Share

4. Tukang Ojek

Auteur: dtyas
last update Dernière mise à jour: 2025-02-09 22:05:09

Luna sudah mendapat kabar kalau kakaknya akan pulang. Tidak sempat menyapa karena saat ia pulang, kamar Sherin sudah tertutup rapat. Bahkan Irwan juga sudah tidur.

“Kamu sekarang kerja?” tanya Sherin setelah mereka berpelukan mengobati rindu.

“Iya mbak.”

“Aku juga mau kerja, tapi kasihan Beni.”

Luna menghela nafasnya, ia paham bagaimana perasaan Sherin. Ia pun merasakan dilema dengan kondisinya. Bekerja, tapi peran sebagai istri kurang maksimal. Tidak bekerja, lalu bagaimana mereka makan. Tidak mungkin terus menerus menumpang pada ibunya.

“Suami kamu mana?” tanya Sherin karena belum melihat Irwan di meja makan.

“Paling bentar lagi juga keluar, tadi lagi mandi.” Luna meski sudah rapi dan siap berangkat, berusaha untuk melayani suaminya. Ia membuatkan kopi dan diletakan di atas meja.

“Mas, mau sarapan sekarang?” tanya Luna saat melihat Irwan datang dan duduk di sampingnya, padahal ia baru saja memulai sarapan.

“Nanti saja, belum lapar. Kamu habiskan itu, nanti kesiangan.” Irwan menunjuk piring istrinya.

Luna mengangguk lalu menekuni makanan yang ada di atas piring. Sedangkan Irwan meraih cangkir kopi dan menyesap pelan sambil menatap Sherin yang juga sedang menatapnya.

“Aku kenyang.”

“Loh, ini belum habis,” ucap Sherin karena putranya hanya menghabiskan setengah dari porsi sarapan.

“Beni mau ikut nenek ke toko?” Ibu keluar dari kamar sudah rapi. Luna beranjak mengambilkan botol air minum dan termos kecil yang akan dibawa ibunya.

“Mau, aku mau ikut,” ucap Beni bersorak.

“Jangan bu, biar Beni sama aku. Nanti ibu repot.”

“Biar Beni ikut Ibu, kamu hari ini mau daftarkan Beni sekolah. Minta saja Irwan untuk mengantar,” ujar Ibu lagi. “Dari pada naik ojeg, lagian Irwan juga sering nongkrong di pangkalan ojeg, anggap aja dia juga tukang ojeg.”

Irwan dan Sherin saling tatap kemudian menoleh ke arah Luna yang terlihat tidak nyaman. Luna khawatir Irwan tersinggung dengan ucapan ibunya.

“Aku naik angkot saja, Irwan mungkin mau antar Luna.”

“Mas Irwan antar aku ke halte depan, setelah itu antar mbak ke sekolah. Oh iya, Mas juga mau survey laundry ‘kan? Sekalian jalan aja,” usul Sherin.

“Kalian jadi buka laundry?” tanya Ibu sudah siap berangkat, bahkan sudah menggenggam tangan Beni.

“Masih dihitung kebutuhan biayanya bu, makanya Mas Irwan aku minta survey untuk cari tahu harganya.”

“Ya terserah kalian saja.”

Sherin mengantar ibu dan putranya ke depan. Luna berniat menyampaikan rencana ia harus keluar kota juga masalah naik jabatan.

“Mas.”

“Ibu kamu kayaknya mulai nggak suka sama aku, Lun.”

“Nggak gitu mas, maksud ibu kalau mas gabung di toko kita nggak usah keluar modal. Sedangkan buka laundry modalnya nggak sedikit, belum lagi kalau usaha kita ternyata sepi.”

“Belum mulai kamu sudah pesimis gitu sih. Lagian keluar uang juga belum.”

“Bukan pesimis, semua orang yang mau buka usaha pasti ada kekhawatiran seperti itu,” tutur Luna. “Mas, kemarin di kantor aku dipercaya mengisi jabatan baru.”

“Hah, jabatan apa?” tanya Irwan.

“Wakil manajer, Mas.” Luna menjawab pelan, ia belum bisa menebak apakah Irwan ikut senang atau sebaliknya. “Kebetulan posisi itu sedang kosong. Aku juga sudah tanda tangan kontrak kerja baru dan gaji bulanannya lumayan mas. Bahkan ada bonus dan tunjangan juga.”

“Tapi kamu makin sibuk, gitu ‘kan?”

“Penghasilannya seimbang dengan tanggung jawab pekerjaan. Sekalian aku mau izin, besok harus survey ke lokasi proyek di luar kota. Paling cepat tiga hari,” ungkap Luna dengan suara lirih bahkan seperti berbisik.

“Tiga hari?” tanya Irwan dengan nada suara tidak biasa. 

“I-ya, mas.”

“Ya ampun Lun, lalu nasib aku gimana. Kamu makin sibuk aku makin bapuk,” keluh Irwan bahkan bicara sambil membuang pandangannya.

“Mau gimana lagi, mas. Ini semua aku lakukan demi kita. Kalau uang untuk modal sudah cukup dan usaha yang mas mau sudah jalan, aku pasti resign. Aku hanya ingin jadi ibu rumah tangga, urus suami dan anak bukan jadi wanita karir.”

“Lalu kamu menyesal dan salahkan aku?”

“Nggak mas, aku hanya ingin kita sama-sama mengerti dan sabar,” tutur Luna sambil menggenggam tangan Irwan.

“Tapi aku juga butuh kamu Luna. Semalam entah kamu pulang jam berapa, bahkan saat aku ingin dilayani kamu nggak ada. Sekarang kamu udah mau jalan dan besok malah perginya jauh. Tiga hari pula.”

“Kalau kamu nggak rela, aku resign hari ini juga Mas.” Luna mengalah daripada ia merasa serba salah. “Mulai besok aku ikut Ibu di toko saja.”

“Kamu jangan gitu, kayak aku yang salah banget di sini. Udah nggak kerja, numpang hidup terus dan membatasi aktivitas kamu,” keluh Irwan dengan nada kesal.

“Nggak ada yang berpikir begitu, itu pendapat mas Irwan saja.”

Irwan mengacak rambutnya karena sebal. “Ya sudah kamu lanjut kerja, aku sabar sampai kita ada modal lalu buka usaha. Ini udah siang nanti kamu telat.”

Tanpa mereka tahu Sherin mencuri dengar apa yang mereka diskusikan. Wanita itu berdiri di tembok pembatas ruang tamu dan ruang keluarga. Mendengar Irwan dan Luna sudah selesai berdebat, ia gegas keluar.

“Mau berangkat?” tanya Sherin pada Luna.

“Iya mbak.”

“Hati-hati ya,” ucap Sherin.  

Luna tersenyum lalu menuju pagar dan mendorong pelan memberi jalan untuk motor Irwan. Sedangkan Irwan yang akan naik ke atas motor sempat melirik dan saling tatap dengan Sherin.

Sherin tersenyum. “Aku ke dalam dulu, mau siap-siap,” ujarnya lirih.

Irwan lalu memakai helm, tidak ada yang mengetahui bagaimana dia tersenyum mendengar suara Sherin yang lembut dan mirip orang mendesah. Seperti rencana Luna, ia mengantar hanya keluar komplek menuju halte.

“Kemarin aku nggak jadi ke rumah mama, Ibu minta aku bantu-bantu di rumah. Tau deh hari ini sempat atau nggak,” keluh Irwan.

“Gimana dong, aku udah bilang Mbak Sherin boleh diantar kamu.”

“Ya udah, nggak pa-pa. Aku langsungan ya, takut kesiangan. Kalau sudah beres mau ke tempat Mama. Kamu nggak pa-pa aku tinggal?”

“Iya mas, nggak masalah. Itu angkotnya sudah kelihatan.”

Bahkan tanpa menunggu Luna menaiki angkot, Irwan langsung tancap gas untuk kembali ke rumah.

“Padahal mau cium tangan, udah kabur.” 

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Ambil Saja Suamiku   54. Penyerangan

    “Mbak Luna, maaf. Saya hubungi ke atas katanya udah keluar istirahat. Orangnya maksa, sudah saya bilang janjian dulu,” jelas salah satu staf resepsionis.“Nggak pa-pa. Di mana ya?” tanya Luna, pandangannya ke arah pintu lobby. Tidak menduga siapa yang datang mencarinya.“Saya minta tunggu di sana!” staf itu menunjuk ke arah sofa area tunggu. “Ah itu dia, kayaknya dari toilet.”Luna menatap ke arah yang ditunjuk lalu mengernyitkan dahi. “Mama,” ucapnya.“Mbak kenal?”“iya, aku temui dulu. Makasih ya,” ujar Luna. Kalau ditanya apa ia mau menemui ibu mertuanya, tentu saja tidak. Saat ini ia tidak ingin bertemu dengan siapapun yang berhubungan dengan Irwan.Namun, sudah terlanjur sudah ada di sini. Di usir pun tidak enak. Kecuali dia sedang tidak ada di tempat. Luna menghampiri, raut wajah mama Irwan terlihat tidak bersahabat saat pandangan mereka bertemu.Sekesal apapun, wanita itu adalah orang tua Irwan. Statusnya masih ibu mertua.“Mah,” sapa Luna lalu meraih tangan wanita itu untuk c

  • Ambil Saja Suamiku   53. Tamu Tak Diundang

    “Makasih ya Ceng,” seru Ibu menerima kunci mobil dari Aceng.“Sama-sama mpok. Aye pulang dulu ya.”“Iya,” sahut Ibu lalu mengantar sampai pagar dan merapatkan pintu.“Ibu dari mana?” tanya Sherin saat Ibu menutup pintu depan.Hampir pukul delapan malam ibunya datang diantar oleh Aceng orang kepercayaannya di toko.“Bertemu Luna,” jawab Ibu.“Kenapa nggak dia aja suruh ke sini, orangtua dikerjain,” gumam Sherin.“Ibu tidak merasa dikerjai oleh anak sendiri. Malah ibu yang minta kami bertemu di luar saja, demi kenyamanan dia. Kamu tunggu, ada yang harus dibicarakan. Ibu ganti baju dulu.”Melihat ibunya sudah ke kamar, Sherin bergumam mengejek kebijakan ibunya. Menurut dia, ibu pilih kasih. Merasa seperti tahanan saja, tidak dibebaskan keluar rumah kecuali atas izin dari sang ibu.Ibu keluar dari kamar sudah berganti daster yang lebih nyaman. Menuju sofa ruang tamu dan memanggil Sherin untuk ikut duduk.“Mana Beni?”“Udah tidur, dari sore ngambek mau ketemu Luna. Aku hubungi tidak aktif,

  • Ambil Saja Suamiku   52. Menyangkal

    “Apa, hamil?”Luna mengangguk pelan menatap sendu ibunya. Salamah pun tidak bisa berkata-kata, ia bingung harus bersikap bagaimana antara senang dan sedih. Hanya bisa mengerjapkan matanya.“Bu,” panggil Luna. “Ibu tidak senang aku hamil?”“Senang, tentu saja ibu senang. Tambah cucu dan ini juga keinginan kamu ‘kan?” tanya Ibu sambil mengusap pipi Luna. “Tapi … kamu bilang mau cerai. Lalu bagaimana dengan anakmu nanti.”“Bukannya aku egois, tapi aku tetap ingin pisah dengan Mas Irwan. Banyak anak-anak yang tetap bahagia meski dilahirkan dari keluarga pasangan yang berpisah. Anakku nanti tidak akan kekurangan kasih sayang, ibu bantu aku dan semangati aku bu,” rengek Luna.“Pasti sayang, pasti ibu bantu. Mana mungkin ibu tidak bantu kamu.” Ibu kembali mengusap punggung tangan putrinya. Kehamilan dijalani Luna pasti akan berat. Harusnya ia didampingi suami tercinta, tapi ada masalah diantara mereka.Cukup berbincang, Luna dan Ibunya memutuskan untuk pulang.“Jaga diri baik-baik, hubung ib

  • Ambil Saja Suamiku   51. Aku Hamil

    “Saya tidak terima, kalian menginjak-injak harga diri Irwan sama saja menghina kami. Kalaupun Irwan belum bekerja, kami masih sanggup membiayai kebutuhan Irwan juga Luna,” teriak Mama Irwan.Perdebatan itu terjadi di beranda rumah, tentu saja didengar oleh tetangga depan dan samping rumah. Belum reda keluarga Luna menjadi omongan tetangga, ditambah dengan kedatangan orang tua Irwan yang langsung mencak-mencak merasa tidak bersalah.“Siapa menghina kalian, seharusnya aku dan Luna yang terhina,” seru Ibu Salamah berusaha tetap tenang.“Mah, sudah, kita bicarakan baik-baik. Jangan begini, malu dilihat tetangga,” ujar Papa Irwan.“Biarkan saja, biar mereka yang malu.”“Aku tidak malu, justru seharusnya kalian yang malu. Bertamu langsung teriak seperti orang kesurupan.”“Wajar kesurupan, di sini banyak setan.”Salamah hanya bisa mengurut dada menanggapi besannya atau calon mantan besan. Sepertinya ia tidak sanggup kalau Irwan dan Luna berbaikan dan kembali berbesanan dengan keluarga itu.“

  • Ambil Saja Suamiku   50. Keputusan Luna

    “Aku … aku tetap ini cerai.” Luna menghela nafas setelah mengatakan itu.Sangat yakin dengan keputusannya. Apa yang dilakukan oleh Irwan sangat fatal, mengingkari janji suci pernikahan mereka. Membiarkan Luna menjadi tulang punggung padahal ia adalah tulang rusuk, sudah tidak masuk akal. Ditambah lagi Irwan berkhianat.Yang paling menjengkelkan, baik Irwan ataupun Sherin tidak terlihat menyesal akan kesalahan mereka. Kalaupun Irwan memohon mohon, terlihat tidak tulus. Jika Irwan meminta maaf, Luna akan maafkan, tapi tidak akan bisa melupakan kejadian itu dan keputusannya akan tetap sama.“Lo yakin?” tanya Ratna lagi dan dijawab Luna dengan anggukan. “Mungkin agak aneh kalau gue kasih saran, karena menikah juga belum. Tapi coba lo bicara lagi sama keluarga lo. Ibu atau dengan Irwan juga.”“Tentu saja, aku akan bicara dengan mereka.”“Apapun keputusan lo nanti, gue selalu dukung lo.”Luna tersenyum. “Terima kasih ya.”Ratna beranjak membereskan peralatan makan mereka, sudah sepakat sebe

  • Ambil Saja Suamiku   49. Pisah Atau Bertahan

    “Jangan diam saja, kamu serius diusir?”“Aku … mana barang-barangku?”“Di depan. Jadi kamu beneran diusir Luna? Beraninya dia, sudah merasa hebat bisa cari uang sendiri. Coba hubungi dia, mama mau bicara.”Irwan keluar dari kamar melewati ibunya yang masih geram dengan ulah Luna. Mengambil koper dan tas yang ada di beranda lalu di bawa ke kamar.“Irwan, mama serius. Ayo hubungi Luna, mama mau bicara.”“Sudahlah mah. Nanti saja, tunggu keadaan lebih tenang. Saat ini mereka sedang emosi,” jelas Irwan. Menutupi kenyataan yang sebenarnya.“Sekarang mama juga emosi. Apa maksudnya barang-barang kamu diantar begini, apa Luna ingin pisah dari kamu.”Irwan mengusap kasar wajahnya. Ia belum memikirkan masalah itu, Luna juga tidak mengatakan apa-apa saat ia hengkang dari rumah. Paling buruk memang mereka bercerai, tapi Irwan yakin Luna akan luluh. Untuk saat ini ia hanya perlu mengalah dan menjauh, ada masanya amarah Luna mereda.‘Dia terlalu cinta, nggak mungkin bisa pisah denganku,’ batin Irwa

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status