Luna sudah mendapat kabar kalau kakaknya akan pulang. Tidak sempat menyapa karena saat ia pulang, kamar Sherin sudah tertutup rapat. Bahkan Irwan juga sudah tidur.
“Kamu sekarang kerja?” tanya Sherin setelah mereka berpelukan mengobati rindu.
“Iya mbak.”
“Aku juga mau kerja, tapi kasihan Beni.”
Luna menghela nafasnya, ia paham bagaimana perasaan Sherin. Ia pun merasakan dilema dengan kondisinya. Bekerja, tapi peran sebagai istri kurang maksimal. Tidak bekerja, lalu bagaimana mereka makan. Tidak mungkin terus menerus menumpang pada ibunya.
“Suami kamu mana?” tanya Sherin karena belum melihat Irwan di meja makan.
“Paling bentar lagi juga keluar, tadi lagi mandi.” Luna meski sudah rapi dan siap berangkat, berusaha untuk melayani suaminya. Ia membuatkan kopi dan diletakan di atas meja.
“Mas, mau sarapan sekarang?” tanya Luna saat melihat Irwan datang dan duduk di sampingnya, padahal ia baru saja memulai sarapan.
“Nanti saja, belum lapar. Kamu habiskan itu, nanti kesiangan.” Irwan menunjuk piring istrinya.
Luna mengangguk lalu menekuni makanan yang ada di atas piring. Sedangkan Irwan meraih cangkir kopi dan menyesap pelan sambil menatap Sherin yang juga sedang menatapnya.
“Aku kenyang.”
“Loh, ini belum habis,” ucap Sherin karena putranya hanya menghabiskan setengah dari porsi sarapan.
“Beni mau ikut nenek ke toko?” Ibu keluar dari kamar sudah rapi. Luna beranjak mengambilkan botol air minum dan termos kecil yang akan dibawa ibunya.
“Mau, aku mau ikut,” ucap Beni bersorak.
“Jangan bu, biar Beni sama aku. Nanti ibu repot.”
“Biar Beni ikut Ibu, kamu hari ini mau daftarkan Beni sekolah. Minta saja Irwan untuk mengantar,” ujar Ibu lagi. “Dari pada naik ojeg, lagian Irwan juga sering nongkrong di pangkalan ojeg, anggap aja dia juga tukang ojeg.”
Irwan dan Sherin saling tatap kemudian menoleh ke arah Luna yang terlihat tidak nyaman. Luna khawatir Irwan tersinggung dengan ucapan ibunya.
“Aku naik angkot saja, Irwan mungkin mau antar Luna.”
“Mas Irwan antar aku ke halte depan, setelah itu antar mbak ke sekolah. Oh iya, Mas juga mau survey laundry ‘kan? Sekalian jalan aja,” usul Sherin.
“Kalian jadi buka laundry?” tanya Ibu sudah siap berangkat, bahkan sudah menggenggam tangan Beni.
“Masih dihitung kebutuhan biayanya bu, makanya Mas Irwan aku minta survey untuk cari tahu harganya.”
“Ya terserah kalian saja.”
Sherin mengantar ibu dan putranya ke depan. Luna berniat menyampaikan rencana ia harus keluar kota juga masalah naik jabatan.
“Mas.”
“Ibu kamu kayaknya mulai nggak suka sama aku, Lun.”
“Nggak gitu mas, maksud ibu kalau mas gabung di toko kita nggak usah keluar modal. Sedangkan buka laundry modalnya nggak sedikit, belum lagi kalau usaha kita ternyata sepi.”
“Belum mulai kamu sudah pesimis gitu sih. Lagian keluar uang juga belum.”
“Bukan pesimis, semua orang yang mau buka usaha pasti ada kekhawatiran seperti itu,” tutur Luna. “Mas, kemarin di kantor aku dipercaya mengisi jabatan baru.”
“Hah, jabatan apa?” tanya Irwan.
“Wakil manajer, Mas.” Luna menjawab pelan, ia belum bisa menebak apakah Irwan ikut senang atau sebaliknya. “Kebetulan posisi itu sedang kosong. Aku juga sudah tanda tangan kontrak kerja baru dan gaji bulanannya lumayan mas. Bahkan ada bonus dan tunjangan juga.”
“Tapi kamu makin sibuk, gitu ‘kan?”
“Penghasilannya seimbang dengan tanggung jawab pekerjaan. Sekalian aku mau izin, besok harus survey ke lokasi proyek di luar kota. Paling cepat tiga hari,” ungkap Luna dengan suara lirih bahkan seperti berbisik.
“Tiga hari?” tanya Irwan dengan nada suara tidak biasa.
“I-ya, mas.”
“Ya ampun Lun, lalu nasib aku gimana. Kamu makin sibuk aku makin bapuk,” keluh Irwan bahkan bicara sambil membuang pandangannya.
“Mau gimana lagi, mas. Ini semua aku lakukan demi kita. Kalau uang untuk modal sudah cukup dan usaha yang mas mau sudah jalan, aku pasti resign. Aku hanya ingin jadi ibu rumah tangga, urus suami dan anak bukan jadi wanita karir.”
“Lalu kamu menyesal dan salahkan aku?”
“Nggak mas, aku hanya ingin kita sama-sama mengerti dan sabar,” tutur Luna sambil menggenggam tangan Irwan.
“Tapi aku juga butuh kamu Luna. Semalam entah kamu pulang jam berapa, bahkan saat aku ingin dilayani kamu nggak ada. Sekarang kamu udah mau jalan dan besok malah perginya jauh. Tiga hari pula.”
“Kalau kamu nggak rela, aku resign hari ini juga Mas.” Luna mengalah daripada ia merasa serba salah. “Mulai besok aku ikut Ibu di toko saja.”
“Kamu jangan gitu, kayak aku yang salah banget di sini. Udah nggak kerja, numpang hidup terus dan membatasi aktivitas kamu,” keluh Irwan dengan nada kesal.
“Nggak ada yang berpikir begitu, itu pendapat mas Irwan saja.”
Irwan mengacak rambutnya karena sebal. “Ya sudah kamu lanjut kerja, aku sabar sampai kita ada modal lalu buka usaha. Ini udah siang nanti kamu telat.”
Tanpa mereka tahu Sherin mencuri dengar apa yang mereka diskusikan. Wanita itu berdiri di tembok pembatas ruang tamu dan ruang keluarga. Mendengar Irwan dan Luna sudah selesai berdebat, ia gegas keluar.
“Mau berangkat?” tanya Sherin pada Luna.
“Iya mbak.”
“Hati-hati ya,” ucap Sherin.
Luna tersenyum lalu menuju pagar dan mendorong pelan memberi jalan untuk motor Irwan. Sedangkan Irwan yang akan naik ke atas motor sempat melirik dan saling tatap dengan Sherin.
Sherin tersenyum. “Aku ke dalam dulu, mau siap-siap,” ujarnya lirih.
Irwan lalu memakai helm, tidak ada yang mengetahui bagaimana dia tersenyum mendengar suara Sherin yang lembut dan mirip orang mendesah. Seperti rencana Luna, ia mengantar hanya keluar komplek menuju halte.
“Kemarin aku nggak jadi ke rumah mama, Ibu minta aku bantu-bantu di rumah. Tau deh hari ini sempat atau nggak,” keluh Irwan.
“Gimana dong, aku udah bilang Mbak Sherin boleh diantar kamu.”
“Ya udah, nggak pa-pa. Aku langsungan ya, takut kesiangan. Kalau sudah beres mau ke tempat Mama. Kamu nggak pa-pa aku tinggal?”
“Iya mas, nggak masalah. Itu angkotnya sudah kelihatan.”
Bahkan tanpa menunggu Luna menaiki angkot, Irwan langsung tancap gas untuk kembali ke rumah.
“Padahal mau cium tangan, udah kabur.”
Selama perjalanan ke kantor, tidak ada percakapan terjadi. Sadam bungkam dengan raut wajah tidak terbaca. Perubahan itu setelah bertemu dengan wanita yang dipanggil Meli. Luna penasaran ada hubungan apa Sadam dengan wanita itu. Namun, tidak berani bertanya.Mobil pun sudah memasuki area perusahaan lalu menuju basement terparkir rapi. Saat Luna melepas seatbelt dan hendak membuka pintu mobil. Sadam menahan tangan Luna.“Wanita tadi, dia mantan istriku.” Sadam mengatakan itu dengan pandangan lurus ke depan. Raut wajahnya masih datar dan tidak terbaca. “Sudah bertahun-tahun kami berpisah dan baru tadi bertemu lagi. Maaf kalau sikapku--”“Aku mengerti,” ujar Luna.Sadam pun menoleh. Tangannya masih memegang tangan Luna. Dari tatapan mata Sadam, Luna melihat ada luka di sana. Entah ada masalah apa dengan mereka di masa lalu yang jelas berakhir tidak baik. Mungkin sama seperti yang ia rasakan saat berpisah dengan Irwan.“Sepertinya dia ingin bicara dengan bapak. Kalau aku boleh saran, baikn
“Iya, Pak Sadam,” sapa Luna. Baru selesai bersiap, ada panggilan masuk dari pria itu.Luna menjawab sambil mematut wajahnya di cermin.“Aku hampir sampai. Mau dijemput ke rumah atau di tempat semalam?”“Hah, Pak Sadam jemput aku?”“Hm. Kamu sudah siap?”“Su-sudah sih. Di tempat semalam aja, aku berangkat sekarang.”Luna mengakhiri panggilan, tidak ingin membuat Sadam kelamaan menunggu. Ada untungnya ia tidak membawa semua pakaian dan barang lainnya. Seperti sekarang ia tidak khawatir untuk bekerja meski tidak membawa pakaian ganti.“Bu, aku jalan ya.” Luna menghampiri ibu sedang menyesap teh. Sherin menemani Beni yang sudah siap dengan seragam nya sedang sarapan. “Tidak sarapan dulu?”“Nanti saja di kantor, aku sudah dijemput.” Luna meraih tangan ibunya, mencium dengan takzim dan mendapat usapan di kepala.“Ya sudah, jaga kesehatanmu. Sabar dulu, kita selesaikan semua satu-satu.”Luna mengangguk, paham dengan maksud ibunya.“Tante mau kemana?” tanya Beni menghentikan kunyahnya.“Ker
Luna keluar dari kamar mandi ibunya dan sudah berganti piyama. Sudah malam, ibu tidak mengizinkannya pulang ke kosan. Namun, Luna tidak menempati kamarnya sendiri, melainkan di kamar ibu.“Sudah mau tidur?” tanya Ibu menutup pintu lemari lalu beranjak ke ranjang.“Hm, badan aku pegal bu.”“Mau ibu buatkan susu hangat.” Masih duduk di tepi ranjang dan siap beranjak sambil menatap putrinya.“Nggak usah bu, nanti malah sebah perut aku jadi nggak bisa tidur.” Luna membuka tasnya mengambil kabel charger. Namun, sebelum menghubungkan pada ponsel, ia mengirim pesan pada Sadam kalau malam ini tidak pulang ke kosan.“Ya sudah cepat baring, besok kamu harus kerja.”“Iya,” sahut Luna mencharger ponsel di atas nakas sisi ranjang yang akan ditempati.Hasil pembicaraan bersama Sherin dan Irwan, Ibu putuskan menunggu kedatangan keluarga Irwan untuk melamar dan memuaskan kapan Sherin dan Irwan akan melangsungkan pernikahan.Tidak menuntut bawaan pernikahan yang mewah apalagi resepsi, yang penting res
“Kalian?” Luna menatap Sherin dan Irwan bergantian dengan tatapan kesal dan marah. Bukan karena masih ada perasaan pada Irwan dan rasa cemburu. Namun, marah mendengar ide gila Sherin.“Kamu bilang ke Luna kita mau bertemu?” tanya Sherin lalu memukul lengan Irwan.Irwan mengusap lengannya menatap Luna. Wajah cantik dan imut dari wanita itu, ada rasa sesal menyelinap dalam dada. Namun, Irwan gegas menggeleng pelan. Luna sudah bukan miliknya lagi. Tidak boleh ada penyesalan karena semua salahnya. Saat ini ia harus perjuangkan Sherin.“Nggak, aku nggak hubungi Luna. Ini pertama kali kami bertemu setelah putusan pengadilan,” tutur Irwan.“Jadi benar kamu hamil mbak?”“Kamu, tahu dari mana?” Sherin malah balik tanya. Ia sudah berusaha menutupi dan baru Irwan yang tahu masalah ini.“Tidak perlu tahu dari mana. Lalu apa maksud kamu mau buang janin. Sadar mbak,” cecar Luna.“Justru karena aku sadar makanya aku akan buang. Nggak mungkin aku nikah sama dia.” Sherin menunjuk Irwan. “Aku tidak ma
“Aku bisa pergi sendiri.” Luna tidak enak karena Sadam akan mengantar dia pulang. Sudah janji pada ibu kalau sore ini akan pulang ke rumah.“Dan aku bisa antar kamu. Lalu masalahnya di mana?”“Akunya nggak enak.”“Enakin saja. Salah satu kelebihan menjadi kekasihku, ya ini,” seru Sadam lalu menekan sensor kunci dan membuka pintu mobil. “Silahkan, sayang,” ujar Sadam.Luna tidak bisa menolak apa yang ada di depan mata. Cinta dan perhatian Sadam yang terlihat tulus. Pria itu selalu memperlakukan Luna dengan sopan, tidak pernah menjurus pada hal yang aneh apalagi mesum.Dalam perjalanan tidak banyak percakapan yang terjadi karena Sadam fokus dengan kemudi dan jalanan di depan. Jam pulang kantor membuat jalanan macet dan padat di beberapa titik.Sejak tadi Luna selalu mencuri pandang pada Sadam. Saat mobil berhenti karena lampu lalu lintas, pria itu pun menoleh dan tersenyum.“Lirik-lirik nanti makin cinta loh.”“Ish, siapa yang lirik kamu.” Luna membuat pandangannya ke luar jendela sambi
Luna tidak bisa memberikan solusi dari masalah Sherin. Bagaimanapun wanita itu sudah dewasa. Tidak mungkin dipaksa atau diseret ke dokter memastikan hamil atau tidak hamil.Saran yang disampaikan Luna agar Ibu mengajak Sherin bicara dan menyampaikan kecurigaan itu dengan hati-hati. Semoga saja Sherin luluh dan mau mengaku atau bersedia melakukan pemeriksaan.Tidak ingin terlibat lebih jauh, walaupun Sherin benar hamil kemungkinan besar bayi itu milik Irwan. Hubungan mereka bertiga agak kembali canggung dan berjarak karena masalah ini.“Ck, kenapa jadi kacau begini,” gumam Luna.Ia harus menurunkan ego untuk menangani masalah Sherin. Tidak ingin kesehatan ibunya kembali drop karena masalah ini.“Sepertinya besok aku harus pulang.”Baru akan meletakan ponsel di atas nakas, nyatanya ponsel itu bergetar. ada pesan dari Sadam.[Aku sudah sampai apartemen][Tapi sudah kangen lagi]Luna tersenyum dan mengetik balasan. [Gombal][Aku serius, sayang. Kamu istirahat ya. Good night and sleep tigh