TETANGGA WITH BENEFIT

TETANGGA WITH BENEFIT

last updateLast Updated : 2025-08-01
By:  DityaROngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
7Chapters
11views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Siapa, sih, cewek misterius itu? Gayanya sok artis banget. Sumpah, dia sama sekali enggak cocok tinggal di sini. Dan kenapa juga dia harus tinggal bersebelahan denganku, di samping Brine & Barrel? Padahal banyak, kan, lokasi-lokasi yang lebih strategis di Pecang. Aku sudah lama banget mengincar gedung itu buat melebarkan Bar milikku. Karena memang cuma gedung itulah yang menempel sama gedungku. Tapi sialnya apa? Dia malah bilang kalau bakal menetap dan membuka toko buku di situ. Dan sekarang semua rencanaku fix ... gagal total gara-gara dia. Aku benci banget sama dia. Tapi setiap kali aku jaga jarak, kakak perempuan dan kedua nenekku, malah gemar banget menjodohkan kami. Enggak. Aku enggak akan pernah rela menyerahkan gedung itu. Jadi ... tetangga baruku, bersiaplah. Permainan kita baru akan dimulai. ──୨ৎ────୨ৎ── Pecang with Benefit Season II

View More

Chapter 1

Pemilik Gedung Sebelah 💐

୨ৎ A L D A N I જ⁀➴

"Ya elah, mending sekalian aja aku loncat ke atas pocongnya tuh, terus ngomong, ‘Eh, maaf ya Mama kamu meninggal. Tapi toko dia masih dijual, enggak? Kalian mau jual berapa?’" bisikku kepada saudara tiriku, Danny.

"Ya maksud aku, tuh setelah pemakamannya selesai, lah."

Aku naikkan sebelah alis, dan dia malah tertawa. Papa kami menoleh ke belakang sambil kasih tatapan mautnya yang khas.

Kita langsung memasukkan tangan ke kantong celana dan menunduk sopan. Begitu doanya kelar, semua bilang, "Amin."

Orang-orang mulai berdiri tegak lagi, dan bisik-bisik dari warga Pecang langsung bertebaran, semua ke arah Karin Mirrela yang baru saja kehilangan ibunya.

Aku sama Danny jalan turun bareng dari bukit pemakaman, soalnya entah kenapa Karin memilih mengadakan acara berkabung ibunya di tempat kita. Artinya, kita harus buka tempat itu dan pastikan semuanya siap.

"Aku kan cuma nyaranin kamu nanya baik-baik aja," kata Danny sambil naik ke mobilnya.

"Ya udah kamu aja yang nanya," balasku.

"Ngapain juga aku yang nanya? Dia tuh sahabat adikmu, bukan aku."

"Jangan lupa, dia sahabat adik tirimu."

Danny memang suka banget melimpahkan semuanya ke aku kalau lagi enggak mau ribet. Tapi coba kalau lagi pamer adikku, Alvaro, yang pemain bola terkenal itu, enggak pernah tuh dia mengaku saudara tiri. Dan pas Alvaro kasih tiket nonton dari kursi VIP? Langsung saja dia terima tanpa basa-basi.

"Kamu, kan udah kenal sama dia seumur hidupmu, bro," pekik Danny sambil menyalakan mesin mobil.

"Justru karena itu, makanya makin kelihatan kalau aku enggak punya hati. Ya udah, lah. Aku tetep enggak bakal mau jadi orang pertama yang nanyain soal toko itu."

Kita melambai ke keluarga yang juga turun dari bukit. Alvaro lagi merangkul Karin erat banget. Aku bisa merasakan sakitnya dia. Bahkan pas kita melewati makam Mamaku sendiri, rasanya kayak ditusuk di dada.

Sudah delapan belas tahun berlalu, tapi rasanya tetap perih. Proses healing mmemang panjang dan susah, tapi aku yakin Karin pasti bisa melewati ini, sama sepertiku saat umur dua belas dulu.

"Kamu tuh sadar enggak sih, banyak orang yang pengen ngembangin usahanya juga? Kita harus cepet ambil kesempatan," kata Danny.

Dan dia enggak salah. Itu juga salah satu alasan kenapa kerja sama kita di Brine & Barrel bisa jalan. Di bisnis, Danny berpikir jangka panjang, aku justru berpikir jangka pendek. Aku yang memikirkan acara trivia seru buat malam-malam santai pelanggan sekarang, sementara dia memikirkan bagaimana caranya minuman kita bisa masuk Supermarket sama Bar di seluruh Indonesia.

Aku tahu dia benar. Aku harus bicara ke Karin soal toko jahit itu, yang letaknya pas banget di sebelah tempat produksi minuman kita. Tapi aku yakin dia juga enggak bakal langsung jual begitu saja.

Masih enggak pasti, sih, tapi kalau bisa aku ingin nego lebih dulu, biar bisa bongkar tembok dan perluas tempat kita.

Tapi, Danny, tuh bukan anak asli Pecang. Mungkin itu juga kenapa dia enggak mengerti cara main di kota kecil ini. Dia memang sudah tinggal di sini dari umur tujuh belas waktu Mamanya nikah sama Papaku, tapi setelah itu kita kuliah, dan dia merasa sudah mengerti tempat ini.

Padahal Pecang itu kota kecil di Jawa yang semua orangnya suka mengurusi urusan orang lain. Kalau aku langsung tembak Karin soal jual-beli, besok paginya pasti seluruh kota sudah membicarakanku sebagai cowok yang enggak punya empati. Dan ... ya, mereka benar.

"Aku ngerti, kok. Tenang aja, aku bakal ngobrol sama dia. Tapi enggak hari ini," kataku.

"Aku, sih enggak lihat akan ada masalah kalau kamu cuma nanya, ‘Eh, kamu suka jahit?’ Gitu aja. Toh kita juga enggak tahu apa-apa soal Karin selain dia pengen banget dapetin Alvaro."

Aku menyengir sinis. "Mereka itu sahabatan, bro. Sahabatan biasa!"

Dia ketawa. "Gila kamu kalau masih mikir gitu. Dia itu tahu semua tentang Alvaro jauh lebih detail daripada Alvaro sendiri. Dia selalu paksa kamu adain nobar di tempat Kita tiap kali Alvaro tanding. Dia bahkan gambar nomor punggung Alvaro di pipinya. Udah jelas banget, dia tuh naksir cowok itu."

"Aku enggak tahu, sih. Aku enggak pernah dapet clu kalau dia emang beneran suka sama Alvaro."

Danny geleng-geleng kepala sambil masuk dari pintu belakang. "Itu tandanya kamu butuh liburan."

Aku keluar dari mobil dan langsung buka jas. Sekarang sudah masuk awal musim kemarau, jadi masih agak dingin.

"Liburan ke mana?"

"Ke dunia nyata, bro. Dunia per-cintaan!"

Enggak kayak Danny, aku jarang banget keluar dari Pecang. Setelah lulus kuliah, kita dapat pinjaman modal buat buka Bar minuman fermentasi, dan aku taruh semua energi dan duit aku ke bisnis ini biar sukses.

Di kampus, sih aku sempat pacaran, tapi aku tahu dari awal kalau hidupku bakal berputar saja di kota kecil ini. Pecang itu rumah aku. Aku enggak ingin tinggal di kota besar, tapi sayangnya enggak semua cewek bisa menerima untuk tinggal dan hidup di kota kecil ini. Bukan berarti aku jomblo stadium akhir, ya.

Kita masuk ke Bar, menyalakan lampu. Aku jalan ke pintu depan, buka kunci, dan hapus tulisan "Tutup untuk sementara" dari papan tulis di luar.

Toko jahit Bu Mirrela ada di sebelah, sepi dan gelap. Enggak tahu, deh terakhir buka kapan. Sejak Bu Mirrela pertama kali divonis sakit, Karin sempat coba tetap menjalankan tokonya, berharap ibunya bisa sembuh dan balik lagi. Tapi ya … enggak kesampaian.

Sekarang toko itu mangkrak, padahal lokasinya di pusat kota. Aku melangkah ke arah sana, perbaiki tenda toko yang semalam terbalik kena angin. Tapi tetap saja kelihatan usang, warnanya pudar, bahannya robek.

Walikota kami, Ivoe, pernah memaksa semua toko di alun-alun punya tenda senada biar terlihat rapi. Banyak aturan menyebalkan dari dia, tapi ya sudah, lah.

Pusat kota kita memang kecil tapi keren. Tata kotanya diprioritaskan buat pejalan kaki. Parkiran semua ada di belakang bangunan, jalanan batu bata jadi pemisah antar toko. Pas musim turis, lampu-lampu hangat digantung di atas jalan. Kalau musim tahun baru, lampunya diganti warna-warni plus hiasan daun cemara. Pecang mungkin kota kecil, tapi keren banget dan ... ini rumahku.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
7 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status