Share

5. Takdir

“Nona, Anda sudah bangun?” tanya Vheer yang sudah mengambil bentuk manusia.

Amora yang mendengar pertanyaan tersebut, segera menjauh dari Vheer. Ia pun mengedarkan pandangannnya, dan menggigit bibirnya saat tahu jika dirinya kembali di bawa ke rumah kayu. “Tolong maafkan aku, jangan bunuh aku,” ucap Amora sembari menahan tangisnya.

Vheer yang berpenampilan selayaknya pria pada umumnya, kini memasang ekspresi sedih. Ia tentu tahu, jika saat ini Amora merasa sangat ketakutan. Vheer berlutut dan berkata, “Nona, Tuan sama sekali tidak akan melukai Nona. Begitu pun kami yang menjadi pengikut setianya. Kami akan melindungi Nona dan Tuan dengan seluruh kemampuan serta upaya kami.”

Amora bisa melihat jika Vheer mengatakan hal itu dengan penuh ketulusan. Vheer yang melihat Amora sudah sedikit membuka diri, memilih untuk mengulurkan tangannya. Ia berkata, “Mari, Nona. Tuan sudah menunggu kita.”

“Ti, Tidak mau. Aku tidak mau pergi. Kalian siluman yang memangsa manusia, dan dia adalah Amagl terkutuk yang kejam. Apa kalian pikir aku mau pergi dengan kalian?!” tanya Amora dengan nada tinggi.

Jelas, saat ini Amora tengah berada dalam situasi yang benar-benar kalut. Nyawanya dalam bahaya, bagaimana mungkin ia bisa tenang. Ia berada di tengah-tengah pulau yang dipenuhi oleh siluman yang bisa memburunya kapan saja. Selain itu, Amora juga bertemu dan terlibat dengan sosok yang harusnya ia hindari. Siapa lagi jika bukan Amagl terkutuk. Menurut kisah yang Amora ketahui, Xavier Miguel de Richmond adalah seorang Amagl yang memiliki kekuatan besar. Sebelum dikutuk, ia menjadi salah satu Amagl yang sangat dipercaya untuk menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia Savyrh di mana makhluk mistis hidup. Bahkan kabaranya, ia menjadi kandidat pemimpin kaum Amagl. Artinya, ia memang memiliki kekuatan dan kebijksaan yang patut dimiliki oleh seorang pemimpin. Namun, karena keserakahan serta jiwa jahatnya, Xavier menghancurkan kaumnya sendiri dan berakhir dipaksa untuk tertidur oleh dewa.

Mendengar teriakan itu, tentu saja Vheer terkejut. Ia tidak menyangka jika ternyata hal itulah yang diketahui oleh Amora mengenai sang tuan. Vheer berniat untuk menjelaskan, tetapi Xavier yang semula menunggu di luar, terlihat beranjak masuk ke dalam rumah kayu tersebut. Vheer yang tahu jika Xavier ingin mengatakan sesuatu pada Amora, segera beranjak untuk undur diri. Sementara itu, Amora yang semakin ketakutan, segera meringkuk di sudut ranjang kayu yang menempel pada dinding kayu tersebut. Amora meringkuk, bak hewan kecil yang tidak berdaya di hadapan predator. Melihat hal itu, Xavier yang senantiasa tidak memasang ekspresi, mengernyitkan keningnya tipis. Entah mengapa, Xavier merasa sangat terganggu saat ini. “Ulangi apa yang kau katakan barusan,” ucap Xavier memberikan sebuah perintah yang tidak terbantahkan.

Amora yang mendengar perintah dengan nada arogan itu, seketika merasa marah. Tentu saja Amora merasa marah, mengingat jika Xavier adalah Amagl terkutuk yang bahkan tidak bisa dibandingkan dengan Amagl Agung yang menjadi perlindung kekaisaran. Amora pun menggigit bibirnya dan menatap Xavier dengan berani. “Tidak mau. Memangnya kau siapa berani memberikan perintah seperti itu padaku?” tanya Amora dengan nada kurang ajar. Sepertinya, seluruh ilmu tata krama yang dimiliki oleh Amora telah luntur, setelah melewati situasi berbahaya yang ia alami setelah dibuang ke pulau Blaxland ini.

Pelipis Xavier berkedut, saat melihat perubahan Amora yang terlalu bertolak belakang. Baru saja tadi Amora terlihat penuh dengan rasa takut, tetapi kini Amora sudah berani menatapnya secara langsung, bahkan berani bertanya dengan nada tidak sopan seperti itu. Tanpa kata, Xavier naik ke atas ranjang dan membuat Amora secara alami merasa lebih tersudut. Ia menempelkan punggungnya dengan erat pada dinding kayu di belakangnya dan menahan napas saat Xavier mengulurkan tangan besarnya ke arahnya. Amora sudah berpikiran macam-macam. Ia takut jika Xavier akan mencekiknya, mengingat reputasi Xavier sebagai Amagl terkutuk yang sangat buruk. Keluarga dan kaumnya sendiri bisa ia habisi, apalagi manusia biasa seperti Amora?

Namun, Amora berjengit saat merasakan sentuhan lembut jemari dingin Xavier tepat pada lehernya. Xavier menatap jejak jemarinya yang ternyata membuat pola sihir yang berada pada leher Amora muncul. Pola itu terlihat rumit tetapi juga terlihat indah, jika dilihat-lihat pola rumit itu terlihat seperti sebuah kalung yang menghiasi leher jenjang Amora yang putih. Tentu saja Amora tidak menyadari hal itu, kini ia malah menatap netra biru keperakan milik Xavier yang menatapnya dalam diam. Netra indah itu berkilauan dan jernih, tetapi memiliki kedalaman yang tidak bisa diselami oleh Amora. Seakan-akan, apa yang dipikirkan oleh Xavier terlampau rumit hingga tidak bisa dibaca oleh Amora. Jemari dingin milik Xavier masih bermain dan menyentuh kulit leher Amora sebelum Xavier bertanya, “Manusia, siapa namamu?”

Amora yang mendengar pertanyaan itu seketika tersadar. Keningnya mengernyit dalam, merasa kesal dengan pertanyaan Xavier yang terasa menjengkelkan di telinganya. Xavier seakan-akan tengah meremehkannya dengan memanggilnya manusia. Tidak salah memang, tetapi tetap terasa menjengkelkan. Xavier seperti merendahkannya dengan menggunakan panggilan manusia. Hanya saja, itu tidak salah. Amora memang seorang manusia. Meskipun begitu, Amora tetap saja merasa sangat kesal. Namun, Amora sama sekali tidak mengungkapkan kekesalannya. Lebih tepatnya tidak bisa, karena tatapan Xavier seolah-olah memberikan peringatan pada Amora. Bahwa Amora tidak boleh mengatakan apa pun, selain jawaban atas pertanyaan yang sudah diberikan oleh Xavier sebelumnya. Jadi, pada akhirnya, Amora pun menjawab, “Amora.”

Mendengar jawaban Amora, sudut bibir Xavier tertarik tipis. Namun, saking tipisnya, hal itu luput dari perhatian Amora. Pria itu lalu menunduk dan berbisik tepat di samping telinga Amora, “Kau yang sudah membangunkanku, Amora. Kau bahkan sudah mengucapkan sumpah. Maka, kau harus menerima takdirmu untuk tetap berada di sisiku, selamanya.”

***

Seorang pria terlihat kesulitan bernapas karena sesuatu yang tak kasat mata terasa mencekik lehernya dengan begitu kuat. Pria itu memiliki rambut hitam dengan netra emas selayaknya seorang predator. Ia tak tahan lagi berdiri dan terjatuh berlutut di tengah ruangan temaram. Wajahnya sudah membiru, tanda jika dirinya benar-benar kekurangan pasokan oksigen. Lalu sosok sang tuan yang penuh dengan aura misterius kembali muncul, tentu saja masih dengan jubah bertudung yang menyembunyikan wajahnya. Pria berambut hitam itu segera menyentuh kedua kaki tuannya dan memohon, “Tu, Tuan, ampuni aku.”

Sang tuan terlihat tidak senang, ia menghentakkan kakinya dan membuat pria berambut hitam itu tersungkur dengan wajah yang semakin membiru. Lalu tak lama, seorang wanita berpakaian ketat tiba-tiba memasuki ruang temaram itu dengan wajah panik dan segera memeluk pria berambut hitam itu. “Tuan, tolong jangan lakukan hal ini! Kami sudah mengabdi padamu dengan setia, kami tidak akan mengecewakanmu lagi. Jadi, tolong beri kami kesempatan. Tolong lepaskan Blax,” ucap wanita seksi itu sembari memohon dengan sangat pada tuan mereka yang penuh dengan teka-teki itu.

Sedetik kemudian, Blax—pria berambut hitam—sudah bisa kembali bernapas lega. Karena sesuatu yang sejak tadi mencekiknya sudah menghilang. Hal itu tak lain adalah sihir miliki sang tuan. Lalu sang tuan pun membuka tudung jubahnya dan menunjukkan rambut peraknya yang indah. Namun, wajahnya sepura dengan wajah Blax. Jelas, itu bukanlah wajah aslinya. Tuan mereka memang selalu meniru wajah orang lain, ia tidak pernah tampil menggunakan wajah aslinya. Tidak ada satu pun dari pengikut setianya yang pernah atau mengetahui wajah asli sang tuan. Hanya saja, ada satu hal yang diketahui oleh semua orang, termasuk manusia biasa sekali pun. Jika sosok di hadapan mereka adalah Xavion Douglas de Richmond. Sosok Amagl Agung yang dipercaya menjaga kekaisaran Bonaro.

Xavion adalah Amagl yang memiliki kekuatan dan pasukan besar. Selama ini, ia tinggal di dimensi yang ia bangun sendiri, alih-alih tinggal di dunia Savyrh yang memang sudah hancur saat peperangan di masa lalu. Setelah kehancuran kaum Amagrl yang dipercaya untuk menjaga keseimbangan antara dua dunia, Xavion tidak pernah menunjukkan wajah aslinya. Ia selalu mengubah-ubah wajahnya di setiap waktu saat dirinya perlu menunjukkan wajahnya. Entah itu ia meniru wajah bawahannya atau menciptakan wajah baru. Jika tidak ingin menggunakan sihir, Xavion akan menyembunyikan wajahnya menggunakan tudung jubah yang selalu ia gunakan.

Blax dan Sisil—wanita seksi—segera berlutut dan memberikan hormat. “Salam bagi Amagl Agung.”

Xavion menatap kedua bawahan setianya menggunakan netra biru keperakannya yang membedakannya dengan Blax yang wajahnya tengah ia tiru. Tatapan tajaman Xavion tentu saja bisa diartikan oleh Blax dan Sisil sebagai bentuk kemarahan. “Aku tidak perlu salam kalian,” ucap Xavion mengantarkan suasana mencekam yang hampir mencekik. Baik Blax maupun Sisil tahu alasan sang tuan bisa semarah ini pada mereka. Hal ini terjadi mereka gagal untuk menemukan keberadaan Xavier dan gadis yang ditakdirkan untuk menjadi Pengantin Amagl.

“Kami akan segera menemukan mereka, Tuan. Tapi kami mohon beri kami waktu lagi,” ucap Blax.

“Aku sudah memberikan waktu puluhan tahun pada kalian, tetapi kalian melewatkan kesempatan dan membuat Pengantin Amagl itu menginjak usia dewasa. Lalu kini, Xavier pun bisa bangkit dari tidur panjangnya.” Aura mengerikan segera menguar dari tubuh Xavion. Tentu saja Xavion merasa marah karena pada akhirnya ia tidak bisa mencegah pertemuan Xavier dan Pengantin Amagl yang tercantum dalam senandung takdir. Dalam senandung takdir yang berisi ramalan, disebutkan jika Xavier akan bangkit begitu Pengantin Amagl menginjak usia dewasa. Lalu Xavier akan mendapatkan kekuatan yang luar biasa saat bertemu dengan Pengantin Amagl itu. Xavion sendiri sudah merasakan jika Xavier sudah bertemu dengan Pengantin Amagl. Mereka sudah berkontak. Xavion yakin itu.

“Kalian harus melakukannya dengan benar, itu pun jika kalian memang masih mau hidup,” ucap Xavion lalu berbalik dan melangkah menuju kamar pribadinya. Begitu tiba di sana, Xavion tidak beristirahat karena dirinya sebenarnya tidak membutuhkan hal seperti itu. Masih dengan wajah Blax yang ia pinjam, Xavion memilih melangkah menuju balkon.

Xavion menatap langit malam yang dihiasi oleh bulan yang berpendar sempurna. Ia menatapnya dengan netra biru keperakan yang seakan-akan memiliki keindahan yang sebanding dengan sinar bulan. Namun, sepertinya Xavion sama sekali tidak senang dengan keindahan bulan yang ia lihat itu. Ia bertanya pada sang rembulan, “Apa kau tengah mengejeku? Ah, mungkin kau tengah menyambut bangkitnya Xavier.” Xavion menyeringai.

Ia membiarkan rambut peraknya yang panjang terbang dan menari dengan angin malam yang berembus. “Kalau begitu, saat aku menghancurkannya, buatlah perayaan yang meriah. Bukankah kalian

harus bertindak adil?” tanya Xavion lalu berbalik dan menutup pintu balkon dengan sebuah seringai penuh misteri.

.

.

.

Jangan lupa untuk tinggalkan jejak ya kakak-kakak keceku

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Nietha
klo dri perilakunya sama bawahan jelas xavion yg jhat, masa tega mo ngebunuh bawahan yg setiA...
goodnovel comment avatar
Kayah
gk salah sih masukin ini ke pustaka..
goodnovel comment avatar
Melinda Yuliani
wow persaingan makin panas.. sbnr nya mana yg baik dan mana yg terkutuk msh mnjd misteri...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status