"Apa ini semua karena itu? Aku tidak bisa langsung menuduh seperti itu. Lebih baik aku mulai mengamati polanya." Tommy bergumam dalam hati."Sudahlah, ayo cepat berikan infus vitamin seperti biasanya." Tommy meminta Adara segera melakukan tindakan.Adara pun menurutinya tanpa bertanya apapun lagi.Lembayung sore sudah memenuhi langit. Cahaya jingganya terkadang membentuk siluet gedung-gedung. Tommy mengakhiri hari itu dengan tubuh yang kurang baik juga pikiran yang cemas.Ia belum mengabari Amarta lagi, hari ini rasanya ia ingin beristirahat di rumah dan tidak menemui wanita itu untuk sementara waktu.Tommy menghentikan laju mobilnya di depan sebuah rumah mewah bergaya arsitektur khas kolonial Belanda. Halamannya yang luas dengan berbagai jenis tanaman membuat rumah itu semakin terlihat megah.Seorang lelaki berseragam hitam segera menghampiri Tommy begitu ia keluar dari mobil."Akhirnya den Tommy pulang juga. Mari saya masukan ke garasi mobilnya." L
Dyah semakin merasa tak nyaman. Rasanya ia ingin mendekap tubuh dihadapannya itu. Rasa rindu yang sudah lama ia pendam seolah akan meledak keluar.Tok... Tok... Tok...Terdengar suara ketukan pada pintu, Bu Maryam mendapati dokter yang sudah ia hubungi berdiri di sana."Silahkan masuk dok." Bu Maryam mempersilahkan dokter untuk memeriksa Tommy.Dyah menarik nafas lega. Ia sempat khawatir kecemasannya terlihat mencurigakan dimata Bu Maryam. Namun untungnya dokter datang sebelum semua semakin terlihat.Dengan hati-hati Dyah membaringkan kembali tubuh Tommy, "Saya izin ke dapur lagi bu." Dyah berpamitan.Bu Maryam mengangguk, "Dyah tolong buatkan minum untuk dokter dan simpan di meja ruang tamu, ya." Perintah Bu Maryam.Dyah mengangguk dan segera pergi. Gadis itu menghela nafas panjang merasa beruntung nyonya rumah tak menyadari perubahan rona pada wajahnya.Bu Maryam memerhatikan dokter yang sedang melak
Dyah terkejut hingga pisau serta apel yang ia pegang terlempar ke atas meja."Kenapa ini?" pekik Dyah.Tommy yang nampak sedikit kesal tetap berusaha membantu Dyah. Lelaki itu mengambil tisu mencoba menutup luka agar pendarahannya berhenti."Duduk! aku akan memanggil suster," perintah Tommy.Dyah pun mengikuti perintah Tommy, ia duduk dengan wajah menahan rasa perih. Tak lama kemudian Tommy datang dengan seorang suster yang membawa peralatan untuk pertolongan pertama.Suster membersihkan darah yang sudah mengering pada tangan dan jemari lentik Dyah, "Lukanya cukup dalam, namun tidak fatal," jelasnya."Sudah saya sterilkan dan ditutup. Jangan sampai kena air untuk hari ini." Lanjut suster kemudian pergi meninggalkan Dyah dan Tommy di sana."Apa yang kamu pikirkan sampai-sampai tak sadar memotong jari sendiri!" ucap Tommy kesal."Tolong jangan melakukan hal bodoh seperti ini! Bikin khawatir saja!" lanjut Tomm
Tommy melihat Dyah dengan tatapan jengkel, "Mau apa lagi kamu Dyah?" tanyanya."Aku hanya bertanya, mau pergi kemana den Tommy yang baru saja pulang dari rumah sakit? Apa aku tidak boleh bertanya? Atau mungkin lebih baik ibu yang bertanya langsung?" Dyah berusaha menekan Tommy.Dyah berjalan menghampiri Tommy dan berusaha mengambil kunci mobil yang Tommy pegang. Namun dengan kasar Tommy menepis tangan Dyah. Gadis itu sempat kehilangan keseimbangannya namun ia masih bisa menahan tubuhnya agar tak terjatuh."Masuk kedalam dan tidak usah ikut campur! Aku bukan anak kecil!" bentak Tommy.Tommy tidak menunggu tanggapan Dyah, dia langsung membuka pintu mobil dan duduk dibalik kemudi.Dyah tidak bisa melawan meski dia sangat ingin menahan lelaki itu agar tidak pergi. Netranya menatap nanar Tommy yang perlahan tak bisa ditangkap oleh pandangan matanya.Sepanjang perjalanan Tommy tak henti-hentinya bersenandung. Wajahnya yang sudah cerah dan segar dihiasi senyuman manis dengan lesung pipi yang
Amarta terdiam, Ia bimbang harus menangani Tommy seperti apa, "Apa aku harus membunuhnya sekarang? Tidak. Dia kesini tanpa pamit setelah sakit cukup parah, aku pasti langsung jadi tersangka begitu ditemukan. Aku akan ulur waktunya," batin Amarta."Sayang? Bagaimana... Kamu mau kan aku kenalkan pada keluarga ku?" Tommy kembali bertanya.Amarta tersenyum, dengan rapih menyembunyikan keinginan membunuh dalam dirinya."Kenapa kamu tidak menjawab? Ayolah katakan sesuatu! Kita sudah cukup jauh menjalani hubungan ini. Apa kamu tidak ingin ada yang bertanggungjawab atas tubuhmu? Aku sudah menyentuh semua bagian tanpa terkecuali." Tommy memaksa.Amarta tersenyum sinis, "Lalu apa karena kamu pernah menyentuh tubuhku kita wajib menikah? Menikah itu bukan hal yang mudah!" Nada bicara Amarta semakin meninggi."Iya! Apa kamu tidak malu selalu memulai suatu hubungan dengan tubuh yang sudah disentuh banyak pria? Aku akan menerima mu apa adanya." Tommy berusaha meraih tangan Amarta."Hentikan omong ko
Beberapa jam sebelum Tommy pergi dari Villa..."Aku sudah sampai di sini, setidaknya aku harus tahu Tommy sedang menjalin hubungan dengan siapa." Dyah bergumam dibalik sebuah pohon besar dijalan sebelum masuk ke pekarangan villa.Entah pikiran gila apa yang merasuki Dyah. Begitu Tommy pergi, ia langsung menyuruh tukang kebun dikediaman Bu Maryam untuk mengantarkannya mengikuti Tommy secara diam-diam, dan sekarang ia berada di tempat asing jauh dari pemukiman warga."Tempat apa ini? Hanya ada satu rumah dan rumah itu sepertinya milik orang kaya." Dyah terus mengamati sekitarnya.Cukup lama Dyah menunggu. Kulitnya yang terasa gatal dan merah akibat gigitan nyamuk dan semut sudah tak ia rasakan sama sekali, "Langit semakin sore namun Tommy masih saja duduk di pelataran rumah besar itu," gumam Dyah.Tak lama Dyah mendengar suara mobil dari kejauhan. Ia dengan rapih menyembunyikan tubuhnya diantara pepohonan dan semak belukar.Netra Dyah menatap tajam pada mobil yang baru saja tiba, ia pun
Dyah tersentak. Dia tidak menyangka orang ini tahu soal kehamilannya, padahal selama ini dia menyembunyikannya dengan rapih sampai tak ada satu orang pun yang tahu."Jangan bicara sembarangan!" Dyah masih berusaha melawan.Amarta terus berjalan ke arah Dyah. Posisinya yang semakin dekat dengan Dyah membuat Dyah tanpa sadar melangkahkan kakinya kebelakang secara perlahan."Apa ini? Aku bahkan sudah terintimidasi oleh tatapannya yang tajam itu," batin Dyah."Aku tidak ingat berurusan denganmu!" ucap Amarta."Ya, memang. Aku kesini karena Tommy," jawab Dyah."Ternyata benar. Dia yang menghamili mu? Kalau aku tebak usia kandunganmu sudah hampir tujuh bulan, benar?" Amarta tak melepaskan pandangannya dari perut Dyah."Sepertinya Tommy pergi bersamaku setelah menghamili mu, benar?" lanjut Amarta."Kasihan sekali," Amarta melemparkan tatapan sedih."DIAM! DIAAAM! Aku tidak butuh dikasihani! Ini semua karena mu, dasar wanita j*lang!" Dyah mulai terguncang menyadari betapa menyedihkannya dia s
"Aku sudah menelepon Tommy, dia akan kesini sebentar lagi." Amarta menyajikan teh hangat untuk Dyah.Dyah menerima teh hangat itu penuh dengan rasa malu, "Terimakasih," ucapnya.Kedua mata Dyah sudah sembab. Ia menangis cukup lama sebelumnya. Hatinya seperti hancur, kenapa ia tidak menyadari lebih cepat bahwa dia hanya dimanfaatkan oleh Tommy. Dia bertindak bodoh berpikir bahwa Tommy benar-benar mencintainya."Aku akan meninggalkan Tommy, sebenarnya kami tadi baru saja bertengkar. Baguslah kamu sekarang datang, aku jadi punya alasan lain untuk mengakhiri hubunganku dengannya." Amarta duduk di sofa berhadapan dengan Dyah."Serius?" tanya Dyah.Amarta hanya menganggukkan kepalanya."Apa kamu tidak mencintainya?" Dyah kembali bertanya."Cinta? Cinta ya..." Amarta tampak berpikir.Dyah menatapnya bingung, "Apa-apaan ini? Apa dia juga hanya mempermainkan Tommy?" batinnya.Amarta mengangkat bahunya, "Entahlah... Aku sendiri tidak tahu cinta itu yang seperti apa.""Tapi..." Dyah hendak menga