Keheningan mengambang di udara seperti kabut malam yang enggan beranjak dari aspal. Narumi merasakan dentuman jantungnya sendiri.
Empat bulan perjuangan untuk mempertahankan pendiriannya luruh dalam sekejap oleh satu kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya. Lalu, suara berat dan dalam milik Bramastyo kembali memenuhi gendang telinga Narumi. [Bagus, kapan kamu akan kembali? Apa perlu dijemput?] Narumi menelan ludah dengan susah payah, kepalanya refleks menggeleng pelan meski sang ayah tak dapat melihatnya. “Tidak perlu, Pa,” tolaknya cepat, suaranya sedikit bergetar saat berusaha mempertahankan sisa-sisa kemandirian yang masih ia miliki. “Aku... akan datang dengan kakiku sendiri.” [Baiklah, Papa tunggu kamu di rumah.] “Mm,” hanya itu yang mampu Narumi gumamkan, lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan kata-kata lain. [Putriku, selamat datang kembali.] Kata-kata terakhir sang Ayah sebelum sambungan terputus bagaikan anak panah yang menembus pertahanan Narumi. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menahan isak tangis yang memberontak ingin keluar. Sepuluh tahun, waktu yang tidak sebentar untuk menghilang dari kehidupan keluarganya. Rasa bersalah kini menggerogoti hatinya seperti rayap yang perlahan namun pasti menghancurkan kayu. Sementara itu, di gazebo yang terletak di halaman belakang rumah mewah itu, sosok Ghali mondar-mandir bagai singa terkurung. Keringat dingin membasahi dahinya yang berkerut, matanya tak henti melirik ke arah jendela kamar Narumi di lantai atas. Bayang-bayang kehancuran karirnya menari-nari di pelupuk mata. “Apa yang harus aku lakukan?” bisiknya parau, lebih kepada bayangan diri sendiri. “Bagaimana kalau wanita itu angkat bicara ke media? Citraku... semuanya bisa hancur dalam sekejap.” Di ambang pintu gazebo, Suhita berdiri dengan anggun – namun keanggunannya itu kontras dengan tatapan dingin yang menusuk dari matanya yang menyipit. Ia pun ikut menatap ke arah kamar Narumi, seolah dapat menembus dinding-dinding yang memisahkan mereka. “Tenanglah, Ghali. Apa yang kamu takutkan?” Ghali mengalihkan pandangannya ke arah sang ibu, matanya menyipit penuh kekhawatiran. “Citraku, Ma. Aku tak mau dipandang buruk oleh masyarakat. Belum lagi investor... semuanya akan berantakan jika nama baikku rusak.” Suhita melengkungkan senyum misterius, langkahnya anggun namun mengancam ketika mendekati putranya. “Tak perlu khawatir,” suaranya sehalus sutra namun setajam belati, “Jika mantan istrimu membuka mulutnya ke awak media, maka dia akan menjadi mayat...” Ghali tersentak sejenak, namun keterkejutannya dengan cepat berganti dengan seringai tipis di wajahnya yang tampan. “Aaa... Kenapa aku jadi bodoh begini?” ucapnya dengan nada yang sama misterius. “Jangan cemas, Mas.” Suara manja Karin memecah ketegangan saat wanita itu menghampiri Ghali, langsung menyandarkan kepalanya dengan manja di bahu kokoh pria tersebut. “Tak akan ada yang merusak citra mu, aku bisa jamin itu.” “Termasuk papamu?” Ghali mengangkat satu alisnya, ada nada menantang dalam suaranya. Karin mengangkat kepalanya, matanya yang berbinar penuh ambisi bertaut dengan mata Ghali. “Iya, termasuk Papa. Aku akan membujuknya agar merestui hubungan kita.” “Bagus!” Suhita berseru dengan semangat yang kontras dengan kilatan dingin di matanya – kilatan yang menyimpan rahasia gelap yang siap menerkam siapa saja yang berani menghalangi jalan mereka. Tawa bahagia mengalun dari gazebo, kontras dengan suasana keruh yang menyelimuti kamar Narumi. Di ujung ranjang, dia duduk termenung, matanya menyapu setiap sudut ruangan yang telah menjadi saksi bisu tiga tahun kehidupannya. Setiap detail memicu kenangan, baik yang manis maupun pahit. Dengan gerakan perlahan namun pasti, Narumi yang kini mengenakan pakaian santai bangkit dari duduknya. Tas travel kecil tergenggam di tangannya; seringan bebannya, seberat keputusannya. Wajahnya memang tenang, tapi matanya menyiratkan kewaspadaan seekor rusa yang siap menghadapi ancaman predator. Derit halus anak tangga seolah mengiringi setiap langkahnya menuju lantai bawah. Tepat di ujung tangga, takdir seakan mengejeknya dengan mempertemukan Narumi dengan tiga sosok yang paling ingin ia hindari. "Na, kamu mau kemana?" Karin melontarkan pertanyaan dengan nada manis yang kentara palsu. Narumi memilih bungkam, terus melangkah melewati mereka hingga sentakan keras di lengannya membuatnya terhenti. "Apa yang Anda lakukan?" tanya Narumi pada Suhita, menjaga nada formalnya meski amarah mulai bergolak. "Cek semua barang yang dibawa wanita ini!" Wanita paruh baya tersebut malah berseru tajam, mengabaikan pertanyaan Narumi seolah itu hanya angin lalu. "Lepas!" Jeritan Narumi memenuhi ruangan saat para pelayan berusaha merebut tasnya. "Apa kalian pikir aku membawa barang-barang kalian dari rumah ini?" Pertanyaannya menggantung di udara, tak berjawab. Yang ada hanya isyarat dingin Suhita pada para penjaga untuk terus menarik tas itu hingga Narumi tersungkur ke lantai dengan suara berdebum pelan. "Perhatikan dengan jelas," Suhita menginstruksi dengan nada sedingin es, "Jika ada barang mewah, laporkan dia ke polisi!" Kilatan amarah berkobar di mata Narumi saat menatap mertuanya, sebelum pandangannya beralih pada isi tasnya yang kini berserakan di lantai bagai kepingan harga dirinya yang hancur. "Tak ada barang yang mahal, Nyonya. Semua pakaian itu terlihat kumal dan lusuh." Suhita mengangguk puas, seringai mengejek tersungging di bibirnya. "Sangat disayangkan. Aku kira akan menemukan barang berharga, mengingat bagaimana borosnya mantan istri anakku ini." Kata 'mantan istri' diucapkan dengan penekanan khusus, seolah ingin menggores luka baru di hati Narumi - meski status perceraian mereka belum resmi. Narumi bangkit dengan wajah merah padam, amarahnya sudah mencapai ubun-ubun. "Apa Anda sudah puas!" Matanya bergerak liar seperti api yang menjilat-jilat mencari mangsa. "Kalian... tidak pernah cukup untuk menyakitiku." Tawa Suhita mengudara, memenuhi ruangan dengan nada mengejek yang menyesakkan. "Bukannya aku sudah bilang, aku tak akan pernah melepaskanmu, Narumi. Ini belum seberapa, anggap saja sebagai peringatan dariku!" "Kalian akan menyesal karena sudah menyinggungku!" Narumi berdecak, suaranya bergetar menahan emosi. "Oh, kamu sudah mengancam Mama ya Na!" Ghali akhirnya angkat bicara, sementara Karin tersenyum penuh kemenangan di sampingnya, menikmati pertunjukan penghinaan ini. Senyum miris terpatri pada wajah Narumi, matanya berkaca-kaca menahan air mata kekecewaan. "Aku sudah salah karena jatuh cinta padamu, Mas. Kamu bukanlah orang yang pantas untuk dicintai. Dan... benar, aku mengancam Mamamu!" "Kamu..." Ghali mencengkeram lengan Narumi dengan kasar, membuat wanita itu meringis kesakitan. Namun sebelum kalimatnya selesai, kehadiran mendadak para pengawal rumah memotong ucapannya. "Tuan, di luar..." BRAK! Suara tubuh yang terlempar memecah ketegangan, membuat semua terlonjak kaget. Cengkeraman Ghali pada lengan Narumi mengendur tanpa ia sadari. "Siapa kalian?!" Suhita memekik saat sosok-sosok bertubuh besar dan berpakaian hitam memaksa masuk. Para pria itu mengabaikan teriakan Suhita, bergerak dengan presisi militer hingga mencapai Narumi. "Nona Narumi," salah satu dari mereka menyodorkan ponsel. "Tuan besar ingin berbicara dengan Anda." Narumi terpaku, matanya mengikuti arah pandang pria itu ke arah CCTV. Dengan tangan sedikit gemetar, ia mendekatkan ponsel ke telinganya. "Halo..." [Keluar dari rumah itu, sekarang.] Narumi menelan ludah, matanya melebar menatap layar ponsel yang menghitam. Suara tegas Bramastyo, ayahnya, masih bergema di telinganya. Mendadak semua menjadi masuk akal untuk tatapan pria itu ke CCTV, pengawasan rahasia ayahnya selama ini. “Jadi, papa mengamati ku?” Batin Narumi bergumam kebingungan, “Tapi sejak kapan?” "Mari Nona, kami akan mengawal Anda." Narumi tersentak, ia dengan cepat mengangguk pelan, melangkah di antara para pengawal yang menunduk hormat padanya. Setiap langkahnya kini dipenuhi keyakinan baru. "Narumi, siapa mereka?" Suara Suhita yang biasanya penuh otoritas kini terdengar goyah. Narumi terus melangkah dalam diam, tubuhnya dikawal ketat oleh dua puluh pria berbadan tegap, mengabaikan Ghali, Karin, dan Suhita yang masih mengikuti dengan pertanyaan yang sama. "Narumi ZK! Jawab, siapa mereka?!" Ghali berteriak saat Narumi mencapai pintu utama dan menuruni anak tangga. "Selamat datang kembali, Nona." Sebuah suara familiar menyapa. Pria berambut putih dengan kacamata bulat membungkuk hormat, sekaligus mengabaikan rasa ingin tahu Ghali. Kemudian, perhatian mereka teralih pada sosok yang baru keluar dari mobil. Pria bertubuh tinggi dan atletis dengan aura dingin yang mengintimidasi. “Dia...”Ardiaz membukakan pintu mobil untuk Narumi. Gestur sederhana, namun bagi Narumi, ini seperti dunia baru yang terbuka. Saat masuk ke dalam mobil, aroma parfum Ardiaz yang maskulin menyambut indera penciumannya, membuatnya merasa aman.Suasana dalam mobil terasa hening beberapa saat. Hanya suara AC dan deru lalu lintas Jakarta yang terdengar samar. Sesekali klakson kendaraan dan teriakan pedagang kaki lima di persimpangan jalan menembus keheningan mereka. Ardiaz menyetir dengan tatapan lurus ke depan, tapi dari sudut matanya, ia sesekali melirik Narumi. Wanita itu duduk tenang di sampingnya, jemarinya bermain dengan ujung blazer hitam yang dikenakannya—kebiasaan kecil saat ia gugup yang Ardiaz hapal di luar kepala.“Na,” panggil Ardiaz pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya bercampur dengan gemuruh mesin kendaraan lain. “Aku ingin kamu ikut ke rumahku sekarang.”Narumi menoleh, alisnya terangkat sedikit. Pantulan sinar matahari dari jendela membuat mata cokelatnya terlihat lebih teran
Bramastyo menghela napas panjang, berat dengan beban rahasia yang telah ia pikul selama bertahun-tahun. Matanya meredup seperti lilin yang hampir habis sumbu.“Boleh Papa masuk ke kamarmu?” tanyanya pelan, suaranya bergetar halus, menggantung di udara seperti kabut tipis di pagi hari.Narumi mengangguk tanpa kata. Tubuhnya yang lelah oleh tangis masih terasa kebas. Ia tahu... malam ini, akan ada kebenaran lain yang akhirnya keluar dari balik kabut panjang dalam hidupnya. Jantungnya berdegup kencang, menghitung detik-detik menuju pengakuan yang telah ia tunggu seumur hidup, seperti penantian panjang burung dalam sangkar yang melihat pintu sangkarnya mulai terbuka perlahan.Bramastyo melangkah masuk dengan langkah berat, setiap injakannya seperti membawa seluruh beban dunia. Ia tidak memilih untuk duduk, melainkan berjalan langsung menuju balkon kamar, seolah membutuhkan udara malam untuk membantu melepaskan rahasia yang telah tertanam begitu dalam di jiwanya.Pria paruh baya itu bersa
Tubuh Narumi menggigil hebat, seolah seluruh darah di tubuhnya membeku seketika. Bukan karena udara yang dingin, melainkan karena kenyataan pahit yang baru saja terungkap di hadapannya seperti belati yang menghujam tepat ke jantungnya. Dunia di sekitarnya berputar liar, membuat lantai di bawah kakinya terasa miring dan bergoyang. Ia hampir kehilangan keseimbangan, tangannya secara naluriah mencengkeram tepi meja untuk bertahan.Matanya yang biasanya berbinar penuh kehidupan kini kosong menatap pria yang berdiri dengan angkuh di tengah ruang tamu rumah keluarga Kwong — Demetrius Kallistos. Pria itu, dengan senyum tipis penuh kepuasan di wajahnya, menjadi perwujudan dari setiap ketakutan yang selama ini menghantuinya.Suara hatinya bergema penuh luka, seperti bisikan pilu yang mencekik batinnya. Apakah semua orang di sekitarku tidak memiliki ketulusan? Semuanya... selalu memiliki motif tersembunyi. Semuanya... selalu bermain drama.Narumi merasakan sesuatu hancur di dalam dirinya—ke
Tangan Narumi mengepal erat di sisi tubuhnya. Detik itu juga, seluruh tubuhnya terasa membeku. Napasnya memburu, seakan ia baru saja ditarik ke dalam pusaran kegelapan yang lebih dalam dari yang ia bayangkan.Ia menoleh, menatap Ardiaz dengan sorot mata penuh pertanyaan dan kemarahan. “Kau tahu siapa ‘Tuan’ yang dia maksud?”Ardiaz menggeleng pelan, tetapi ekspresinya semakin tegang. “Aku masih menyelidikinya. Tapi ini membuktikan satu hal, Na.”Ia menatap layar, seolah ingin menghancurkan sosok Larry yang masih tampak di sana. “Larry bukan dalang utamanya. Dia hanya eksekutor. Ada seseorang di balik layar yang mengendalikan semuanya.”Narumi menggigit bibirnya. Seluruh tubuhnya bergetar, bukan hanya karena kemarahan, tetapi juga ketakutan yang mulai menyusup ke dalam dirinya.Siapa yang cukup berkuasa untuk mengatur semua ini?Dan lebih penting lagi—kenapa dia menargetkan Siska? Kenapa dia menargetkan dirinya?Tiba-tiba, Narumi merasa perutnya mual. Ia bergegas bangkit dari kursi, t
Setibanya di Indonesia, Narumi merasa pikirannya tak bisa tenang. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah ia semakin dekat dengan kebenaran yang bisa menghancurkannya.Saat ia dan Ardiaz melangkah keluar dari pintu kedatangan internasional, suara panggilan yang familiar menghentikan langkah mereka."Na!"Narumi menoleh dan mendapati Bramantyo, ayahnya, berdiri dengan ekspresi serius di antara kerumunan orang yang menjemput.Pria itu terlihat berwibawa dalam balutan setelan kasual, tetapi sorot matanya tajam, seolah sedang mencoba membaca situasi.“Papa?” Narumi mengerutkan dahi, tidak menyangka akan melihat ayahnya akan datang menjemputnya.Bramantyo berjalan mendekat, tatapannya bergantian antara Narumi dan Ardiaz. “Kenapa kamu pulang lebih cepat dari rencana?” tanyanya, suaranya dalam dan sedikit penuh curiga.Narumi melirik sekilas ke arah Ardiaz. Ia bingung untuk menjawab ayahnya, sebab ia tak tahu apakah ia boleh jujur atau tidak atas situasi yang tengah ia hada
Narumi duduk di dalam mobil dengan pandangan kosong, pikirannya masih berkecamuk dengan segala fakta yang baru ia ketahui. Ardiaz yang duduk di sebelahnya melirik sekilas ke arahnya, berusaha membaca ekspresi wanita itu.“Aku tahu kamu masih ragu padaku,” ujar Ardiaz akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya.Narumi menghela napas panjang. “Aku tidak tahu apakah aku bisa sepenuhnya mempercayaimu, tapi aku juga tidak bisa menyangkal bahwa aku membutuhkamu.”Ardiaz tersenyum kecil, seperti lega mendengar itu. “Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayaiku sekarang. Tapi setidaknya, kita bisa membuat kesepakatan.”Narumi menoleh, matanya penuh pertanyaan. “Kesepakatan?”Ardiaz menatapnya serius. “Mulai sekarang, kita harus jujur satu sama lain. Tidak ada lagi rahasia. Tidak ada lagi kebohongan.”Narumi terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. “Aku setuju. Tapi kamu harus janji, jika ada sesuatu yang mencurigakan, aku harus tahu.”Ardiaz menatapnya lekat-lekat, lalu mengulur