Seminggu kemudian, Damien tampak sudah bisa berinteraksi dengan normal setelah melakukan terapi psikis. Ia sudah bisa mengingat kembali tentang perusahaannya, bahkan orang tuanya. Pikirannya yang semula hanya terfokus pada Cacha, kini sudah terpecah sedikit demi sedikit. Perlahan Damien sudah bisa menerima beberapa orang karyawan yang mengunjunginya di kediaman Bailey dan Airin. Namun memang Damien masih sangat sensitif jika seseorang menyinggung tentang Cacha. Nama itu belum sepenuhnya hilang dan masih harus tetap dikontrol.
Kemarin malam, Dyandta mengatakan pada Bailey bahwa untuk tiga hari kedepan, dirinya tidak dapat melakukan terapi psikis pada Damien. Dyandta harus pergi ke luar kota untuk beberapa urusan keluarga dan Bailey pun memahaminya. Dokter muda itu sempat berpesan pada Bailey untuk tetap mengontrol emosi Damien, karena depresi itu belum hilang sepenuhnya. Jadi peranan Bailey dan Airin di sini sangatlah penting. Mereka wajib mengingatkan beberapa kerabat dan karyawaHai semua. Kembali di update. Semoga suka ya. Terima kasih 😊
Damien terlihat begitu sibuk hari ini, karena harus mengurus beberapa berkas yang sempat terbengkalai. Memang sudah ada sebagian berkas yang diselesaikan oleh Bailey, namun tumpukan berkas itu seakan tidak berkurang sedikitpun dari hadapannya. Bahkan Damien sampai melewatkan jam makan siangnya selama 30 menit. Untung saja sekretarisnya mengingatkan dan saat ini dirinya tengah berada di kantin perusahaan sambil membawa bekal makan siang dari Airin. Ia juga ditemani oleh Fransisco, karena kebetulan rekannya itu juga mengalami nasib yang sama seperti Damien hari ini.Mereka berdua makan bersamaan dan sesekali membahas tentang beberapa gagasan untuk proyek terbaru. Bagaimanapun juga, Fransisco harus membantu Damien untuk kembali bangkit lagi seperti dulu dan ini juga termasuk permintaan dari Bailey. Fransisco tidak merasa keberatan dengan hal itu. Menurutnya, jika Damien terus disibukkan dengan hal pekerjaan, mungkin ingatan tentang Cacha akan sirna dengan cepat. Jadi, dia memutuskan
"PERGI!"Damien masih saja berteriak sehingga membuat Bailey, Janet dan Fransisco begitu panik dan bingung. Bailey sendiri sedang berusaha menghubungi Dyandta, namun dokter muda itu tidak menjawabnya sama sekali. Padahal Bailey berharap sekali Dyandta bisa membantunya untuk kali ini saja. Tapi harapannya seakan terhempas begitu saja."Bagaimana, Paman? Belum ada jawaban?" tanya Janet panik sambil sesekali memegangi Damien yang terus memberontak dan berteriak. "Kita tidak bisa mengendalikan Damien lebih lama lagi, Paman.""Aku sedang berusaha. Tapi aku rasa, Dyandta memang sedang sibuk dengan urusannya. Aku juga tidak tahu harus bagaimana," jawab Bailey yang masih tetap berusaha menghubungi Dyandta.Fransisco yang sedari tadi diam pun menoleh ke arah pintu ruangan Damien. Sudah ada beberapa karyawan yang menatap iba pada kondisi Damien saat ini. Fransisco pun menghampiri mereka lalu meminta untuk tetap diam dan jangan mengatakan apapun di luar. Karena para media pasti aka
Setelah Damien tenang, barulah Bailey bisa membawa pulang putranya itu. Suasana kantor sudah sunyi, karena waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Janet dan Fransisco juga sudah pulang lebih dulu sebab ada hal lain yang harus mereka kerjakan. Tinggallah Bailey seorang yang menjaga Damien hingga putranya itu bangun dari tidurnya. Perasaan Bailey sedikit lega karena Damien sudah jauh lebih tenang. Untung saja Dyandta menerima panggilan teleponnya. Kalau tidak, mungkin sampai detik ini Damien masih terus berteriak sambil menyebut nama Cacha.Bailey terlihat berjalan berdampingan dengan Damien. Tatapannya sesekali memerhatikan Damien yang masih sering melamun. Mungkin putranya itu masih sangat trauma akan kehadiran Cacha yang tiba-tiba tadi siang."Damien," panggil Bailey hingga membuyarkan lamunan Damien saat tengah berjalan ke lobi. "Lupakan kejadian yang terjadi hari ini. Jangan diingat, seperti yang dikatakan Dokter Dyandta."Damien hanya diam sambil memerhatikan ayahnya b
Tiga hari pun berlalu dan kini Dyandta sudah kembali bekerja di rumah sakit. Ia juga sudah mengabari Bailey dan meminta Damien untuk datang menemuinya. Damien pun memutuskan untuk pergi sendiri tanpa didampingi Bailey. Pria tampan itu kini sudah tiba di rumah sakit dan langsung menuju ruangan Dyandta. Ia masuk ke dalam lalu tersenyum melihat Dyandta tengah sibuk menyusun berkas-berkas di atas meja kerjanya. Dyandta juga terlihat membersihkan meja dan kursi yang sedikit berdebu.Dyandta sendiri masih belum menyadari kehadiran Damien, karena kesibukannya saat ini. Sementara Damien terus berjalan sambil tetap memasang senyuman di bibirnya. Tatapannya tak teralihkan sama sekali dari Dyandta. Hingga hal mengejutkan pun terjadi. Tanpa pikir panjang, Damien tiba-tiba memeluk tubuh mungil Dyandta dari belakang. Dokter muda itu sontak terkejut, namun seolah tak mampu untuk menjauh. Pelukan itu terasa begitu hangat dan nyaman baginya."Aku merindukanmu," bisik Damien di telinga Dyandta.
"Maaf, Albert. Aku ... hanya ingin ... membuatnya tetap....""Shut up!" sela Albert dengan cepat. "Aku tidak butuh penjelasanmu! Yang ingin aku tanyakan, apa kau sengaja melupakan janjimu waktu itu, hah?! Apa kau menganggap peringatanku sebagai angin lalu saja?! Bitch!""Aku...."Sebelum Cacha menyelesaikan ucapannya, Albert sudah lebih dulu menampar pipi kirinya. Menimbulkan bekas merah kebiruan di sana. Albert benar-benar sudah tak bisa mengontrol emosinya lagi. Mengingat Cacha tak menganggap ucapannya dengan serius."Dengarkan aku dulu!" teriak Cacha sambil meringis, memegangi pipi kirinya yang merah itu. "Aku hanya ingin dia tetap....""Tetap apa, hah?!" sela Albert lagi. "Agar dia tetap gila?! Itu tujuanmu, kan?!"Cacha mengangguk mantap sambil membalas tatapan Albert yang tak kalah garang. Ia seolah tidak takut akan kemarahan suaminya itu. Menurutnya, takut pada Albert adalah sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dulu, ia saja tidak takut pada Damien. Apa
Malam ini, Dyandta tampak gusar di atas kasurnya. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, namun matanya enggan terpejam sedikitpun. Pikirannya saat ini sedang bimbang. Pernyataan cinta Damien tadi, belum sempat ia katakan pada orang tuanya. Ia takut orang tuanya tidak setuju jika tahu status Damien sebagai duda. Memang dia belum mencoba bicara. Tapi dia sudah takut lebih dulu. Bagaimana jika besok Damien bertanya soal jawabannya? Dia harus terima atau tidak?Dyandta mendecak kesal sambil mengacak rambutnya. Kini ia sudah duduk di atas kasur lalu menatap jam dinding. Sesaat ia menghela napas kasar, kemudian turun dari tempat tidur dan berjalan menuju balkon kamar. Dyandta menatap langit malam yang penuh bintang. Cuaca hari ini sangat cerah hingga membuat Dyandta merasa lebih baik."Damien, kau harus tahu kalau aku juga mencintaimu. Tapi, aku tidak tahu apakah orang tuaku setuju atau tidak," gumamnya sambil tetap menatap langit. "Aku belum bisa cerita pada mereka."Dy
Tepat pukul delapan pagi, Dyandta sudah tiba di rumah sakit. Ia berjalan dengan santai di sepanjang lobi rumah sakit sambil membalas sapaan beberapa suster dan dokter yang berpapasan dengannya. Seakan tidak ada beban yang ada pada dirinya. Dan sesampainya ia di ruangan, Dyandta pun melihat George sedang duduk santai di kursi kerjanya. Astaga! Itu sungguh mengejutkan. Harusnya pria itu masih ada di penjara. Tapi sekarang, dia sudah kembali?Dyandta pun berjalan sedikit cepat untuk menghampiri pria yang sudah kurang ajar padanya. Dia menatap sinis sambil melipat kedua tangannya di dada. "Kenapa kau ke sini?" tanyanya datar."Karena aku merindukanmu," jawab George santai.Dyandta mendecih geli. Mengingat George hampir saja menggaulinya waktu itu. Jika Damien tidak ada di sana, mungkin kehormatannya sudah hilang. Tuhan masih melindunginya saat itu. Dan sekarang, dengan santainya pria itu mengatakan 'rindu' padanya. Ck! Sangat menjijikkan."Kenapa, Sayang? Apa kau tidak merin
Menikah merupakan keinginan setiap insan manusia, terutama wanita. Mereka selalu membayangkan kehidupan pernikahan yang bahagia seperti mengurus suami, memiliki anak, menjadi ibu rumah tangga yang baik dan selalu mendapatkan perhatian dari suami setiap saat. Begitupula dengan Dyandta. Wanita itu juga menginginkan hal tersebut. Menikah dengan pria yang ia cintai. Sosok pria yang diidamkannya memang seperti Damien, namun restu orangtuanya masih menjadi hambatan besar dalam hubungannya dengan Damien.Dokter muda itu termenung di ruang kerjanya. Untung saja, hari ini tidak terlalu banyak pasien. Jadi, Dyandta bisa lebih santai dari biasanya."Damien," gumam Dyandta.Sepeninggal Damien pagi tadi, Dyandta terus memikirkan pria itu. Dyandta takut, depresi yang dialami Damien akan kembali kambuh karena masalah ini. Padahal Dyandta hanya mengatakan untuk menjalaninya terlebih dulu. Itu bukan berarti sebuah penolakan. Dyandta hanya ingin mengenal Damien lebih jauh lagi se