Share

Chapter 3 - Goedemorgen, Audrey!

Goedemorgen, Audrey!” 

Cahaya matahari menyorot lewat jendela yang dibukakan Bjorn. 

Bjorn tersenyum pada Audrey yang merengut ke arah jendela jendela. Anak blasteran itu makin kelihatan mirip bule saja, highlight di anak-anak rambut pirangnya makin jelas tertimpa cahaya matahari. Ia duduk merangkul Audrey yang terduduk di kasur, mengganjalkan sebuah bantal ke bawah kepala Audrey, hingga Audrey terduduk bersandar padanya.

“Elo mau sarapan apa hari ini?”

“Bubur ayam…”

Bjorn mengusap poni Audrey dan menggeleng.

“Besok gue bikinin, sekarang cornflakes aja, mau?" Matanya memicing mengamati reaksi Audrey.

Audrey bergumam. “Ada madu, nggak?” tanyanya dengan ekspresi merayu.

Bjorn tersenyum sambil menyahut, “ya, ada, lah…”

Dia bangkit hendak pergi, lalu berbalik menoleh lagi.

“Mau minum apa, jus atau susu?”

Tea, please...!

Bjorn berlalu keluar, di tangga ia berteriak.

“Cepetan turun… Semua udah nunggu di bawah!”

Mendengarnya, Audrey melompat membuka jendela lebar-lebar, lalu menghirup udara pagi dalam-dalam.

Mmmhhh... Yess! Finally... I'm on vacation...!” katanya memekik kecil. Lalu berlari mengambil handuk kecil dan kimono ke kamar mandi. Tak lama, ia keluar dengan mengenakan kimono itu dengan kepala berbalut handuk. Diedarkannya pandangan keluar melihat ke taman yang putih. 

Selesai berdandan rapi, Audrey turun ke ruang makan. Kehangatan matahari membalut udara pagi yang dingin setelah salju turun lebat tadi malam. Semua telah duduk di meja makan dengan mengenakan baju hangat. Om Nico, Tante Ria, Oma, Bjorn, Keira dan Mas Boy asisten RT mereka, semua sudah mulai meraih sarapan masing-masing. Masing-masing menikmati sarapan pilihan roti tawar atau croissant, telur setengah matang yang lezat, keju dan selai, madu asli, buah-buahan, cornflakes dengan susu. Gelas-gelas kecil berisi susu, jus apel dan jus jeruk, teh dan kopi disiapkan di meja melengkapinya.

“Gimana tidurnya? Enak, ya lagi salju begini?” tanya Tante Ria.

“Wah, sehabis dari spa tadi malam, enak banget, Tante…,” kata Audrey.

Mereka memakan sarapan mereka sambil berbincang tentang keseruan tadi  malam di spa center. Tadinya, kan Keira tidak mau ikut ke spa, tapi dia nggak mau ditinggal sendirian di rumah, jadi akhirnya kepaksa deh duduk di mobil. Setibanya di Zwaluwhoeve, dia makin ngambek sebab dia ketemu sama di Ray, kecengannya dulu lagi dipijat sama cewek barunya. Lucunya, si Ray ngajak Keira gabung sama mereka, dan Keira nurut aja. 

“Ya, gue akhirnya cerita ke cewek barunya si Ray itu, kalau gue  nggak jadian sama Ray gara-gara gue itu lesbian,” kata Keira sambil membenamkan sepotong croissant ke dalam mulutnya.

Terang saja semuanya ketawa. Bukan sekali ini saja Keira memproklamirkan dirinya sebagai lesbian, tapi nggak ada satupun orang yang mau percaya. Mereka tidak percaya kalau Keira bisa naksir cewek. Alih-alih, mereka menyarankan Keira itu untuk mengikuti konsultasi ke psikiater. Mereka menganggap Keira punya gangguan jiwa. Itu sebabnya, Keira disekolahkan di Singapore biar sekalian bisa terapi pengobatan ke dokter yang ahli.

“Nah, Bjorn… Wanneer ga je trouwen? --- Kapan kamu mau menikah...?” tanya Oma dalam bahasa Belanda.

“Geeh... Oma... Ik heb nog geen vriendin. --- Belum ada calonnya juga…”

Oma menghela nafas. “Zo, wanneer krijg Oma een kleinkind? Jadi kapan Oma punya cucu?”

Wacht voor Keira… --- Tunggu si Keira aja…”

Semuanya tertawa. Termasuk Audrey dan Keira, yang dua-duanya sudah menguasai sedikitnya bahasa Belanda. Secara Audrey, kan pramugari sering terbang ke Belanda, dan Keira sejak kecil sudah bolak-balik liburan ke Belanda. Apalagi sejak Keira punya saudara angkat, si Giel, pengusaha muda kaya raya yang, semua orang sudah pada tahu, jatuh hati berat sama si Audrey. Keira masih cas-cis-cus aja bahasa Belandanya. Hampir setiap hari mereka kontak via telepon. Tumben sampai saat ini, Keira belum ngungkit-ngungkit soal Giel.

Habis sarapan, mereka menikmati secangkir kopi panas. Audrey menerima teh manis panas dari tangan Björn. Mas Boy membuka pintu geser dari ruang makan ke taman, mengenakan training-jacket Adidas dengan sarung batik, berdiri di dekat pohon pisang asal gunung Himalaya, yang bertahan melalui masa winter.

“Yach... Pucuk-pucuknya minggu lalu sudah mulai tumbuh, tapi sekarang gugur lagi... Gara-gara salju turun dua hari berturut-turut kemarin...,” kata Mas Boy menyesalkan.

“Mereka kebingungan... Pada pertengahan Februari, matahari sering muncul, mereka pikir bulan semi sudah datang, padahal belum... Karenanya mereka banyak yang memulai pertumbuhan pucuk-pucuk,” ujar Oom Nico, ia membentangkan surat kabarnya di bawah cahaya matahari, matanya tak lepas dari kolom Telegraaf saat berkomentar.

Mas Boy berjinjit-jinjit di lantai taman yang dingin, memperlihatkan pucuk-pucuk yang dipetiknya pada Audrey, Audrey menunduk menelitinya bersama Bjorn di meja makan.

“Pepohonan yang biasa hidup di sini aja bisa sampai gugur-tumbuh begini oleh perubahan cuaca tak terduga... Coba elo, Drey?” goda Keira sambil bangkit dari kursi. 

Digodai begitu Audrey manyun. “Eh, ini bukan sekalinya gue liburan di musim dingin, ya!”

Tapi, kemudian Audrey tertawa lagi karena dibisiki Bjorn. “Don't worry, gue masih nyimpen karet panas Eyang dari kedatangan gue pertama kali dulu…”

“Iya… Tapi, lo kalau nginep di rumah Oma nanti, nggak bakal dapat ruangan sehangat di sini. Oma itu doyan sama suhu dingin, rumahnya minta ampun nggak ada penghangat ruangannya, cuman ada tungku pembakaran kayu doang!” kata Keira dalam bahasa Belanda, mengingatkan Audrey untuk kesekian kalinya.

“Bohong, si Keira. Oma punya, kok penghangat ruangan,” kata Oma menyahutinya.

“Nggak apa-apa, Oma, Audrey bakal betah koq nginep di rumah Oma. Audrey, kan udah pernah nginep di rumah Oma? Dulu Audrey janji, Audrey bakal nginep selama dua minggu di rumah Oma. Soalnya, Audrey mau belajar masak masakan Belanda ala Oma.”

“Itu bagus, Anak Manis,” kata Oma puas mendengar ucapan Audrey.

“Kamu jangan takut kedinginan di sini, Audrey. Kalau mau keluar, ada kendaraan buat kalian, bisa minta antar Mas Boy. Hanya spartamet-nya Mas Boy saja yang boleh kalian kendarai dengan cepat tanpa surat izin mengemudi. Dua minggu lagi, cuaca sudah mulai hangat, kita bisa sering keluar. Tante dapat banyak voucher-voucher belanja, nih, kalau kalian mau shopping,” Tante Ria berkata lembut sambil mengedipkan mata. Ia meletakkan voucher-voucher itu di atas meja, Keira si shopaholic itu langsung menyerbunya.

“Tapi, ngeri juga loh, kalau pakai sepeda atau spartamet dalam keadaan bersalju gini?” kata Keira lagi mengingatkan Audrey yang hobinya balapan di Sentul itu. “Apalagi kalau elo yang nyetir?”

Bjorn terbahak. Audrey dengan sepeda motor, tak mungkin lepas dari ingatan masa kecilnya. Ia tak bermaksud meremehkan bunga yang sedang berkembang cantik di sebelahnya itu.

She's fast, man!

Ia menghirup ingusnya, teringat kekalahan-kekalahan liburan dulu di Sentul. 

“Waduh, makasih, Tan… Iya, jangan khawatir, Kei… Gue juga nggak berani, kok naik roda dua di atas salju begini,” ujar Audrey sambil mengangkat bahu bete digodain dua sepupunya. 

“Ya, iya, lah… Bisa-bisa ban spartametnya Mas Boy bengkok, deh,” kata Keira sambil menggeleng-geleng. “Lagian, siapa juga yang mau naik begituan? Kita, kan udah ada si Giel yang mau antar jemput ke mana pun kita mau?” kata Keira sambil nyengir kuda. Akhirnya, dia ingat juga sama Giel.

“O, iya? Kapan si Giel mau datang?” tanya Tante Ria.

“Belum tau. Gue telepon dia sekarang, deh.”

Keira langsung memencet-mencet ponselnya. Lalu, berteriak kencang, “Hoi, Giel? Iya, ini gue ama Audrey udah nyampe kemaren…!! Katanya lo mau bunuh diri kalau ditolak Audrey, kok lo masih hidup, sih!?”

Semua yang mendengar celotehan Keira geleng-geleng kepala. Seperti keingetan, Keira lalu memencet tombol speaker agar semua orang bisa mendengar percakapannya.

“Loh, aku kan kemarin masih hidup saat kamu telepon, Sayang? Senang mendengar suaramu lagi, adikku yang manis,” kata Giel dengan mesra. “Audrey gimana kabarnya?” Giel langsung, deh nanyain si Audrey. Keira memonyongkan mulutnya ke tempat Audrey duduk.

“Nih, dia lagi manyun, di sebelah gue. Eh, lo lagi di kantor, ya?”

Ja, schat-- Iya, Sayang.” 

“Ya, udah. Kapan, lo mau dateng? Gue tunggu malam ini di rumah Oma, ya? Jemput gue nanti dari sana pake Lamborghini lo, ya??”

“Lambo-ku lagi di garage, Sayang…”

“Yang Maserati?”

“Maserati ada, Sayang.”

“Asyik… Jam 8, jemput kita, ya?”

“Besok aja, deh, Kei sayang... Malam ini aku lagi ada janji…”

“Yaah… Katanya, mau ajak kita berdua shopping?”

“Jangan khawatir… Sampai besok, ya? Doei…”

Klik. Telepon ditutup. “Cihuy!” Keira lompat dari kursinya.

“OK... Sekarang, siapa yang mau ikut Tante belanja sayur ke Albert Heijn?” Tante Ria menepukkan tangannya, meminta perhatian semuanya.

Ikke, ikke, ikke!” kata Keira sambil grubugan lari ke anak tangga. “Gue ganti baju dulu, ya! Gue udah nggak sabar pengen makan haring! Hihii...”

“Ah, haring dari AH nggak seger,” kata Bjorn males.

Haring adalah ikan yang dimakan mentah-mentah dalam bentuk utuh, mereka hanya mengeluarkan duri-durinya. Rasanya memang sudah gurih, dimakan dengan lumuran bawang bombay cincang yang rasanya segar itu. Tapi, bisa juga dibuatkan potongan-potongan kecil seperti yang sering dipesan turis- turis.

“Ih? Koq, demen sih ikan mentah?” kata Audrey geli. “Rasanya, kan kayak ban mobil?”

“Keira juga dulu juga selalu bilang bah, bah, bah, tapi akhirnya paling doyan kalau pergi ke centrum...! Ayo, coba deh, Drey! Kalau nggak suka haring, kita makan ikan kabeljauw,” kata Tante Ria.

“Kabel apa?” kata Audrey kurang ngeh.

“Kabel putus!” teriak Keira di lantai atas sambil ngakak. “Si Audrey ini padahal paling doyan makan ikan, Tan. Coba gue tantang dengan 50 euro, mau nggak lo, Drey makan haring? Siapa yang mau ikut iuran?” tantang Keira, kepalanya muncul lagi celingukan di anak tangga, mencari dukungan dana. Tapi tidak ada yang menggubris, Audrey aja cuman bergidik di atas kursinya.

Tiba-tiba, Mas Boy datang menyemprotkan air yang dicampur sabun ke meja, melap meja itu sampai kinclong. “Kalo nggak mau muntah-muntah kayak Keira dulu, nanti Mas Boy panggangin, deh…”

Semua orang tertawa, kecuali Audrey. 

“Loh? Nggak ada haring yang dipanggang, kan? Kecuali yang diawetkan dengan cuka di swalayan?”

Semua tertawa lagi mendengar kepolosan Audrey. 

“Udah, ah Audrey. Si Mas Boy dilayani,” kata Tante Ria.

000

Di swalayan, Keira melemparkan 3 bungkus haring ke dalam keranjang. Audrey melengos sambil menggeleng-geleng. Berapa kali ia dirayu pun, Audrey tak akan pernah mau mencobanya. Padahal, Bjorn sudah ikut iuran sama Keira. 

Tante Ria mendorong keranjangnya ke kasir, diikuti Keira yang tak henti-hentinya ngoceh, bikin Tante Ria malu sama orang-orang yang antre.

“Yaelah? Liat, Drey… Belanja setumpukan begini cuman 80 euros doang? Coba di Indonesia, mana dapet belanja di swalayan sekeranjang begini 1 juta? Fluktuasi rupiah sudah kayak gelombang echo aja di gua, bandingkan tingkat pendapatan tinggi mereka dengan harga-harga barang di pasar ini! Cheap! Cheap! Cheap!” kata Keira seperti membacakan mantra-mantra itu pada barang-barang yang disentuhnya.

“Turunin volume suaramu itu, loh Kei!” geram Tante Ria. 

“Tapi, buah-buahan di sini nggak ada yang seenak di Indonesia, Tante… Pantesan aja pada murah-murah, hihi?”

“Cerewet kamu, Keira! Kamu udah makan obat, belum?” Tante Ria mengingatkan.

“Kenapa, sih Tante? Gengsi!, ya?”

“Bukannya gengsi, Koi... Ergh... Omongan elo bisa menyinggung mereka, karena elo ngomong pake bahasa Belanda! Ngerti, nggak!?” kata Audrey di kuping Keira. 

Tja… Emang beneran, semuanya di sini pada masam-masam. Coba tuh liat si cewek di belakang kita aja, minta ampun masamnya,” kata Keira sambil nunjuk ke belakang. 

Bjorn menutup telunjuk Keira itu sambil tersenyum malu ke cewek itu.

Setelah dibantu oleh Audrey dan Bjorn memasukkan belanjaan ke dalam tas belanjaan, Tante Ria membayar belanjaannya di kasir. Mereka pun segera melesat pulang ke rumah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status