Share

Bab 2

Cacha Brigitte Egmont baru saja pulang ke rumah Damien pada pukul 3 dini hari. Cacha berjalan gontai memasuki rumah dan mengabaikan Damien yang sudah menunggunya di ruang tamu sejak 10 menit lalu. Sesekali Cacha terlihat menyenggol beberapa barang dan sekat dinding rumah sambil sesekali tertawa cekikikan. Damien yang melihat hal itu sangat kesal dan marah. Siapa yang sudah meracuni pikiran istrinya hingga bersikap aneh seperti itu?

Damien berjalan mendekati Cacha dan menahan lengannya. Wanita berusia 28 tahun itu menoleh dan memberi tatapan kesal pada Damien. Ia pun dengan sengaja melepaskan tangan suaminya dengan kasar, lalu memukul kepala Damien dengan tas yang ia bawa.

“Apa maumu, hah?! Sudah kukatakan, jangan menggangguku saat mabuk! Apa kau tidak punya telinga, hah?!” teriak Cacha kesal.

“Kau benar-benar keterlaluan. Aku ini suamimu. Dimana rasa hormatmu padaku, hah?” ujar Damien berusaha mengontrol emosinya.

Cacha justru mendecih. “Kau ingin dihormati, hah? Baiklah. Ini, aku hormat untukmu, Tuan Damien Curtis.”

Cacha meledek suaminya dengan mengangkat tangannya dan memberi hormat layaknya seorang polisi kepada atasannya. Setelah itu, dia tertawa sambil menunjuk dada bidang Damien dengan telunjuknya.

“Sadarlah, Tuan Damien Curtis. Kau itu tidak pantas untuk kuhormati. Aku menikah denganmu karena uangmu, bukan karena cinta,” ucap Cacha sarkas sambil tetap tertawa.

“Apa maksudmu?” tanya Damien.

Cacha berdecak kesal, lalu menoyor kepala suaminya sendiri. “Kau itu bodoh ya? Aku sudah jelas mengatakan bahwa aku tidak mencintaimu. Aku hanya mencintai hartamu saja.”

Mendengar hal itu, hati Damien terasa perih. Apa maksud semua ini? Jika memang Cacha tidak mencintainya, lantas kenapa dia mau menerima lamaran Damien waktu itu? Apa ini karena pengaruh alkohol? Mungkinkah hanya karena itu?

“Kenapa kau bicara seperti itu padaku?” tanya Damien yang berusaha untuk menahan rasa sakit di hatinya.

“Hah? Kenapa? Karena aku membencimu. Jadi lebih baik aku membuatmu sakit hati. Benar, kan?” ucap Cacha dan kembali cekikikan.

Setetes airmata jatuh membasahi pipi Damien. Pernikahan yang semestinya menjadi kebahagiaan, sekarang berubah menjadi kesedihan bagi Damien. Cacha benar-benar sudah menyakiti hatinya. Istri macam apa yang tega memperlakukan suami sebaik Damien? Pria itu tidak pernah selingkuh dan tidak pernah main gila dengan wanita manapun sebelum menikah dengan Cacha. Harusnya Cacha bersyukur memiliki Damien.

Damien mencoba mengingat orang yang sudah mengantar istrinya tadi. Tanpa sengaja, ia melihat Cacha bergelayut manja dengan pria yang ada di dalam mobil tersebut. Apa mungkin pria itu yang membuat istrinya kehilangan akal sehat?

“Apa kau bermain api di belakangku?” tanya Damien dengan suara sedikit bergetar. “Siapa pria yang baru saja mengantarmu pulang? Apa dia orangnya?”

“Ah, jadi kau sudah melihatnya?” tanya Cacha balik. Damien hanya mengangguk. “Baiklah. Karena kau sudah melihatnya, akan kuberitahu sekarang. Dia memang kekasih gelapku. Lantas, kau mau apa, hah?”

“Kenapa kau tega mengkhianatiku, hah? Kenapa?!” teriak Damien.

Cacha mendecih. “Kan sudah kukatakan tadi. Aku tidak mencintaimu, jadi aku mengkhianatimu.”

“Kau....”

“Apa? Kau mau apa, hah?” tantang Cacha.

Damien menghela napas lelah. Airmatanya sudah tidak mampu ia tahan lagi. Hatinya benar-benar hancur mendengar kenyataan ini. Bahkan dirinya sudah tak sanggup untuk berdiri.

“Jika memang kau tidak mencintaiku, harusnya kau tidak menerima lamaranku,” ujar Damien lirih. “Jika kau ingin uangku, katakan saja. Tapi jangan menerima lamaranku. Kalau sudah begini, aku yang kau sakiti.”

“Aku tidak peduli,” jawab Cacha.

“Apa? Kau tidak peduli?”

Cacha mengangguk bersamaan dengan tatapan sinisnya. Lalu ia mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya dan memberikan benda itu pada Damien. “Aku sudah menggugatmu. Cepat tandatangani agar aku bisa segera menikah dengan kekasihku,” ucap Cacha yang sudah duduk di sofa.

Damien membuka amplop tersebut dan benar, itu adalah surat dari pengadilan. Cacha menggugatnya atas dasar kekerasan fisik. Padahal selama ini, Damien tidak pernah melakukan kekerasan pada istrinya. Justru Cacha-lah yang melakukan itu padanya.

Damien menatap Cacha. “Apa yang kau lakukan, hah? Aku tidak pernah memukulmu. Kenapa kau menjadikan kekerasan sebagai alasannya?”

“Aku hanya ingin mendapat ganti rugi darimu. Jadi aku membuatnya sebagai alasan. Itu saja,” jawab Cacha sambil melipat kedua tangannya di bawah dada.

“Tidak. Aku tidak akan tandatangan.”

Damien membuang surat itu dan bergegas menuju kamarnya. Ia mengabaikan teriakan Cacha yang terlihat memungut surat tersebut. Damien benar-benar tidak memikirkan, hal seperti ini bisa terjadi di pernikahannya.

“Kenapa harus aku yang mengalaminya, Tuhan?” batin Damien.

***

Keesokan harinya, Damien tampak tidak bersemangat menjalani hari. Dia lebih banyak melamun dan tidak fokus pada pekerjaannya. Padahal ini bukanlah style seorang Damien. Elsa saja sampai dibuat bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Sementara beberapa klien tampak sibuk menghubunginya untuk mengatur jadwal pertemuan dengan Damien.

Elsa tahu bahwa bosnya itu sedang mengalami masalah serius. Jika sudah seperti ini, Elsa memilih untuk meng-cancel semua jadwal pertemuan Damien dengan klien. Dia juga memberi penjelasan kepada beberapa klien yang protes pada kinerja Damien hari ini. Untung saja mereka bisa mengerti. Setidaknya itu bisa membuat Elsa sedikit lega. Ia juga meminta semua karyawan untuk tidak mengganggu Damien dan semuanya mengerti.

“Sebaiknya Tuan pulang saja. Tuan tampak tidak sehat,” ucap Elsa hati-hati.

“Ah, tidak. Saya baik-baik saja,” jawab Damien bohong. “Apa semua jadwalnya sudah diatur?”

“Maaf, Tuan. Saya sudah meng-cancel semua jadwal.”

Damien mengernyit heran. “Kenapa?”

“Saya rasa sebaiknya Tuan tidak bertemu dengan klien dulu. Sejak tadi saya melihat, Tuan sedang tidak fokus pada pekerjaan,” ujar Elsa sedikit takut.

Damien tersenyum. “Terima kasih karena sudah mengerti kondisi saya.”

“Iya, Tuan.”

“Baiklah. Saya akan pulang ke rumah. Jika ada sesuatu, telepon saja ya,” kata Damien sambil bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan Elsa.

Damien sedang berada di lampu merah persimpangan kota untuk pulang ke rumah. Elsa benar. Hari ini, ia sedang tidak fokus pada pekerjaan karena memikirkan gugatan cerai Cacha. Damien hanya tidak habis pikir, kenapa semudah itu istrinya menggugat cerai dirinya? Tidak masuk diakal jika sejak awal Cacha tidak mencintainya. Selama 6 bulan pertama, istrinya sangat baik dan menyayanginya. Tapi setelah 6 bulan berikutnya, sikapnya mendadak berubah. Damien yakin, pria itu penyebabnya. Tapi, siapa pria itu? Apa motifnya melakukan ini?

Damien menghela napas berat. Sejenak ia menyandarkan bahunya ke kursi kemudi sambil menunggu lampu merah di depannya berubah menjadi hijau. Pandangannya tertuju kearah kanan, dimana ia melihat sosok Cacha sedang bergelayut manja dengan seorang pria. Damien menegakkan tubuhnya dan memastikan bahwa yang ia lihat benar-benar istrinya. Dan pria itu....

“Albert? Jadi dia yang....”

Suara klakson mobil dari belakang mengejutkan Damien. Ia pun melihat kearah lampu lalu lintas yang ternyata sudah berubah menjadi warna hijau. Dengan cepat Damien melajukan kembali mobilnya sambil mengikuti kemana arah mobil yang ditumpangi istrinya itu. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Biar bagaimanapun, Cacha itu masih menjadi istrinya, karena ia belum menandatangani surat cerai itu.

“Keterlaluan!” umpat Damien kesal.

Mobil sedan hitam itu berhenti di sebuah hotel yang baru saja dikunjungi Damien kemarin. Hotel dimana ia menunggu klien mesumnya di lobi dan kembali ke kantor dengan perasaan kesal.

“Jadi, suara wanita itu adalah suara istriku? Ya Tuhan! Apa salahku padanya sampai dia tega berbuat seperti ini padaku?” gumam Damien yang masih berada dalam mobil sambil melihat Cacha berpelukan mesra dengan pria lain.

Damien mengambil ponselnya dan menghubungi Elsa. “Elsa, batalkan rencana kerjasama kita dengan Tuan Albert Beaufort sekarang juga. Dan bilang padanya untuk tidak mengunjungi kantor kita lagi mulai dari sekarang dan seterusnya.”

“Baik, Tuan.”

Setelah menghubungi Elsa, Damien menghubungi ibunya. Ia merasa bahwa inilah saatnya untuk bercerita. Damien sudah tidak sanggup lagi untuk menahan semuanya sendirian. Mungkin ia akan tenang beberapa hari di rumah ibunya.

“Bu, aku akan ke rumah sekarang. Masak yang enak ya,” ujar Damien saat dirinya menghubungi Airin.

“Ah, tentu saja. Ibu akan memasak makanan kesukaanmu.”

“Baik, Bu. Aku jalan dulu,” ucap Damien tersenyum.

“Hati-hati di jalan, Nak.”

Damien pun meletakkan ponselnya di dashboard dan segera melajukan mobilnya. Meninggalkan hotel dimana istrinya sedang berhubungan dengan pria lain selain dirinya. Mengingat hal itu saja sudah membuat hatinya terasa sakit.

“Semoga Tuhan tidak membalasmu dengan keburukan, Ca,” batin Damien.

TBC~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status