Share

ASS 04: Cermin yang Retak

Author: B.E.B.Y
last update Last Updated: 2024-09-04 15:52:35

"Ardiaz..."

Nama itu belum selesai bergema saat sosok pemiliknya sudah berdiri tepat di hadapan Narumi, membuat wanita itu refleks mundur selangkah. Jantungnya berdegup kencang, entah karena terkejut atau karena aura maskulin yang terpancar dari pria tersebut.

"Terima kasih sudah menentukan pilihan." Suara Ardiaz mengalun dalam.

Bibirnya menyentuh punggung tangan Narumi dengan kelembutan bak seorang bangsawan, sementara mata coklat keemasannya memancarkan pesona yang nyaris hipnotis.

Momen manis itu pecah oleh sentakan kasar. Ghali menarik Narumi ke arahnya dengan gerakan posesif yang tak terkendali.

"Na..." Suaranya bergetar, sebuah anomali yang mencerminkan pergulatan antara amarah dan ketakutan akan kehilangan.

"Ada hubungan apa kamu dengannya?" Ghali menghujam mata Narumi dengan tatapan menuntut, mencari-cari secercah jawaban dalam iris hazel yang kini sedingin musim es, tak ada lagi kehangatan yang dulu selalu ia temukan di sana.

"Jangan kasar." Ardiaz bergerak secepat kilat, menarik Narumi ke dalam lingkup perlindungannya. Gerakannya elegan namun protektif, membuat otot rahang Ghali mengeras hingga terlihat menonjol.

"Kamu tak apa?" Suara Ardiaz melembut saat berbicara pada Narumi, kontras tajam dengan tatapan mencemooh yang ia tembakkan pada Ghali.

Warna merah perlahan merayap di wajah suami Narumi, bukan lagi sekadar manifestasi amarah, tapi juga api cemburu yang membakar setiap sel dalam tubuhnya melihat kedekatan mereka.

"Jadi ini alasan kamu ngotot minta cerai?" Suara Ghali bergetar penuh tuduhan. "Kamu juga main belakang ternyata."

Tawa mengejek meluncur dari bibir Narumi, tawa asing yang belum pernah Ghali dengar sebelumnya. Akan tetapi di sana, ada kepuasan tersendiri baginya melihat guratan kemarahan dan kecemburuan menari-nari di wajah pria yang telah mengkhianati kepercayaannya.

"Kamu bilang apa, Mas? Aku main belakang...?" Narumi memberikan jeda dramatis, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sedingin Antartika. "Aaa... kalau iya, kenapa?!"

Tatapan Narumi menantang, tak tersisa secuil pun cinta yang dulu selalu terpancar dari matanya untuk Ghali, dan membuat pria itu terdiam, seolah semua kata-kata yang biasa Ghali gunakan untuk menyudutkan Narumi mendadak menguap dari kepalanya.

"Kamu bisa selingkuh sampai wanitamu hamil, terus... kenapa aku tidak?" Setiap kata yang meluncur dari bibir Narumi bagai belati tajam yang mengiris-iris harga diri Ghali. "Toh, istri adalah cerminan suaminya. Ketika sang cermin memantulkan wajah lain, kenapa bayangan yang terpantul tidak boleh berbeda?"

Narumi mengalihkan pandangannya pada Ardiaz, sengaja membiarkan tatapannya berlama-lama di sana, sebuah pernyataan tanpa kata yang ia tahu akan menghancurkan ego suaminya.

“Ayo kita pergi.” Ajaknya tanpa menunggu balasan dari siapa pun.

Narumi melenggang dengan anggun memasuki mobil yang pintunya telah dibukakan Ardiaz. Setiap langkahnya mengandung determinasi, seolah ia sedang berjalan menjauh dari masa lalu yang menyakitkan.

Ardiaz mengitari mobil dengan langkah mantap dan ekspresi angkuh yang terbungkus sempurna. Setiap gerakannya bagai koreografi yang dirancang khusus untuk memancing amarah Ghali yang kini mengepalkan tangan hingga kuku-kuku jarinya memutih.

Di dalam mobil mewah yang aromanya didominasi wangi kulit asli, Narumi menyandarkan kepalanya ke jok empuk. Bahunya yang sedari tadi tegang perlahan meluruh.

“Paman, aku lapar,” ucapnya sambil memejamkan mata, mengabaikan tatapan takjub Ardiaz yang terpana melihat transformasi drastis sikapnya, dari wanita angkuh menjadi sosok yang terlihat begitu natural. “Mampir dulu ke rumah makan Padang.”

Sudut bibir pria berambut putih itu terangkat membentuk senyum tipis dari balik kemudi, matanya menangkap bayangan Narumi dari cermin spion. “Seperti biasa, Nona,” sahutnya singkat.

Mesin mobil mendengung halus meninggalkan kediaman Faghdam yang kini tampak seperti panggung drama yang baru saja usai pertunjukan.

Keheningan merayap dalam mobil seperti kabut tipis, hingga suara Narumi memecahnya dengan pertanyaan yang tajam seperti pecahan kaca.

“Kenapa kamu mau dijodohkan denganku?” Matanya menatap wajah Ardiaz dengan dingin yang menusuk.

“Apa perlu aku memberi alasan?” Ardiaz membalas dengan nada yang tak kalah beku.

“Tentu.” Narumi mengangguk kecil, gerakan anggun yang kontras dengan tatapan penuh selidiknya.

“Kamu sudah tahu posisiku saat ini. Lagipula...” matanya menelusuri fitur wajah Ardiaz dengan cermat, “Kamu tidak memiliki wajah yang buruk. Aku rasa, kamu bisa mendapatkan calon istri yang jauh lebih baik dariku.”

Senyum tipis mengembang di bibir Ardiaz sebelum ia mendekatkan wajahnya pada Narumi, cukup dekat hingga wanita itu bisa mencium aroma mint segar dari napasnya.

“Sayangnya, aku memilihmu sebagai calon istri. Karena kamu nona muda dari keluarga Kwong.”

Narumi menelan ludah, jantungnya berdegup kencang oleh kedekatan yang tak ia antisipasi. Ia mengubah posisinya dengan cepat, menciptakan jarak yang lebih aman sebelum mendecakkan lidah.

“Lagi-lagi karena uang!” gerutunya dengan nada getir.

“Grup Kwong tidak sebanding dengan grup Prajogo, Nona,” pria berambut putih atau disapa Jimmy itu angkat bicara, kepalanya menggeleng pelan. “Grup mereka menduduki label pertama di Indonesia dan sudah melebarkan sayapnya ke mancanegara.”

Kepala Narumi berputar cepat ke arah Ardiaz yang kini tersenyum dengan gestur santai namun angkuh, sebuah kombinasi yang entah bagaimana membuatnya terlihat semakin menarik dan menyebalkan di saat bersamaan.

“Ini kesepakatan para tetua, Nona.” Jimmy melanjutkan, suaranya tenang namun mengandung ketegasan. “Perjodohan kalian sudah mutlak ditetapkan ketika Anda berumur 5 tahun. Dan pastinya, bukan karena uang seperti yang Anda kira sebelumnya.”

Narumi menghela napas panjang, sebuah gestur yang menyiratkan beban tak kasat mata di pundaknya. Keheningan kembali menyelimuti interior mobil sampai mereka tiba di rumah makan Padang, sebuah tempat sederhana yang telah menjadi saksi bisu perjalanan hidup Narumi.

Aroma menggiurkan rendang yang disajikan mengisi udara di sekitar mereka. Suasana hening yang nyaman pecah ketika Narumi kembali bersuara, kali ini pandangannya tertuju pada Jimmy.

“Paman, aku ingin mampir sebentar ke Apartemen Lavenue. Ada seseorang yang ingin aku kunjungi.”

“Sesuai instruksi,” Jimmy menanggapi dengan kepatuhan yang telah terlatih selama bertahun-tahun.

Namun tak ada yang menyadari perubahan pada wajah Ardiaz, bagaimana otot-otot di sekitar rahangnya menegang sekilas. “Lavenue?” ia mengulang nama itu seolah kata tersebut mengandung racun.

Narumi menoleh, alisnya terangkat penasaran. “Iya, kenapa? Apa ada kenalanmu juga di sana?”

“Tidak, hanya saja aku... cukup familiar dengan tempat itu,” Ardiaz menjawab dengan kecepatan yang sedikit mencurigakan, namun Narumi hanya menanggapi dengan anggukan santai sebelum kembali fokus pada hidangan di hadapannya.

Waktu berlalu begitu saja, kini mereka sudah kembali ke dalam mobil yang dikemudikan oleh Jimmy. Mobil itu membelah padatnya lalu lintas Jakarta di tengah terik matahari siang. Gedung-gedung pencakar langit memantulkan cahaya menyilaukan, menciptakan kilasan-kilasan yang menari di jendela mobil. Meski jalanan padat, mereka berhasil mencapai Apartemen Lavenue tanpa hambatan berarti.

“Kita sudah tiba, Nona,” lapor Jimmy, menoleh ke arah Narumi.

“Kalian bisa tunggu sebentar,” wanita itu merapikan baju kaos yang sedikit kusut. “Aku hanya perlu mengantarkan sesuatu pada temanku. Cukup 30 menit saja.” Suaranya terdengar ringan, namun ada sesuatu dalam nada bicaranya yang tak terjelaskan, sebuah urgensi yang tersembunyi dengan baik.

Tanpa menunggu jawaban Wanita itu pergi meninggalkan mobil, dan masuk ke Lift. Narumi kini berdiri di depan pintu cokelat tua yang familiar, jemarinya bergerak lincah memasukkan kode, serangkaian angka yang telah terpatri dalam memorinya seperti lagu favorit.

Namun ketika pintu mengayun terbuka, waktu seolah membeku. Mata Narumi membulat sempurna, pupilnya melebar menyaksikan pemandangan di hadapannya.

"Oh... Astaga." Kata-kata itu akhirnya meluncur dari bibirnya yang bergetar. "Apa yang terjadi?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   Bab 68: Menjauhinya?

    Ardiaz membukakan pintu mobil untuk Narumi. Gestur sederhana, namun bagi Narumi, ini seperti dunia baru yang terbuka. Saat masuk ke dalam mobil, aroma parfum Ardiaz yang maskulin menyambut indera penciumannya, membuatnya merasa aman.Suasana dalam mobil terasa hening beberapa saat. Hanya suara AC dan deru lalu lintas Jakarta yang terdengar samar. Sesekali klakson kendaraan dan teriakan pedagang kaki lima di persimpangan jalan menembus keheningan mereka. Ardiaz menyetir dengan tatapan lurus ke depan, tapi dari sudut matanya, ia sesekali melirik Narumi. Wanita itu duduk tenang di sampingnya, jemarinya bermain dengan ujung blazer hitam yang dikenakannya—kebiasaan kecil saat ia gugup yang Ardiaz hapal di luar kepala.“Na,” panggil Ardiaz pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya bercampur dengan gemuruh mesin kendaraan lain. “Aku ingin kamu ikut ke rumahku sekarang.”Narumi menoleh, alisnya terangkat sedikit. Pantulan sinar matahari dari jendela membuat mata cokelatnya terlihat lebih teran

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   Bab 67: Jalan Pulang untuk Diri Sendiri

    Bramastyo menghela napas panjang, berat dengan beban rahasia yang telah ia pikul selama bertahun-tahun. Matanya meredup seperti lilin yang hampir habis sumbu.“Boleh Papa masuk ke kamarmu?” tanyanya pelan, suaranya bergetar halus, menggantung di udara seperti kabut tipis di pagi hari.Narumi mengangguk tanpa kata. Tubuhnya yang lelah oleh tangis masih terasa kebas. Ia tahu... malam ini, akan ada kebenaran lain yang akhirnya keluar dari balik kabut panjang dalam hidupnya. Jantungnya berdegup kencang, menghitung detik-detik menuju pengakuan yang telah ia tunggu seumur hidup, seperti penantian panjang burung dalam sangkar yang melihat pintu sangkarnya mulai terbuka perlahan.Bramastyo melangkah masuk dengan langkah berat, setiap injakannya seperti membawa seluruh beban dunia. Ia tidak memilih untuk duduk, melainkan berjalan langsung menuju balkon kamar, seolah membutuhkan udara malam untuk membantu melepaskan rahasia yang telah tertanam begitu dalam di jiwanya.Pria paruh baya itu bersa

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   Bab 66: Pedang Damocles

    Tubuh Narumi menggigil hebat, seolah seluruh darah di tubuhnya membeku seketika. Bukan karena udara yang dingin, melainkan karena kenyataan pahit yang baru saja terungkap di hadapannya seperti belati yang menghujam tepat ke jantungnya. Dunia di sekitarnya berputar liar, membuat lantai di bawah kakinya terasa miring dan bergoyang. Ia hampir kehilangan keseimbangan, tangannya secara naluriah mencengkeram tepi meja untuk bertahan.Matanya yang biasanya berbinar penuh kehidupan kini kosong menatap pria yang berdiri dengan angkuh di tengah ruang tamu rumah keluarga Kwong — Demetrius Kallistos. Pria itu, dengan senyum tipis penuh kepuasan di wajahnya, menjadi perwujudan dari setiap ketakutan yang selama ini menghantuinya.Suara hatinya bergema penuh luka, seperti bisikan pilu yang mencekik batinnya. Apakah semua orang di sekitarku tidak memiliki ketulusan? Semuanya... selalu memiliki motif tersembunyi. Semuanya... selalu bermain drama.Narumi merasakan sesuatu hancur di dalam dirinya—ke

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   Bab 65: Namanya Begitu Akrab

    Tangan Narumi mengepal erat di sisi tubuhnya. Detik itu juga, seluruh tubuhnya terasa membeku. Napasnya memburu, seakan ia baru saja ditarik ke dalam pusaran kegelapan yang lebih dalam dari yang ia bayangkan.Ia menoleh, menatap Ardiaz dengan sorot mata penuh pertanyaan dan kemarahan. “Kau tahu siapa ‘Tuan’ yang dia maksud?”Ardiaz menggeleng pelan, tetapi ekspresinya semakin tegang. “Aku masih menyelidikinya. Tapi ini membuktikan satu hal, Na.”Ia menatap layar, seolah ingin menghancurkan sosok Larry yang masih tampak di sana. “Larry bukan dalang utamanya. Dia hanya eksekutor. Ada seseorang di balik layar yang mengendalikan semuanya.”Narumi menggigit bibirnya. Seluruh tubuhnya bergetar, bukan hanya karena kemarahan, tetapi juga ketakutan yang mulai menyusup ke dalam dirinya.Siapa yang cukup berkuasa untuk mengatur semua ini?Dan lebih penting lagi—kenapa dia menargetkan Siska? Kenapa dia menargetkan dirinya?Tiba-tiba, Narumi merasa perutnya mual. Ia bergegas bangkit dari kursi, t

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 64: Siapa Dalang sebenarnya?

    Setibanya di Indonesia, Narumi merasa pikirannya tak bisa tenang. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah ia semakin dekat dengan kebenaran yang bisa menghancurkannya.Saat ia dan Ardiaz melangkah keluar dari pintu kedatangan internasional, suara panggilan yang familiar menghentikan langkah mereka."Na!"Narumi menoleh dan mendapati Bramantyo, ayahnya, berdiri dengan ekspresi serius di antara kerumunan orang yang menjemput.Pria itu terlihat berwibawa dalam balutan setelan kasual, tetapi sorot matanya tajam, seolah sedang mencoba membaca situasi.“Papa?” Narumi mengerutkan dahi, tidak menyangka akan melihat ayahnya akan datang menjemputnya.Bramantyo berjalan mendekat, tatapannya bergantian antara Narumi dan Ardiaz. “Kenapa kamu pulang lebih cepat dari rencana?” tanyanya, suaranya dalam dan sedikit penuh curiga.Narumi melirik sekilas ke arah Ardiaz. Ia bingung untuk menjawab ayahnya, sebab ia tak tahu apakah ia boleh jujur atau tidak atas situasi yang tengah ia hada

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 63: Panggilan Rahasia

    Narumi duduk di dalam mobil dengan pandangan kosong, pikirannya masih berkecamuk dengan segala fakta yang baru ia ketahui. Ardiaz yang duduk di sebelahnya melirik sekilas ke arahnya, berusaha membaca ekspresi wanita itu.“Aku tahu kamu masih ragu padaku,” ujar Ardiaz akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya.Narumi menghela napas panjang. “Aku tidak tahu apakah aku bisa sepenuhnya mempercayaimu, tapi aku juga tidak bisa menyangkal bahwa aku membutuhkamu.”Ardiaz tersenyum kecil, seperti lega mendengar itu. “Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayaiku sekarang. Tapi setidaknya, kita bisa membuat kesepakatan.”Narumi menoleh, matanya penuh pertanyaan. “Kesepakatan?”Ardiaz menatapnya serius. “Mulai sekarang, kita harus jujur satu sama lain. Tidak ada lagi rahasia. Tidak ada lagi kebohongan.”Narumi terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. “Aku setuju. Tapi kamu harus janji, jika ada sesuatu yang mencurigakan, aku harus tahu.”Ardiaz menatapnya lekat-lekat, lalu mengulur

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status