Beranda / Fantasi / Anak Haram Sang Kaisar / Bab 8 : Adik Seperguruan

Share

Bab 8 : Adik Seperguruan

Penulis: Bakpaokukus
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-20 06:38:07

"Apa ada yang salah?" tanyanya melanjutkan. Pemuda itu menyipitkan matanya, mungkin merasa frustasi atas penjelasan pria bernama Runette yang terdengar tak lengkap.

***

Runette menaikkan alisnya lagi-lagi.

Ia mengerling pada Valerius, kedua matanya tampak gelap bagai mendung sebelum hujan.

Bagaimana bisa seorang pangeran yang merupakan keturunan kaisar tak mendapat pelatihan apapun?

Begitu yang ia pikirkan sekelebat.

"Ini—" Ia hendak bertanya, namun terhenti begitu melihat sekeliling.

Segala perayaan ini baru ia sadari adalah sebuah momentum penobatan bagi anak muda di hadapannya itu.

"Master selalu membuang-buang waktu pada hal konyol!" gumam Winter, bola matanya melirik dengan tajam.

Bukan sesuatu hal sederhana seperti kebencian, tapi ini pertama kalinya selain dirinya, sang guru menampakkan raut wajah itu.

Perasaan bangga dan keyakinan.

Runette meletakkan telapak tangannya tepat di depan dada Cassian.

Tak bersentuhan, ada sekat sekitar satu sentimeter, perlahan kegelapan menutup matanya, ia berucap.

"Buka!—"

DUARRRR.

Ledakan cahaya yang sama seperti saat di pesta teh para selir.

Angin berhembus hebat dengan radius melingkar hingga 30 meter jangkauan. Segala dekorasi perayaan terhempas dengan kencang.

Para penonton menutup penglihatan mereka dengan lengan naik ke atas.

"Keghh!" Cassian meringis, menahan tubuhnya supaya tak terpental karena kekuatan dari dalam tubuhnya sendiri. Dengan satu gerakan jari Runette.

Kekuatan itu seakan terkunci kembali.

"Apa kau ingin belajar sihir?" ucap Runette dengan kalimat bak seorang penyair berhasil membuat semua orang terperangah.

"Mustahil! Bagaimana bisa dia Mendapatkan tawaran langsung dari master menara sihir?! Barusan itu apa? Kekuatan yang besar muncul dari pangeran kesepuluh!" riuh para penonton yang hadir memenuhi aula dengan kebisingannya.

Dari podium atas, kegusaran melanda dalam bentuk aura yang tak dapat dilihat, namun dapat dirasakan.

Permaisuri mengepalkan tangannya.

Ia beranjak dari kursinya dengan lenggokan anggun bersamaan dengan tipakan sepatu kaca yang nyaring terdengar di setiap sudut aula.

"Tuan Runette. Anda sepertinya sudah salah. Pangeran kesepuluh kami, ibunya hanya seorang rakyat jelata yang kebetulan beruntung diangkat sebagai selir oleh kaisar. Mustahil bahwa Cassian memiliki kemampuan seperti itu." cetus Rosetta dengan kedua bibir merah delima, tangannya berpaut dalam satu gerak anggun namun berbahaya.

Apa yang ia katakan tampak seperti penyanggahan, tapi bagi Cassian ucapan itu sama saja seperti penghinaan.

Ia mengerutkan dahinya, tak suka dengan bagaimana permaisuri bermain kata namun intinya hanya satu.

Untuk merendahkan ibunya.

Valerius mengerling pada istri pertamanya. Ia cukup waspada dengan wanita itu. Sebagai seorang ibu negara yang menjabat hampir 20 tahun lamanya, Valerius mengakui bahwa wanita itu benar-benar lihai dalam panggung politik dan sosial.

Sayangnya ia terlalu lincah, hingga berbahaya.

Runcing bagai anak panah tak terkendali yang dapat mengacungkan tajamnya pada siapa saja.

Ambisi wanita itu bersedia membuatnya menggunakan segala cara.

Kedua mata berkelopak merah itu meluncur ke arah Cassian, lekuknya lebih lancip dari sebelumnya.

Semua orang menatap Runette, menunggu jawaban atas pernyataan yang sudah dilayangkan Permaisuri.

Pria paruh baya itu termenung sejenak, tawanya pecah.

"Hahahaha! Jadi begitu. Pantas saja. Darah campuran antara bangsawan juga orang biasa tentu memancing kegusaran dari pihak yang berkuasa." kata Runette beranjak dari kursinya, ia merentangkan kedua lengannya seakan melantangkan keberanian.

"Aku, Runette! Tak peduli bangsawan atau rakyat jelata. Siapapun yang punya kemampuan, aku akan memberikan hormat bahkan jika itu pengemis jalanan sekalipun!"

Ia memandang seluruh yang hadir di aula itu —menatap mata mereka satu persatu lalu menunjuk Cassian dengan tangan kanannya.

"Dan anak ini! Pangeran kesepuluh kekaisaran Magnus. Dia punya benih unggul untuk menjadi seseorang yang terhebat di kekaisaran! Bahkan untuk menduduki tahta!"

BRAKKKKK!

Hancurlah tembok besar bagian sisi depan aula karena hantaman sebuah cahaya yang dilayangkan Alactra. Sang putra mahkota.

"Lancang!!! Hanya master menara sihir beraninya menentukan siapa yang pantas dan tidak pantas menduduki tahta!" ketusnya dengan rahang yang mengatup.

Cassandra segera berlari ke sisi Cassian. Takut akan hal yang mungkin terjadi dapat mencelakai putranya.

Ia mendekap lengan putranya seakan sosok itu akan menghilang kapan saja.

Cassian memalingkan mukanya dengan mata melebar diiringi tawa lirih.

Ia menggenggam dekapan ibunya yang hangat bercampur rasa cemas.

"Ibu, saya baik-baik saja. Ini bukanlah hal besar." katanya dengan bibir lebar, Cassandra mengkerutkan alisnya, wajahnya gelap dengan kedua bibir maju.

Ia masih tak melepaskan dekapannya atas sang putra.

Pandangan semua orang tertuju pada putra mahkota.

Alactra Derek Magnus, yang baru saja melepaskan ledakan sihir hingga menghancurkan tembok aula itu.

Permaisuri menyeringai, ia melangkahkan kakinya pelan, namun suara sepatu itu nyaring didengar.

"Putraku, tentu jelas punya talenta. Ayahnya adalah seorang kaisar. Ibunya adalah cucu dari kerajaan yang berkuasa di masa lampau. Kerajaan Zaraon. Keluargaku dari generasi ke generasi adalah orang penting. Swordmaster, penyihir tingkat 6, pejabat negara. Tentu putraku akan merasa tersinggung jika harus bersaing dengan—"

Permaisuri mencondongkan wajahnya lebih dekat.

"Anak seorang budak." ucapnya lirih.

Runette menajamkan pandangannya pada permaisuri.

Batinnya bergejolak, merasakan adanya sekat sudut pandang yang jauh antara dirinya dan wanita itu.

Banyak dari penonton mulai berbisik membandingkan putra mahkota dan Cassian.

Namun tak sedikit juga yang sudah tidak peduli dengan hal tersebut, berniat hanya mengamati Sampai akhir.

Runette membelai jenggotnya tipis.

"Mari kita adakan sebuah pertarungan." cetusnya dengan sebuah ide yang tak satupun orang duga.

Valerius mengangkat alisnya.

"Maksudmu?" tanya Valerius, ia memiringkan kepalanya.

"Pertarungan antara putra mahkota dan pangeran kesepuluh." Runette menimpali.

Suara riuh saling bersahutan dari kursi penonton, tak hanya mereka, bahkan anggota keluarga istana tak habis pikir atas usulan pria yang dijuluki sang master menara sihir itu.

TAP—

Suara pijakan mendarat tepat di bagian estrade kaisar.

Itu adalah Winter dengan rambut putih bak kumpulan benang satin yang belai angin.

"Master, kenapa anda selalu membuat kekacauan dimana pun?" katanya menatap Runette bagai memarahi bocah nakal. Dengan langkah berwibawa dan pragmatic ia menuju lebih dekat ke sisi masternya. Jubahnya berkibar terhempas bak seorang pahlawan yang datang saat tragedi dimulai

TAKK!—

Nyaring bunyi kepala pemuda itu mendapatkan pukulan menggunakan ranting pohon kecil.

"Ouch! Master?!" lirihnya mengusap-usap kepala. Runette mendengus lirih.

"Tidak punya sopan santun terhadap gurumu! Salin 100 halaman buku sihir!" mata Winter berkedut.

"Tidak mau! Anda bahkan masih berhutang 1000 kristal sihir kepada saya atas kekalahan taruhan yang kemarin! cetusnya dengan kedua tangan melipat ke depan.

Runette berdehem menghindari tatapan muridnya.

Tak mau ditagih ia segera mengalihkan pembicaraan.

"Aish, Cassian. Lihatlah saudaramu! Jika kau bersedia menjadi muridku. Tentu aku setidaknya punya seorang murid yang manis dan patuh." ujarnya dengan kedua mata berbinar.

Winter memutar bola matanya.

Ia menatap Cassian dengan pandangan tajam mengamati dari atas sampai bawah.

"Kau anak buangan! Meskipun ibuku menyuruhku untuk menjauhimu. Tapi jika kau menjadi murid master nantinya. Mau tidak mau kau adalah adik seperguruanku. Aku akan membuat pengecualian untuk yang satu itu." jelas Winter mantap dengan niat hati yang sebenarnya.

Runette tersenyum miring.

Ia menjentikkan jarinya dan terciptalah pelindung sihir di tengah panggung aula.

Pelindung itu berwarna biru yang terlihat seperti cahaya tipis berbentuk mangkuk terbalik.

Alactra segera melesat—mendarat di atas panggung.

Sedangkan Cassian sempat ragu karena cengkeraman sang ibu yang semakin erat seakan tak setuju dengan ide itu.

"Cassandra. Biarkan putramu pergi." kata Valerius dengan wajah tak berlekuk.

Suara kaisar mengetuk hati Casandra. Sehingga ia melonggarkan genggamannya.

Cassian melesat sampai akhirnya tiba di panggung aula setelahnya.

Keduanya saling berhadapan.

Alactra memandang Cassian dengan kegusaran.

Bagaimana bisa sang master magic tower membandingkan dia dengan anak haram ayahnya itu.

Jelas-jelas bagai langit dan bumi.

"Adik bungsu, aku tahu kamu belum pernah mendapatkan pelatihan dan pengalaman bertarung. Tapi aku harus menunjukkan kepada semua orang bahwa putra mahkota dari kekaisaran Magnus tidak bisa disinggung sembarangan!" katanya dengan pedang yang telah terkalung apik di pinggangnya.

Cassian menatap Alactra dalam keheningan, ingatan kehidupan yang lalu terbesit dalam memorinya.

Sebelumnya saat menginjak usia 25 tahun dengan masih menghuni rumah kayu tua yang lapuk.

Putra mahkota datang bak penyelamat, menawarkan pada dirinya untuk memasuki istana.

Namun siapa sangka, bukan masuk sebagai pangeran atau anak yang diakui, ia justru dijadikan pesuruh bagi putra mahkota dan permaisuri.

Tak hanya itu saja.

Meskipun ia telah melayani dan menjalankan segala tugas-tugasnya sebagai pesuruh dengan benar, permaisuri masih belum melepaskan nyawanya.

(Sekarang aku merasa penasaran, kenapa permaisuri sebegitunya membenciku dan ibu di kehidupan sebelumnya, padahal...aku dan ibu sudah hidup seperti tikus.)

(Permaisuri memerintahkan pelayan untuk memberikan racun kedalam makananku setiap hari secara sembunyi-sembunyi. Sampai akhirnya racun terakhir yang menjadi pengakhir hidupku adalah racun ular perak.)

Cassian bergidik mengingat rasa sakit mengerikan akibat racun itu.

Seperti ribuan jarum menusuk tubuhnya. Seperti ribuan belati menyayat kulitnya.

Alactra.

Kau harus membayar atas apa yang terjadi di masa lalu.

Begitu juga dosa-dosa ibumu.

Kalian semua harus menderita!

Cassian menatap sekitar, sudah banyak pasang mata yang menantikan kekalahannya.

Sang ibu, Casandra tampak mencengkeram dadanya erat-erat.

Takut jika sesuatu terjadi pada putra semata wayangnya itu.

Sedangkan Valerius sang kaisar.

Ia masih mengamati tak tumpah reaksi.

Runette menyeringai.

Ia beranjak dari semayamnya dan melesat di tengah panggung sebagai wasit.

"Ini bukan pertarungan hidup dan mati, jadi santai saja. Siapa yang jatuh dan tak bisa bangun dalam hitungan 10 detik, maka dia yang kalah!" katanya, menjelaskan.

Cassian mendengus.

Dari pada duel pertarungan lepas. Bukankah itu terdengar seperti aturan tinju.

Cassian dan Alactra menatap satu sama lain tanpa ada satupun yang berekspresi.

Suara sekitar menjadi senyap.

Angin berhembus lirih, sebuah daun melayang diterpa angin Mencari tempat mendarat.

Begitu Daun itu menapak lantai.

"Mulai!" suara siulan Runette menggema.

Alactra melesat kedepan menarik pedang dari sarungnya.

Ia berlari menghampiri Cassian yang nampak masih tak beraksi.

Pedang itu terhunus kedepan cepat bagai kilat.

KLANG!

"Apa!?" ketusnya, mata Alactra membola mendapati pedangnya telah ditangkis dari jarak tiga jengkal saja dari Cassian.

"Blade manifestasi!?" ia berdecak, pandangan Alactra merancung tajam.

Cassian telah menggerakkan kelima jemarinya seakan mengendalikan sesuatu.

Sebuah belati melesat menghunus kepala Alactra sampai ia menghindar dengan mudah.

"Kau memilih benda rongsokan itu sebagai senjata bertempur?" Alectra menghunus pedangnya ke sisi kanan.

Suaranya meninggi.

"Kakak tertua, mulutmu benar-benar tajam seperti perempuan." Cassian memberikan senyum miring.

Ucapanya licin, melihat setiap gerak Alactra dengan hati-hati.

"Anak manja ibu sepertimu berani mengkritikku?!" ucapnya sambil melempar pedangnya melambung ke udara, melesat dengan cepat memberikan pukulan dengan tangan kosong sembari menghindari lincah belati benang milik Cassian dengan tubuhnya yang ringan.

Tangkisan tangan Cassian beradu cepat dengan Alactra.

Ia menghindar ke samping kanan dan kiri sampai akhirnya mengambil jarak mundur.

"Gerakan amatir!" dengus Alactra mengambil pedangnya kembali lalu melemparnya melesat tajam menuju kepala Cassian.

Cassian merendahkan badannya.

Kepalanya melingkar di bawah luncuran pedang Alactra.

SRAAAKK!

Pedang itu menancap di sisi belakang dinding aula tepat Cassian berdiri.

Napas Cassian tersengal-sengal.

Jika diukur, kekuatan mereka berdua berjarak dua sampai tiga tingkatan.

Cassian menilik Runette yang masih mengamati dari podium atas.

(Pak tua itu sebenarnya merencanakan apa?)

(Jelas-jelas aku tidak bisa menang dari putra mahkota.)

(Dia seperti melemparkan provokasi dengan sengaja.)

(Belati terbang ini adalah benda yang kudapat saat melintasi jalan dari rumah tua mantan alkemis.)

(Aku juga tak sempat benar-benar meningkatkan kemampuanku.)

Cassian mengambil napas dalam-dalam terfokus pada laut kesadarannya.

Ia dapat mendengar denyut jantungnya berdetak kencang.

Keringat dingin samar-samar keluar dari setiap lubang porinya.

Ia berhasil masuk ruang hening bergelinang air itu.

Dimensi gelap dengan tetesan air yang menggema di tengah-tengahnya.

Ada tiga bola cahaya yang berkelip di pusat ruangan gelap itu.

Ketiga bola itu adalah bulatan cahaya yang terbentuk di insiden pesta teh para selir. Cassian mengambil napas dengan pelan—ketiga bola medirian telah menyatu kembali membentuk garis vertikal.

Suara hembusan angin keluar dari mulutnya dengan lebih stabil.

Panca indera terhadap energi alam semakin peka.

Setiap inci kulitnya dapat merasakan sapuan angin hingga segalanya melambat. Cassian membuka lebar kedua matanya, hembusan napasnya menciptakan cahaya mana yang merambat ke benang tipis sebagai pengendali belati.

Cahaya biru itu mengeluarkan asap tipis-tipis yang memperkuat benang hingga meliuk degan lincah dan lebih akurat.

Ia menggerakkan kelima jari-jemarinya dengan liar mengindahkan belati itu menyerbu Alactra bagai anak panah yang meluncur pada target.

Dengan sekelebat Alactra berjalan di dinding aula meraih pedangnya untuk menepis setiap hunus belati Cassian dengan cepat dan tepat.

Ia melompat-lompat di udara menghindari buruan belati itu dengan tangkisan seperkian detik.

Cassian mempercepat gerak belatinya hingga setiap benang itu mulai membentuk simpul yang mempersempit gerak Alactra. Alactra menghunus pedangnya memutar, meyalurkan aliran mana hingga sebuah cahaya api merambat dari pangkal ke ujung pedang.

Dengan gerakan memutar benang-benang itu musnah dalam sekali tebas.

SRAKKKK.

Alactra menapak udara sebagai pegas meluncur untuk melibas Cassian dengan pedangnya.

Cassian berlari melesat untuk menghindar lalu meraih belati yang telah terpental ke lantai.

Kaki pemuda itu meluncur dengan kulit yang menggores beton aula.

Ia meringis menahan rasa perih.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Anak Haram Sang Kaisar    Bab 36 : Pinjamkan Aku Pakaianmu

    "Informasi ya, kurasa kalian tidak sepenting itu untuk ibuku repot-repot. Pada akhirnya anggota istana punya satu kesamaan, mulut mereka lebih besar daripada otaknya." ucapan Cassian membuat Ruby bangkit dari semayamnya, meraih secangkir teh itu lalu ia lemparkan ke arah wajah Cassian CPRAAAT***Pemuda itu tergelagap dalam lemparan air teh yang untungnya tak panas.Itu bisa menjadi masalah yang lain jika teh itu masih mendidih. Cassian menyeka wajahnya dengan secarik baju dari lengannya kemudian menatap Ruby dengan fokus yang mantap. Sedangkan Ruby mengatupkan rahangnya dengan alis yang naik penuh dengan kerutan wajah."Orang sepertimu ternyata punya mulut yang licin, sepertinya kau tidak bercermin ya? Ibumu adalah seorang wanita yang melebarkan selakangannya untuk kaisar!"GRAB"Keugh!" mata Ruby terbelalakkan begitu telapak tangan Cassian membalut lehernya dengan cekikan erat membuat wanita itu bernapas dengan tersumbat. "L-lepaskan!" mendengar ucapan itu, dari pada melepaskan

  • Anak Haram Sang Kaisar    Bab 35 : Mulut Mereka Lebih Besar Daripada Otaknya

    "Archduke! Jangan bicara seenaknya! Tanpa kami Kekaisaran ini sudah lama jatuh miskin! Jika bukan karena permaisuri bersedia menikah dengan kaisar, orang-orang dari kerajaan Zaraon tak akan Sudi harus bekerja di bawah kekaisaran!" Pria dengan perut besar kembali menjawab dengan sebuah pernyataan. ***Azriel melangkah maju dengan senyum penuh ejekan itu. "Kalian pikir jika bukan karena kaisar dan ayah kami yang merasa kaisar sebelumnya. Kalian masih bisa hidup dengan nyaman di kekaisaran ini? Kerajaan Zaraon adalah penyebab pecahnya perang besar di waktu itu." dengan tatapan tajam Azriel berucap lantang menantang paran bangsawan itu dengan berani.Tak hanya Azriel, namun Valkan pun ikut maju dengan tatapan tajam bak serigala yang siap memangsa. Tangannya bergerak ke area pinggangnya mencengkeram gagang pedang berukir rumit dalam satu gerakan, hingga pedang berdenting itu keluar dengan suara tajam. SRINGPara bangsawan seketika bergerak refleks mundur seakan menghindari bahaya. Tat

  • Anak Haram Sang Kaisar    Bab 34 : Turun Tahta

    Di sana juga, Runette telah berdiri dengan banyak gulungan di atas meja."Kalian rupanya." cetusnya singkat mengarah fokus ke mereka bertiga.***Langkah Nin dan dua orang di belakangnya terhenti, ia meletakkan satu tangannya di dada kemudian berucap. "Saya Nin, tabib istana yang kaisar perintahkan untuk menjemput anda." cetusnya dengan suara pelan. Agnetto dan Bald melakukan gerakan yang sama tanpa menyebutkan nama mereka. Runette menutup mulutnya dengan kepalan tangan lalu suara gemuruh ringan berbunyi."Cough! Cough! Sepertinya kaisar sangat terhimpit sampai membutuhkan batuan pria tua sepertiku." katanya dengan suara serak yang lemah. Ia melangkah mendekat meninggalkan segala benda-benda yang ia genggam. "Ayo berangkat." ujar nya melangkah mendahului. Kembali ke istana kekaisaran, langit telah menyebarkan terang sekaligus terik yang sedikit menyakitkan.Cassian dengan seragam pelayanya menggerakkan kedua tangan untuk beraktivitas sepanjang jalur istana Bintang. Benar, pavil

  • Anak Haram Sang Kaisar    Bab 33 : Pekerjaan Baru

    "Aku tak punya apapun, kita bisa pergi sekarang." Alactra terdiam sejenak, kemudian kembali terkekeh dengan ucapan pemuda di hadapannya. "Baiklah. Ayo pergi." ***Dengan satu kuda yang sama, Cassian dan Alactra menuju ke istana dalam satu boncengan.Tapak kuda itu kendur setelah tiba di gerbang istana dalam beberapa waktu, tak sampai satu jam. Alactra membawa Cassian ke area istana bulan. Dengan bajunya yang lusuh, banyak pasang mata yang menilai pemuda itu dengan persepsi serba-serbi. Cassian berjalan dengan enggan seakan takut mengotori lantai-lantai istana. Pemuda itu menatap bangunan megah yang terpampang di hadapannya dengan kedua mata yang letih serta berkantung hitam. "Kemana kita akan pergi? Menemui kaisar?" tanya pemuda itu mengikuti langkah Alactra dari belakang. Mereka melewati ruangan demi ruangan, lorong demi lorong hingga Sampailah di sebuah pintu besar. Dengann dua orang penjaga di depannya. Alactra mendorong pintu itu dengan tangan kanannya hingga kayu perseg

  • Anak Haram Sang Kaisar    Bab 32 : Sebuah Lelucon

    Ucapan itu hanya menimbulkan tawa lantang dari kedua bibir Rosetta "Hahahaha!" ia mendongakkan kepalanya ke atas tertawa dengan puas.***"Valerius, sungguh. Melihat kisah cintamu dengan seorang pelayan membuatku tertawa geli." permaisuri melanjutkan dengan nada yang mengejek. "Lagipula, kenapa wanita itu sangat bodoh. Pria yang dia cintai punya banyak anak dan istri. Bukannya segera mencari pria yang dapat menghidupi kebutuhannya. Dia terus menunggumu seperti anjing patuh." mendengar ucapan Rosetta, semakin mengobarkan amarah Valerius. Ia tak kuat mendengar segala omong kosong itu, tapi pada saat yang sama ia merasa bersalah karena ucapan Rosetta ada benarnya."Cukup! Aku akan membawa putraku ke istana! Dia akan mendapatkan haknya juga kursiku untuk melanjutkan tahta kekaisaran!" Valerius menyambar dengan keputusannya yg sudah bulat. Tiba-tiba pintu terbuka menampakkan seorang pelayan dengan dua cangkir teh yang masih mengepulkan asap hangat. "Yang mulia, ini adalah teh herbal s

  • Anak Haram Sang Kaisar    Bab 31 : Sebuah Janji

    Mendengar ucapan Ruby, permaisuri menaikkan satu alisnya penuh dengan pengamatan yang intens. Sedangkan kedua adik Ruby, Damien dan Dalaine dengan rambut merah terangnya hanya membuat wajah penuh kepolosan. ***Seluruh orang kecuali Cassian telah meninggalkan ruangan itu. Diskusi telah selesai.Pemuda itu kini berhadapan dengan ayahnya sang kaisar.Suhu ruangan yang hangat menyebabkan dahi Cassian sedikit berkeringat, namun matanya masih menatap ke depan menunggu salah satu dari mereka untuk memulai percakapan. "Apa yang terjadi sangatlah cepat, dan kau menyelesaikannya dengan baik." kalimat itu keluar dari mulut kaisar. Entah apa yang sebenarnya coba ia katakan, namun apa yang ada dalam pikiran Cassian masihlah berupa kekecewaan."Jika saya tidak melakukan sesuatu dan membuat Kalaine mengaku. Apa anda hanya akan diam saja dan memenjarakan ibu dengan bukti-bukti itu? Bukankah para pelayan yang menjadi saksinya?" Cassian geram, namun tak ia tampakkan. Pria di hadapannya adalah ay

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status