Galih terpaku di kasurnya, tak berkedip menatap wajah sang istri yang kini telah berubah menjadi sangat menyeramkan.
"Alloohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum ...." Terbata Galih mengucapkannya dengan bibir gemetar. "Alloohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum ...." Galih mengulanginya, tanpa bisa meneruskan.
"Hahahahahaahaaaa!" Imas tertawa nyaring seolah meledek.
Galih tercekat. Ia beristigfar dalam hati, memohon kekuatan kepada Allah. Setelah dia yakin bisa merapalkan kembali ayat Kursi, Galih pun menyuarakannya dengan lantang.
Tubuh Imas yang berada di dinding selayaknya cecak tiba-tiba merayap turun dengan cepat ke hadapan Galih, dan berusaha mencekik. Dengan sigap Galih menghindar, lalu memegang kuat tangan Imas.
"Imas, sadar! Istigfar, Neng!"
Imas berontak, Galih semakin kewalahan. Dengan tenaga yang masih tersisa, Galih berusaha membisikkan Al Fatihah ke telinga Imas. Setelahnya Imas pun tak sadarkan diri.
Galih terduduk lemas. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa setelah diruqyah Imas tetap mengalami gangguan? batinnya.
◎◎◎
Kang Asep tampak semringah. Wafaq Asmaul Husna yang diberikan Dasimah kini telah menghiasi dinding kamarnya.
"Kang, benar kita bisa jadi kaya?" tanya Nining, istrinya.
"Nyai Dasimah bilang begitu. Sudahlah, kita bersabar saja," jawabnya.
Nining hanya mengangguk.
"Lontongnya sudah siap belum?"
"Sudah, Kang."
"Kalau gitu akang mau bersihkan gerobak dulu." Kang Asep ke luar kamar. Pada pagi hari Kang Asep berjualan lontong sayur sedangkan sore sampai malam berganti berjualan nasi goreng.
Selesai mengelap gerobak dan mencuci roda sampai bersih, Kang Asep mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana pangsi yang setia menemaninya berjualan.
"Apa itu, Kang?" tanya Nining.
"Ini jimat penglaris. Kata nyai, kalau akang jualan pakai jimat ini, nanti bisa laku dagangan akang."
Mata belok Nining berbinar. "Kalau dagangan Akang laris-manis, kita bisa cepat kaya atuh, Kang?"
Kang Asep mengangguk mantap. "Mudah-mudahan." Kemudian Kang Asep merekatkan jimat itu di bagian dalam gerobak, tempat memasang gas. Tujuannya agar tak ada orang lain yang melihat.
"Eh, Kang, tahu tidak?"
"Apa?"
"Itu ... mobil baru tetangga sebelah rusak!" jawab Nining sambil senyum-senyum.
"Rusak? Kok, bisa, ya? Padahal mobil baru."
"Ah, sabodo teuing (masa bodoh), Kang. Puas Nining mah. Siapa suruh bikin Nining iri. Iya, 'kan?"Kang Asep hanya geleng-geleng tanpa menjawab. Setelah semua siap, ia pun pergi ke tempat biasa dia menjajakan dagangannya.
Sementara itu, di rumah Galih, Imas baru terbangun dengan keadaan linglung.
"Neng, kamu tidak apa-apa?" tanya Galih.
"Pusing, A," jawab Imas seraya memijat pelan pelipisnya. "Semalam aku kenapa?"
Galih menghela napas. "Neng tidak ingat?" Imas menggeleng. "Kamu kerasukan."
Imas tersentak. "Astagfirullah. Kok, bisa? Kan, aku sudah diruqyah, A."
"Aa juga tidak tahu kenapa bisa begitu. Lebih baik sekarang Neng cepat mandi, sholat subuh, trus sarapan. Kita pergi lagi ke Bilik Ruqyah."
Imas mengernyitkan dahinya. Sekilas dia menengok ke arah jendela yang sudah diintip sinar matahari, lalu melihat jam. "Ya Allah ... tapi sekarang sudah jam setengah tujuh, A. Memang masih bisa subuhan?"
Galih tersenyum. "Bisa, Neng, kan baru bangun. Pas jam lima aa bangunin Neng, tapi Neng tidak bangun. Ayo, cepat, sana mandi."
Imas mengangguk mengiyakan. Ia pun segera beranjak ke kamar mandi.
"A, neng mau sarapan lontong sayurnya Kang Asep," pinta Imas sambil melipat mukenanya.
"Kang Asep yang jualan di belokan gang, ya? Yang dekat tukang ojek?"
Imas mengangguk. "Iya. Memang kenapa?"
"Bukannya kurang enak? Aa perhatikan jarang ada yang beli."
"Tapi jam segini mah baru dia yang jualan, A. Lagi pula dekat, kan, dari rumah kita. Daripada harus cari-cari lagi."
"Ya sudah, yuk."Galih dan Imas pun siap-siap pergi. Dengan mobil putih berpelat Z itu pun mereka meluncur ke tempat Kang Asep. Dari jauh tampak kerumunan orang yang sedang mengantre membeli lontong sayur.
"Wah, ramai, Neng. Tumben," ujar Galih saat menghentikan mobilnya.
"Iya, Kang. Yuk, kita turun. Neng jadi penasaran."
Mereka berdua pun turun dari mobil. Terlihat oleh mereka Kang Asep yang tengah sibuk melayani pembeli. Namun, tiba-tiba saja Imas menjerit sambil menutup muka.
"Imas, kamu kenapa?" tanya Galih terkejut.
"A, ayo, cepat kembali ke mobil!"
"Loh, kok? Katanya mau makan lontong?"
"Tidak jadi." Imas menggeleng kuat, lalu menarik lengan suaminya itu. "Ayo, cepat jalan, A!" seru Imas saat sudah di dalam mobil. Wajahnya tampak begitu ketakutan.
"Ada apa sebenarnya, Neng?"
"Nanti kuceritakan."
Galih pun menancap gas. Beberapa saat hanya hening yang menemani perjalanan mereka ke Bilik Ruqyah. Ketika berada di lampu merah, Imas membuka suara.
"A, di tempat jualan Kang Asep tadi menyeramkan."
"Menyeramkan bagaimana?"
Imas menarik napas dalam. "T-tadi itu aku me-melihat ... mm ...." Imas menunduk.
"Lihat apa, Neng? Jangan bikin aa penasaran."
Imas mengangkat wajahnya, lalu menatap lekat Galih. "Di sana ... banyak jin yang sedang menjilati piring-piring Kang Asep, A. Ada juga tiga monyet yang sedang lompat-lompat di meja."
Galih terbelalak. "Ah, kamu, Neng. Jangan ngaco."
"Percaya sama aku, A. Aku lihat sendiri. Sepertinya Kang Asep pakai jimat penglaris."
"Hush! Jangan bicara sembarangan, Neng. Kita tidak boleh suudzon."
Imas menghela napas pasrah. "Astagfirullahaladzim ...." Sejurus kemudian lampu hijau pun menyala.
◎◎◎
Seharian Dasimah tidak ke luar rumah. Ia mulai malas bekerja di tempat Rima. Kini, dia sedang menatap pantulan wajahnya di cermin. Memperhatikan tiap garis keriput, seolah menandakan bahwa dia memang sudah tua.
Dasimah mengambil sebuah kotak kecil dari lemari pakaian yang sudah agak rusak dimakan rayap. Perlahan Dasimah membuka kotak itu. Sebuah benda kecil menyerupai jarum kecil terpampang di sana. Ia menyebutnya susuk pesona. Bayangannya pun melayang ke 26 tahun yang lalu.
#
Setahun belajar ilmu hitam membuat Dasimah tampil lebih percaya diri. Untuk mengobati luka hatinya karena cinta yang tak terbalaskan kepada Galih, Dasimah mulai menekuni kembali profesi sinden yang sudah 8 tahun ditinggalkannya.
"Ini, untuk kamu." Ki Prana—guru Dasimah—memberikan sesuatu kepada Dasimah.
"Apa itu, Ki?" tanya Dasimah.
"Ini namanya susuk pesona. Gunanya agar banyak yang terpesona saat kau menyinden nanti. Sini, kupakaikan."
◎◎◎
Tepat di malam Minggu, hajatan besar berlangsung di Kampung Lampegan. Satu jam sebelum acara berlangsung, Dasimah melakukan ritual sambat makhluk gaib.
Acara utama dimulai sekitar pukul 22.00. Dasimah yang terlihat anggun dengan balutan kebaya dan sanggul sederhana di kepalanya, sudah siap di atas panggung bersama dengan orkestra gamelan.
Para tamu undangan yang didominasi para pria telah berkumpul di halaman. Menatap wajah cantik jelita sang sinden. Tak sabar ingin berjoget.
Alunan musik menggema. Dasimah mulai berdendang. Tak membutuhkan waktu lama, para penonton pun mulai bergoyang menikmati tiap alunan lagu.
Saat sedang bernyanyi, Dasimah menangkap seorang gadis di sudut panggung. Gadis yang berpakaian sama dengannya. Gadis itu melenggak-lenggok bak penari jaipong saat sinden menyanyikan tembang Bangbung Hideung.
Dasimah tercekat saat gadis itu menoleh ke arahnya. Wajahnya hancur berlumuran darah. Dasimah sempat berhenti menyanyi sepersekian detik. Segera dia memalingkan pandangan, lalu meneruskan bernyanyi.
Penonton semakin bersemangat. Satu per satu dari mereka mulai kesurupan. Ada yang menyerupai gerakan pencak silat, ada juga yang beraksi seperti macan. Kebanyakan dari mereka yang kesurupan adalah yang memiliki ilmu kebatinan.
Dasimah tersenyum lebar. Merasa puas melihat 'arena permainan' yang semakin seru. Ia tak menyadari, bahwa dari kejauhan Galih memperhatikannya. Sejak saat itu Galih mengetahui bahwa Dasimah telah melakukan hal yang sangat dilarang agama. Dalam hati dia amat bersyukur, telah menambatkan cintanya kepada Imas. Namun, sayang. Galih pula tak mengetahui bahwa Dasimah telah mengumpulkan segenap kekuatan untuk balas dendam terhadap dirinya.
***
Catatan Penulis:
❖ Lagu Bangbung Hideung (Kumbang Hitam) konon benar-benar menyimpan aura mistis yang sangat kuat, apalagi bila didengarkan oleh orang-orang yang memiliki ilmu kebatinan, auranya makin terasa sangat kuat. Orang-orang yang mengalami kerasukan biasanya akan berjoget memakai gerakan pencak silat atau juga pamacan (sebutan makhluk gaib sejenis macan), karena biasanya yang merasuki mereka adalah karuhun dan makhluk gaib, juga khadam yang ada di diri masing-masing.
❖ Ain bisa juga terjadi pada benda mati atau disebut pula ain haasidah, yaitu pandangan yang ke luar dari jiwa seseorang yang merasa dengki dan ingin agar orang atau benda yang ia pandang itu rusak atau sakit. Jadi pandangan ini ke luar dari jiwa yang kotor melalui mata dengan tujuan agar yang di pandang itu sakit atau rusak.
Lima tahun telah berlalu semenjak kematian sang wanita penyebar 'ain, Nyai Dasimah. Kehidupan Galih dan Imas pun jauh lebih baik dan bahagia dengan kehadiran buah hati yang baru berusia 8 bulan. Mereka juga sudah menempati rumah baru saat Imas dinyatakan hamil demi melupakan kenangan buruk, yang mungkin bisa saja membawa pengaruh buruk juga untuk Arsyad, jagoan kecil mereka. Kini, pasangan suami istri itu bertempat tinggal di sudut kota yang terkenal dengan tahu gorengnya. Galih yang sudah setahun bekerja di dinas pemerintahan pun membuat roda perekonomian berputar dengan stabil daripada sebelumnya. "Yah, tidak kerja? Sudah jam setengah tujuh, nanti terlambat lho!" tanya Imas sambil mengusap lembut bahu Galih. Galih membuka mata, dan ditatapnya wajah Imas. "Kepala Ayah sakit, Bun." Imas pun menyentuh kening dan leher suaminya itu dengan punggung tangannya. "Ini, sih, demam.
Dear, Readers. Bab selanjutnya masuk ke 'Ana-Ya'Inu season 2 ya! Perdana tayang lho, belum ada di platform lain. Sequel kok disatuin sama season 1? Perdana tayang kok nggak bikin buku baru lagi? Soalnya buat mencapai 100k kata, Gaess 🙈 Di season 1 cuma 24k kata. Irit banget emang buat sebuah novel, tapi aku emang tipe penulis yang nggak mau ikin cerita terlalu pa jang dan bertele-tele, dan rata-rata novel soloku yang udah terbit jumlah bab nya nggak lebih dari 25 bab. Alhasil, jujur aja untuk mencapai 100k kata ini aku kewalahan, apalagi dari awal nggak pernah kepikiran buat bikin sequel. Jadi, updatenya bakalan agak lama ya 🤭 Happy reading 🤗
llmu hitamku kini semakin kuat. Jika saja bukan karena dia—yang aku agungkan—aku tak mungkin bisa seperti sekarang ini.Hari itu, saat Ki Prana meregang nyawa dengan cara mengenaskan, aku sempat kebingungan karena ilmuku otomatis menghilang. Namun, aku teringat suatu tempat, di mana aku bisa meminta ilmu.Dengan hanya berbekal pakaian yang melekat di tubuh, juga uang seadanya, aku pergi ke sana. Pantai Selatan.Dipayungi sinar purnama kutatap ombak yang menggulung besar disertai semilir aroma bunga melati. Kugelar ritual pemanggilan lengkap dengan dupa dan sesajen.Sangat kuat hawa magis di sini. Samar-samar terdengar suara gamelan dan kereta kencana. Dia sudah tiba. Namun, di luar dugaan, yang datang ternyata bukan Kanjeng Ratu, melainkan sang panglima komandan.“Pergilah ke gua besar di atas bukit!” perintahnya.Aku mengangguk patuh.
Ustaz Fikri membuka perlahan pintu rumah Nyai Dasimah. Sangat gelap di dalam."Aaarghh!" Seketika itu juga tubuhku melayang, seperti ada yang menarikku ke belakang. Aku langsung terkapar di tanah.“Kang Asep!”Terdengar teriakan Ustaz Fikri. Aku membuka mata sambil meringis kesakitan. Pintu itu sudah tertutup. Beliau terkurung di dalam. Argh! Aku harus bagaimana? Aku harus segera menyelamatkan Ustaz Fikri atau Nyai Dasimah tidak akan membiarkannya hidup.Tunggu dulu. Aku harus minta tolong siapa? Dan bagaimana dengan nyawaku sendiri? Apa aku kabur saja?Perlahan aku bangkit dengan tubuh yang terasa hampir remuk. Kuperhatikan sekeliling. Di sini tidak ada rumah selain rumah Nyai Dasimah. Jalan satu-satunya aku harus ke bawah, dan meminta bantuan di sana.Terseok aku berjalan pincang sembari memegang bahu yang sakit. Kini tekad sudah bulat ingin menolong Ustaz Fikri. Jik
"Aku khilaf, Dasimah. Dan aku sudah kembali bertobat."Mata Dasimah berubah sendu. Air wajahnya terlihat kecewa. "Kalau begitu matilah bersama mereka!" Dengan sekali empasan tangan, tubuh Galih melayang dan tersungkur di dekat ustaz."Astagfirullah! Bangun, Pak Galih." Ustaz Fikri membantu Galih bangun. Kini tubuhnya tak lagi terikat."Makanlah mereka berdua, itu adalah santapan terakhir untukmu!" seru Dasimah, kemudian melirik Imas, "bawa dia untuk dijadikan budakku!" Kemudian Dasimah berbalik dan menghilang.Tiba-tiba pintu tempat ruangan Imas berada tertutup.Galih dan Ustaz Fikri berusaha membuka pintu itu dengan mendobraknya, tapi pintu tidak terbuka."Bagaimana ini, Ustaz? Apa kita akan mati di sini dimakan ular?" tanya Galih sambil melihat ular yang semakin mendekat.Ustaz Fikri memegang bahu Galih. "Tenang. Kita tida
'Krieeeet'Deritan suara pintu yang mendadak terbuka mengejutkan mereka berdua."Masuklah!"Terdengar suara wanita yang menggema dari dalam rumah."Bagaimana ini, Ustaz? Itu sepertinya suara nyai.""Ayo, kita masuk, Kang," jawab Ustaz Fikri tanpa menoleh."B-baik, Ustaz.""Jangan takut, Kang. Allah bersama kita."Namun, ketika Kang Asep hendak melangkah, Ustaz Fikri mencekal tangannya."Tunggu!""Ada apa, Ustaz?" tanya Kang Asep kaget."Ada yang tidak beres. Sepertinya ini perangkap.""Perangkap?"Ustaz Fikri mengangguk. "Biar saya yang berjalan di depan." Ustaz pun melangkah sedangkan Kang Asep mengekor di belakangnya.Ustaz Fikri membuka perlahan pintu rumah. Sangat gelap di dalam. Tiba