Tiga hari pun berlalu dan kini Dyandta sudah kembali bekerja di rumah sakit. Ia juga sudah mengabari Bailey dan meminta Damien untuk datang menemuinya. Damien pun memutuskan untuk pergi sendiri tanpa didampingi Bailey. Pria tampan itu kini sudah tiba di rumah sakit dan langsung menuju ruangan Dyandta. Ia masuk ke dalam lalu tersenyum melihat Dyandta tengah sibuk menyusun berkas-berkas di atas meja kerjanya. Dyandta juga terlihat membersihkan meja dan kursi yang sedikit berdebu.
Dyandta sendiri masih belum menyadari kehadiran Damien, karena kesibukannya saat ini. Sementara Damien terus berjalan sambil tetap memasang senyuman di bibirnya. Tatapannya tak teralihkan sama sekali dari Dyandta. Hingga hal mengejutkan pun terjadi. Tanpa pikir panjang, Damien tiba-tiba memeluk tubuh mungil Dyandta dari belakang. Dokter muda itu sontak terkejut, namun seolah tak mampu untuk menjauh. Pelukan itu terasa begitu hangat dan nyaman baginya."Aku merindukanmu," bisik Damien di telinga Dyandta.Hai semua. Kembali di update ya. Selamat membaca. Terima kasih 😊
"Maaf, Albert. Aku ... hanya ingin ... membuatnya tetap....""Shut up!" sela Albert dengan cepat. "Aku tidak butuh penjelasanmu! Yang ingin aku tanyakan, apa kau sengaja melupakan janjimu waktu itu, hah?! Apa kau menganggap peringatanku sebagai angin lalu saja?! Bitch!""Aku...."Sebelum Cacha menyelesaikan ucapannya, Albert sudah lebih dulu menampar pipi kirinya. Menimbulkan bekas merah kebiruan di sana. Albert benar-benar sudah tak bisa mengontrol emosinya lagi. Mengingat Cacha tak menganggap ucapannya dengan serius."Dengarkan aku dulu!" teriak Cacha sambil meringis, memegangi pipi kirinya yang merah itu. "Aku hanya ingin dia tetap....""Tetap apa, hah?!" sela Albert lagi. "Agar dia tetap gila?! Itu tujuanmu, kan?!"Cacha mengangguk mantap sambil membalas tatapan Albert yang tak kalah garang. Ia seolah tidak takut akan kemarahan suaminya itu. Menurutnya, takut pada Albert adalah sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dulu, ia saja tidak takut pada Damien. Apa
Malam ini, Dyandta tampak gusar di atas kasurnya. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, namun matanya enggan terpejam sedikitpun. Pikirannya saat ini sedang bimbang. Pernyataan cinta Damien tadi, belum sempat ia katakan pada orang tuanya. Ia takut orang tuanya tidak setuju jika tahu status Damien sebagai duda. Memang dia belum mencoba bicara. Tapi dia sudah takut lebih dulu. Bagaimana jika besok Damien bertanya soal jawabannya? Dia harus terima atau tidak?Dyandta mendecak kesal sambil mengacak rambutnya. Kini ia sudah duduk di atas kasur lalu menatap jam dinding. Sesaat ia menghela napas kasar, kemudian turun dari tempat tidur dan berjalan menuju balkon kamar. Dyandta menatap langit malam yang penuh bintang. Cuaca hari ini sangat cerah hingga membuat Dyandta merasa lebih baik."Damien, kau harus tahu kalau aku juga mencintaimu. Tapi, aku tidak tahu apakah orang tuaku setuju atau tidak," gumamnya sambil tetap menatap langit. "Aku belum bisa cerita pada mereka."Dy
Tepat pukul delapan pagi, Dyandta sudah tiba di rumah sakit. Ia berjalan dengan santai di sepanjang lobi rumah sakit sambil membalas sapaan beberapa suster dan dokter yang berpapasan dengannya. Seakan tidak ada beban yang ada pada dirinya. Dan sesampainya ia di ruangan, Dyandta pun melihat George sedang duduk santai di kursi kerjanya. Astaga! Itu sungguh mengejutkan. Harusnya pria itu masih ada di penjara. Tapi sekarang, dia sudah kembali?Dyandta pun berjalan sedikit cepat untuk menghampiri pria yang sudah kurang ajar padanya. Dia menatap sinis sambil melipat kedua tangannya di dada. "Kenapa kau ke sini?" tanyanya datar."Karena aku merindukanmu," jawab George santai.Dyandta mendecih geli. Mengingat George hampir saja menggaulinya waktu itu. Jika Damien tidak ada di sana, mungkin kehormatannya sudah hilang. Tuhan masih melindunginya saat itu. Dan sekarang, dengan santainya pria itu mengatakan 'rindu' padanya. Ck! Sangat menjijikkan."Kenapa, Sayang? Apa kau tidak merin
Menikah merupakan keinginan setiap insan manusia, terutama wanita. Mereka selalu membayangkan kehidupan pernikahan yang bahagia seperti mengurus suami, memiliki anak, menjadi ibu rumah tangga yang baik dan selalu mendapatkan perhatian dari suami setiap saat. Begitupula dengan Dyandta. Wanita itu juga menginginkan hal tersebut. Menikah dengan pria yang ia cintai. Sosok pria yang diidamkannya memang seperti Damien, namun restu orangtuanya masih menjadi hambatan besar dalam hubungannya dengan Damien.Dokter muda itu termenung di ruang kerjanya. Untung saja, hari ini tidak terlalu banyak pasien. Jadi, Dyandta bisa lebih santai dari biasanya."Damien," gumam Dyandta.Sepeninggal Damien pagi tadi, Dyandta terus memikirkan pria itu. Dyandta takut, depresi yang dialami Damien akan kembali kambuh karena masalah ini. Padahal Dyandta hanya mengatakan untuk menjalaninya terlebih dulu. Itu bukan berarti sebuah penolakan. Dyandta hanya ingin mengenal Damien lebih jauh lagi se
Saat sibuk berbincang dengan Malvis, Dyandta tidak menyadari kehadiran Damien di ujung koridor. Damien menatap Dyandta tengah bersenda-gurau dengan pria lain, bahkan terlihat sangat akrab. Rasa amarah terlukis jelas di wajah Damien. Tangannya yang berurat mengepal dengan sempurna. Langkahnya mundur secara perlahan, lalu meninggalkan koridor begitu saja. Damien bersumpah tidak akan pernah menemui ataupun mengharapkan wanita itu lagi untuk menjadi pendamping hidupnya.Damien masuk ke dalam mobil, lalu melaju kencang meninggalkan rumah sakit. Untuk kedua kalinya ia dikecewakan oleh dua wanita yang berbeda. Pertama mantan istrinya dan yang kedua adalah Dyandta. Damien sadar bahwa dirinya pernah terkena depresi, namun kini dirinya sudah sembuh. Apakah itu bisa dijadikan alasan untuk Dyandta memilih pria lain?Tangan kanan Damien memukul setir mobilnya berulang kali. Sementara laju mobil cukup cepat, di atas rata-rata. Damien tidak lagi memikirkan keselamatan dirinya sendiri maupun orang la
Damien mengerjapkan mata ketika sinar matahari menerpa wajahnya dari sela jendela. Tirai jendela ternyata sudah dibuka oleh Airin agar putra kesayangannya itu segera terbangun dari tidur lelapnya. Air lemon hangat juga disediakan oleh Airin di atas nakas.Damien sedikit mendesis sambil memegangi kepalanya yang terasa pusing dan berdenyut. Ia mencoba untuk duduk dan bersandar. Setelah sepenuhnya sadar, barulah Damien menyadari kehadiran Airin di sana. "Ibu, kepalaku pusing sekali," keluhnya."Minum air lemon ini." Airin menyodorkan gelas berisi air lemon kepada putranya. "Kau pulang jam tiga pagi dalam keadaan mabuk. Wajar jika kau mengalami pusing di kepala.""Mabuk?"Airin mengangguk sambil meletakkan gelas tersebut ke atas nakas. "Iya. Kau tidak ingat?""Oh, iya. Aku baru mengingatnya, Bu," ucap Damien yang masih memijat kepalanya. "Lalu, yang mengantarku pulang siapa?""Ibu juga tidak tahu, Nak. Kata Ayah, kau sudah tergeletak di lantai."Damien berusaha mengingatnya, namun kepalan
Dyandta duduk di salah satu kursi yang ada di kantin rumah sakit. Saat ini, ia sedang berhadapan dengan Bailey secara langsung. Semula, mereka sudah bicara via telepon pagi tadi. Tapi siang ini, Bailey kembali menghubungi Dyandta untuk bertemu secara langsung. Tatapan Bailey tampak tajam, seakan sedang mengintimidasi tersangka. Sementara Dyandta hanya bersikap tenang seperti biasa. Kedua tangan Dyandta berada di atas meja."Jadi, hal apa yang ingin anda tanyakan?"Bailey berdeham sejenak, lalu ia berkata, "Masih tentang hal yang sama. Tentang Damien, anak saya.""Ada apa dengan Damien?""Dokter jangan pura-pura tidak tahu apa yang telah terjadi pada anak saya. Kemarin, Damien melihat anda sedang bersama pria lain. Dan anak saya berkata bahwa keluarga anda berat memberi restu karena riwayat penyakit mentalnya yang menjadi alasan utama," ucap Bailey dengan nada suara yang sedikit tegas. "Sekarang, jawab pertanyaan saya. Apakah benar kejadiannya seperti itu?"Dyandta terdiam. Akhirnya ia
Damien menatap Dyandta dengan tajam karena telah merusak kesenangannya. Bahkan Damien dengan lantang menepis tangan Dyandta yang masih bertengger di lengan kekarnya. Dyandta benar-benar merusak suasana. Wanita yang ada di samping Damien pun menatap Dyandta dengan tatapan tidak suka."Apa yang kau lakukan di sini, hah?! Kau merusak kesenanganku!" Suara Damien meninggi karena marah. "Pergi dari hadapanku sekarang! Kau itu tidak pantas menghalangiku!"Dyandta merasa sedih mendengar teriakan itu. Bagaimana bisa Damien setega itu padanya? Padahal Dyandta datang untuk menjelaskan semuanya. Tapi kondisi Damien saat ini tidaklah baik."Damien, tolong dengarkan aku. Kau hanya salah paham. Waktu kau datang ke rumah sakit, aku....""Cukup!" Damien menyela dengan cepat. Ia tidak suka mendengar alasan. "Aku tidak akan mendengar alasanmu! Apapun itu, aku sudah membencimu dan menjauhlah dariku!"Damien mendorong tubuh Dyandta hingga tersungkur ke lantai. Dyandta meringis kesakitan, sementara Damien