Share

3

Jam di pergelangan tangan Alma sudah menunjukkan pukul tiga sore lebih delapan belas menit. Pertemuannya dengan pak Wilmar sudah berakhir dua puluh lima menit yang lalu dan berjalan lancar. Dan kini ia terduduk di lobby menunggu Frans menjempua sesuai janjinya.

Drrt....Drrt....

Posel di dalam tas tangan Alma bergetar, sebuah panggilan masuk dari Frans.

“Halo Frans,” sapa Alma.

“Hai Alma, aku sudah di depan gedung. Apa kau bisa berjalan keluar?” tanya Frans dari seberang telepon.

“Oh, oke. Aku segera kesana.” Alma memutuskan sambungan teleponnya dan langsung berjalan keluar dari area gedung.

“Kita mau kemana lagi?” tanya Alma begitu memasuki mobil dan mengenakan sabuk pengamannya.

“Ke Stasiun Panaran, tempat transmisi gas. Nanti kau mugkin juga perlu datang kesana sesekali.”

“Hmm, oke.”

Sepanjang perjalanan, Alma sibuk memperhatikan keadaan kota Batam yang jauh berbeda dari Jakarta. Memasuki pusat kota, lalu lintasnya lumayan padat namun masih tergolong normal.

Tidak seperti Jakarta yang di kelilingi oleh gedung-gedung pencakar langit, Batam lebih banyak di kelilingi oleh hutan pepohonan dan lahan kosong yang masih hijau serta tumbukan batu alam. Dan yang lebih menyenagkan, Batam memilik lebih banyak pantai daripada mall dan pusat perbelanjaan.

Sungguh hal yang sangat menyenangkan sebagai awal yang baru bagi Alma yang memang menyukai laut beserta isinya.

Untuk sampai ke Panaran, mereka harus melalu jembatan Barelang yang merupakan ikon kota Batam. Jembatan Barelang adalah sekumpulan jembatan yang menghubungkan pulau-pulau yaitu Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru di daerah Batam, provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Masyarakat setempat menyebutnya "Jembatan Barelang".

Jembatan Barelang membentang diatas lautan luas dengan warna air biru gelap. Pemandangan yang indah sekaligus mengerikan membayangkan betapa dalamnya laut tersebut.

Memasuki jembatan ke empat, pemandangan laut mulai tergantikan dengan bongkahan dinding dari batu kapur membuat suasana semakin gersang.

Tidak lama mobil pun memasuki sebuah jalan kecil di sisi jalan utama dan memasuki gerbang keamanan.

“Siang pak Frans.” Seorang staff keamanan menyapa Frans dengan sikap hormat dari balik kaca mobil.

“Siang pak, di atas ada siapa aja pak?”

“Di atas hanya ada pak Krisna.”

“Oke, terima kasih pak.” Ucap Frans lalu mengemudikan kembali mobilnya menyusuri sebuah jalan menanjak lalu akhirnya sampai di tanah landai yang berfungsi sebagai area parkir.

“Ayo, aku kenalkan kau dengan para operator,” ajak Frans. Alma mengangguk lalu berjalan mengekori Frans dari belakang. Setelah memasuki pintu depan, Frans terus berjalan menuju sebuah ruangan yang terletak di paling ujung dan menyapa dua pria yang sedang duduk di dalamnya.

Melihat kedatangan Frans, mereka pun berdiri dan menghampiri Frans.

“Hai Benny, pak Viktor. Kenalkan ini Alma Rinjani. AE baru di kantor.” Frans memperkenalkan Alma yang berdiri disampingnya pada dua pria yang berdiri di depannya.

Bagaikan bertemu dengan artis, Benny dan pak Viktor beradu cepat menjabat tangan Alma dengan wajah yang terpesona dan mulut hampir menganga.

“Halo bu, saya Viktor. Ibu bisa panggil saya abang Viktor.” Selesai pak Viktor memperkenalkan diri, Benny buru-buru menyelak dan merebut tangan Alma yang masih dalam genggaman Viktor.

“Halo bu, saya Benny. Kalau ibu mau, ibu bisa panggil saya dek Benny.” Melihat penampilan Benny yang lebih tua dari Alma sontak membuat Alma tertawa kecil. Bagaimana mungkin ia memanggil seseorang yang umurnya lebih tua dengan sebutan adik.

“Sudah-sudah, jangan terlalu genit. Nanti ku adukan kalian ke istri kalian,” ancam Frans menyudahi ritual salam menyalami.

“Hehe, sesekali boleh lah pak. Bosan juga setiap hari kalian saja yang berkunjung. Kalau ada bu Alma kan kami jadi lebih semangat sedikit.” Gurau pak Viktor.

“Panggil saja saya Alma, tidak perlu panggil ibu. Saya masih sendiri dan belum jadi ibu,” ganti Alma yang bergurau.

“Wah, kebetulan, kami juga belum jadi bapak, hehe” balas Benny.

“Hei, sedang apa kau duduk sendirian di pojok?” Ternyata selain Benny dan pak Viktor, masih ada Krisna yang sedari tadi duduk diam di sudut ruangan. Kehadirannya tidak disadari karena semua terlalu fokus menyambut Alma.

Krisna memutar kursinya dan mejawab, “tidak ada. Hanya sedang meonton kalian.”

Krisna mungkin terlihat acuh, namun ia tidak pernah bisa benar-benar mengacuhkan Alma. Apa lagi harum parfumnya yang yang seakan selalu selalu menggodanya. Mampu membawa pikirannya berkelana entah kemana sampai ia harus berkali-kali menggelengkan kepalanya untuk mengusir pikiran-pikiran yang mengganggunya itu.

Sementara bagi Alma, dari semua pria yang Alma temui selama di Batam, baru Krisna yang menyambutnya dengan biasa saja. Bahkan cenderung acuh. Namun itu justru menjadi sebuah hiburan bagi Alma. Membuat Alma semakin suka menggoda Krisna.

“Jadi apa saja yang biasa kalian lakukan disini?” tanya Alma memulai kembali pembicaraan.

“Kebanyakan kami memantau tekanan dan aliran gas disini. Disini juga sebagai workshop perbaikan dan penyimpanan beberapa suku cadang.” Jelas Frans.

“Hmm...” Alma berjalan perlahan mengelilingi ruangan dan berhenti tepat di depan Krisna yang terduduk. Dengan kedua tangan terlipat di depan dada, ia membungkukan badannya, membuat matanya hampir sejajar dengan mata Krisna yang menyipit waspada di bali bingkai kacamatanya.

“Bagaimana denganmu, apa yang kau lakukan?” Alma menatap mata Krisna dalam-dalam, mencoba membaca ekspresi yang terlukis di wajah Krisna yang maskulin sekaligus terlihat lugu.

Dari jarak sedekat ini, Alma juga bisa melihat kumis dan janggut tipis yang mulai tumbuh di wajah Krisna. Bibirnya terlihat tipis, membuat Alma bertanya-tanya bagaimana rasanya saat bibir itu dikulum. Dan rambutnya yang ikal, Alma membayangkan suara seperti apa yang akan keluar dari mulut Krisna saat tangannya mencengkram helaian rambut itu.

Alma tersenyum sendiri membayangkan aksi nakalnya. memikirkannya saja sudah membuat mulutnya serasa kering, sehingga ia mencoba menelan ludah. Sementara tubuhnya serasa sedang mengeluarkan zat feromon, bagaikan binatang liar di musim kawin. Alma cukup yakin bahwa Krisna menyadari perubahan suasana saat itu di antara mereka.

Krisna tidak siapa menerima pertanyaan dan perlakuan dari malah terdiam mematung. Dengan jarak sedekat itu, Krisna dapat mencium bukan hanya wangi parfum, namun juga aroma tubuh Alma yang mampu mengacaukan akal sehatnya jika ia tidak melakukan sesuatu.

Tanpa menjawab pertanyaan Alma, Krisna bangkit dari kursinya, memaksa Alma melangkah mundur.

“Maaf, aku sepertinya harus segera kembali ke kantor. Masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.” Krisna pamit kepada semua orang yang ada di sana dan hanya melirik Alma sepintas sebelum berlalu. Meninggalkan Alma yang tersenyum penuh kemenangan.

‘Dasar perempuan gila!’ Krisna membatin sambil membanting pintu mobilnya. Kepalanya bersandar lemah di atas kemudi sambil menghela nafas panjang.

Apa sebenarnya yang ia inginkan. Jika aku tinggal sedikit saja lebih lama... Ya Tuhan, kenapa aku terus membayangkan tubuh dan bibir itu. Aku pasti sudah gila!’

Krisna tidak sanggup lagi melanjutkan hal yang terlintas di benaknya dan mengendari mobil nya cepat-cepat keluar dari stasiun Panaran.

Sebenarnya Krisna tidak membenci Alma, hanya saja entah bagaimana ia selalu merasa terancam setiap kali berada dekat Alma sehingga ia merasa harus selalu waspada jika tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak ia inginkan. Ia harus menjaga kewarasannya.

Namun ia pun meragukan dirinya sendiri. Apakah benar ia tidak menginginkan hal-hal itu? Atau justru ia takut karena ia juga menginginkannya? Sejak kapan ia merasa seperti itu? Apa sejak di area merokok?

Entahlah, yang jelas ia harus hati-hati terhadap Alma dan menjaga jarak.

Krisna berdebat sendiri dengan pikirannya, mencoba menyeret kembali kewarasannya. Memikirkan wanita gilu itu serasa membuat ia ikut tidak waras.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status