Lelah, itulah yang Luna rasakan. Hampir sebulan ini ia harus pulang lebih lambat karena lembur. Ketika ada proyek selesai maka ia dan rekan satu tim akan sibuk mengaudit hasil laporan proyek.Sebenarnya ia hanya staf, tapi dua bulan lalu diangkat menjadi wakil manager. Tentu saja apa yang harus dikerjakan dan tanggung jawabnya semakin berat. Selama ia bekerja menjadi tulang punggung menggantikan suaminya yang masih pengangguran, hubungan mereka terasa hambar.Beruntung Irwan tidak menuntut untuk selalu dilayani karena saat tiba di rumah tubuhnya begitu letih. Hari ini ia izin untuk pulang lebih cepat dan kebetulan besok hari libur. Luna tersenyum membayangkan akan melakukan banyak hal dengan suaminya. Pergi berdua setelah cukup lama meluangkan waktu bersama, mungkin cek in di hotel yang harga kamarnya masih terjangkau dengan isi dompet atau makan malam romantis dan menonton. “Mas Irwan pasti kaget dengan kejutan aku.”Tiba di rumah, ia melihat motor suaminya terparkir artinya pria it
“Aku jalan ya mas,” pamit Luna lalu meraih tangan suaminya.“Hati-hati ya. Nanti malam, kamu lembur lagi?” tanya Irwan dengan raut wajah lesu.“Belum tau, mas.”“Eh Lun, kayaknya aku ke tempat mama aja ya. Nggak enak sama ibu kamu, jam segini belum berangkat pasti nggak ke toko.”Luna menghela pelan, padahal ibunya tidak masalah dengan kondisi mereka tapi Irwan yang minder dan malu sendiri.“Ya sudah terserah mas saja.” Ojek yang akan digunakan Luna ke kantor sudah menunggu di depan pagar. Menerima helm dan langsung ia pakai, motor pun melaju.Sudah hampir satu tahun Irwan menganggur karena di perusahaan tempat bekerjanya bangkrut dan diambil alih oleh perusahaan lain. Lamaran sudah dikirim ke mana pun, nyatanya belum ada yang berhasil sampai diterima. Ada orang dalam pun masih harus melewati tes dan wawancara.Katakan saja Irwan tidak kompeten karena selalu tidak berhasil setelah melakukan tes dan wawancara. Sampai akhirnya persediaan tabungan mereka menipis lalu Luna inisiatif untuk
“Telinga kamu masih berfungsi ‘kan?” tanya Sadam yang kini menyandarkan punggung dan bersedekap menatap Luna.“I-ya masih pak, jadi saya harus pilih antara jadi sekretaris wakil bapak?”“Hm.”Luna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pilihan yang sulit dan kedua posisi itu lebih baik dari tugasnya sekarang, sudah pasti penghasilannya pun berbeda. Kalau ia pilih tentu saja bisa lebih banyak mengumpulkan dana untuk modal usaha sang suami.“Bagaimana?” tanya Sadam karena Luna malah melamun.“Ehm, boleh saya pikirkan dulu, pak.”“Tidak, harus sekarang atau saya tawarkan ke yang lain.” Sadam masih bersedekap menatap Luna yang bingung dan ragu memilih menjadi sekretaris atau wakil Sadam. “Hei, pilih sekarang atau tidak!”“Satu jam pak, tolong beri saya waktu satu jam,” seru Luna sambil mengangkat jari telunjuknya.“Sekarang, saya hitung sampai lima. Satu, dua ….”“Pak Sadam, saya mau jadi wakil bapak, iya wakil bapak.” Luna memilih wakil manager daripada sebagai sekretaris. Yang iya tahu
“Gue bilang juga apa, lo cocok jadi wakilnya Sadam,” bisik Ratna saat rapat berakhir.“Aku jadi nggak enak, kayaknya nggak semua tim setuju dengan keputusan Pak Sadam,” balas Luna yang juga berbisik.“Nggak usah lo pikirin. Siapa pun yang ada di posisi wakil Sadam mereka selalu kontra.”Luna menghela nafasnya. “Tapi, kenapa nggak kamu aja ya. Seharusnya, tadi pagi kamu yang serahkan laporan dan ….”“Nggak akan Lun, Sadam nggak akan tawarkan posisi itu ke gue.”“Kenapa?” tanya Luna heran dan Ratna hanya mengedikkan bahu.“Udah ah, kita makan yuk. Laper gue.”Namun, atensi kedua perempuan itu tertuju setelah mendengar suara Sadam.“Luna, ikut saya!”“Sekarang, pak?” tanya Luna setelah saling tatap dengan Ratna. Saat ini sudah jam makan siang, tapi Sadam malah minta dia ikut ke ruangan.“Menurutmu, kalau aku butuh kamu bulan depan apa harus aku panggil sekarang.” Sadam bicara dengan tangan berada di saku celananya. Ratna sempat terkikik lalu berdeham dan mengulum senyum.Tidak ingin memb
Luna sudah mendapat kabar kalau kakaknya akan pulang. Tidak sempat menyapa karena saat ia pulang, kamar Sherin sudah tertutup rapat. Bahkan Irwan juga sudah tidur.“Kamu sekarang kerja?” tanya Sherin setelah mereka berpelukan mengobati rindu.“Iya mbak.”“Aku juga mau kerja, tapi kasihan Beni.”Luna menghela nafasnya, ia paham bagaimana perasaan Sherin. Ia pun merasakan dilema dengan kondisinya. Bekerja, tapi peran sebagai istri kurang maksimal. Tidak bekerja, lalu bagaimana mereka makan. Tidak mungkin terus menerus menumpang pada ibunya.“Suami kamu mana?” tanya Sherin karena belum melihat Irwan di meja makan.“Paling bentar lagi juga keluar, tadi lagi mandi.” Luna meski sudah rapi dan siap berangkat, berusaha untuk melayani suaminya. Ia membuatkan kopi dan diletakan di atas meja.“Mas, mau sarapan sekarang?” tanya Luna saat melihat Irwan datang dan duduk di sampingnya, padahal ia baru saja memulai sarapan.“Nanti saja, belum lapar. Kamu habiskan itu, nanti kesiangan.” Irwan menunjuk
Mata Irwan seakan terbelakak bahkan mungkin bola matanya siap meluncur keluar melihat penampilan Sherin. Dengan rambut dikuncir ekor kuda, membuat tengkuknya terekspos.Belum lagi kaos yang pas dibadan dan jeans model pensil, membuat tubuhnya terbentuk sempurna dan terlihat begitu seksi. Yang paling menarik adalah bagian depan tubuh wanita itu, begitu menonjol dan menantang meski sudah terbalut dengan kaos.Yang Irwan tahu kalau Sherin diceraikan oleh suaminya. Mereka sempat bertahan meski tahu sang suami sudah selingkuh dan akhirnya bercerai juga. Dalam pikirannya kenapa bisa Sherin sesempurna ini bisa diselingkuhi bahkan sampai diceraikan.“Irwan,” panggil Sherin.“Eh, iya mbak.”“Kamu melamun, kok diam aja.”“Maaf mbak, kita langsung jalan aja ya. Udah siang,” seru Irwan yang memang sejak tadi belum turun dari motor lalu menghidupkan kembali mesin motornya.“Saya nggak enak sama Luna, kamu pasti sibuk.”“Jangan gitu mbak, saya nggak masalah Luna juga sama. Lagian saya pengangguran,
Pikiran Irwan traveling ke arah adegan dewasa karena dipeluk oleh Sherin. Rasanya merinding disko. Sebagai pria dewasa dan normal, tentu saja apa yang dilakukan Sherin sangat menggoda.“Maaf ya, aku peluk kamu, takut jatuh,” ujar Sherin sambil mencondongkan wajah agar suaranya terdengar oleh Irwan dan semakin membuat dadanya menempel di punggung pria itu“Nggak pa-pa, mbak,” jawab Irwan. Tanpa Sherin tahu, Irwan tersenyum di balik helm yang digunakan.Ya ampun, baru nempel aja udah bikin enak begini apalagi gue rasain. Pasti … mantap, batin Irwan dengan pikiran mulai kotor.Setelah memastikan motornya terparkir aman di basement, Irwan dan Sherin berjalan di sepanjang deretanstore.“Udah lama aku nggak ke mall,” ucap Sherin.“Masa mbak?”“Iya. Selama menikah sampai bercerai, hanya sibuk di rumah. Berusaha jadi istri setia, nggak pernah cari hiburan. Tahunya malah Ayahnya Beni cari hiburan di luar juga.” Wajah Sherin mendadak sendu.“Sabar ya mbak,” ucap Irwan sambil mengusap punggung S
Chat yang dikirim Luna tak juga dibaca apalagi dibalas. Ditelpon pun tidak dijawab. Membuatnya semakin khawatir, bukan hanya khawatir karena ucapan Ratna kalau ia harus hati-hati jangan sampai Irwan tergoda dengan Sherin atau sebaliknya. Namun, khawatir kalau terjadi sesuatu dalam perjalanan, kecelakaan misalnya.Menghubungi Sherin, tidak enak hati. Bisa-bisa sang kakak tersinggung, karena merasa diawasi atau tidak dipercaya. Luna menghela nafasnya, bingung dan khawatir membuatnya tidak fokus. Sudah satu jam setelah kembali dari makan siang dan belum mengerjakan apapun. Hanya memandang layar laptop lalu beralih menatap layar ponsel, itu saja yang dilakukan sejak tadi. “Ya ampun Luna, kamu kenapa begini. Tidak mungkin Mas Irwan dan Mbak Sherin aneh-aneh.” Menggeleng pelan berusaha mengenyahkan segala pikiran buruk.Ponselnya bergetar ternyata ada pesan masuk dari Sadam.[ke ruanganku, sekarang!]Gegas Luna mengantongi ponsel dan membawa notebook menuju ruang kerja Sadam. Sempat menget
“Besok … bisa, pak,” jawab Luna.Hanya makan malam, tidak ada alasan untuk menolak. Apalagi sampai berbohong, toh Sadam sangat profesional. Tidak ada ucapan atau sikap pria itu yang membuat tidak nyaman. Meski Luna pernah mendengar ada saja atasan yang bersikap kurang ajar pada staf wanita, tidak terlihat pada diri Sadam.“Oke, sampai ketemu besok.”Luna tersenyum dan mengangguk. Tidak langsung beranjak, ia menunggu sampai mobil yang dikendarai Sadam perlahan menjauh dan bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya.Jarak ke rumah sudah dekat, ia tidak menghubungi Irwan untuk menjemput. Berjalan sambil menyeret koper.“Luna, lo dari mana bawa koper?”“Tugas luar kota mpok,” jawab Luna.“Oh. Hebat ya kerja lo, tapi si Irwan gimana? Udah kerja dia?”“Belum, masih cari. Belum ada yang cocok,” sahut Luna lagi. Wanita paruh baya itu, tetangga Luna berpapasan saat akan ke warung. Baru beberapa langkah, tapi sudah ada yang memanggilnya lagi. Ternyata Sani, tetangganya juga.“Gimana Lun, yan
“Kalau punya Luna, aku nggak mau. Nanti dipikir aku mencuri.” Sherin mengembalikan gelang ke tangan Irwan.“Ini dibeli pakai uangku, sama aja ini punya aku. Luna Cuma tahu ngabisin uang doang.” Irwan kembali menyerahkan gelang ke tangan Sherin. Ia menuju toilet untuk membersihkan diri.“Serius buat aku?” tanya Sherin agak berteriak.“Hm. Nanti suratnya aku cari. Kamu bisa langsung jual,” tutur Irwan dari dalam toilet.“Makasih ya,” seru Sherin. Wajahnya sumringah, masih memperhatikan gelang emas berbentuk rantai dengan liontin berbentuk hati dan permata pink.Pintu toilet terbuka kembali. “Aku bisa kasih lagi, tapi ….” Irwan mengerlingkan matanya.“Gampanglah itu, bisa diatur.”Sherin meninggalkan kamar Luna menuju kamarnya.“Laku berapa ya, kayaknya nyampe sepuluh gram. Lumayan buat beli hp baru.” Sherin terkekeh sendiri. “Gampang juga morotin Irwan. Luna bego, siap-siap aja lo jadi kere. Capek kerja seharian, dapatnya apa.”Sherin dan Irwan pandai menyembunyikan hubungan mereka. Men
Gila, kata itu yang muncul dalam benak Irwan. Tepat ditujukan untuk hubungannya dengan Sherin. Atau nafsu mereka yang gila. Seakan lupa daratan, ia terus menyetu_buhi Sherin. Tidak ada rasa bersalah apalagi keraguan.Cinta, entahlah. Irwan sangat mencintai Luna. Ia merasa akhir-akhir ini komunikasi mereka buruk lalu salah paham dan sosok Sherin seakan membuatnya lupa bagaimana perjuangan mendapatkan Luna serta rasa cinta yang ada.Yang jelas, saat ini Irwan merasakan surga yang berbeda. Desahan dari mulut Sherin membuatnya semakin bersemangat untuk terus mengayun tubuhnya. Tidak ingin penyatuan diri itu berlalu cepat, ia kembali mengkonsumsi obat kuat.“Ir-wan ….”Senyum Irwan merekah karena Sherin terlihat akan mendapatkan puncaknya yang kedua, sedangkan dia sepertinya masih jauh.“Wan ….” Tubuh Sherin mengejang, tangannya mencengkram lengan Irwan. Bukannya berhenti, Irwan malah semakin mempercepat gerakannya membuat wanita itu semakin tersiksa dengan kenikmatan.Desahan yang keluar
Hujan lebat diiringi kilat dan petir, Sadam pun kembali ke dalam kamar menutup pintu rapat agar cipratan dan tampias dari hujan masuk ke kamar. ada dua single bed dalam kamar. sofa yang tidak terlalu besar juga meja.Masih ada waktu sebelum acara dimulai lagi, Sadam menempati sofa dan membuka ponsel. Sesekali ada kilatan cahaya dan gemuruh. Belum ada tanda hujan akan reda. Pintu toilet terbuka, Sadam melirik sekilas. Luna keluar dari sana sudah berpakaian.‘Aku mikir apa sih, mana mungkin dia keluar dari sana bug1l,’ batin Sadam.Masih fokus pada ponsel karena canggung, berdua di dalam kamar bersama lawan jenis. Apalagi diantara mereka tidak ada hubungan spesial. Melihat dari sudut mata, Luna sedang menggunakan make up di cermin yang tertempel di dinding tepat di sebelah lemari.“Loh, hujan ya.” Rupanya Luna baru menyadari kalau di luar hujan lebat. Ia berjalan menuju pintu dan membuka sedikit.“Sengaja saya tutup, takut air masuk.”Gegas Luna menutup lagi pintu kamar. “Hujannya camp
Irwan memarkir motornya dan langsung menutup rapat pintu pagar. Memperhatikan sekeliling rumah, memastikan tidak ada yang mengawasi dan melihat dia pulang. Lumayan lama berada di warung sambil merokok, sampai akhirnya Sherin menelpon kalau Ibu sudah berangkat.“Kamu dari mana?” tanya Sherin saat Irwan masuk.“Nunggu di warung, ayo aku udah nggak sabar nih.” Irwan langsung memeluk Sherin, tapi ditahan dengan tangan. “Kenapa lagi?”“Pintu tutup dulu, terus mau gituan di mana?” tanya Sherin.Irwan menatap pintu rumah. “Aku tutup sebagian, tapi nggak rapat. Kalau dikunci malah bikin orang curiga.” Irwan pun menutup pintu, tapi tidak rapat. Memastikan tidak ada yang mencurigakan.Bahkan Irwan mengganjal pintu dengan box mainan Beni, pasti akan jatuh dan menimbulkan suara kalau pintu bergeser.“Di sini aja.” Irwan menunjuk sofa ruang tengah, tempat Ibu menonton tv. Ia langsung melepas kaos dan membuka resleting celananya.“Eh, tunggu dulu.”“Apa lagi?”Sherin mendekat dan meraba dada Irwan.
“Tante Luna,” teriak Beni. Bocah itu sedang bermain lego, di sofa ruang tamu. Sedangkan Sherin dan Ibu berada di ruang tengah, menonton tv. Mendengar teriakan Beni, kedua wanita beda usia itu menoleh ke arah pintu.Luna mengucap salam kemudian menghampiri dan mengusap kepala Beni dengan sayang.“Sudah belajar belum?” tanya Luna.“Sudah dong, aku ‘kan jagoan bisa mengerjakan soal dari ibu guru.”Mendengar Beni berceloteh, Luna terkekeh. Kalau bisa kerjakan soal, bukan jagoan, tapi anak cerdas.”“Iya, aku anak cerdas,” seru Beni lagi.Luna menghampiri ibunya lalu mencium tangan dengan takzim.“Nggak lembur?” tanya wanita yang sudah melahirkannya.“Nggak, bu.” Luna duduk di sofa yang sama denga Sherin, meski bersisian tapi tetap berjarak.“Udah makan belum? Biar aku panaskan lauk,” seru Sherin sedangkan pandangannya tetap tertuju pada televisi.“Sudah mbak.” Masih memikirkan ucapan Sani yang melihat Sherin dan Irwan keluar dari Guest House. Langsung bertanya rasanya tidak elok, apalagi d
“Aneh,” gumam Bik Ela. “Neng Sherin,” panggilnya.“Iya, bik.” Sherin kembali membawa sapu.“Sudah saya sapu semua, di pel juga sudah. Lauk dan sayur ada di belakang ya, bibi mau pulang.”“Oh, iya,” sahut Sherin. Ia menghela lega karena wanita paruh baya itu tidak membahas lagi masalah Irwan yang keceplosan memanggilnya sayang.“Besok bibi nggak masuk, tolong kasih tahu Ibu ya. Takutnya nungguin, terus nggak ada yang masak.”“Beres, nanti aku yang masak.”“Ish, perempuan idaman banget atuh. Udah rajin beberes rumah, pinter masak, cantik pula. Mana ada pria yang nggak mau,” ucap Bik Ela lalu terkekeh.“Ada bik, itu Ayahnya Beni nggak mau lagi sama saya. Buktinya kami bercerai.”Bik Ela mengibaskan tangan di depan wajahnya. “Manehna gelo. Masa berlian dipelukan malah dibuang. Ya udah ya, bibi pulang dulu.”Sherin tersenyum sinis ketika Bik Ela sudah menutup pintu pagar. “Banyak bacot, sok tahu urusan orang. Jadi pembantu kurang ajar sama majikan,” keluh Sherin. Memutuskan ke kamar untuk
Luna berjongkok hendak membersihkan pecahan kaca. Malah jarinya terkena pecahan beling.“Mbak, biar saya yang bersihkan. Mbak minggir dulu.” OB datang membawa pengki. “Kok bisa jatuh, melamun ya mbak?”Entah melamun, entah tidak fokus. Luna menjawab dengan hela nafas.“Saya buatkan lagi ya, mbak duduk aja di situ.”Sambil menunggu Luna menggunakan ponsel, membuka room chat kontak Irwan.[Mas, dimana?]Pesan pun terkirim. Padahal tadi pagi Irwan bilang akan mengunjungi mamanya, tapi Luna ragu. Perasaannya mengatakan kalau Irwan tidak kesana.“Apa aku tanya mama saja ya,” gumam Luna langsung menghubungi ibu mertuanya.Dua kali nada tunggu, panggilan pun terjawab.“Halo,” terdengar sapaan di ujung sana.Luna sampai menjauhkan ponsel untuk memastikan kontak yang dihubungi tidak salah. Ibu mertuanya menyapa dengan nada tidak biasa.“Halo, mah. Ini Luna.”“Iya, mama tahu.” Lagi-lagi nada bicara ibu mertua Luna tidak biasa. Cenderung tidak ramah.“Mama apa kabar?” tanya Luna.Terdengar hela
Tidak menunggu lama, Irwan langsung menggerakan motornya saat Luna sudah berada di angkutan umum. Meninggalkan halte menuju lokasi pertemuan dengan Sherin. Tidak jauh dari sekolah Beni.“Lama banget sih.” Sherin menunjukan wajah kesal dengan cemberut.Irwan malah terkekeh. “Maaf sayang, tadi pastikan semua aman dulu. Bibir kamu kondisikan, nggak tahan pengen menerkam.”“Dasar kucing mesum,” ejek Sherin.“Nggak masalah, ‘kan mesumnya sama kamu doang. Eh, kita mau kemana nih?”Sherin masih berdiri bersedekap dada. Ia menggeleng pelan sambil berdecak.“Pura-pura lupa ‘kan. Kamu janji bayarin aku perawatan loh.”“Itu mah gampang, tapi semalam gagal. Gimana dong?” tanya Irwan dengan tatapan mupeng. “Naik dulu deh, aku mau cari sarapan. Tadi makan belum kenyang bener.”Sherin pun duduk di belakang Irwan. “Bakso ya,” usul Sherin.“Siap, sayang. Apa sih yang nggak buat kamu.”Merespon dengan cibiran, Sherin memukul pelan bahu Irwan karena belum juga melaju.“Pegangan sayang, aku nggak mau ka