Share

An Empty Heart (INDONESIA)
An Empty Heart (INDONESIA)
Penulis: Wii

Bab 1

Damien Curtis berjalan memasuki salah satu hotel yang ada di Perancis untuk menemui klien barunya. Kebetulan kliennya sedang menginap di hotel tersebut. Rencananya, mereka akan membahas salah satu proyek peluncuran produk terbaru yang dibuat oleh perusahaan Damien. Pria berusia 30 tahun itu berharap, kliennya akan menyetujui proyek ini agar lebih memajukan perusahaannya. Meskipun sudah terbilang konglomerat, Damien tak melunturkan semangatnya untuk terus berkembang. Itu sebabnya para karyawan merasa kagum dan bangga pada Damien.

Saat ini, Damien tengah menunggu kliennya di lobi. Sesekali ia terlihat membaca beberapa dokumen penting yang dibawanya serta membaca beberapa materi yang sudah ia siapkan di Macbook. Semuanya sempurna dan tidak ada kesalahan sedikitpun. Asisten pribadinya benar-benar bekerja keras dalam mengerjakan proyek baru ini. Mungkin nanti ia akan menaikkan gajinya setelah sang klien menandatangani kontrak dengan perusahaannya.

Damien mencoba menghubungi kliennya, karena tak kunjung terlihat sejak 5 menit ia sampai di hotel. Sambil menunggu panggilannya di jawab, ia pun melihat ke sekitar hotel. Barangkali kliennya sudah muncul, namun hasilnya nihil.

“Halo!”

Damien terkejut sesaat, lalu menjawab sapaan itu, “Halo, Tuan! Saya sudah menunggu di lobi hotel sejak 5 menit lalu.”

“Ah, maaf sudah membuat anda menunggu.”

Damien terdiam lalu melihat layar ponselnya. Ternyata masih tersambung. Saat ia kembali mendekatkan ponselnya ke telinga, tiba-tiba saja suara desahan wanita mengganggu pendengarannya.

“Astaga! Dia sedang apa?” batin Damien.

“Maaf, Tuan. Bisakah anda ke kamar saya sekarang?”

Damien menggerutu kesal. Baru kali ini ia mendapatkan seorang klien yang sangat tidak profesional pada pekerjaannya. Yang benar saja? Untuk apa dia ke kamar klien itu, sementara mereka masih melakukan hal yang tak pantas untuk dilihat? Ah, memalukan.

“Ah, lain waktu saja pertemuannya dilanjutkan, Tuan. Mungkin anda sedang sibuk saat ini. Saya kembali saja ke kantor,” ujar Damien akhirnya.

“Tidak. Aku tidak sibuk.”

Tidak sibuk apanya? Jelas-jelas Damien masih mendengar suara wanita itu mendesah tidak karuan. Entah apa jadinya jika ia menyetujui tawaran kliennya itu. “Maaf, lain waktu saja. Nanti bicarakan kembali jadwal pastinya pada asisten saya, Tuan.”

Damien langsung mematikan sambungan telepon dan bergegas kembali ke kantornya. Perasaannya benar-benar kacau saat ini. Ini klien pertama yang sangat-sangat mengecewakan baginya. Padahal, seluruh timnya sudah bekerja keras untuk menyelesaikan produk yang diminta, tapi apa balasan yang didapat? Hanya membuang-buang waktu saja.

Beberapa staf dan karyawan merasa bingung dengan Damien yang baru saja tiba di kantor. Wajahnya terlihat kusut, tidak seperti biasanya. Biasanya mereka akan melihat wajah ceria Damien dan mendapatkan kabar gembira. Tapi tidak untuk hari ini.

“Ada masalah, Tuan?” tanya asisten pribadi Damien—Elsa.

Damien menghela napas lalu mengangguk. “Klien kita kali ini sangat mengecewakan.”

“Mengecewakan bagaimana, Tuan?” tanya Elsa penasaran.

“Ah, ya ampun! Dia itu ternyata klien yg sangat mesum, Elsa!” ujar Damien kesal sambil melonggarkan sedikit dasinya. “Dia meminta saya untuk datang tepat waktu, karena dia tidak suka keterlambatan. Tapi setelah saya tiba tepat waktu, dia justru enak-enakan dengan wanita di kamarnya.”

Elsa terkejut. Begitu juga dengan yang lainnya. “Astaga. Itu benar-benar menjengkelkan, Tuan,” ujar Elsa.

“Ya, sangat menjengkelkan,” kata Damien dan memberi tekanan pada kata ‘menjengkelkan’. “Dan yang lebih menjengkelkannya lagi, dia meminta saya untuk datang ke kamarnya. Apa dia sudah gila?”

“Itu keterlaluan, Tuan. Apa kita harus membatalkan rencana kerjasama ini dengannya?” tanya Elsa.

“Saya rasa memang harus. Tapi, saya harus menanyakan keputusan ini pada divisi yang lain,” kata Damien. “Siapkan berkas-berkas dan kita akan rapat sekarang.”

“Baik, Tuan.”

“Jangan lupa untuk memberitahukan hal ini pada semua divisi ya,” ucap Damien sebelum pergi pada Elsa.

Elsa mengangguk patuh. Damien pun bergegas pergi ke ruang rapat untuk membahas masalah ini. Selama mengurus perusahaan dan proyek, belum pernah Damien mengalami masalah seperti ini. Mungkin terkesan berlebihan, tapi pria satu ini selalu mengutamakan profesionalisme dalam pekerjaan. Ada saatnya bercinta dengan pasangan, dan ada saatnya untuk fokus bekerja. Klien tadi benar-benar tidak layak dijadikan rekan bisnis Damien kali ini.

***

Sore hari, Damien sudah tiba di rumah. Ia melihat keadaan rumahnya yang begitu sepi. Damien baru menyadari jika istrinya tidak ada di rumah. Ia pun menghela napas lelah sambil menaiki tangga, menuju lantai dua. Damien membuka pintu kamar dan terkejut melihat kondisi kamar yang berantakan seperti kapal pecah.

Damien memutuskan untuk mandi, menghilangkan rasa lengket di tubuhnya karena keringat. Seharian ini, banyak proyek yang harus ia urus di luar bersama beberapa rekan lamanya. Dia benar-benar sangat lelah sampai tertidur sesaat di dalam bathup.

Setelah beberapa menit, Damien keluar dari kamar mandi. Ia mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk sambil membersihkan kamarnya. Benar-benar berantakan. Selanjutnya, Damien duduk di tepian kasur sambil mengecek ponselnya. Tidak ada satupun notifikasi dari istrinya itu.

Damien menghela napas berat. Mencoba menghubungi sang istri, namun tidak tersambung. Damien heran dengan perubahan sikap istrinya semenjak 6 bulan terakhir ini. Sudah setahun pernikahan mereka berjalan dan manisnya hanya 6 bulan pertama saja. Setelah itu, sikap istrinya berubah total. Jarang di rumah dan selalu pulang tengah malam. Setiap kali Damien bertanya, istrinya selalu marah dan memilih pergi dari rumah selama semalam. Akan kembali besok paginya dalam kondisi mabuk berat.

Beberapa hari lalu mereka juga baru bertengkar hebat dengan alasan yang sama setiap minggunya. Terkadang, Damien merasa lelah dan ingin berbagi cerita pada orang tuanya. Tapi ia tak tega membebani kedua orang tuanya karena masalah rumah tangganya.

“Halo, Nak! Apa kabar?”

Damien tersenyum lembut dan merasa tenang saat mendengar suara lembut ibunya—Airin Beatrice. “Halo, Bu. Kabarku baik. Bagaimana kabar ibu dan ayah?” tanya Damien sambil merebahkan diri di atas kasur.

“Kami baik, Nak. Kapan kau akan kemari? Ibu sangat rindu padamu.”

“Mungkin minggu depan, Bu. Aku sedang sibuk mengurus beberapa proyek minggu ini. Jadi, aku belum bisa datang mengunjungi ibu dan ayah,” jawab Damien.

“Ya, ibu tahu itu. Tidak masalah. Selesaikan saja dulu pekerjaanmu ya.”

Airin memang selalu mengerti Damien dari segi apapun. Ia tak pernah mengeluh jika putranya tak datang ke rumah. Airin juga tidak pernah ikut campur dalam urusan rumah tangga Damien. Itu sebabnya Damien sangat menyayangi dan menghargai Airin.

“Bu, apa istriku tidak berkunjung ke sana tadi?” tanya Damien.

“Istrimu? Tidak, Nak. Memangnya kenapa?”

Damien menggeleng sendiri. “Ah, tidak ada apa-apa, Bu. Ibu jaga kesehatan di sana ya. Bilang juga pada ayah.”

“Iya, Nak. Kau juga jaga kesehatan. Jangan terlalu kelelahan. Ibu tidak ingin putra semata wayang ibu jadi sakit.”

“Baik, Ibu. Aku tutup dulu ya.”

“Iya, Nak.”

Damien meletakkan ponselnya di atas nakas. Pikirannya menerawang entah kemana. Ia begitu merindukan istrinya yang dulu. Yang selalu memperhatikannya dan menyiapkan segala keperluannya. Damien benar-benar rindu.

“Dimana kau, Istriku? Pulanglah. Aku merindukanmu,” gumam Damien sambil memejamkan kedua matanya.

TBC~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status