Mata Irwan seakan terbelakak bahkan mungkin bola matanya siap meluncur keluar melihat penampilan Sherin. Dengan rambut dikuncir ekor kuda, membuat tengkuknya terekspos.
Belum lagi kaos yang pas dibadan dan jeans model pensil, membuat tubuhnya terbentuk sempurna dan terlihat begitu seksi. Yang paling menarik adalah bagian depan tubuh wanita itu, begitu menonjol dan menantang meski sudah terbalut dengan kaos.
Yang Irwan tahu kalau Sherin diceraikan oleh suaminya. Mereka sempat bertahan meski tahu sang suami sudah selingkuh dan akhirnya bercerai juga. Dalam pikirannya kenapa bisa Sherin sesempurna ini bisa diselingkuhi bahkan sampai diceraikan.
“Irwan,” panggil Sherin.
“Eh, iya mbak.”
“Kamu melamun, kok diam aja.”
“Maaf mbak, kita langsung jalan aja ya. Udah siang,” seru Irwan yang memang sejak tadi belum turun dari motor lalu menghidupkan kembali mesin motornya.
“Saya nggak enak sama Luna, kamu pasti sibuk.”
“Jangan gitu mbak, saya nggak masalah Luna juga sama. Lagian saya pengangguran, sibuk dari mana. Malah saya yang nggak enak, takutnya mbak malu dibonceng sama saya. Udah mirip tukang ojek.”
“Kamu ini terlalu merendah. Mana ada tukang ojek ganteng, kayaknya Cuma ada tapi di FTV.”
Irwan tersenyum dan merasa bangga dipuji oleh Sherin. “Masa sih saya ganteng?”
“Iya, memang Luna nggak pernah bilang kamu ganteng. Mantan suami aku aja nggak seganteng kamu.” Sherin pun naik di belakang Irwan.
“Harusnya saya antar pakai mobil Ibu, tapi nggak enak belum izin beliau.”
“Udah pake motor aja biar lebih sat set,” sahut Sherin. Berada di atas motor yang sempit mau tidak mau tubuh mereka pasti akan saling bersentuhan.
“Oke, berangkat!”
***
Luna berada di ruangan Sadam, mendengarkan arahan dari pria itu sambil membaca dokumen yang dia pegang. Sesekali ia mengangguk dan mengajukan pertanyaan karena belum paham.
Sadam menjelaskan sambil memperhatikan wajah Luna. Beruntung wanita itu tidak tahu kalau sedang diperhatikan.
“Itu point penting untuk perjalanan dinas besok.”
“Siap pak, saya mengerti,” sahut Luna.
“Sudah kamu urus akomodasinya?” tanya Sadam mengalihkan pandangannya ke layar laptop karena Luna menatapnya.
“Sudah pak.”
“Seharusnya itu bukan tanggung jawab kamu, tapi kamu lihat sendiri posisi sekretaris masih kosong.”
Luna mengangguk paham dan tidak mempermasalahkan itu. Yang membuat Sadam lebih tertarik menawarkan Luna menjadi wakilnya karena tanggung jawab dan selalu siap menerima arahan.
Sadam tidak menyukai bawahan atau timnya terlalu banyak alasan dalam mengerjakan tugas.
“Ada lagi yang harus saya kerjakan pak?”
“Itu saja dulu,” sahut Sadam.
“Baik, saya permisi pak.” Luna meninggalkan ruangan Sadam dan kembali ke meja kerjanya. Meletakan diokumen yang tadi diberikan Sadam lalu mengeluarkan ponsel dari saku.
Tidak melihat notifikasi pesan atau panggilan di sana. Namun, perasaannya tidak enak. Ingin menghubungi Irwan atau ibunya, khawatir sedang sibuk.
“Aku kenapa ya, kok jadi bingung begini,” gumam Luna sambil menepuk dadanya pelan. Jantungnya berdebar tidak biasa. “Mas Irwan ‘kan lagi antar mbak Sherin sekalian survey. Apa terjadi sesuatu ya.” Luna gegas menggeleng untuk mengusir bayangan buruk di kepalanya. “Tidak, ini hanya perasaan aku. Mas Irwan pasti baik-baik saja.”
Luna berusaha fokus dengan tugasnya. Larut dalam file dan dokumen yang sedang ia kerjakan. Mempersiapkan banyak format yang harus dibawa untuk perjalanan besok. Tanpa terasa sudah waktunya istirahat. Lupa akan janjinya makan siang dengan Ratna.
Bahkan rekan kerjanya itu, sudah berada di depan meja Luna.
“Astaga, fokus amat. Jangan-jangan laki lo lewat juga nggak sadar kali ya.”
Luna menoleh dan mencibir. “Mana ada suami aku lewat sini. Kok udah beredar, jam berapa ini?”
Luna melihat jam dinding, ternyata sudah waktunya istirahat. Pantas saja perutnya sudah berteriak minta diisi.
“Mau makan sekarang?”
“Jangan, besok aja biar lebih greget,” sahut Ratna.
Luna terkekeh. “Oke, kita makan sekarang. Sebentar aku simpan ini dulu.” Memastikan semua file sudah tersimpan dan dokumen ia rapikan lagi.
“Lun, gimana Pak Sadam?”
“Gimana apanya?” Luna malah balik bertanya.
“Ck. Lo ‘kan sekarang makin dekat sama beliau. Perasaan lo gimana?”
“Biasa aja, memang harus gimana?” tanya Luna sambil mengernyitkan dahi. Tidak mengerti maksud Ratna.
“Emang gini nih. Nggak peka sama keadaan sekitar. Lo tau banyak perempuan terutama di divisi ini mengidolakan Pak Sadam. Kalau dilihat dari dekat, gimana?”
“Hm, gimana ya? Pak Sadam itu … perfeksionis, sempurna dan dewasa."
Tanpa mereka sadari, orang yang dibicarakan sudah berdiri di tengah pintu. Tentu saja Sadam mendengar dirinya menjadi bahan obrolan.
“Ganteng ‘kan?” tanya Ratna lagi.
“Iya, gitu deh.”
“Ganteng mana sama laki lo.”
“Ya ampun Ratna. Apaan sih, kok bandingkan Mas Irwan dengan Pak Sadam.” Luna mengambil dompet dari dalam tasnya.
“Bagai bumi dan langit, jauh banget. Ibaratnya kalau lo di kantor berada di taman surga dan pak Sadam bak malaikat, tapi di rumah seperti melihat malaikat pencabut nyawa.”
“Ratna,” tegur Luna karena Ratna malah tergelak dengan perumpamaannya sendiri.
“Ehem.”
Luna dan Ratna langsung diam mendengar deheman. Ternyata Pak Sadam.
‘Sejak kapan dia di situ? Jangan-jangan dia dengar apa yang kami bicarakan,’ batin Luna.
Sebenarnya Sadam tidak suka menjadi bahan pembicaraan apalagi menjadi objek halusinasi bawahannya. Namun, mendengar pujian dari Luna tentang dirinya, entah mengapa dia suka mendengar itu. Bahkan sempat tersenyum.
“Pak Sadam,” sapa Luna yang sudah berdiri. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.
“Hm. Cari tahu makan siang saya sudah datang atau belum.” Sadam langsung berbalik menuju ruangannya. Luna menyalahkan Ratna tanpa suara, sambil menghubungi bagian informasi.
Sedangkan di tempat berbeda, Irwan fokus pada ponsel mencatat semua informasi yang dia dapatkan. Barang apa saja yang dia butuhkan termasuk harganya.
“Di sini panas ya” ucap Sherin sambil mengibaskan kaosnya.
“Panas ya mbak, sebentar ya.” Data yang sudah Irwan ketik langsung dikirim untuk Luna. “oke, selesai. Mbak Sherin mau kemana lagi?”
“Udah nggak ada sih. Urusan kamu gimana?”
“Udah selesai juga,” jawab Irwan. “Mau langsung pulang?”
“Hm, ke sana dulu yuk. Sudah lama nggak jalan-jalan di Jakarta. Eh, tapi kamunya sibuk nggak?” tanya Sherin lagi setelah menunjuk gedung mall yang tidak jauh dari tempat mereka berada.
“Sibuk mbak, sibuk jadi pengangguran. Ayo, naik. Irwan siap mengantarkan kemana pun Mbak Sherin mau.”
Keduanya kemudian tertawa. Bahkan melanjutkan obrolan saat motor sudah mulai melaju. Tubuh Sherin semakin dekat dengan Irwan. Jalanan cukup padat, banyak para pekerja keluar untuk cari makan. Saat ada motor berhenti menyalip, Irwan pun berhenti mendadak, tubuh keduanya langsung menempel.
Irwan menelan saliva merasakan sesuatu yang kenyal di punggungnya. Mendadak pikirannya traveling membayangkan ukuran bagian tubuh Sherin yang baru saja menyentuhnya.
“Pegangan mbak, takut jatuh.”
Perlahan Sherin memegang pinggang Irwan. Menghindari kendaraan lain, motor meliuk dan kadang berhenti mendadak. Pegangan Sherin berubah menjadi pelukan karena takut jatuh. Tidak perlu ditanya lagi bagaimana tubuh mereka, tentu saja menempel seperti pasangan kekasih.
Sherin menyodorkan piyama saat Irwan keluar dari toilet dengan handuk mengalung di pinggangnya.“Beni udah tidur?”“Sudah,” jawab Sherin lalu duduk di tepi ranjang dan mengalihkan pandangan saat suaminya berganti piyama. Padahal mereka sudah sah, tapi malu kalau harus memperhatikan Irwan berganti meski ia menyukai dada kekar suaminya. Bahkan saat masih melakukan affair, senang sekali bersandar di dada dan bahu pria itu.“Ibu gimana?”“Udah tidur dari sore. Kenapa?”“Nggak pa-pa,” sahut Irwan sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Di toko masih dibantu Encing nggak?”“Iya, paling siang ke sana. Kalau nggak ke sana, encing sore pasti kemari.”“Kamu jangan capek-capek, lagi hamil. Kalau bik Ela sudah nggak kerja, kita cari orang lagi. Beni masih anter jemput ‘kan?” cecar Irwan setelah menggantung handuk lalu ikut duduk di samping Sherin.Akhir-akhir ini ia lembur dan pulang agak malam. Semangat untuk menjalani, karena hidupnya sekarang harus menafkahi Sherin, Beni dan calon anak m
“Tenang, Sadam udah di jalan mau ke sini.” Ratna tersenyum karena menjadi perhatian dari semua orang di ruangan itu. Meski rasanya ingin sekali menghardik kalau memang pria itu ada di hadapannya.Mendengar Sadam memang dalam perjalanan ke tempat itu, Luna pun menghela lega. Sempat berburuk sangka kalau Sadam mungkin berubah pikiran untuk melamarnya.“Tenanglah, Sadam pasti datang,” bisik Ibu dan Luna mengangguk pelan.Mami Sadam masih mengoceh karena putranya berulah. Padahal dia sendiri yang mengusulkan waktu lamaran hari ini tanpa persiapan berarti, ternyata sibuk dan sudah satu minggu ini ia belum bertemu dengan putranya itu.“Bapak, Ibu, kita bercakap-cakap saja dulu. Lamaran pasti jadi, tunggu orangnya datang,” tutur Papi Sadam.Akhirnya ramah tamah pun terlaksana sebelum acara dimulai sambil menunggu kedatangan Sadam. Satu jam menunggu akhirnya Sadam tiba. Dengan nafas terengah bersama supirnya yang membawakan paper bag berisi dompet dan ponsel.“Pagi menjelang siang, aku tidak
Sadam tidak akan gentar dan goyah dengan rencana menikahi Luna. Baginya wanita itu adalah pelabuhan terakhir dan rumah untuknya pulang. Pemikiran yang sama mengenai kehidupan berumah tangga akan membuat perjalanan mereka lebih mudah. Sadam berprinsip kalau istri adalah pusat dari sebuah keluarga. Bagaimana kondisi rumah tangga, tergantung kondisi si istri. Akan lebih baik seorang istri menjadi penyemangat suami dan selalu berada di sampingnya. Begitupun dengan Luna yang ingin menjadi ibu rumah tangga saja. Berbakti pada suami dan memastikan suami serta anak-anaknya dalam limpahan kasih sayang. Wanita karir bukan cita-citanya setelah ia menikah. Sudah dua kali bertemu dengan Meli sang mantan istri. Pernah begitu mencintai dan tergila-gila pada wanita itu, tapi sekarang fokus Sadam hanya untuk Luna. Yang Sadam tahu Meli bekerja di stasiun TV, tapi sekarang malah mewakili perusahaan kontraktor.“Pak Sadam nggak salah, Bu Meli wow begitu diceraikan.”“Tidak, justru aku salah kalau teta
Luna hanya menggeleng sambil menggigit bibirnya saat Ratna datang. Berbeda dengan Sadam yang biasa saja dan memberikan arahan pada gadis itu.“Iya, gampanglah itu,” sahut Ratna. Sadam memintanya untuk membantu Luna mempersiapkan acara lamaran.Sadam pun akhirnya pamit dan memberikan sebuah kartu pada Luna untuk persiapan lamaran mereka. Mendekat untuk memeluk dan mencium kening Luna, dilakukan di hadapan Ratna.“Iya, nggak pa-pa terusin aja. Anggap aja gue nggak ada.”Luna tersenyum dan mengekor langkah Sadam meninggalkan ruang kerjanya, begitu pun dengan Ratna.“Hati-hati ya,” ujar Luna.“Hm, jangan segan menghubungiku.”Sore harinya, Ratna pun menemani Luna ke butik untuk memilih busana mereka saat lamaran. Mencari tempat untuk proses lamaran, karena permintaan Ibu juga Sadam. mengingat keluarga itu baru saja mengadakan pernikahan untuk Sherin.“Di sini bagus, lo setuju nggak?” tanya Ratna pada Luna yang sedang memfoto ruangan yang akan mereka sewa.“Hm, aku setuju, tapi nanti bilan
“Bu,” panggil Luna.Ibu yang sedang mengarahkan bik Ela dan suaminya agar membawa pulang makanan yang masih ada pun menoleh. Para kerabat dan tamu sudah pulang semua, termasuk Ardan dan Ratna. Beni sedang sibuk dengan mainan baru di kamarnya yang juga baru. Sherin dan Irwan sedang berganti pakaian.“Mau pulang?” tanya Ibu.“Iya, tapi Pak Sadam mau ngobrol dulu.” Luna memeluk lengan ibunya mengajak ke beranda di mana Sadam menunggu.“Ada apa nak Sadam?”Luna duduk di samping Sadam, sedangkan Ibu tepat di hadapan mereka.“Begini bu, saya berniat serius dengan Luna. Setelah ini saya akan bicarakan dengan orangtua untuk datang kemari bermaksud melamar Luna. Apa ibu keberatan? Saya paham mungkin terlalu cepat, apalagi Sherin baru saja menikah.”“Ibu paham, ini bukan masalah baru saja ada pernikahan di sini. Nak Sadam sudah yakin dengan Luna?”“Yakin, bu.”“Dengan segala latar belakang dan kekurangannya.”Sadam tidak langsung menjawab, ia meraih tangan Luna dan menggenggamnya. “Saya dan Lun
Sherin mematut wajahnya di cermin. Mengenakan kebaya putih gading yang membentuk tubuhnya. Polesan make up juga tatanan rambut dengan sanggul melengkapi penampilannya. Hari ini, tepatnya sesaat lagi ia akan menikah dengan Irwan.Pernikahannya yang kedua dan tidak pernah ada dalam rencananya ia akan gagal berumah tangga dan kembali memutuskan untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Tidak terbersit dalam benaknya akan menikah dengan Irwan. Awalnya hanya main-main dengan pria yang saat itu adalah adik ipar, nyatanya ia harus menanggung akibat itu.Awal hanya main-main malah berakibat fatal dan menjadi masalah. Luna menyaksikan affairnya dan saat ini ia sangat menyesal. Imbasnya bukan hanya Luna, tapi juga pada keluarga khususnya Ibu. Luna akhirnya bercerai bahkan keguguran.Pintu kamar dibuka, ternyata Ibu yang datang.“Sudah siap?” tanya wanita itu.Sherin tidak menjawab, ia menatap wanita yang sudah melahirkannya menghampiri dan berdiri di belakangnya. Rasa sesal dan malu yang ia rasaka