Hasan tertawa kejam, menikmati pemandangan para prajurit Organisasi Kujaya berguguran satu per satu.Jasmin menatap ngeri, wajahnya pucat pasi saat kebenaran kejam itu menyerangnya. Mereka sama sekali tidak punya peluang."Sudah lihat?" ejek Hasan, matanya berkilat dengan kesenangan."Mereka datang ke sini untuk menyelamatkanmu dan lihat betapa menyedihkannya mereka. Lemah dan nggak berguna."Hasan tiba-tiba meraih rambut Jasmin dengan kasar, menariknya mendekat, lalu menghirupnya dalam-dalam dengan kenikmatan menjijikkan."Kota Vilego itu lemah," geramnya pelan. "Kota Cicara bakal menelannya bulat-bulat. Akan lebih bijak kalau kau menerima tawaran yang kuberikan."Jasmin menatapnya tajam, matanya menyala meski diliputi ketakutan."Menikah denganmu?" ejeknya getir."Itu tawaran terbaik yang akan kau dapatkan." Hasan menyeringai, mencengkeram rambutnya lebih keras."Keluarga Darius dan Keluarga Hermawan berencana menghancurkan Kota Vilego. Pernikahan kita akan menyelamatkannya."Jasmin
Sepuluh menit sebelumnya, Koala dan timnya bersembunyi di balik rimbunnya dedaunan hutan, mata mereka terpaku pada sebuah vila terpencil yang tertutup bayangan.Para penjaga bersenjata lengkap mondar-mandir di halaman, gerak-gerik mereka tegang dan waspada."Tempat ini biasanya kosong," bisik Koala tajam."Sepertinya Hasan akhirnya memutuskan untuk memakainya. Jasmin mungkin ada di dalam juga."Dia memberi isyarat cepat dengan tangannya dan dua anggota tim segera menghilang ke semak-semak lebat.Beberapa menit kemudian, salah satu dari mereka kembali sambil menyeret seorang tawanan yang ketakutan."Cepat bicara!" perintah Koala, matanya menyala penuh intensitas."Apa Hasan Japardi ada di dalam? Gimana dengan Jasmin Kusuma?"Tawanan itu gemetar, suaranya hampir tak terdengar. "Hasan ada ... bersama seorang wanita.""Berapa orang di dalam?" desak Koala."Kira-kira dua puluh lima," jawabnya terbata-bata, wajahnya pucat ketakutan.Seorang anggota tim lain mendekat. "Aku hitung sekitar sepu
Jasmin berdiri tegak memancarkan kepercayaan diri dengan pesona dingin yang menakutkan."Dengarkan baik-baik, orang tak berarti. Lelakiku jauh lebih kuat daripada yang bisa kau bayangkan. Saat dia datang mencarimu, kau akan menyesali setiap keputusan yang kau buat hari ini."Dia berbalik dengan senyum meremehkan, sepenuhnya sadar bahwa perlawanan sekecil apa pun hanya akan berakhir dengan pembantaian.Jasmin melangkah keluar, tetap menjaga wibawanya meski rasa gentar kian menekan dadanya."Aku? Menyesal?" Sosok besar itu mengejek dengan nada penuh penghinaan."Nona, aku pria paling berbahaya di negeri ini. Kalau pahlawanmu berani muncul, akan kupastikan dia terseret ke neraka, menyesali setiap detik dalam hidupnya karena bermimpi bisa menyelamatkanmu."Dua anak buahnya muncul sambil menyeret Jody maju.Wajahnya babak belur, darah mengucur deras dari kepalanya, kacamatanya hancur.Di balik rasa sakit, Jody meludah dengan sikap menantang, "Kau akan dapat balasan atas ini, Hasan! Ingat ka
Sang ayah berlari sekuat tenaga menghampiri anak lelakinya, matanya liar dipenuhi ketakutan sementara air mata mengalir deras di wajahnya.Begitu sampai di sisi putranya, jantungnya hampir berhenti. Aspal itu penuh dengan lubang tembakan, masing-masing nyaris mengenai tubuh rapuh anaknya."Dia baik-baik saja, Sayang!" teriaknya, suaranya bergetar oleh rasa lega. "Tembakannya meleset, anak kita selamat!"Dia merengkuh istrinya erat-erat, tubuh mereka sama-sama gemetar oleh rasa syukur yang menyesakkan dada."Apa?" Cesian menjerit tak percaya.Amarah membara dalam dirinya, dia kembali mengangkat pistol, sorot matanya yang kejam terkunci pada anak kecil tak berdaya itu.Sekejap, sang ayah melindungi anaknya dengan tubuhnya. "Kalau kau ingin membunuh putraku, kau harus melangkahi mayatku dulu."Cesian menyeringai penuh kebencian. "Bagus, aku nggak keberatan. Membersihkan sampah selalu menyenangkan."Tanpa ragu, dia menarik pelatuk.Sang ayah memejamkan mata rapat-rapat, bersiap menyambut r
Alvaro menekan lebih keras, berjuang mati-matian menyelamatkan bocah kecil yang hidupnya di ujung tanduk.Keringat mengucur di wajahnya ketika dia berbisik menenangkan, "Bertahanlah, Nak. Kau lebih kuat dari ini."Pengawal itu menempelkan moncong pistol tepat di pelipis Alvaro. "Dok, sudah kubilang, urus nyonya kami dulu. Kalau nggak, kau akan mati."Alvaro sama sekali tidak bergeming. Suaranya dingin dan tajam."Tembak saja, dan nyonyamu boleh cari dokter lain. Aku nggak akan meninggalkan anak ini."Alvaro merobek baju bocah itu, memperlihatkan luka yang mengerikan.Aliran darah memang sudah melambat, tetapi tetap merembes sampai ke aspal. Napas sang bocah tersengal-sengal, nyaris kehabisan napas.Alvaro merogoh sakunya, mengeluarkan pil ajaib.Dengan tangan mantap, dia menyelipkan satu butir ke mulut sang bocah."Bertahanlah. Kau pasti selamat."Sang ibu hanya bisa menangis putus asa, suaranya bergetar dalam doa."Tuhan, tolong selamatkan anakku. Aku mohon."Di sampingnya, sang ayah
Pagi berikutnya, cahaya matahari menembus kaca jendela yang retak saat Alvaro membuka pintu kliniknya.Matanya menyipit tajam melihat sosok yang tergeletak di depan pintu. Penuh luka, berlumuran darah, dan tidak sadarkan diri.Jantung Alvaro berdegup kencang ketika dia berlutut di samping pria itu, membalikkan tubuhnya perlahan, lalu tertegun tak percaya."Jeremi?" gumam Alvaro, wajahnya dipenuhi keterkejutan. "Apa yang terjadi padamu?"Dia menelaah wajah Jeremi yang lebam, bengkak, dan penuh luka segar.Jeremi Cahya, ksatria terbaik dari Kota Cicara. Ini jelas bukan sekadar pengeroyokan biasa.Dengan hati-hati, Alvaro mengangkat Jeremi ke pundaknya dan membawanya masuk, lalu menidurkannya di ranjang periksa.Ketika Alvaro memeriksa luka-luka itu, sorot matanya mengeras. Ada bekas tembakan, tulang yang remuk, dan kerusakan saraf yang membuat perutnya mual.Siapa pun yang melakukan ini, ingin membuat Jeremi cacat seumur hidup atau mati.Alvaro menarik napas dalam-dalam, menenangkan tang