Share

6

Malam itu Ririn sudah pasti menjadi orang pertama yang akan diantarkan pulang. Sementara Krisna terlihat membisu sepanjang perjalanan sampai Ririn masuk kedalam rumahnya. Meninggalkan Krisna dan Alma di depan rumahnya yang berdebat mengenai siapa yang berikutnya pulang.

“Ayo masuk, biar aku antar kau pulang” ucap Alma sambil berjalan ke arah pintu pengemudi.

“Tidak perlu, aku bisa pesan taksi.”

“Oh, ayolah. Berhenti bertingkah seperti anak kecil yang merajuk. Aku janji tidak akan berbuat macam-macam.” Ucap Alma bersungguh-sungguh.

“Aku bisa pesan taksi,” lagi-lagi Krisna menolak dengan omongan yang sama bagaikan robot.

 “Ya tuhan, kau keras kepala sekali seperti kakek-kakek!” gerutu Alma. “Pilihannya hanya satu. Kau masuk kedalam mobil lalu aku antar pulang, atau kau mau aku mencumbumu sekarang, saat ini, di tempat ini.” Ancam Alma. “Kalau boleh jujur, aku lebih suka pilihan kedua.”

Krisna menatap tajam Alma dan berkata, “bukankan kau sudah berjanji untuk tidak bertingkah?” tuntutnya.

“Hanya jika kau menjadi anak yang penurut.”

Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya Krisna berbalik dan mengambil posisi di depan pintu kemudi.

“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Alma setelah Krisna menggeser tempatnya berdiri.

“Bukannya kau ingin mengantarku pulang? Biar aku yang mengemudi.” Jawab Krisna.

Setelah berdebat mengenai siapa yang lebih dulu pulang, kali ini mereka lagi-lagi berdebat mengenai siapa yang akan mengmudi.

“Tidak apa, biar aku yang mengemudi.” Desak Alma. “Hitung-hitung berlatih menghafal jalan. Jika kau yang menyetir, bisa-bisa aku ketiduran dan tidak sanggup lagi menyetir pulang atau jangan-jangan nanti malah kau culik!” celetuk Alma.

“Untuk apa aku menculikmu saat aku yakin kau pasti akan dengan senang hati bersedia mengikuti pria mana pun yang memintamu untuk datang kepada mereka.” Cibir Krisna.

“Tidak semua, hanya beberapa.” Alma memperbaiki. “Jadi, apa pilihanmu?” tuntut Alma.

Sepertinya ini juga bukan hal yang buruk untuk membiarkan Alma mengemudi. Jika Alma yang pegang kemudi, tentunya dia akan terlalu sibuk untuk bisa mengganggu Krisna.

“Baiklah, kau yang mengemudi.” Jawab Krisna menyerah dan pindah ke sisi pintu penumpang.

“Anak baik,” puji Alma.

***

Krisna cukup takjub dengan cara Alma mengemudi. Seingatnya, dia belum pernah bertemu wanita mana pun dengan keterampilan mengemudi seperti Alma. Alma dengan luwes memutar, menekan dan menggeser semua instrumen mengemudi dengan penuh percaya diri serta perhitungan yang tepat.

Selain itu, Alma juga berusaha untuk mencairkan suasana dengan mengajak Krisna berbincang ringan. Bertanya tentang hal-hal umum. Bagaimana ia bisa bekerja di GP. Bagaimana perilaku para klien dan mekanisme operasional di Batam, dan topik lain yang sebagian banyak seputar pekerjaan.

Untunglah Krisna kini terlihat lebih rileks dibandingkan sebelumnya. Posisi sebagai AE sepertinya memang cocok untuk Alma. Dengan penampilan dan kemampuan bicaranya, ia bisa sangat persuasif dalam menghadapi lawan bicaranya.

Bagaikan terkena mantra, cepat atau lambat lawan bicaranya akan mengiyakan dan bahkan melakukan apa yang menjadi tujuan Alma. Maka tidak heran ia bisa dengan mudah menyelesaikan masalah pada kontrak TIG. Dan itu jugalah yang terjadi pada Krisna.

Meskipun Krisna sudah berkesan menjaga jarak sejak awal, saat ini situasi antara Krisna dan Alma terlihat sedikit mencair. Terlepas dari kesan sebagai predator seksual, Krisna merasa rupanya Alma juga seorang lawan bicara yang cukup menyenangkan.

“Hei, aku minta maaf kalau aku sudah membuatmu tidak nyaman.” Ucap Alma tiba-tiba. “Sepertinya bercanda ku sudah kelewatan.” Lanjutnya.

Dimata Krisna, Alma sama sekali tdak terllihat seperti orang yang akan dengan mudah meminta maaf atau mengakui kesalahan. Dan permintaan maaf Alma saat ini sama sekali tidak terduga.

“Ternyata selera humormu cukup mengerikan.” Cibir Krisna alih-alih menerima permintaan maaf Alma.

“Hanya pada beberapa orang tertentu, terutama orang ketus.” Sindir Alma tidak mau kalah.

“Aku pikir kau ingin meminta maaf.”

“Dan kau bersikap seakan seakan-akan aku hewan buas yang akan memakanmu hidup-hidup?” ucap Alma sambil memutar matanya.

“Bukankah memang begitu?”

“Bukan aku yang buas, kau yang terlalu jinak.”

“Haha... yang benar saja.” Cibir Krisna

Itu adalah tawa Krisna yang pertama kali Alma dengar.  Bahkan suara tawanya terdengar dalam dan seksi.

Menyadari kemana arah pikirannya, Alma buru-buru menepisnya mengingat ia tidak pada posisi untuk merealisasikan hal-hal yang ada di benaknya.

“Dari sana kau bisa belok kiri, rumahku nomor dua dari sebelah kanan.”

Alma mengemudikan mobilnya sesuai petunjuk Krisna dan berhenti di sebuah rumah tanpa pagar bercat hijau muda.

Rumah itu tidak terlalu besar namun tidak terlalu kecil. Tapi masih terlalu besar untuk seorang bujang seperti Krisna. Di garasinya Alma melihat sebuah mobil Harier hitam yang tidak asing. Tapi bukankah Krisna tidak memiliki kendaraan? Ia mencoba mengingat-ingat kembali dimana ia pernah melihatnya.

“Aku tinggal dengan pak Satria.” Ucap Krisna menjawab pertanyaan Alma yang tidak terucap.

“Oh, pantas saja aku merasa pernah melihatnya” Ternyata itu mobil yang biasa pak Satria bawa ke kantor. Pak Satria merupakan kepala keuangan di GP, namun Alma tidak terlalu akrab karna pekerjaan dia jarang sekali menuntutnya untuk bersinggungan dengan pak Satria.

Tapi bagaimana bisa Krisna tinggal dengan Pak Krisna, apakah mereka mempunyai hubungan keluarga atau semacamnya? Benak Alma tidak berhenti bertanya-tanya.

“Sebaiknya kau cepat pulang sebelum semakin larut. Ini Batam, bukan Jakarta. Semakin malam Batam semakin sepi.” Krisna memperingatkan Alma setelah keluar dari mobil.

“Hmm, kau benar. Oke.”

“Terima kasih atas tumpangannya.” Ucap Krisna.

“Tidak masalah. Sampai jumpa besok di kantor.” Lalu Alma pun mengendarai mobilnya menjauh dengan deru mesin yang menggema.

***

“Apa kau tau dimana Krisna tinggal?” tanya Alma pada Frans suatu sore di area merokok.

“Bukankan malam itu kau mengantarnya pulang? Untuk apa kau bertanya?”

Frans benar, Alma baru menyadari betapa pertanyaan terdengar sangat bodoh. “Oke, kalau begitu aku ganti pertanyaanya. Kenapa dia tinggal dengan pak Satria?”

“Kenapa tidak kau tanya langsung saja pada orangnya?”

Tanggapan Frans sungguh membuat Ama frustasi. Tidak satu pun pertanyaan yang ia ajukan dijawab Frans tanpa mengajukan pertanyaan lain.

“Ya Tuhan, kau sangat menyebalkan!” sungut Alma.

“Kelihatannya kau sangat tertarik dengan Krisna.” Entah bagaimana, pernyataan Frans lebih terdengar seperti sebuah pertanyaan di telinga Alma.

“Kenapa, apa kau merasa terganggu?”

“Haha, apa kah aku seharusnya merasa terganggu?”

“Kau yang harus menjawabnya, bukan aku. Aku hanya senang saja menggodanya.”

“Bukankah itu yang selalu kau lakukan pada semua pria?” Frans mecibir.

“Sepertinya kau tidak akan pernah memaafkanku bukan?”

“Haha, tentu saja aku memaafkan. Hidup ini terlalu berharga untuk disia-siakan dengan membencimu. Lagi pula kau tau aku tidak akan pernah bisa membencimu. Hanya saja aku tidak melupakan.” Frans lalu membuang puntung rokoknya yang sudah pendek dan bersiap untuk meninggalkan Alma dengan rokoknya yang masih setengah terjepit dijarinya.

“Lebih baik kau lupakan saja Krisna.” Lanjut Krisna membuat dahi Alma berkerut. “Ia sudah bertunangan dan akan segera menikah. Untuk apa kau repo-repot menjerat pria yang tidak tertarik pada permainanmu” ejek Frans.

“Oh ya? Jika benar begitu, makan semuanya akan menjadi lebih menarik” balas Alma dengan sebuah seringaian di wajahnya.

“Terserah kau saja, itu hidupmu. Kalau begitu, semoga berhasil. Jangan cari aku kalau kau terkena masalah.” Ucap Frans memperingatkan sebelum meninggalkan area merokok, sementara Alma sibuk dengan benaknya.

Inikah penyebabknay kenapa Krisna bersikap seperti itu padaku? Kenapa dia tidak pernah menyebutkannya? Bukankah pria normal biasanya akan langsung mengakui status mereka untuk menjauhi wanita yang tidak mereka suka? Ataukah Krisna tidak normal? Atau mungkin dia malah menyukaiku?

Bayangan Krisna yang menaruh perhatian padanya membuat Alma tersenyum sendiri.

“Halo mbak, sendirian saja?” suara seoarng perempuan menyapa Alma dari belakang. Rupanya Ririn, sepertinya ia baru saja kembali dari basement melalui tangga.

“Hai Rin, apa kau mau menemaniku?” tanya Alma basa-basih sambil menghisap rokoknya.

“Maaf mbak, tapi saya kan tidak merokok.” Tutur Ririn dengan wajah yang terlihat menyesal karena menolak ajakan Alma.

“Haha... aku hanya bertanya apa kau bisa menemaniku, disini. Bukan menemaniku untuk ikut merokok.” Jelas Alma sambil tertawa kecil melihat Ririn yang salah paham.

“Oh, maaf mbak. Saya pikir mbak mengajak saya merokok,” gumam Ririn merasa tidak enak.

“Haha, mana mungkin aku melakukannya. Tapi kau bisa memberitahuku kalau-kalau kaku berubah pikiran.” Bisik Alma sambil mengerling jahil, mengundang sebuah cengiran di wajah Ririn.

“Baiklah kalau begitu.” Ririn pun melangkah memasuki area merokok dan berdiri disamping Alma yang kini sedang memandangi tanah kosong di bawahnya.

“Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kau bekerja disini?” tanya Alma membuka pembicaraan.

“Sekitar dua tahun mbak.”

“Apakah kau tau kalau Krisna sudah bertunangan?” tanya Alma pada Ririn.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status