/ Romansa / Ambil Saja Suamiku / 5. Dipeluk Dari Belakang

공유

5. Dipeluk Dari Belakang

작가: dtyas
last update 최신 업데이트: 2025-02-09 22:05:54

Mata Irwan seakan terbelakak bahkan mungkin bola matanya siap meluncur keluar melihat penampilan Sherin. Dengan rambut dikuncir ekor kuda, membuat tengkuknya terekspos.

Belum lagi kaos yang pas dibadan dan jeans model pensil, membuat tubuhnya terbentuk sempurna dan terlihat begitu seksi. Yang paling menarik adalah bagian depan tubuh wanita itu, begitu menonjol dan menantang meski sudah terbalut dengan kaos.

Yang Irwan tahu kalau Sherin diceraikan oleh suaminya. Mereka sempat bertahan meski tahu sang suami sudah selingkuh dan akhirnya bercerai juga. Dalam pikirannya kenapa bisa Sherin sesempurna ini bisa diselingkuhi bahkan sampai diceraikan.

“Irwan,” panggil Sherin.

“Eh, iya mbak.”

“Kamu melamun, kok diam aja.”

“Maaf mbak, kita langsung jalan aja ya. Udah siang,” seru Irwan yang memang sejak tadi belum turun dari motor lalu menghidupkan kembali mesin motornya.

“Saya nggak enak sama Luna, kamu pasti sibuk.”

“Jangan gitu mbak, saya nggak masalah Luna juga sama. Lagian saya pengangguran, sibuk dari mana. Malah saya yang nggak enak, takutnya mbak malu dibonceng sama saya. Udah mirip tukang ojek.”

“Kamu ini terlalu merendah. Mana ada tukang ojek ganteng, kayaknya Cuma ada tapi di FTV.”

Irwan tersenyum dan merasa bangga dipuji oleh Sherin. “Masa sih saya ganteng?”

“Iya, memang Luna nggak pernah bilang kamu ganteng. Mantan suami aku aja nggak seganteng kamu.” Sherin pun naik di belakang Irwan.

“Harusnya saya antar pakai mobil Ibu, tapi nggak enak belum izin beliau.”

“Udah pake motor aja biar lebih sat set,” sahut Sherin. Berada di atas motor yang sempit mau tidak mau tubuh mereka pasti akan saling bersentuhan.

“Oke, berangkat!”

***

Luna berada di ruangan Sadam, mendengarkan arahan dari pria itu sambil membaca dokumen yang dia pegang. Sesekali ia mengangguk dan mengajukan pertanyaan karena belum paham.

Sadam menjelaskan sambil memperhatikan wajah Luna. Beruntung wanita itu tidak tahu kalau sedang diperhatikan.

“Itu point penting untuk perjalanan dinas besok.”

“Siap pak, saya mengerti,” sahut Luna.

“Sudah kamu urus akomodasinya?” tanya Sadam mengalihkan pandangannya ke layar laptop karena Luna menatapnya.

“Sudah pak.”

“Seharusnya itu bukan tanggung jawab kamu, tapi kamu lihat sendiri posisi sekretaris masih kosong.”

Luna mengangguk paham dan tidak mempermasalahkan itu. Yang membuat Sadam lebih tertarik menawarkan Luna menjadi wakilnya karena tanggung jawab dan selalu siap menerima arahan.

Sadam tidak menyukai bawahan atau timnya terlalu banyak alasan dalam mengerjakan tugas.

“Ada lagi yang harus saya kerjakan pak?”

“Itu saja dulu,” sahut Sadam.

“Baik, saya permisi pak.” Luna meninggalkan ruangan Sadam dan kembali ke meja kerjanya. Meletakan diokumen yang tadi diberikan Sadam lalu mengeluarkan ponsel dari saku.

Tidak melihat notifikasi pesan atau panggilan di sana. Namun, perasaannya tidak enak. Ingin menghubungi Irwan atau ibunya, khawatir sedang sibuk.

“Aku kenapa ya, kok jadi bingung begini,” gumam Luna sambil menepuk dadanya pelan. Jantungnya berdebar tidak biasa. “Mas Irwan ‘kan lagi antar mbak Sherin sekalian survey. Apa terjadi sesuatu ya.” Luna gegas menggeleng untuk mengusir bayangan buruk di kepalanya. “Tidak, ini hanya perasaan aku. Mas Irwan pasti baik-baik saja.”

Luna berusaha fokus dengan tugasnya. Larut dalam file dan dokumen yang sedang ia kerjakan. Mempersiapkan banyak format yang harus dibawa untuk perjalanan besok. Tanpa terasa sudah waktunya istirahat. Lupa akan janjinya makan siang dengan Ratna.

Bahkan rekan kerjanya itu, sudah berada di depan meja Luna.

“Astaga, fokus amat. Jangan-jangan laki lo lewat juga nggak sadar kali ya.”

Luna menoleh dan mencibir. “Mana ada suami aku lewat sini. Kok udah beredar, jam berapa ini?”

Luna melihat jam dinding, ternyata sudah waktunya istirahat. Pantas saja perutnya sudah berteriak minta diisi.

“Mau makan sekarang?”

“Jangan, besok aja biar lebih greget,” sahut Ratna.

Luna terkekeh. “Oke, kita makan sekarang. Sebentar aku simpan ini dulu.” Memastikan semua file sudah tersimpan dan dokumen ia rapikan lagi.

“Lun, gimana Pak Sadam?”

“Gimana apanya?” Luna malah balik bertanya.

“Ck. Lo ‘kan sekarang makin dekat sama beliau. Perasaan lo gimana?”

“Biasa aja, memang harus gimana?” tanya Luna sambil mengernyitkan dahi. Tidak mengerti maksud Ratna.

“Emang gini nih. Nggak peka sama keadaan sekitar. Lo tau banyak perempuan terutama di divisi ini mengidolakan Pak Sadam. Kalau dilihat dari dekat, gimana?”

“Hm, gimana ya? Pak Sadam itu … perfeksionis, sempurna dan dewasa."

Tanpa mereka sadari, orang yang dibicarakan sudah berdiri di tengah pintu. Tentu saja Sadam mendengar dirinya menjadi bahan obrolan.

“Ganteng ‘kan?” tanya Ratna lagi.

“Iya, gitu deh.”

“Ganteng mana sama laki lo.”

“Ya ampun Ratna. Apaan sih, kok bandingkan Mas Irwan dengan Pak Sadam.” Luna mengambil dompet dari dalam tasnya.

“Bagai bumi dan langit, jauh banget. Ibaratnya kalau lo di kantor berada di taman surga dan pak Sadam bak malaikat, tapi di rumah seperti melihat malaikat pencabut nyawa.”

“Ratna,” tegur Luna karena Ratna malah tergelak dengan perumpamaannya sendiri.

“Ehem.”

Luna dan Ratna langsung diam mendengar deheman. Ternyata Pak Sadam.

‘Sejak kapan dia di situ? Jangan-jangan dia dengar apa yang kami bicarakan,’ batin Luna.

Sebenarnya Sadam tidak suka menjadi bahan pembicaraan apalagi menjadi objek halusinasi bawahannya. Namun, mendengar pujian dari Luna tentang dirinya, entah mengapa dia suka mendengar itu. Bahkan sempat tersenyum.

“Pak Sadam,” sapa Luna yang sudah berdiri. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.

“Hm. Cari tahu makan siang saya sudah datang atau belum.” Sadam langsung berbalik menuju ruangannya. Luna menyalahkan Ratna tanpa suara, sambil menghubungi bagian informasi.

Sedangkan di tempat berbeda, Irwan fokus pada ponsel mencatat semua informasi yang dia dapatkan. Barang apa saja yang dia butuhkan termasuk harganya.

“Di sini panas ya” ucap Sherin sambil mengibaskan kaosnya.

“Panas ya mbak, sebentar ya.” Data yang sudah Irwan ketik langsung dikirim untuk Luna. “oke, selesai. Mbak Sherin mau kemana lagi?”

“Udah nggak ada sih. Urusan kamu gimana?”

“Udah selesai juga,” jawab Irwan. “Mau langsung pulang?”

“Hm, ke sana dulu yuk. Sudah lama nggak jalan-jalan di Jakarta. Eh, tapi kamunya sibuk nggak?” tanya Sherin lagi setelah menunjuk gedung mall yang tidak jauh dari tempat mereka berada.

“Sibuk mbak, sibuk jadi pengangguran. Ayo, naik. Irwan siap mengantarkan kemana pun Mbak Sherin mau.”

Keduanya kemudian tertawa. Bahkan melanjutkan obrolan saat motor sudah mulai melaju. Tubuh Sherin semakin dekat dengan Irwan. Jalanan cukup padat, banyak para pekerja keluar untuk cari makan. Saat ada motor berhenti menyalip, Irwan pun berhenti mendadak, tubuh keduanya langsung menempel.

Irwan menelan saliva merasakan sesuatu yang kenyal di punggungnya. Mendadak pikirannya traveling membayangkan ukuran bagian tubuh Sherin yang baru saja menyentuhnya. 

“Pegangan mbak, takut jatuh.”

Perlahan Sherin memegang pinggang Irwan. Menghindari kendaraan lain, motor meliuk dan kadang berhenti mendadak. Pegangan Sherin berubah menjadi pelukan karena takut jatuh. Tidak perlu ditanya lagi bagaimana tubuh mereka, tentu saja menempel seperti pasangan kekasih. 

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Ambil Saja Suamiku   55. Keguguran

    Di mobil, Sadam dan Ratna bertukar peran. Sadam yang mengemudi, Ratna menemani Luna dikabin tengah. Tujuan mereka tentu saja rumah sakit terdekat. Jalanan lumayan padat karena jam makan siang banyak yang beraktivitas di luar. Luna masih meringis merasakan sakit di perutnya. Ratna tidak mengerti harus bagaimana menenangkan. Melihat darah yang mengalir sudah jelas ada yang masalah dengan kandungan Luna.“Sabar, sebentar lagi sampai,” ujar Ratna. “Sadam, cepetan!”“Ratna,” panggil Luna. Meski keadaannya darurat, tapi Ratna membentak Sadam yang jelas atasan mereka rasanya tidak pantas.“Sudah dekat. Setelah lampu merah di depan,” sahut Sadam. “Luna, kamu jangan tidur. Ratna jangan biarkan dia tidur.”“Lo nggak ngantuk ‘kan?” tanya Ratna. Luna menggeleng pelan.Mobil berbelok memasuki kawasan rumah sakit dan berhenti tepat di depan UGD. Sadam kembali menggendong Luna, Ratna berteriak memanggil petugas yang segera datang mendorong brankar. Sadam membaringkan tubuh Luna dengan pelan dan hat

  • Ambil Saja Suamiku   54. Penyerangan

    “Mbak Luna, maaf. Saya hubungi ke atas katanya udah keluar istirahat. Orangnya maksa, sudah saya bilang janjian dulu,” jelas salah satu staf resepsionis.“Nggak pa-pa. Di mana ya?” tanya Luna, pandangannya ke arah pintu lobby. Tidak menduga siapa yang datang mencarinya.“Saya minta tunggu di sana!” staf itu menunjuk ke arah sofa area tunggu. “Ah itu dia, kayaknya dari toilet.”Luna menatap ke arah yang ditunjuk lalu mengernyitkan dahi. “Mama,” ucapnya.“Mbak kenal?”“iya, aku temui dulu. Makasih ya,” ujar Luna. Kalau ditanya apa ia mau menemui ibu mertuanya, tentu saja tidak. Saat ini ia tidak ingin bertemu dengan siapapun yang berhubungan dengan Irwan.Namun, sudah terlanjur sudah ada di sini. Di usir pun tidak enak. Kecuali dia sedang tidak ada di tempat. Luna menghampiri, raut wajah mama Irwan terlihat tidak bersahabat saat pandangan mereka bertemu.Sekesal apapun, wanita itu adalah orang tua Irwan. Statusnya masih ibu mertua.“Mah,” sapa Luna lalu meraih tangan wanita itu untuk c

  • Ambil Saja Suamiku   53. Tamu Tak Diundang

    “Makasih ya Ceng,” seru Ibu menerima kunci mobil dari Aceng.“Sama-sama mpok. Aye pulang dulu ya.”“Iya,” sahut Ibu lalu mengantar sampai pagar dan merapatkan pintu.“Ibu dari mana?” tanya Sherin saat Ibu menutup pintu depan.Hampir pukul delapan malam ibunya datang diantar oleh Aceng orang kepercayaannya di toko.“Bertemu Luna,” jawab Ibu.“Kenapa nggak dia aja suruh ke sini, orangtua dikerjain,” gumam Sherin.“Ibu tidak merasa dikerjai oleh anak sendiri. Malah ibu yang minta kami bertemu di luar saja, demi kenyamanan dia. Kamu tunggu, ada yang harus dibicarakan. Ibu ganti baju dulu.”Melihat ibunya sudah ke kamar, Sherin bergumam mengejek kebijakan ibunya. Menurut dia, ibu pilih kasih. Merasa seperti tahanan saja, tidak dibebaskan keluar rumah kecuali atas izin dari sang ibu.Ibu keluar dari kamar sudah berganti daster yang lebih nyaman. Menuju sofa ruang tamu dan memanggil Sherin untuk ikut duduk.“Mana Beni?”“Udah tidur, dari sore ngambek mau ketemu Luna. Aku hubungi tidak aktif,

  • Ambil Saja Suamiku   52. Menyangkal

    “Apa, hamil?”Luna mengangguk pelan menatap sendu ibunya. Salamah pun tidak bisa berkata-kata, ia bingung harus bersikap bagaimana antara senang dan sedih. Hanya bisa mengerjapkan matanya.“Bu,” panggil Luna. “Ibu tidak senang aku hamil?”“Senang, tentu saja ibu senang. Tambah cucu dan ini juga keinginan kamu ‘kan?” tanya Ibu sambil mengusap pipi Luna. “Tapi … kamu bilang mau cerai. Lalu bagaimana dengan anakmu nanti.”“Bukannya aku egois, tapi aku tetap ingin pisah dengan Mas Irwan. Banyak anak-anak yang tetap bahagia meski dilahirkan dari keluarga pasangan yang berpisah. Anakku nanti tidak akan kekurangan kasih sayang, ibu bantu aku dan semangati aku bu,” rengek Luna.“Pasti sayang, pasti ibu bantu. Mana mungkin ibu tidak bantu kamu.” Ibu kembali mengusap punggung tangan putrinya. Kehamilan dijalani Luna pasti akan berat. Harusnya ia didampingi suami tercinta, tapi ada masalah diantara mereka.Cukup berbincang, Luna dan Ibunya memutuskan untuk pulang.“Jaga diri baik-baik, hubung ib

  • Ambil Saja Suamiku   51. Aku Hamil

    “Saya tidak terima, kalian menginjak-injak harga diri Irwan sama saja menghina kami. Kalaupun Irwan belum bekerja, kami masih sanggup membiayai kebutuhan Irwan juga Luna,” teriak Mama Irwan.Perdebatan itu terjadi di beranda rumah, tentu saja didengar oleh tetangga depan dan samping rumah. Belum reda keluarga Luna menjadi omongan tetangga, ditambah dengan kedatangan orang tua Irwan yang langsung mencak-mencak merasa tidak bersalah.“Siapa menghina kalian, seharusnya aku dan Luna yang terhina,” seru Ibu Salamah berusaha tetap tenang.“Mah, sudah, kita bicarakan baik-baik. Jangan begini, malu dilihat tetangga,” ujar Papa Irwan.“Biarkan saja, biar mereka yang malu.”“Aku tidak malu, justru seharusnya kalian yang malu. Bertamu langsung teriak seperti orang kesurupan.”“Wajar kesurupan, di sini banyak setan.”Salamah hanya bisa mengurut dada menanggapi besannya atau calon mantan besan. Sepertinya ia tidak sanggup kalau Irwan dan Luna berbaikan dan kembali berbesanan dengan keluarga itu.“

  • Ambil Saja Suamiku   50. Keputusan Luna

    “Aku … aku tetap ini cerai.” Luna menghela nafas setelah mengatakan itu.Sangat yakin dengan keputusannya. Apa yang dilakukan oleh Irwan sangat fatal, mengingkari janji suci pernikahan mereka. Membiarkan Luna menjadi tulang punggung padahal ia adalah tulang rusuk, sudah tidak masuk akal. Ditambah lagi Irwan berkhianat.Yang paling menjengkelkan, baik Irwan ataupun Sherin tidak terlihat menyesal akan kesalahan mereka. Kalaupun Irwan memohon mohon, terlihat tidak tulus. Jika Irwan meminta maaf, Luna akan maafkan, tapi tidak akan bisa melupakan kejadian itu dan keputusannya akan tetap sama.“Lo yakin?” tanya Ratna lagi dan dijawab Luna dengan anggukan. “Mungkin agak aneh kalau gue kasih saran, karena menikah juga belum. Tapi coba lo bicara lagi sama keluarga lo. Ibu atau dengan Irwan juga.”“Tentu saja, aku akan bicara dengan mereka.”“Apapun keputusan lo nanti, gue selalu dukung lo.”Luna tersenyum. “Terima kasih ya.”Ratna beranjak membereskan peralatan makan mereka, sudah sepakat sebe

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status