Anak Haram Sang Kaisar

Anak Haram Sang Kaisar

last updateLast Updated : 2025-11-17
By:  Bakpaokukus Updated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
26Chapters
192views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Cassian Leonce Magnus, sang anak haram kaisar meninggal di usia 26 tahun karena mendapatkan racun yang tak terdeteksi dari permaisuri. Hal terakhir yang ia teguk adalah racun ular perak dengan efek yang sangat menyakitkan dibandingkan racun biasa. Begitu mengira segalanya berakhir, ia membuka mata dan kembali ke masa lalu diusia 12 tahun.

View More

Chapter 1

Bab 1 : Aku Kembali?

Rasa sakit yang luar biasa merambat ke dalam tubuhku. Ini adalah racun Ular Perak. Racun yang dikabarkan sangat sukar untuk ditemukan keberadaannya. Namun begitu ia bersarang dalam tubuh manusia, tak diragukan lagi, imbasnya terlampau bengis. Hadirnya arsenik ini tak lain adalah melalui otoritas yang mencekam kekuasaan paling agung di istana, yakni sesosok wanita bersurai ungu gelap yang tak kapok dalam misinya menyingkirkanku sejak dulu. Ia berdiri di atas marmer berlapis beludru merah dengan sepatu hak tinggi yang berdenting. Dengan otoritasnya, tak seorang pun di istana kekaisaran ini mampu berkutik. Suara wanita itu melengking dengan gema yang terpantul pada langit-langit ruangan. "Cassian...! panggilnya. "Jika kamu ingin menyalahkan seseorang, salahkan ibumu yang hanya seorang pelayan!" ia melanjutkan dengan seringai, membentangkan kedua lengan bagai selebrasi atas sebuah kemenangan.

Setiap kata yang keluar dari dua bibir berpoles merah gelap itu mendarat tajam tanpa belas kasihan. Ia mengenakan gaun beludru ungu tua, warnanya pekat dan berwibawa. Lengan bajunya panjang melebar, ujungnya disulam benang emas membentuk pola duri mawar. Dikepalanya bertengger mahkota tinggi berhiaskan safir biru gelap, berat seakan menjadi simbol beban kekuasaan yang ia genggam erat. Lehernya dihiasi kalung mutiara hitam yang kontras dengan kulit pucatnya, menambah kesan dingin dan kejam. "Hanya seorang budak dari pedesaan! Beraninya mengandung benih kaisar dan melahirkannya!" Ia tegak berdiri, suaranya memantulkan arogansi mutlak tanpa negosiasi. Tak mau kalah, tawaku menggema dengan lantang terlepas dari rasa sakit yang membakar tubuhku. Bernapas pun kini sulit, namun kebencian ini telah membutakan mataku.

"Ternyata kalian para keluarga utama sangat lemah sampai ketakutan oleh anak dari seorang pelayan?!" ucapku dengan satu mata yang terpicing. Seringai wanita itu sirna, langkahnya terkunci hingga bersemayam di atas kursi kayu berpahat rumit— kedua kakinya yang bersilang tertutup gaun tebal yang meliuk mengikuti lekuk tubuhnya. "Permaisuri! Jika para leluhur menyaksikan! Reputasimu sudah bisa dipastikan benar-benar hancur!" batuk mendera. Ucapanku terlontar dengan getar yang melemah, tenggorokanku rasanya dikerumuni oleh ribuan semut yang menggigit, bercak darah terlempar keluar.

Aku mendongak, terlihat rahang wanita itu berurat, dagunya mengatup hingga menekan gigi-giginya. Matanya semakin tajam memandangku seakan aku adalah seekor serangga dan tidak berharga.

Namun setelahnya, senyum licik wanita itu kembali. "Yah... karena kamu akan menyusul ibumu sebentar lagi. Aku akan menganggap ini sebagai kalimat terakhirmu!" ujarnya mengitari permukaan cangkir teh dengan telunjuknya yang lentik.

"Seorang budak, selamanya akan tetap menjadi budak!" sentaknya lugas. Kedua matanya bak tombak yang siap mengoyak mangsa yang telah sekarat. Tubuhku terasa seperti ditusuk ribuan belati dari dalam, pandanganku mulai menjadi samar bagai kabut. Napasku tersengal-sengal bak ikan yang terlempar keluar dari kolam.

"Beginikah akhirnya?" bisikku lirih, desiran napasku keluar dengan kukuh, mataku hampir setengah terbenam bagai potongan bulan purnama.

Jika saja aku bukan seorang anak haram. Jika saja ibuku bukan seorang pelayan.

Jika saja aku lebih kuat!

Jika saja aku lebih cerdik!

Bualan-bualan itu menjerat jiwaku—menyayat dadaku. Kekuatan terakhirku saat itu hanya satu, yaitu menyalahkan takdir.

"Tidak!" gigi itu mengigit daging di bawahnya dengan putus asa. Air mata mengalir dari kedua bola hitam yang sudah merah berurat karena menahan racun. Recikan darah terlempar keluar saat aku ingin berucap. Pandanganku perlahan remang.

"Jika ada yang harus disalahkan. Itu adalah kalian! Kalian sudah menyiksa ibuku juga aku selama ini!—" kalimat itu bagai penghantar terakhir dariku, sang anak haram kaisar yang lahir dari rahim seorang pelayan.

SRATTT! CRATTTT!

Tebasan pedang mendarat secepat kilat, nyawaku diambil dalam satu gerakan tanpa aku sempat beraksi. Akhirnya sudah selesai. Aku menatap langit ruangan itu, bibirku menjadi pucat, kering tak berair. Telapak tanganku lemas sampai ijakan permaisuri melumatnya. Tapi, aku sudah tak merasakan apa-apa lagi. Mungkinkah Jasadku tenggelam dalam gelinang darah?

Jika saja aku bisa memulai semuanya dari awal. Jika saja aku mendapatkan kesempatan kedua, niscaya permaisuri dan keturunannya akan menderita. Segalanya akan berbeda, aku akan membuat kaisar sialan itu menerima ibuku sebagai istri sahnya. Lalu menciptakan perang saudara untuk tahta menjadi kekacauan.

Tak apa-apa ibu, saya akan segera menemuimu. Semoga direinkarnasi selanjutnya kehidupan kita menjadi lebih baik.

Hanya kegelapan yang tersisa. Aku mendengar suara-suara yang tak asing. Anehnya, rasa sakit di tubuhku seketika hilang.

"Hei anak haram!" sebuah suara menggema hingga dengungnya mengetuk gendang telinga.

"Masih belum mau bangun juga?!" suara itu datang kedua kalinya, namun aku menghiraukannya.

BYUURRR! GELONTANG!

Rasanya ombak baru saja memukul wajahku. Aku membuka mata dan mendapati seluruh tubuhku sudah basah kuyup dengan air. Napasku terengah-engah mencari hembusan angin, sedangkan pandanganku tertuju pada ember yang tengkurap di lantai kayu tua berderit. Bola mataku membulat menelusuri lekuk sekitar, semuanya tampak tak asing.

"Ini?" bisikku lirih, menyeka wajah yang basah dengan kedua tangan.

"Tch, akhirnya bajingan ini bangun juga!" sentak seseorang sampai kerah bajuku ditarik dengan tiba-tiba, di hadapanku saat ini adalah sosok yang sangat aku kenal. Aron, seorang pelayan yang terus merundungku saat aku masih kecil. Meskipun mengetahui fakta bahwa aku adalah keturunan kaisar—dengan otoritas permaisuri, semua orang di kekaisaran mengucilkan aku dan ibu.

"Sejak kapan kau boleh bermalas-malasan!" telapak tangannya menepuk-nepuk pipiku. Suaranya bergetar dengan kedua bibir menjongos. Tamparan dilayangkan pada pipi kiriku lagi hingga bunyi kulit itu meruah. SLAP! kepalaku terdorong ke samping, rasa nyeri bercampur panas berhasil membelalakkan kedua mataku. Namun, ada hal yang lebih membuatku heran dan bertanya-tanya.

Kenapa ini terasa sakit? ujarku dalam batin, mengelus-elus pipi kiri yang memerah.

Bukankah ini cuma mimpi? Tapi kenapa rasa sakitnya begitu nyata?

Aku menoleh ke arah kanan tempat tidur, di sana terpampang sebuah cermin yang berhasil menangkap bayanganku. Awalnya bayangan itu tampak samar. Namun, begitu aku mendekat. Tubuhku bergetar hebat mencengkram cermin berukuran 900 Sentimeter persegi itu dengan sekelebat.

"Ini!!!"

Aku meneguk ludahku pelan, mengedipkan kedua mata beberapa kali. Mengguncang kepala ke kanan dan ke kiri. Memejamkan mata beberapa saat, berharap mungkin semua ini hanya sekedar mimpi. Namun begitu aku membuka mata, punggungku serasa dihantam tendangan dari belakang.

DUAKKKKK!

Suara cekikikan terdengar dari Aron dan satu orang temannya. Aku mengatupkan rahangku, namun bukan itu yang sedang mengusik pikiranku. "Jangan-jangan aku kembali kembali ke masa lalu?" gumamku lirih, kepalaku berputar-putar bagai tak ada habisnya mencari kesimpulan. "Apa itu mungkin? Tapi bagaimana bisa dan kenapa?" tangan itu menggaruk bagian kepala atas yang terasa gatal, lalu turun ke area punggung bawah. "Apakah alam semesta mengabulkan doaku?" aku mengerling pada Aron dan temannya, berbalik badan Lalu dengan kedua tangan yang sudah kupersiapkan dengan penuh tenaga aku mendorong Aron dan melangkahkan kakiku dengan gesit. Saat berhasil menapak keluar sinar matahari menghujani wajahku. Sangat terang, wajah itu menoleh dan melihat rumah yang baru saja dilangkahinya. Rumah kayu tua yang tampak usang dan sederhana. Katanya aku dan ibu hanya diberi rumah ini oleh kaisar, tapi semua orang tahu itu adalah perintah permaisuri.

"Kalau begitu bukankah ibu?!—"

"Cassian." suara itu hanya berisi satu kata, namun lembut. Datang dari arah belakang, suara yang sudah lama aku rindukan. Wanita berambut pirang, dengan mata berwarna biru bagai lautan kristal, memakai pakaian kumal dan sederhana. namun siapapun yang melihatnya dapat mengatakan bahwa ia terlihat bak peri yang seolah datang dari kayangan. Dan peri itu adalah Ibuku, Cassandra.

"Ibu!" ujarku tanpa basa-basi berlari dan mengalungkan kedua lenganku dengan erat. Perasaan rindu ini akhirnya tersampaikan. "Cassian?"

kedua mata ibu membulat bagai menyimpan sebuah pertanyaan, mungkin heran memandang tingkah laku ku yang biasanya tak seperti ini. Pandanganku tertuju pada keranjang kayu berisi tumpukan pakaian yang baru saja kering dari jemuran. Rahangku mengatup, aku sudah bertekad. Jika aku bisa kembali ke masa lalu, aku akan mengubah semua tragedi yang menimpa aku dan ibu. Mereka yang telah menyakiti ibu harus menderita!

"Cassian, kamu sudah bangun? Sarapanlah terlebih dahulu." ucap Ibuku dengan kedua mata almondnya. Rambutnya tergerai di udara berkilau indah bagai benang emas. Tangannya beralih mengusap pelan kepalaku. Aku tersentak, tiba-tiba suara langkah kaki mencuat dari rumah usang tadi, itu Aron dan temannya. Keduanya selalu diam-diam menggangguku dan ibu.

"Bibi, kamu harus menangani putramu dengan baik! Meskipun kalian adalah buangan Kaisar, tapi aib itu masih melekat pada silsilah keluarga istana." ucap Aron, kedua tangannya melipat bagai rantai besi yang bertaut, ia melayangkan senyum miring.

Ibu melangkah ke depan seakan mencoba membentengiku. Wajah Aron perlahan keruh, bibirnya terangkat ke ujung memamerkan gigi-giginya. Alisnya melengkung tajam. SRAAAK! wajah yang sama telah terhantam keranjang pakaian yang dilempar oleh ibuku dengan kedua lengannya. "Putraku! Aku yang paling tau bagaimana cara mendidiknya! tidak perlu ocehan dari anak berandalan sepertimu!" lugas ibuku mengatakan. Wajahnya yang gusar tak mengurangi kerupawanannya. Ia melipat ke atas lengan baju itu meskipun dengan tangan yang kecil bagai tulang berkulit.

Aku membisu sesaat dengan pikiran yang tenggelam dalam duniaku sendiri.

Hanya ada satu cara untuk mengubah keadaan kami, yaitu mencari orang yang tak terikat kubu pewaris di antara anggota istana yang lain. Orang yang hanya berpihak pada aturan dan hukum kekaisaran.

Jika tidak, maka peristiwa di masa lalu akan terulang kembali. Aku harus membuat koneksi dengan orang itu, si maniak aturan. Marquis Lucien Devereuq yang saat ini merupakan administrator kekaisaran.

Aku mengangkat wajahku kembali, satu hal telah ku putuskan dengan pasti. Sebuah langkah pertama untuk mengindari tragedi. Namun, pertama-tama...

Mataku mengintai Aron dengan tajam, tanganku berkepal. Kedua bibirku akhirnya bersuara.

"Aron! Memang kenapa jika kaisar tak mengijinkan kami memasuki istana? Dengan posisimu yang hanya seorang pelayan. Sikapmu sungguh lancang!" suaraku lantang bergema, ibuku berbalik badan. Kedua matanya melebar dengan bibir bercelah seakan ada kata yang ingin ia lesatkan. Namun yang tampak hanya sorot mata terkejut juga khawatir.

Pemuda berusia 15 tahun itu menaikkan bibirnya diikuti senyum miring, alisnya berjungkat jungkit dengan tawa terbahak-bahak. Tiba-tiba sebuah tandu kereta kuda melintasi jalan utama, dentuman tapak kaki bergemuruh mengikuti di belakangnya merambat ke tempat kami berpijak. kedua bola mataku mengintai.

Tandu itu... seperti tidak asing. lirihku menelisik setiap detilnya. Fokusku direnggut kembali oleh suara Aron yang ketus.

"Anak haram! Bahkan jika kalian mati di sini. Kaisar tak akan mengadakan upacara pemakaman!" aku menaikkan bibir, dengan tinggi yang baru sampai telinga ibuku, aku melangkah maju dengan percaya diri berganti memperisainya.

"Bahkan kalau itu benar, apa urusannya denganmu? Bukankah perbedaan kita sudah jelas? Darah kaisar mengalir dalam tubuhku sedangkan kau? Aku rasa nasibku tak akan lebih buruk dari seorang pelayan." ucap mulutku lincah, angin berderai lirih mengibas tunik usang yang kupakai.

"Bajingan ini!—" Aron melesat kedepan, suaranya bergetar dengan gusar mencengkram secarik bajuku hingga aku tersungkur. Ia lanjut melayangkan kepalan tangan kanannya ke area wajahku berulang-ulang dengan hantaman dahsyat.

BUKKK! DUAKKK! DUAKKK!

pipiku terjembab ke kanan dan kiri berbenturan dengan buku jarinya yang keras, sesekali darah muncrat ke udara bagai butiran manik merah.

Ibuku melangkahkan maju berniat memisahkan aku dengan pemuda itu, namun teman Aron dengan sekuat tenaga mencengkram tangan ibuku hingga tak bisa bergerak leluasa.

Pipiku membengkak, kedipanku mulai terasa kabur, seringai tipis masih kupajang untuk Aron yang diselimuti kegeraman. Wajahku membeku begitu sesosok bayangan muncul di belakangnya. Tiba-tiba sebuah tangan mencengkram kepala anak itu dengan begitu mudahnya, melemparkannya bagai pakan ikan. BRAKKKKK! suara dentuman renyah datang dari meja kayu yang terpecah-pecah menjadi ukuran kecil atas hantaman tubuh pemuda berambut coklat pudar itu.

Sosok itu kini tunduk dalam timpuhnya begitu tapakan sunyi dari sepatu boots berwarna coklat melayang di atas rumput hijau. "Hormat kepada Tuan Marquis." sosok itu menatapku dengan kedua mata yang memindai. Aku terbujur kaku dengan wajah penuh gundukan luka.

"Tangkap anak itu." ujarnya menilik ke tempat Aron terhempas. "Aku akan melaporkannya langsung kepada yang mulia." lanjutnya melangkah ke teman Aron yang akhirnya melepaskan genggamannya pada ibu dengan tubuh gemetar.

SLAPP! pipi itu terhempas jauh dengan suara yang menukik. Satu layang tangan dari sosok itu dan teman Aron tepar dengan mudahnya. Sosok itu mengibaskan tanganya sampai salah seorang pria bertubuh besar dengan baju besi mempersembahkan secarik kain.

"Apa anda ingin menyampaikan pesan untuk kaisar?" ucap pria itu menyeka kulitnya dengan kedua mata yang merancung dingin. Ibuku tertegun, ia mencengkram dadanya dengan erat, bibirnya bergetar.

"Anda... adalah Marquis Lucien Devereuq?" kata ibuku lirih, napasnya berhembus dengan terputus-putus. Aku meringis, luka-luka yang masih segar membenamkan kulitku dalam rasa perih. Namun aku tak bisa hanya terbaring di sini. Satu kepalan tangan itu kuhantamkan sebagai penekan tubuh untuk segera dalam posisi duduk. Satu mataku tenggelam dalam benjolan berwarna ungu.

"Ada! Sampaikan pesanku!" ujarku dengan suara bergetar, aku menyeka darah di ujung bibir menekan perut hingga tegak berdiri.

"Katakan pada ayah! Biarkan aku dan ibu masuk istana atau kami akan meninggalkan kekaisaran dan bermigrasi ke daerah lain." kedua mataku yang berhimpit perih, tajam menatap pria itu. Marquis Lucien terdiam, keheningan itu membuatku menelan ludah, jantungku hampir meledak begitu tawa lantang mencuat bagai guntur di tengah gelapnya mendung. Ia menyeka air matanya.

"Anda sungguh arogan. Apa karena saya datang membantu sekali? Yang mulia kaisar punya banyak anak dan istri, apa yang membuat anda layak?" pria itu bercetus dengan gamblang, kedua jarinya bergerak bersama dua penjaga yang menyeret Aron dan temannya.

"Aku sudah mengatakan yang ingin ku katakan. Sisanya adalah keputusan kaisar. Kami sudah tidak bisa menetap di sini. Tentu kalian tau pasti alasannya, beberapa orang hanya mengamati dari kejauhan seperti pecundang." mata Marquis Lucien berkedut, ia berkepal dengan dengan dengusan kasar.

"Baiklah, aku permisi." cetus pria itu setelah melayangkan pandangan lancip. Geraknya layak di sebut sebagai seorang bangsawan. Rambut panjang berkuncir kuda itu berkilau coklat keemasan bertemu matahari yang menjatuhkan kembali teriknya.

Kedua tangan ibu mencengkeram pundakku dengan erat, sorot matanya menggelap. "Ibu, tolong percaya kali ini saja pada putramu." matanya menyipit, tak berucap lebih lanjut, ia meraih keranjang kayu berisi pakaian yang tadi ia lemparkan kepada Aron lalu berujar lirih."Kamu tak seharusnya bersikap seperti itu di hadapan Marquis Lucien, Cassian." aku tertunduk dengan tangan mengepal. Pandanganku perlahan pudar bersamaan dengan tandu kereta kuda yang melanjutkan tapaknya di jalan.

Sore berganti menjadi malam, aku dan ibu menikmati hidangan sederhana di atas meja makan yang terbuat dari kayu lapuk. Alas makannya pun jauh dari kemewahan. Tengkuk belakangku bergidik. Perutku naik ke atas bagai ada ganjalan batu yang bergerak.

SRAAAKK.

Tak sampai jarak satu sentimeter sebuah pedang menancap dengan laju hampir menusuk kepalaku setelah mendarat tepat di meja makan.

"Cassian!!!"

Bayangan melesat dari udara menampilkan beberapa orang berkostum serba hitam bergerak lincah mengepung kami. Sentak napasku mengerling pada suara lugas di antara mereka. "Seharusnya kalian hidup seperti tikus!" satu sapuan tanganku menggait teko berisi air mendidih untuk ku siramkan kepada mereka dengan lingkup memutar. "AKHHHH!" jeritan para pembunuh itu menggema begitu rasa panas menghantam bagai membakar tubuh mereka. Aku menggait tangan ibu melangkah lewat pintu belakang, menuju jalan semak-semak yang gelap. Terlihat seperti jalan buntu, tapi bertujuan supaya tak ada orang yang tau.

"Ibu, anda pergilah ke sana dan minta bantuan!" aku menunggu para pembunuh sebagai umpan, ucapanku tersendat-sendat. "Bagaimana denganmu?!" ujar ibuku menggait lenganku dengan paksa.

"Aku punya rencana sendiri! Ibu bergegaslah, kita tak punya banyak waktu!"

Jika keberuntungan memihak kami, maka ibu akan menemukan tempat rahasia pasukan elite kekaisaran.

Pembunuh itu menebas pepohonan, berhasil mengejar. Aku berlari sekuat tenaga masuk ke dalam gang sempit semak belukar, arahnya berlawanan dari ibu.

"Sialan, tenagaku hampir terkuras habis. Ayo pikirkan Cassian!"

Tapakanku terhenti di sebuah bangunan tua yang tak jauh dari semak dan rimpun pepohonan. Daerah yang tanpa sengaja kulabuhi. Mulutku terbungkam oleh telapak tangan kanan demi mengedapkan suara dan hembusan napas.

"Kemana bocah itu pergi!"

Mereka sebelumnya berjumlah lima orang, namun kini hanya sisa empat. Dimana satu yang lain?

Aku menilik mereka, degup jantungku menendang dahsyat. Napasku tercekat hampir keluar dengan sentakan. Kesunyian menyelimuti, namun justru jantungku semakin menggebu-gebu karena situasi ini.

Aku memindah tubuhku lirih berniat berbalik arah untuk bersembunyi di tempat lain, namun tiba-tiba suara napasku keluar dengan sentak kejut lantang. GASP! sosok bayangan hitam ada di depanku memandang dengan tatapan runcing meraup leherku dengan mudah dalam genggamannya.

"Ketemu kau tikus!"

Tubuhku menggantung di udara, kakiku menendang-nendang kehampaan tanpa suara. Jeritan sunyi melolong, saluran napasku tersumbat tekanan antar rongga. Air mata yang menetes ujungnya. Jemari pembunuh itu menekan erat hingga titik rawan. Kedua tanganku memukul-mukul dengan ketidakberdayaan.

"Tidak kusangka menangkap tikus seperti dia merepotkan." ucapnya dengan cengkraman tangan semakin bertenaga.

"Jangan buang waktu! Cepat habis dia, lalu kita cari wanita itu." ujar salah seorang dari mereka bersiap menarik sarung pedangnya.

"KEUGHH! CUIHHH! ludahku melesat tepat di atas pipi pria itu. Aku menyeringai, lengannya menegang, lalu dengan penuh kekuatan dia menghempas tubuhku hingga menghantam salah satu dinding kayu. BRUAAKKK!

"KEUKKG! COUGH!" dinding itu terpecah belah dengan retakan kayu yang tajam, setelah mendarat dengan dentuman keras, tubuhku tersungkur ke lantai bawah. Kepalaku berputar, napasku tertahan dengan kucuran darah dari ujung bibir. Hingga cairan kental berwarna merah itu menyembur. Pelipisnya pria itu berurat, rahangnya mengatup kuat. Dengan satu gerakan, sebuah pedang terhunus keluar. Pria itu meledak bersiap dengan tikaman tajam. Bilahnya telah dekat dengan leherku, tiba-tiba—KLANGG! lesatan pedang dari arah tak teduga menepis pedang itu hingga terlempar jauh.

"Lindungi pangeran dan tangkap para pembunuh!" lantang suara salah seorang diikuti gemuruh tipak langkah berat.

Pasukan kerajaan? lirihku dengan mata yang akhirnya terbenam.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
26 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status