Share

V

Acara hajatan dihentikan setelah penonton ricuh sebab ada dua orang yang kerasukan. Mereka diketahui salah satu sanak saudara yang punya hajat, yang memang mempunyai ilmu kebatinan. Sehingga mereka tak dapat mengendalikan diri saat mendengarkan tembang Bangbung Hideung.

"Ayo, bangun. Kamu pulang saja." Dasimah ditarik oleh salah satu pemain gamelan. "Di belakang panggung sudah menunggu orang yang mau bayar kamu."

Dasimah mengangguk, lalu beranjak ke belakang panggung. Setelah mendapatkan apa yang menjadi haknya, Dasimah melangkah pulang.

Saat membuka pintu rumah, Dasimah tercekat. Dia mendapati sosok wanita berkebaya berdiri membelakanginya. Perlahan Dasimah menghampiri.

"Punteun, Teh. Saha nya? Milarian saha? Kenapa ada di rumah saya?" tanya Dasimah.

Wanita berkebaya itu membalikkan badan, memperlihatkan wajahnya yang hancur. Ternyata dia adalah sosok yang dilihat Dasimah menari di sudut panggung. Dasimah menjerit, dan mundur selangkah dengan tangan menutupi wajah.

"S-siapa kamu? Pergi! Jangan ganggu!" teriak Dasimah.

Wanita itu terkikik. "Aku adalah murid Ki Prana. Aku juga memakai susuk sepertimu saat dulu menjadi sinden." Medit itu mendekati Dasimah.

"Lalu, apa hubungannya denganku?" Dasimah mundur lagi sambil terus menutup wajahnya.

"Kamu tak perlu takut padaku. Aku datang bukan untuk mengganggu, tapi untuk membantu."

Dasimah memberanikan diri melihat medit itu. "Maksudmu?"

"Lepaskan susukmu itu atau kau akan berakhir mengenaskan sepertiku." Si medit menatap tajam Dasimah dengan bola mata yang hampir ke luar. Darah yang mengucur dari wajahnya disertai bau amis membuat Dasimah mual. Sosok itu terkikik memandang Dasimah yang muntah di pojok dinding.

"Maksudmu apa? Kenapa aku harus melepas susukku, haa?"

"Dengarkan aku baik-baik. Setelah kau menjadi sinden kondang, itu artinya dirimu juga mempunyai kekuatan yang besar karena banyaknya energi gaib yang menempel padamu, dan Ki Prana akan mengambil sukmamu untuk menambah kekuatannya. Yang lebih menyakitkan, ragamu tidak akan diterima bumi setelah kau mati."

"Apa kau mati mengenaskan karenanya? Karena sukmamu diambil?"

"Tidak, aku melarikan diri saat Ki Prana mencoba menyekapku. Sayang, aku tertabrak truk."

Dasimah menunduk sejenak. "Tapi ak—" Saat mendongak, sosok tersebut sudah menghilang.

Dasimah membuang napas kasar. "Untuk apa aku percaya demit itu?" gumamnya. Ia pun beranjak untuk membersihkan diri.

◎◎◎

Beberapa bulan berlalu, Dasimah semakin terkenal sebagai sinden di kampungnya. Ilmu hitam yang dimilikinya pun semakin bertambah. Namun, hari naas itu datang. Hari di mana Ki Prana akan mengambil sukmanya.

"Lepaskan, Ki!" Dasimah berontak saat Ki Prana akan mengurung Dasimah di kamar.

Dasimah menendang selangkangan Ki Prana. Ketika sang guru tengah mengaduh kesakitan, Dasimah berlari ke luar.

"Awas kau Dasimah! Kali ini aku takkan gagal lagi!" seru Ki Prana geram. Ia pun mengejar Dasimah sampai ke jalan raya.

'BRAAKK!'

Bagaikan sebuah karma, tubuh Ki Prana terpental saat sebuah truk tronton menabraknya.

Dasimah yang melihat langsung kejadian itu terperangah, terkejut bukan main. Ia berlari mendekati jasad Ki Prana yang sudah dikerumuni warga sekitar. Dari sudut matanya ia menangkap sosok sang wanita demit yang pernah mendatanginya tengah mengangguk sambil tersenyum sengit, seakan telah menang atas dendamnya. Sejurus kemudian dia menghilang.

"Terima kasih," desis Dasimah.

Sejak kejadian itu, Dasimah melepaskan susuk dengan caranya sendiri, dan tak pernah memasangnya lagi. Susuk itu pun disimpan hingga kini sebagai kenang-kenangan.

#

"Hei, Nyai." Suara yang berat menarik Dasimah ke alam nyata.

Ia menyimpan kembali kotak susuk itu ke dalam lemari. Tatapannya lalu beradu pada sosok hitam besar. "Apa?" tanyanya.

"Aku lapar. Beri aku daging muda saat ini juga!" seru sosok itu.

Ah, sial. Aku lupa memberinya makan, batin Dasimah. "Apa maksudmu daging muda?"

"Daging manusia tak berdosa."

Mata Dasimah terbelalak. Apa artinya aku harus membunuh anak kecil? pikirnya. Tangannya gemetar. Ia sama sekali tak pernah melukai anak-anak. Meskipun dia bersekutu dengan iblis, tapi dia tidak tega bila harus menyakiti apalagi sampai membunuh anak kecil.

"Tidak adakah pilihan lain?" tanya Dasimah hati-hati.

Sosok itu terbahak-bahak. "Bagaimana jika kau saja yang aku makan, haa?"

Dasimah terperanjat. "Tidak! Aku tidak mau mati. Dendamku dengan Galih dan Imas belum tuntas!"

"Kalau begitu cepat carikan aku tumbal!"

Dengan ragu Dasimah mengangguk, lalu ke luar rumah.

◎◎◎

Di tempat lain, Galih dan Imas sudah tiba di Bilik Ruqyah. Mereka langsung masuk tanpa terlebih dulu mendaftar karena sudah janji dengan sang Ustaz Fikri.

"Jadi, kenapa istri saya kena gangguan lagi, Ustaz?" tanya Galih saat mereka bertiga sudah duduk di karpet.

"Sepertinya memang jin-jin yang mengganggu Bu Imas tidak semuanya pergi. Waktu diruqyah kemarin itu, bisa jadi jin-jin tersebut mengelabui kita. Pura-pura pergi. Nah ... saat ruqyah selesai, jin-jin itu kembali lagi," jelas Ustaz.

Galih dan Imas hanya manggut-manggut saja.

"Apa beberapa hari ini ada yang dirasakan oleh istrinya, Pak?"

"Istri saya cuma sering melamun dan menyendiri di kamar. Kadang juga sambil menangis," jawab Galih sambil melirik Imas. Imas hanya menunduk seolah membenarkan.

"Ya, itu. Hati-hati ... kesedihan yang mendalam juga bisa menjadi pintu untuk jin-jin mengganggu Bu Imas."

"Imas ingin punya anak, Ustaz. Makanya dia sedih," sahut Galih. Ustaz Fikri mengangguk dengan bibir membentuk 'o'.

Tiba-tiba saja Imas tertawa nyaring, mengejutkan Ustaz dan Galih.

"Rek naon aing dibawa ka dieu, haa?" Suara Imas berubah melengking, bahkan lebih mirip nenek-nenek.

"Neng ... istigfar ...," lirih Galih sambil mengelus punggung Imas.

Dengan tenang Ustaz Fikri membaca ayat-ayat Alquran. Namun, Imas justru ngalelewe sang Ustaz.

"Nyingkah sia ti hareupeun aing! Ustaz gadungan sia!" Imas cekikan.

Galih hanya mengelus dada. Baru kali ini dia mendengar Imas berbicara kasar. Namun, mengingat Imas sedang kerasukan, ia memakluminya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status