Wajah Sherin sumringah menerima kalung pemberian Irwan. Sudah terbayang berapa harga benda itu. Iya bisa membeli skin care dan produk kecantikan lainnya. Bahkan dengan paket lengkap dan mahal.“Dijual dulu, terus kita langsung.” Irwan mengedipkan matanya lalu menggerakan motor menjauh.Sherin memanggil ojek untuk mengantarkan ke pasar. Tidak mungkin mereka berdua muncul di pasar, banyak yang mengenal dan yang pasti ada toko ibu di pasar. Ibu Salamah memiliki dua toko kelontong, yang paling besar ada di luar area pasar yang di dalam pasar lebih kecil.Tanpa sepengetahuan Sherin, rupanya Ibu melihat wanita itu lewat dengan ojek saat mengurus biaya sewa toko di kantor pemasaran.“Mau ke mana dia, katanya mau ke bank.”Ibu mencari ojek yang dikenal, beruntung ada Sani tetangganya yang mangkal di sana.“Sani,” panggil Ibu. “Itu ada Sherin, ikuti dia. Bilang aku yang suruh mengantar dia kemana pun.”“Emang mau kemana mpok?”“Dia ada perlu ke beberapa tempat, daripada bayar ojek online lumay
Bab 40Beberapa hari ini Ibu Salamah tidak ke toko. Setiap pagi ada Aceng, salah satu pegawai toko yang datang melaporkan pendapatan juga menerima arahan. Sherin dan Irwan tidak dapat berkutik karena selalu diawasi.Irwan memilih tidak ada di rumah, kadang ia nongkrong di pos ronda atau pulang ke rumah orangtuanya. Niat untuk mencari kerja seperti sudah tidak ada. Semalam ia dan Sherin merencanakan sesuatu, berniat bertemu di luar agar lebih leluasa.“Skin care aku habis, sekalian beli ya.”“Gampanglah itu, yang penting kita berhasil keluar,” ujar Irwan tadi malam.Pagi ini ia bingung, uang dari mana untuk membelikan Sherin skin care. Apalagi harganya tidak murah. Minta Luna lagi, rasanya tidak enak. Apalagi kemarin Luna kembali mentransfer untuk tambahan mamanya renovasi rumah yang kekurangan biaya.“Minta lagi ya nggak enak. Lagian mama kenapa minta Luna sih, jadi serba salah begini.”Setelah mengantarkan istrinya ke halte, Irwan kembali ke rumah. Masih ada ibu dan Sherin yang sibuk
“Lihat sendiri ‘kan, aku selalu salah dimata ibumu. Nggak ada benernya.”“Mas, Ibu nggak gitu. Dia minta kita ke kamar karena ibu mau meluruskan salah pahamnya mbak Sherin.” Luna duduk ditepi ranjang, masih memikirkan kenapa ibu bersikap seperti itu.Salah paham bukan masalah besar, tapi Ibu bersikap seakan konflik yang terjadi luar biasa. Irwan sejak tadi berjalan mondar mandir sambil mengoceh karena sikap ibu.“Kamu juga samanya, nggak mau bela suami. Lalu aku harus dibela siapa?”“Mas, tolong diam!” Luna mulai kesal, ia tidak ingin tinggal bersama tapi ada konflik dengan keluarga yang lain.“Nah, mulai berani ‘kan. Nggak sopan-sopannya, sama suami berani ngebentak.”Sambil menghela nafas lalu mengusap wajahnya, Luna pun berdiri. “Aku bukan tidak sopan, tapi diam dulu. Mbak Sherin dipanggil Ibu, aku nggak mau dia malah pikir aku tukang ngadu. Posisiku akan jadi serba salah, mas.”Dari pada ia dan Irwan juga berdebat, Luna memilih ke toilet untuk membersihkan diri. Mungkin mengguyur
Di dalam kamar, ibu kembali terisak. Mungkin ia sudah tua dan semakin renta, tapi pendengaran dan penglihatannya masih normal. Masih kuat untuk mengawasi toko, usaha yang diteruskan dari mantan suaminya.Bukan tanpa alasan ia menangis, bahkan sampai tubuhnya seperti tidak sanggup beranjak. Ia terpukul dan kecewa. Awalnya ia senang karena kedua anaknya pulang. Meski datang dengan masalah masing-masing. Luna menjadi tulang punggung dan Sherin bercerai dengan Ayahnya Beni.Ia pikir akan ada penerus usaha keluarga dan berada di tengah keluarga di usia senja. Nyatanya ada hal pahit yang ia temukan. Rasanya sakit ketika putrinya tersakiti, lebih sakit ketika yang menyakiti adalah putrinya yang lain. Kesalahan tidak mengenal alasan.“Maafkan Ibu, Luna.” Ibu menepuk dadanya di tengah isakan.Perdebatan Sherin dan Luna, ia dengar dengan jelas. Dugaannya bisa saja benar, karena Irwan datang tidak lama setelah Sherin. Hatinya sakit, mendapati masalah keluarganya. Lebih sakit saat mengingat kejad
“Tidak suka tempatnya?” tanya Sadam karena Luna bergeming setelah memasuki restoran.“Ah, suka, pak. Suka sekali,” sahut Luna tersenyum kikuk.Bukan masalah tempat yang membuatnya risau, justru karena di rumah. Irwan mengabari dia sedang di luar dan Sherin ada keperluan. Beni di titip ke tetangga, artinya ibu sendirian.“Ayo,” ajak Sadam mengikuti pelayan yang mengarahkan meja untuk mereka.“Terima kasih,” ucap Luna saat pelayan menarik kursi untuknya. Menerima buku menu dan membuka lembar demi lembar, pikirannya benar-benar tidak di rumah.“Kami pesan nanti,” ujar Sadam menyadari wanita itu tidak fokus. “Luna,” panggilnya.“Iya.”“Ada masalah?” tanya Sadam.“Hm, tidak ada.” Luna menjawab sambil menggeleng pelan.“Kalau kamu tidak nyaman, kita bisa keluar lagi dan ….”“Tidak, pak. Bukan itu.” Luna bahkan menahan Sadam yang akan berdiri dengan menyentuh telapak tangannya. “Saya hanya tidak enak kalau ada yang melihat kita dan menduga kalau ….”“Jangan khawatir dan jangan pikirkan hal y
Irwan bukan sakit, tapi ia baru tidur menjelang subuh. Menghabiskan waktu mereguk kembali nikmat bercinta dengan kakak iparnya. Bukan dia yang minta, tapi Sherin yang menggoda. Saat Luna ingin menunaikan kewajiban, malah ditolak karena tidak berhasrat.Sama halnya dengan Sherin, mengeluh tidak bisa tidur. Saat Bik Ela datang ia sedang terlelap di sofa.“Neng Sherin Sakit?”Sherin menguap dan meregangkan otot tubuhnya. “Semalam nggak bisa tidur Bik.”“Oh, pasti jagain ibu ya?”“Nggak juga, emang nggak bisa tidur aja. Ibu masih di kamar ya?”“Saya baru datang.” Bik Ela langsung ke ruang binatu untuk mencuci pakaian kotor yang menumpuk karena sudah dua hari tidak ada yang mengurus. Mendapati motor Irwan masih terparkir, artinya pria itu masih di rumah.“Neng, ada pakaian kotor nggak? Bawa sekalian, biar bibi cuci.”“Nggak ada, udah saya tumpuk di situ. Nggak tahu kalau Luna, kemarin dia baru pulang,” sahut Sherin saat melewati ruang binatu.Sherin menuju kamar LUna, mengetuk pintunya. Ti
Menyentuh dahi Irwan, terasa agak hangat. Sejak tadi Luna membangunkan, tapi tidak ada pergerakan. Hanya bergumam tidak jelas.“Mas, aku mau berangkat,” ujar Luna sambil menepuk pelan pipi suaminya.“Hem. Sendiri aja, aku capek. Nggak enak badan,” jawab Irwan lalu mengeratkan pelukan pada guling.“Kalau udah enakan bangun ya, sarapannya sudah aku siapkan. Kalau mau hangat, di microwave aja.”Lagi-lagi Irwan menjawab dengan gumaman. Nyatanya bukan hanya Irwan saja yang kurang sehat, Ibu pun tidak berangkat ke toko seperti biasa. Makan malam saja diantar ke kamar dan pagi ini hanya keluar untuk sarapan lalu balik ke kamar.“Mbak, kenapa?” tanya Luna melihat Sherin menguap dengan wajah kusut.“Semalam, nggak bisa tidur. Baru bisa merem tadi subuh.”“Beni sudah jalan?” tanya Luna lagi, ia mengambil tumbler dan mengisi dengan air dingin.“Sudah, barusan aja.”“Ibu kayaknya harus dibawa ke dokter, tapi nggak mau. Nanti malam kalau masih begitu aja, kita bawa ke dokter ya mbak.”“Hm.” Sherin
“Besok … bisa, pak,” jawab Luna.Hanya makan malam, tidak ada alasan untuk menolak. Apalagi sampai berbohong, toh Sadam sangat profesional. Tidak ada ucapan atau sikap pria itu yang membuat tidak nyaman. Meski Luna pernah mendengar ada saja atasan yang bersikap kurang ajar pada staf wanita, tidak terlihat pada diri Sadam.“Oke, sampai ketemu besok.”Luna tersenyum dan mengangguk. Tidak langsung beranjak, ia menunggu sampai mobil yang dikendarai Sadam perlahan menjauh dan bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya.Jarak ke rumah sudah dekat, ia tidak menghubungi Irwan untuk menjemput. Berjalan sambil menyeret koper.“Luna, lo dari mana bawa koper?”“Tugas luar kota mpok,” jawab Luna.“Oh. Hebat ya kerja lo, tapi si Irwan gimana? Udah kerja dia?”“Belum, masih cari. Belum ada yang cocok,” sahut Luna lagi. Wanita paruh baya itu, tetangga Luna berpapasan saat akan ke warung. Baru beberapa langkah, tapi sudah ada yang memanggilnya lagi. Ternyata Sani, tetangganya juga.“Gimana Lun, yan
“Kalau punya Luna, aku nggak mau. Nanti dipikir aku mencuri.” Sherin mengembalikan gelang ke tangan Irwan.“Ini dibeli pakai uangku, sama aja ini punya aku. Luna Cuma tahu ngabisin uang doang.” Irwan kembali menyerahkan gelang ke tangan Sherin. Ia menuju toilet untuk membersihkan diri.“Serius buat aku?” tanya Sherin agak berteriak.“Hm. Nanti suratnya aku cari. Kamu bisa langsung jual,” tutur Irwan dari dalam toilet.“Makasih ya,” seru Sherin. Wajahnya sumringah, masih memperhatikan gelang emas berbentuk rantai dengan liontin berbentuk hati dan permata pink.Pintu toilet terbuka kembali. “Aku bisa kasih lagi, tapi ….” Irwan mengerlingkan matanya.“Gampanglah itu, bisa diatur.”Sherin meninggalkan kamar Luna menuju kamarnya.“Laku berapa ya, kayaknya nyampe sepuluh gram. Lumayan buat beli hp baru.” Sherin terkekeh sendiri. “Gampang juga morotin Irwan. Luna bego, siap-siap aja lo jadi kere. Capek kerja seharian, dapatnya apa.”Sherin dan Irwan pandai menyembunyikan hubungan mereka. Men