit lagi?”

“Oke, aku tunggu.”

“Oke, terima kasih Kris.” Ucap Frans lalu memutuskan sambungan telepon.

Mendengar nama Alma disebut, orang-orang saling berpandangan penuh harap untuk dapat bertemu dengan Alma. Terutama para pria yang berharap untuk bisa sekedar cuci mata setelah sehari-hari di kelilingi oleh pria-pria berpeluh bau matahari. Kehadiran wanita cantik tentunya merupakan suatu pemandangan yang menyegarkan bagi mata mereka.

Dan betul saja, dua puluh menit kemudian, sebuah kaki jenjang berbalut rok ketat selutut melangkah keluar dari lift diringi oleh ketukan sepatu hak tinggi. Setiap langkah yang Alma buat seakan-akan dilakukan secara mode lambat di mata para pria yang sedari tadi sudah berharap.

Rambut Alma kini diikat ekor kuda, berayun-ayun seiring dengan langkahnya. Riasannya sederhana, bibirnya dipulas dengan warna yang lebih lembut dari biasanya, namun tetap terlihat menggoda, penuh dan lembab. Menarik perhatian semua pria yang memandangnya seakan mengajak mereka untuk mencicipinya. Sementara harum parfum yang sebelumnya Krisna cium kini membelai indra pencium semua orang.

“Halo mbak Alma, mbak kelihatan cantik sekali hari ini” puji Ririn.

“Ah, kau bisa saja Rin,” balas Alma malu-malu.

“Benar loh mbak, iya kan Nin?” ucap Ririn minta persetujuan Nina.

“Bener mbak, harum lagi.” Tambah Nina membuat Alma semakin tersipu.

“Terima kasih, kalian juga terlihat tidak kalah cantik” Alma balas memuji.

“Oh iya mbak, kebetulan mbak ada disini, mari aku kenalkan dengan staff operasional yang belum sempat mbak temui.” Ajak Ririn menggiring Alma menuju pak Umar.

“Ini pak Umar, dia manager operasional disini.”

“Halo, maaf sepertinya kemarin saya belum sempat bekenalan dengan semuanya. Perkenalkan saya Alma Rinjani yang kini bertugas sebagai AE baru di bawah pak Rommel.” Sapa Alma ramah pada semua yang hadir.

Melihat penampilan Alma, lekuk tubuhnya, caranya berbicara membuat mata pak Burhan hampir meloncat keluar.

“Pak Burhan, nafas pak, kedip, nanti matanya sakit.” Ledek pak Umar yang membuat pak Burhan tersipu malu. “Halo Alma, saya Umar yang bertanggung jawab atas segala kegiatan operasional GP di Batam. Maaf ya kita baru bisa bertemu, maklumburuh lapangan” canda pak Umar sambil menyodorkan tangannya.

 “Halo pak Umar. Iya pak, tidak apa-apa. Lain kali saya akan lebih sering mampir kesini supaya bisa sering bertemu dengan bapak saya.” Ucap Alma sambil menjabat tangan pak Umar yang gemuk, serasi dengan tubuhnya yang gempal. “Mohon bantuan dan kerjasamanya ya pak.” Lanjutnya sambil tersenyum manis.

“Lho jangan, nanti kamu naksir sama saya bahaya. Haha...” canda pak Umar lagi.

“Pak Umar nih ngawur, aku bilangin ibu lho” ancam Nina yang memang lumayan dekat dengan ibu Umar yang sesekali mampir ke kantor untuk membawakan bekal makanan untuk pak Umar.

“Bercanda Nina. Payah kamu ah, dikit-dikit ngadu ke ibu” pak Umar pura-pura menggerutu lalu beralih kembali kepada Alma.

Kali ini ganti pak Burhan yang mengambil posisi untuk menjabat tangan Alma.

“Halo Alma, saya Burhan. Kalau butuh bantuan apa-apa kamu bisa minta sama saya.” Ucap pak Burhan genit sambil menahan tangan Alma dalam genggamannya, membuat Alma meringis.

“Oh, iya pak Burhan, salam kenal.” Balas Alma sambil masih berusaha melepaskan tangannya dari genggaman pak Burhan.

“Gak boleh lama-lama pak, bukan muhrim!” celetuk Nina jengkel sambil menarik tangan pak Burhan jauh-jauh.

“Ah, kau Nin, gak bisa kali lihat orang senang.” Gerutu pak Burhan dengan logat Medannya sementara Alma memandang Nina dengan penuh terima kasih.

“Oh iya, ngomong-ngomong kamu ada perlu apa kemari?” tanya pak Umar pada Alma pura-puta tidak tahu.

“Kebetulan saya ada janji dengan Krisna, apa dia ada?”

“Itu dia orangnya sedang memelototi kamu.” Tunjuk pak Umar pada Krisna yang mukanya langsung memerah. Tertangkap basah memandangi Alma diam-diam. Padahal sebelumnya ia bersikap acuh tak acuh.

“Oh, hai. Maaf, saya Krisna,” Krisna akhirnya memperkenalkan diri dengan salah tingkah dan mengulurkan tanganya dari balik kubikelnya.

“Halo, saya Alma. Maaf, tadi saya tidak lihat kamu.” Ucap Alma sambil membalas jabatan tangan Krisna.

“Tidak apa-apa. Kita berangkat sekarang?”

“Oke.”

“Kalau begitu kami permisi dulu semuanya,” pamit Krisna.

***

Di perjalanan menuju TIG, diam-diam Krisna kembali memperhatikan Alma. Ternyata benar apa yang dibicarakan oleh mereka, Alma terlihat secantik namanya. Semua bagian dirinya seakan mengandung magnet, seakan memaksa setiap orang untuk memalingkan wajah dan menatapnya.

 “Sudah berapa lama kau bekerja di sini?” tanya Alma membuka percakapan.

“Sekitar lima tahun.” Jawab Krisna yang langsung mengalihkan pandangannya ke jalan.

“Apakah TIG jauh?”

“Tidak juga, kira-kira dua puluh atau tiga puluh menit.”

“Oh iya, TIG itu apa? Aku lupa.”

“Trans Indo Gas.”

“Oh... apa kau masih perjaka?”

Pertanyaan diluar dugaan itu sungguh mengejutkan Krisna dan hampir saja membuat mereka celaka.

Wanita mana yang tiba-tiba mempertanyakan keperjakaan seorang pria di hari pertama mereka bertemu?! Sepertinya wanita ini sudah tidak waras! Batin Krisna.

 “Maaf, maaf. Aku hanya bercanda.” Ucap Alma tidak bersungguh-sungguh karena ia masih sempat tertawa melihat reaksi Krisna yang berlebihan.

 “Apa kau memang biasa bercanda seperti itu dengan pria?” tanya Krisna kesal.

“Hanya jika di perlukan.”

“Dan apakah menurutmu pertanyaan itu diperlukan saat ini?”

“Bisa jadi”

“Apa maksudmu bisa jadi kita celaka?!” sungut Krisna.

“Hei, aku kan sudah minta maaf. Lagi pula apa sih yang membuatmu tegang?

Kau penyebabnya. Memangnya siapa lagi! Gerutu Krisna dalam hati.

“Jangan pernah mengulanginya!” tuntut Krisa.

“Baik, asalkan kau berhenti bertingkah seperti robot.”

Dan untuk sementara, keadaan kembali terkendali.

“Sudah berapa lama kau bekerja di sini?” Kali ini ganti Frans yang coba membuka pembicaraan.

“Baru tiga tahun.” Jawab Alma singkat.

“Apa kau satu angkatan dengan Frans?”

“Ya. Aku dan Frans dulu bekerja di tim yang sama di kantor pusat di Jakarta sampai ia dipindahkan ke Batam.”

“Oh ya? Apa kau kenal dekat dengan Frans?”

“Bisa di bilang begitu. Kenapa kau tertarik?”

“Maksudnya?”

“Kenapa kau tertarik mengenai aku dan Frans”

“Tidak juga. Aku hanya merasa kau terlihat paling akrab dengannya.”

“Oh ya? Bagaimana kau bisa berpikiran seperti itu?”

“Aku pernah melihat kalian berdua.”

“Hah?”

“Di area merokok tempo hari. Aku sedang menuju lantai satu dari basement menggunakan tangga, dan melihat kalian disana.”

“Oh,” Alma merasa tidak ada lagi yang bisa ia ucapkan selain ‘oh’, karena mobil juga sudah mulai memasuki sebuah gerbang besar dan tinggi yang di jaga oleh dua staff keamanan.

“Selamat siang, ingin bertemu dengan siapa pak?”

“Siang, kami dari Gas Petrosindo ada janji untuk bertemu dengan pak Wilmar.”

“Baik pak. Silahkan di isi dulu daftar tamu ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status