“Bagus sekali, Celine. Cuma sepertinya agak kepanjangan, ya?” komentar Amanda seraya membungkukkan badannya dan memeriksa bagian bawah gaun tersebut.
“Bisa kami pendekkan kalau mau, Bu. Cuma mesti menunggu sekitar tiga jam karena harus antri dengan pesanan-pesanan sebelumnya. Bagaimana, Bu?” tanya pelayan toko itu kepada Amanda.
Yang ditanya mengalihkan pandangannya kepada Oma Merry untuk meminta pendapat. Oma Merry mengangguk dan menjawab lugas, “Baiklah, Mbak. Tolong dipendekkan yang rapi, ya. Tapi jangan dipotong kainnya. Supaya nanti masih bisa dipakai cucu saya waktu lebih tinggi lagi badannya.”
“Baiklah, Bu. Saya ukur dulu ya, mau dipendekkan seberapa.”
Perempuan muda berkuncir ekor kuda tersebut lalu mengukur gaun yang dipakai Celine dan memberi tanda dengan beberapa jarum pentul. Setelah selesai melakukan tugasnya, ia membantu gadis kecil itu melepaskan gaunnya di dalam kamar ganti dengan ditemani oleh Oma Merry. Sementara itu Joshua dan Amanda menunggu di depan pintu.
“Ehm…, Miss Amanda habis ini ada rencana pergi ke mana?” tanya Joshua memulai pembicaraan. Agak kagok rasanya karena sudah lama sekali dia tidak melakukan pendekatan dengan seorang wanita.
“Nggak ada, Pak. Saya datang kemari cuma untuk menemani Celine mencari gaun ulang tahun.”
“Oh, begitu. Terima kasih banyak ya, Miss.”
Amanda mengangguk mengiyakan. Dia sendiri merasa agak canggung berduaan dengan ayah anak didiknya ini. Mau berbasa-basi, tapi lidahnya terasa kelu. Juga tidak tahu bahan pembicaraan yang menarik untuk diobrolkan. Akhirnya gadis itu berpura-pura memperhatikan gaun-gaun lain yang tergantung di sekitarnya.
Joshua lalu mulai membuka pembicaraan lagi, “Tadi Miss Amanda jadi diantar temannya kemari? Berarti pulangnya nanti naik apa?”
“Sepertinya naik taksi online, Pak. Karena teman saya sudah pulang.”
“Kalau begitu, nanti sekalian saya antarkan pulang saja ya, Miss. Tapi kita menunggu gaun Celine selesai dipendekkan terlebih dahulu. Bagaimana?”
“Apakah tidak merepotkan Pak Joshua? Tempat kos saya lebih jauh dari sini dibandingkan rumah Bapak.”
Joshua tersentak. “Miss tahu alamat rumah saya?”
“Tahu, Pak. Soalnya omanya Celine pernah kesulitan memesan taksi online dari sekolah untuk pulang ke rumah. Katanya hari itu sopirnya tidak masuk kerja, jadi beliau diantar Pak Joshua pagi-pagi ke sekolah, lalu langsung ditinggal pergi ke kantor. Omanya Celine akhirnya menunggu berjam-jam di sekolah sampai jam pelajaran selesai. Waktu mau pulang, beliau kesulitan memesan taksi online sehingga meminta bantuan saya.”
“Oh, jadi Miss Amanda yang memesankan taksi untuk ibu saya?”
“Betul, Pak. Tapi tetap melalui aplikasi pada ponsel beliau.”
“Wah, hebat.”
“Hebat kenapa, Pak?”
“Cuma memesankan sekali tapi masih ingat alamatnya.”
Amanda tersipu malu. Pipinya memerah, membuat Joshua gemas melihatnya.
“Yaaa…, saya kan seorang guru, Pak. Wajib memperhatikan anak-anak didik.”
“Terima kasih banyak ya, Miss. Selama ini sudah sangat memperhatikan anak saya.”
“Itu sudah menjadi kewajiban saya sebagai wali kelasnya, Pak.”
Keduanya lalu tertawa bersamaan. Senang sekali rasanya bisa bercakap-cakap dengan rileks seperti ini, batin Joshua lega. Sepertinya tidak begitu sulit mengadakan pendekatan terhadap gadis yang ceria ini. Kepribadiannya begitu terbuka dan menyenangkan. Pantas Mama dan Celine sangat menyukainya. Aku pun demikian….
“Oma! Sampai kapan kita berada di dalam sini? Celine merasa kepanasan. Keluar, yuk.”
Suara yang terdengar dari dalam kamar ganti membuat kedua insan yang sedang asyik bercakap-cakap itu terkejut. Pintu kamar ganti pun terbuka dan muncullah si pelayan toko, Celine, dan Oma Merry yang keluar satu per satu dari dalam ruangan yang tidak terlalu besar tersebut.
Joshua memelototi ibunya yang menatapnya penuh arti, sementara Amanda berpura-pura tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Diajaknya Celine bicara sementara Joshua mengikuti ibunya berjalan menuju ke meja kasir untuk membayar gaun Princess Belle yang disukai anaknya.
Beberapa menit kemudian mereka berempat sudah berada di dalam arena permainan terbesar di mal tersebut. Amanda bermaksud menemani muridnya bermain kolam bola dan seluncuran yang sangat tinggi, tetapi dicegah oleh Oma Merry. “Biarkan saja Celine bermain sendiri, Miss. Saya yang akan mengawasinya. Miss Amanda duduk menunggu di sini saja sama papanya Celine. Biar nggak capek. Kasihan sudah keluar sejak pagi tadi kan, Miss?”
“Nggak apa-apa, Oma. Saya aja yang mengawasi Celine. Oma menunggu di sini sama papanya Celine.”
“Ehm, saya justru mudah capek kalau duduk terus-terusan, Miss. Enakan nungguin cucu main. Saya bisa berdiri, duduk, lihat-lihat apa gitu,” sahut Oma Merry beralasan.
Amanda tidak berani lagi membantah kata-kata perempuan yang jauh lebih tua darinya ini. Bagaimanapun juga dia harus menghargai kemauan wali muridnya. Gadis itu mengalah dan duduk menunggu di bangku foodcourt yang letaknya berdekatan dengan kolam bola dan seluncuran yang dituju Celine dan neneknya.
Kini dia berduaan lagi dengan ayah muridnya yang tampan dan gagah. Aduh, hatiku dag-dig-dug tak karuan, batinnya gelisah.
“Miss mau makan dan minum apa? Silakan dilihat-lihat menunya,” ujar Joshua menawari dengan sopan. Dia sendiri merasa agak lapar dan mau memesan makanan.
“Saya sudah makan tadi dengan teman saya, Pak. Terima kasih.”
“Kalau begitu pesan minuman aja, ya. Nggak boleh nolak lho, Miss.”
Amanda tersenyum manis dan kemudian memilih air mineral tidak dingin.
“Itu aja, Miss? Nggak mau minuman lain? Teh, kopi, jus, boba, atau lainnya?”
“Air mineral tidak dingin sudah cukup, Pak. Terima kasih.”
“Baiklah kalau begitu. Tunggu dulu ya, Miss. Saya pesankan.”
Gadis itu mengangguk mengiyakan. Dia tetap duduk di tempatnya sementara lawan bicaranya bangkit berdiri dan pergi sejenak untuk memesan makanan dan minuman. Tak lama kemudian Joshua muncul kembali sambil membawa pesanan guru anaknya itu. Amanda menerima botol air mineral beserta sebuah sedotan yang dibungkus kertas berwarna putih.
“Silakan diminum, Miss. Atau saya bantu bukakan tutup botolnya?”
“Oh, saya buka sendiri aja, Pak. Terima kasih.”
Amanda membuka tutup botol plastik itu dan merobek bungkus sedotannya. Lalu benda berbentuk silinder tersebut dimasukkannya ke dalam botol yang sudah terbuka dan dia permisi sebentar kepada pria di hadapannya untuk minum. Bahkan saat minum begini dia tampak begitu menawan, puji Joshua dalam hati.
“Miss Amanda rumahnya di kota Malang, kan? Lahir dan besar di sana?” tanya pria yang sedang dimabuk asmara itu memberanikan diri. Mama sudah bersusah-payah mengatur pertemuan ini, aku tidak boleh mengecewakan hatinya. Setidaknya aku harus berusaha mencoba…, batinnya menyemangati dirinya sendiri.
“Betul, Pak. Saya orang Malang asli.”
“Sudah berapa lama tinggal di Surabaya?”
“Semenjak saya diterima kuliah di sini.”
“Wah, berarti sudah lama sekali, ya? Sudah lima tahun lebih, dong.”
“Tujuh tahun tepatnya, Pak. Waktu itu saya baru lulus SMA dan berumur delapan belas tahun.”
Malam harinya Amanda membacakan cerita untuk Celine sebelum tidur. Ditemaninya anak itu sampai terlelap. Lalu dikecupnya pipi mungil yang menggemaskan itu dan keluarlah ia meninggalkan kamar tersebut. Perempuan yang sudah resmi menjadi seorang istri itu lalu melangkah masuk ke dalam kamar yang selama ini ditempati Joshua sendirian. Dengan jantung berdegup kencang dibukanya pintu kamar. “Mas Josh,” sapanya sembari mencari-cari sosok suaminya di dalam ruangan yang terang benderang. Tak ada jawaban. Orang yang dicarinya tak kelihatan batang hidungnya. Diperiksanya kamar mandi, tak tampak secuil pun bayangan Joshua. Di mana ya, suamiku? tanya Amanda dalam hati. Dia lalu keluar dari kamar mandi. Pandangannya mulai berkelana ke sepanjang
Selanjutnya Tante Beatrice dan Tante Bianca bersatu-padu menggugat Arnold atas pasal tindakan penganiayaan. Mereka sepakat mengeluarkan sejumlah besar uang agar kasus tersebut tidak diberitakan oleh media. Bukti-bukti banyak yang memberatkan tersangka hingga menyebabkan statusnya berubah menjadi terdakwa. Kesaksian Joshua turut meyakinkan hakim bahwa terdakwa mempunyai kecenderungan melakukan penyiksaan terhadap kaum wanita.Setelah menjalani persidangan selama beberapa bulan, akhirnya hakim menjatuhkan hukuman tiga belas tahun penjara. Arnold yang kondisinya tak lagi terawat seperti dulu akibat lama meringkuk di sel rumah tahanan, tidak terima terhadap keputusan hakim.“Keputusan hakim tidak adil. Saya mau naik banding! Naik banding!” teriaknya histeris. Kuasa hukum yang diperolehnya secara cuma-cuma dari negara hanya memandang tak berdaya ketika kliennya itu diringkus
Keesokkan harinya Amanda dijemput mobil travel pukul enam pagi. Setelah mengikuti rute sang sopir menjemput penumpang-penumpang di Malang dan menurunkan mereka di alamat-alamat yang dituju, akhirnya tibalah saatnya gadis itu diantarkan ke rumah Joshua.Kedatangannya langsung disambut hangat oleh sang kekasih. Oma Merry sedang menunggui Celine di sekolah. Joshua segera mengajak gadis itu memasuki kamar kerjanya. Sesampainya di ruangan yang cukup besar itu, laki-laki yang dilanda kerinduan teramat sangat itu segera menutup pintu. Direngkuhnya gadis yang selalu menghiasi mimpi-mimpinya tiap malam itu dalam pelukan hangatnya.“Aku kangen banget, Manda,” ucapnya lembut seraya membelai-belai rambut ikal harum sang pujaan hati. Ditengadahkannya wajah cantik itu dan diciuminya dengan penuh hasrat. Bibir mereka saling be
“Bagaimana, Nona Amanda? Barangkali ada hal-hal yang kurang dipahami? Saya akan menjelaskannya lagi jika tidak keberatan….”Yang ditanya menggeleng pelan. Sambil tersenyum simpul, gadis cantik itu menyahut, “Saya sudah memahami semuanya, Bapak Petrus. Saya pribadi bersedia membantu Tante Beatrice. Mengenai Mas Joshua bersedia atau tidak memberikan kesaksian, mohon beri saya waktu untuk membujuknya. Karena ini berkaitan dengan aib rumah tangganya yang dulu menimbulkan kepedihan teramat besar bagi dirinya. Saya harus sangat berhati-hati agar luka hatinya yang sudah sembuh tidak menganga lebar kembali.”Petrus mengangguk tanda mengerti. Memang tak mudah bagi seorang suami untuk membuka aib keretakkan rumah tangganya di depan orang lain. Sambil tersenyum bijaksana, kuasa hukum Beatrice itu berkata bijak, “Terima kasih banyak atas kesediaan Nona Amanda membantu kami. Saya percaya orang baik seperti Nona
Pagi itu Amanda sedang berada di rumah. Ia baru saja selesai sarapan bersama ayahnya dan hendak berangkat ke rumah sakit untuk menggantikan Valerie menjaga ibu mereka. Tiba-tiba ponselnya berbunyi karena telepon dari nomor tak dikenal.“Halo?” sapa gadis itu ramah. Lalu terdengar sebuah suara berat seorang laki-laki dewasa, “Maaf, apakah saya sedang berbicara dengan Nona Amanda?”“Betul, saya sendiri. Ada keperluan apa, ya?” tanya Amanda heran. Caranya bicara bukan seperti orang yang mau menawarkan kartu kredit atau pinjaman tunai, komentarnya dalam hati. Gadis itu sudah terbiasa menerima telepon dari tenaga-tenaga pemasaran produk-produk semacam itu.“Oh, Nona Amanda sendiri? Kenalkan. Saya Petrus, pen
Tante Beatrice melongo. Tak diduganya suaminya bermaksud menjodohkannya dengan sahabat baiknya sendiri. Dan yang paling mengejutkan adalah…ternyata orang itu sudah lama menaruh hati pada dirinya! Pikiran wanita yang sedang yang kacau balau tak sanggup menerima kenyataan ini. Ditatapnya laki-laki berbadan tinggi besar dan berwajah kasar itu dengan garang.“Keluar kau sekarang! Keluar! Kalian para lelaki memang tak bisa dipercaya. Aku kecewa dengan kalian semua! Pergi kau, pergi!” teriaknya mengusir Petrus.Suaranya yang histeris ternyata terdengar sampai ke luar kamar. Seketika seorang dokter dan dua perawat datang menengoknya. “Ada apa, Bu Beatrice. Apakah Ibu merasa kesakitan?” tanya sang dokter cemas. Seharusnya obat yang diberikannya tadi sudah mampu meredakan rasa sakit pada wajah si pasien.“Saya sakit hati melihat orang ini, Dokter!” seru pasiennya seraya menunjuk-nunjuk k
“Arnold kok dilawan,” seringainya jahat. Dengan santai dia naik lift menuju basement tempat mobilnya diparkir.Sementara itu Tante Beatrice yang terbaring di lantai dengan wajah penuh luka perlahan bangkit.Dilihatnya keadaan Tante Bianca. Alangkah terkejutnya dia melihat mata wanita itu terpejam.“Ya Tuhan, apakah dia sudah mati?” cetusnya cemas. Didekatkannya telinganya pada dada perempuan itu. Ia menghembuskan napas lega mendengar Tante Bianca masih bernapas. Dipandanginya wajah dan tubuh yang babak belur itu prihatin. Kami berdua adalah wanita-wanita paruh baya yang tak tahu diri, tangisnya dalam hati. Inilah balasan yang harus kami terima sekarang.Lalu perlahan ia bangkit berdiri dan berjalan menuju ke kama
Keesokkan sorenya, pesawat yang dinaiki Tante Beatrice dari Singapore mendarat di bandara Juanda, Surabaya. Ia dijemput oleh sopirnya yang langsung mengantarnya pulang ke rumah.“Ini oleh-oleh buatmu dan keluarga,” ujar wanita itu sesampainya di rumah. Ia menyerahkan sebuah kantung kertas berisi aneka makanan ringan khas negeri Singa kepada sopirnya. Pegawai kepercayaan Tante Beatrice itu menerimanya sambil mengucapkan terima kasih.“Apakah Ibu masih mau pergi lagi malam ini?” tanya pria itu sopan. Dilihatnya bosnya itu menggeleng. “Kamu boleh pulang sekarang. Saya sudah tidak ada rencana pergi kemana-mana,” jawab Tante Beatrice lugas.Sang sopir mengangguk. Disodorkannya kunci mobil kepada majikannya dan ia
Tante “Bagaimana gagasan Val tadi menurut Mama?” tanya gadis itu menanti reaksi sang ibu. Rita mengangguk dan berkata, “Mama suka dengan ide-idemu itu, Nak. Tapi coba bicarakan dengan Papa dulu, ya. Siapa tahu beliau bisa memberikan masukan yang bisa mendukung pemikiranmu tadi.”Valerie menatap ibunya takjub. Mama sudah berubah, pikirnya senang. Rupanya serangan stroke yang dialaminya membuat dirinya introspeksi diri. Dulu dia jarang sekali mau mendengarkan pendapat orang lain karena merasa dirinya sendiri yang benar. Tuhan memang luar biasa, batin gadis itu penuh rasa syukur. Selalu punya cara untuk membuat umatNya bertobat.“Lalu bagaimana dengan impianmu untuk belajar bahasa Mandarin di Beijing, Val?” tanya ibunya penasaran. Ia tak percaya anaknya yang biasanya keras kepala in