“Tidak perlu takut, Nona. Tuan Xavier memang terlihat dingin, tetapi ia tidak mungkin melukai Nona,” ucap Vheer sembari membukakan portal sihir. Pola sihir muncul terlebih dahulu, sebelum portal terbuka sedikit demi sedikit.
Karena energi sihir yang dimiliki oleh Xavier masih terbatas, maka kini Vheer yang memiliki kewajiban untuk membuka portal. Terlebih, karena Vheer adalah manusia perwujudan pohon yang sudah hidup lebih dari ribuan tahun, ia memiliki energi napas hutan yang besar. Jadi, ia bisa membuka membuka portal penghubung hutan yang satu dengan hutan yang lain dengan mudah. Setelah membukakan portal dengan sempurna, Vheer pun kembali ke dalam rumah kayu, meninggalkan Amora yang menatap portal sihir itu dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, tetapi juga memiliki rasa takut yang begitu besar. Tentu saja, Amora takut dengan langkah yang ia ambil ini.
Dengan sangat terpaksa, Amora pun harus ikut dengan Xavier dan Vheer yang akan melakukan perjalanan. Tentu saja hal ini berkaitan dengan sumpah dan tindakan Amora yang ternyata telah membangunkan Xavier dari tidur panjangnya. Selain itu, Amora pun tidak memiliki pilihan lain. Ia tidak mungkin tetap tinggal di pulau terkutuk, di tengah-tengah para siluman kelaparan yang siap memburunya kapan saja. Mungkin selama ini ia aman karena para siluman tidak berani muncul karena ada Xavier yang jauh lebih kuat dan berbahaya dari mereka. Namun, hal itu tidak akan berlaku lagi, jika Xavier sudah tidak ada. Amora pasti akan kembali menjadi target. Lebih dari itu, Amora sebenarnya lebih dipusingkan dengan sumpah yang sebelumnya dibicarakan oleh Xavier.
Sumpah yang membuat Amora harus terikat dan berada di sisi Xavier selamanya. Amora tentu saja tidak mengingat kapan dirinya mengatakan sumpah semacam itu. Namun, ia memiliki kecurigaan pada bahasa kuno yang sebelumnya ia baca. Amora terlalu bodoh hingga tidak waspada mengenai kemungkinan itu. “Harusnya aku tidak sembarangan membacanya,” gumam Amora cemas.
“Nona, mari. Kita harus pergi. Tuan Xavier juga sudah siap.” Mendengar ucapan Vheer yang ramah, Amora pun menoleh ke sumber suara dan seketika menahan napasnya.
Xavier lagi-lagi hadir menjadi pemicu serangan jantung bagi Amora. Kini, Amagl terkutuk itu tampil dengan penampilan baru. Rambut abu-abu keperakan milik Xavier yang sebelumnya panjang, kini telah dipangkas pendek. Namun hal itu malah membuat Xavier memiliki tampilan yang lebih segar dan semakin menawan. Untuk sesaat, Amora tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari Xavier. Netra hijau daunnya bahkan saling bertatapan dengan netra biru keperakan milik Xavier yang indah. Vheer yang menyadari hal itu mengulum senyum. Ia berpikir bahwa hal ini adalah pertanda baik bagi hubungan Xavier serta Amora. Karena apa pun yang terjadi, Amora dan Xavier nantinya harus bersama. Beberapa saat kemudian, Amora pun memilih untuk mengalihkan pandangannya.
Xavier sendiri masih menatap Amora. Kini, Amora sudah mengenakan gaun baru yang disiapkan oleh Vheer. Gaun itu tidak mewah, tetapi terlihat anggun dan terbuat dari kain terbaik yang disiapkan oleh Vheer secara khusus. Luka gores serta jejak sihir hitam di tubuh Amora juga telah hilang sepenuhnya dari tubuh gadis itu. Xavier lalu menoleh pada Vheer dan berkata, “Pimpin jalannya.”
Vheer mengangguk. Namun, sebelum melakukan hal itu, Vheer berkata, “Tuan, sebaiknya memastikan untuk menggenggam tangan Nona Amora. Menyeberangi portal akan terlalu sulit untuk dilakukan oleh manusia biasa.”
Amora yang mendengar hal itu tentu saja ingin menolak. Xavier mengernyitkan keningnya dan menatap tajam pada Vheer. Namun tak ayal, kini Xavier mengulurkan tangannya pada Amora. Tentu saja Amora menatap uluran tangan tersebut dengan tatapan horror. Xavier tidak mengatakan apa pun, tetapi ia memberikan tatapan dan tekanan yang membuat Amora mau tidak mau menerima uluran tangan tersebut. Melihat jika Xavier sudah menggenggam tangan Amora dengan erat, Vheer pun tersenyum sebelum melangkah memimpin jalan. Vheer melewati portal sihir dengan langkah ringan, diikuti oleh Xavier yang menarik Amora untuk mengikuti langkah mereka. Tentu saja Amora berusaha untuk menjaga jarak dari Xavier.
Namun, seperti apa yang dikatakan oleh Vheer sebelumnya, melewati portal bukanlah hal yang mudah bagi seorang manusia. Guncangan dan tekanannya membuat Amora pusing bukan kepalang. Untungnya, Xavier dengan sigap menarik Amora ke dalam pelukannya lalu tangannya yang bebas segera melingkar pada pinggang ramping Amora. Secara alami, Amora yang tengah pusing berat segera menyandarkan kepalanya pada dada bidang Xavier. Vheer mungkin tidak melihatnya, karena ia yang memimpin jalan, tetapi Vheer tahu apa yang terjadi. Ia bahkan dengan sengaja, menggunakan trik yang membuat guncangan semakin parah. Tentu saja, Xavier menyadari hal itu. Ia pun menggunakan sedikit sihirnya pada Amora hingga membuat gadis itu tidak sadarkan diri dalam pelukannya. Lalu Xavier bertanya, “Hentikan trikmu itu, Vheer. Atau mungkin kau ingin satu per satu akar milikmu dicabut?”
Mendengar pertanyaan itu, Vheer pun menelan ludahnya dengan sulit. Ia pun sedikit menoleh dan menjawab, “Maafkan saya, Tuan.”
Setelah itu, perjalanan berlanjut tanpa ada masalah sedikit pun. Ketiganya ke luar dari portal yang ternyata berujung di tengah-tengah hutan lebat. Xavier kini menggendong Amora yang masih tak sadarkan diri, dan mengedarkan pandangannya mengamati hutan tersebut. Lalu Xavier berkata, “Perjalanan kita akan dimulai dari sini.”
***
“Tuan Count? Anda sudah kembali?” tanya kepala pelayan kediaman Count Salvador saat melihat kepulangan sang tuan yang tiba-tiba. Padahal, seingatnya Leal baru akan pulang dari luar kota dua hari lagi. Kepala pelayan itu terlihat berhati-hati dan memperhatikan ekspresi Leal. Karena kini Leal sangat sensitif dan terkadang kesalahan sedikit saja bisa dengan mudah membuatnya marah besar. Setelah pengusiran Amora ke pulau Blaxland, butuh waktu bagi para penghuni kediaman Count Salvador. Terutama bagi Leal dan Jade yang sangat terpukul karena harus melepaskan putri mereka ke tempat yang berbahaya. Namun, meski merasa begitu sedih, Leal tidak bisa mengabaikan tugasnya sebagai seorang Count dan seseorang yang memiliki andil dalam pergerakan politik di kekaisaran. Karena itulah, Leal harus pergi ke luar kota untuk menjalankan tugasnya.
“Tugasku selesai lebih cepat,” jawab Leal dingin dan memilih untuk melangkah masuk ke dalam rumah mewahnya.
Namun, saat dirinya melangkah menuju ruang kerja, ia bertemu dengan Jade yang menatapnya dengan kening mengernyit. Ada beberapa pelayan yang berdiri di belakang Jade, yang tak lain adalah pelayan yang membantu Jade mengurus urusan pribadinya. Melihat Jade, kepala pelayan pun memberikan hormat dan berkata, “Tuan sudah pulang, Nyonya. Tugas Tuan selesai lebih cepat dari jadwalnya.”
Hanya saja, Jade yang mendengar hal itu terlihat mengambil langkah mundur. Ia menatap penuh kewaspadaan dan bertanya dengan nada tajam, “Kau bukan suamiku. Siapa kau, dan kenapa kau bisa berpenampilan seperti suamiku seperti ini?”
Mendengar hal itu, tentu saja semua orang terkejut, kecuali Leal tentunya. Leal menatap istrinya dengan lembut dan berkata, “Sepertinya kau lelah hingga mengatakan hal yang aneh. Kembalilah ke kamar, aku akan ke ruang kerja terlebih dahulu.”
Jade tidak bergerak dari posisinya dan menghalangi langkah Leal. “Kau pikir aku tidak akan mengenali suamiku sendiri? Siapa kau, pe—”
Jade sama sekali tidak bisa melanjutkan perkataannya karena ia sudah lebih dulu jatuh tidak sadarkan diri, disusul oleh yang lainnya. Tersisa Leal yang menatap mereka dengan datar dan melangkah melewati orang-orang yang tergeletak tak sadarkan diri. Ia melangkah dengan santai, dan tidak mempedulikan setiap orang yang berpapasan dengannya akan jatuh tak sadarkan diri. Hingga, pria yang memiliki wajah yang sangat mirip dengan Leal itu masuk ke dalam ruang kerja dan seketika warna rambut dan netranya berubah total. Rambutnya berubah menjadi abu-abu keperakan, serta netranya berubah menjadi biru keperakan. Benar, itu adalah Xavion yang menyamar menjadi Leal. Tentu saja Xavion tidak menyangka jika penyamaran sempurnanya bisa terungkap oleh Jade yang tidak memiliki kemampuan sihir apa pun. “Apa mungkin itu yang dinamakan keajaiban cinta?” tanya Xavion sinis mengingat apa yang ditanyakan oleh Jade sebelumnya.
Xavion pun memilih untuk mengamati ruang kerja Leal dan mencari informasi mengenai Amora. Gadis yang kemungkinan besar adalah sosok yang selama ini ia cari selama puluhan hingga ratusan tahun lamanya. Sayangnya karena sebuah insiden, pada akhirnya Xavion kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan Amora di kediamannya. Tentu saja kini Xavion sudah mengerahkan anak buahnya untuk mencari keberadaan Amora sekaligus mencari keberadaan Xavier yang juga menjadi targetnya. Sebenarnya, ada cara yang lebih mudah bagi Xavion untuk mencari informasi mengenai seseorang. Ia bisa menggunakan sihirnya untuk melihat masa lalu, atau kenangan dari seseorang. Namun, anehnya Xavion kesulitan untuk melihat untuk menerawang sosok Amora ini. Seakan-akan ada kabut yang memang dengan sengaja muncul untuk mengaburkan pandangan Xavion.
Karena itulah, Xavion yang merasa penasaran dengan sosok Amora yang sulit untuk ia terawang, memilih mencari jawaban untuk memuaskan rasa penasarannya. Xavion menatap berkas-berkas di atas meja kerja Leal dan berkata, “Sepertinya ia bekerja sangat keras untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa sedih harus melepaskan putrinya.”
Setelah itu, Xavion kembali melangkah menuju sisi jendela dan menatap halaman kediaman Count Salvador yang terawat. Para pekerja kebun yang sebelumnya masih bekerja, terlihat sudah tergeletak tak sadarkan diri. Tentu saja hal itu adalah ulah Xavion yang memang sengaja untuk membuat semua penghuni kediaman ini tidak sadarkan diri. Xavion beralih menuju sisi dinding di dekat lemari buku, dan melihat sebuah kain yang tampaknya sengaja digantung untuk menutupi sesuatu di dinding. Hanya dengan menatapnya, kain tersebut pun tersingkap dan menunjukkan sebuah lukisan yang membuat Xavion tertegun. Sebelum beberapa saat kemudian tertawa dengan kerasnya. Tawa Xavion bertahan cukup lama dan Xavion pun mendongak, seakan-akan ada hal yang sangat lucu hingga patut ia tertawakan hingga seperti itu.
Lalu sedetik kemudian, tawa Xavion terhenti. Ia menatap tajam lukisan keluarga yang terdiri dari Leal, Jade, dan Amora tersebut. Xavion mengetatkan rahangnya sebelum bertanya, “Apa saat ini Dewa kembali mempermainkanku?”
Xavion mengikis jarak dan mendekat pada lukisan tersebut. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh lukisan wajah Amora. Tanpa sadar, sorot netra biru keperakan Xavion yang semula tajam, mulai melembut. Matanya pun kini dipenuhi oleh sorot hangat dan penuh akan kerinduan yang mendalam. Xavion jelas terlihat sangat berbeda dari biasanya, karena sosoknya memang sudah lekat dengan tampilan dingin yang menyembunyikan semua pikirannya dengan apik. Namun, hal itu tidak bertahan lama, karena Xavion pada akhirnya merobek lukisan tersebut begitu saja dengan penuh amarah. Belum cukup dengan merobeknya, Xavion pun membakar lukisan tersebut dengan api yang berwarna hitam pekat. Ia menatap api yang ia ciptakan melahap lukisan tersebut dengan ganasnya. Kelembutan pada netra Xavion sudah benar-benar menghilang dan kini hanya tersisa tatapan penuh kemarahan. Sorot penuh dendam yang meminta untuk segera dibalaskan.
“Karena kalian yang memulai untuk bermain denganku, maka aku akan menerima tantangan kalian. Ingat para Dewa, aku tidak mengikuti peraturan siapa pun. Karena aku sendiri yang akan menciptakan permainan berikut peraturannya,” ucap Xavion sebelum memejamkan matanya.
Saat ini, Xavion rupanya tengah membaca kenangan yang terekam di kediaman mewah Count Salvador. Sebelum menangkap Amora dan Xavier, hal yang paling penting adalah mengenal terlebih dahulu sosok yang menjadi target Xavion ini. Tidak membutuhkan waktu terlalu bagi Xavion untuk membaca kenangan di rumah tersebut, berikut kenangan dari orang-orang yang mengenal Amora secara pribadi. Hati Xavion terasa teremas dengan begitu kuatnya saat dirinya melihat wajah cantik dengan senyum lebar Amora dari kenangan kedua orang tuanya. Xavier pun membuka matanya dan sorot penuh dendam pada kedua netra Xavion, kini dibalut oleh tatapan pilu yang tentu saja sangat langka terlihat pada diri Xavion. Pria itu pun berbisik, “Kenapa takdir bisa sekejam ini?”
.
.
.
Ayo kakak-kakak jangan pelit kasih komen dan bintang limanya yaaa
Semenjak apa yang terjadi di kekaisaran Bonaro, ternyata setiap kekaisaran dan kerajaan memilih untuk menyerukan persatuan mereka. Mereka tetap memiliki wilayah masing-masing, tetapi tidak ada lagi permusuhan atau peperangan antara satu kerajaan dengan kerajaan yang lain. Ataupun tidak adanya paksaan dari kekaisaran terhadapn sebuah kerjaan untuk bersumpah setia. Kini, mereka semua memiliki pandangan yang sama dan misi yang sama. Hidup mereka tenteram tanpa ada satu pun kesulitan yang mereka hadapi. Gangguan dari para siluman yang semula menjadi momok yang paling menakutkan dan menjadi permasalah pertahanan bagi sebuah daerah, sudah tidak lagi perlu dicemaskan. Karena siluman sama sekali tidak pernah terlihat lagi. Seakan-akan, perang yang pernah terjadi menghapus keberadaan dan jejak dari para siluman.Meskipun begitu, mereka yakin jika Amagl Agung berhasil mengendalikan para siluman dan menjaga keseimbangan dua dunia. Kini mereka bisa sama-sama hidup dengan nyaman di dunia
Sedetik kemudian Amora pun tersadar mengenai kondisi Xavier dan berlari untuk menghampiri suaminya itu. Amora pun bergetar hebat saat menyentuh dada sang suami yang sudah dipenuhi luka. Pedang yang sebelumnya menancap di sana sudah menghilang, begitu pemiliknya juga menghilang. Amora dengan suara bergetar memanggil sang suami. “Xavier, kau bisa mendengar suaraku bukan?” tanya Amora menyentuh pipi suaminya yang sudah terasa dingin.Para pengikut yang mulai pulih pun menyadari apa yang terjadi dan berniat untuk mendekat pada Amora. Namun, Penyihir Putih memberikan isyarat pada mereka semua untuk tetap di tempat mereka. Penyihir Putih sudah mengetahui apa yang terjadi karena alam membisikan sesuatu padanya. Penyihir Putih mengetahui apa yang terjadi pada Xavier, hingga apa yang dilakukan oleh Amora yang sudah membantu memusnahkan Xavion dan pasukannya. Anak panah sihir yang digunakan oleh Amora ternyata bukan anak panah biasa. Amora memang tidak mengetahui jika anak
Amora jatuh tidak berdaya karena rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ia menatap nanar pada para manusia yang kini terlihat seperti mayat hidup, dan para siluman yang berperang mempertaruhkan nyawa mereka. Lebih dari itu, Amora menatap suaminya yang terlihat bertarung dengan sekuat tenaga. Ia sudah tahu apa yang terjadi di masa lalu, mengenai penyebab dari kemarahan Xavion, dan hal apa yang menjadi pangkal dari hancurnya hubungan persaudaraan Xavion dan Xavier. Amora meneteskan air matanya. Takdir memang terkadang terasa menyulitkan dan menyesakkan. Namun, Amora tidak berpikir jika hal itu bisa membuat Xavion melakukan semua tindakan yang mengerikan ini. Amora berharap, jika Xavier bisa menghentikan Xavion. Xavier harus membebaskan semua makhluk dari penderitaan yang mereka rasakan karena kejahatan Xavion.Namun sayangnya, setelah Amora selesai berdoa, Amora melihat hal yang begitu menyedihkan. Para siluman pengikut Xavier satu per satu jatuh tidak berdaya. Penyihir Putih juga kel
Ribuan tahun yang laluDi suatu hari, istri dari Amagl Agung—pemimpin dari kaum Amagl—melahirkan sepasang putra tampan. Menyadari jika mereka bisa saja membuat kaum Amagl yang mengetahui ramalan mengenai kehancuran itu merasa cemas, Amagl Agung memutuskan untuk menutupi salah satu wajah putranya dengan topeng sejak ia masih kecil. Mereka memutuskan untuk memakaikan topeng pada sang adik yang memang pada dasanya tidak akan bisa menjadi pemimpin kaum Amagl selanjutnya, karena ada sang kakak yang menduduki posisi calon penerus pertama. Semua orang bertindak sangat hati-hati, demi menghindari ramalan mengenai kehancuran kaum dan dunia yang mereka jaga. Tahun demi tahun berlalu, dan si kembar tumbuh besar. Keduanya tumbuh dengan pesona yang berbeda, dan sifat yang juga berbeda. Jika si Sulung memiliki sifat yang tenang dan memegang tegus prinsip bahwa mereka harus mengikuti peraturan
Pembicaraan antara Xavier dan Xavion jelas membuat suasana semakin mencekam saja. Selain itu, para pengikut Xavier terlihat kebingungan dan terkejut dengan fakta yang baru mereka ketahui, jika ternyata Xavier dan Xavion ternyata memiliki ikatan persaudaraan. Hal yang memang sebenarnya hanya diketahui oleh segelintir orang di masa lalu. Sementara itu, sebagian besar para pengikut Xavion tampaknya tidak terlalu dibuat terkejut oleh apa yang terjadi tersebut. Apa pun yang terjadi, mereka hanya perlu mendukung Xavion untuk menguasai dunia, dan setelah itu mereka bisa hidup dengan bebas tanpa perlu takut pada Dewa atau utusannya yang bertugas untuk membasmi para siluman yang melanggar ketentuan yang ada. Blax sendiri terlihat mengepalkan kedua tangannya. Merasa sangat marah, tetapi berusaha untuk menahan dirinya. Ia hanya perlu bergantung sedikit lagi pada Xavion, dan dirinya bisa membebaskan kaumnya dari jeratan Xavion, tentu saja sesuai dengan kesepakatan mereka sebelumnya.
“Tuan, mereka benar-benar datang,” ucap Blax melaporkan situasi terkini pada Xavion yang kini duduk di singgasan yang seharusnya ditempati oleh kaisar yang agung. Namun, Gilbert yang masih berada di bawah kendali XavionXavion yang masih mengenakan topengnya terlihat menyeringai. “Sesuai dengan apa yang aku harapkan darimu, Xavier,” gumam Xavion terlihat begitu puas dengan apa yang tengah terjadi saat ini.Blax yang mendengar hal itu tentu saja mengernyitkan keningnya. Seakan-akan Xavion memang sudah memperikarakan langkah inilah yang akan diambil oleh Xavier. Namun, Blax tidak mengatakan apa pun dan memilih untuk menunggu perintah seperti apa yang akan diberikan oleh Xavier selanjutnya. Tentu saja, sejak awal Blax dan yang lainnya sudah menempatkan pasukan mereka di barisan terdepan sebagai lapisan keamanan yang jelas akan dihadapi oleh pasukan lawan sebelum benar-benar memasuki pusat kekaisaran yang tampaknya akan menjadi medan perang mereka.