MasukSetelah upacara penobatan selir dan pangeran selesai, kini acara dilanjutkan dengan perayaan.
Jinjit anggun para penari mengenakan selendang tipis berwarna merah muda dipadukan dengan riasan apik nan paras menawan menyebar ke panggung aula. Gerakan tangan gemulai serentak mengitari panggung satu sama lain. Setiap penari memiliki mata almond dengan riasan berwarna merah di kelopak matanya. Cadar tipis menjadi pelindung serta hiasan bagi wajah yang cantik. Selendang merah itu itu beberapa kali melambai dan melayang diterpa angin tipis-tipis bersautan dengan pita merah yang menjuntai menghiasi setiap sudut aula. Seorang pemuda tampan dengan baju sarjana duduk di tengah para penari itu menjentikkan jari jemarinya menyebarkan melodi dari setiap benang harpin. Dari atas aula, kelopak bunga mawar merah disebar dan menghujani setiap hadirin yang masih menetap di megahnya perayaan. Para penari itu melangkahkan kakinya melayang di udara menautkan selendangnya satu sama lain saling beritar. Terdengar suara tawa kecil dari setiap penari itu dengan menutup mulutnya menggunakan lenggokan jemari lentik. Siapapun yang hadir dapat mencium aroman harum manis yang segar. Kelopak bunga mawar yang berhamburan tadi, kini berkumpul menjadi barisan kelopak merah bagai burung walet yang berkelompok terbang ke arah sana dan sini. Tiba-tiba sebuah pusaran angin mengendalikan kelopak bunga itu menjadi satu, lalu dengan telapak tangan seorang ahli bela diri diikuti segerombolan laki-laki berbaris menggunakan tinjunya menghempas angin juga kumpulan kelompok bunga mawar tadi menyebar ke seluruhan penjuru aula. Dari sudut aula yang lain, ketiga selir kaisar mendekat satu sama lain memberikan lirikan ke arah selir keempat yang baru saja diangkat. "Tidak disangka kaisar sampai menyiapkan acara yang begitu mendadak untuk wanita itu." bisik Dalora, matanya lancip memandang. Jemarinya menghempas rambut silver panjang itu bak primadona. "Aku mendengar di masa lalu mereka memiliki hubungan yang tidak bisa dibilang dangkal." Rosalina mengepakkan kipasnya. Sengaja menambahkan bumbu perbincangan. "Maksudmu, kaisar menaruh hati pada wanita itu?" Wilona mendekat, kedua bibirnya maju bagai penolakan. Dua selir lain mengangguk. Wilona mendengus kesal, bukan hanya iri karena mengetanui Cassandra pernah menjalin hubungan dengan kaisar. Namun, ia juga merasa tidak aman dengan kecantikan yang melekat pada rupa wanita itu. Alunan musik melayun meliputi perayaan itu dengan meriah, tiba-tiba salah seorang bangsawan melangkahkan kakinya ke depan dengan wajah gusar. Ia berteriak. "Kutukan! Sungguh kutukan!" cetusnya bak seorang pelakon opera. Alunan musik serta aksi pemeriah acara semuanya terhenti. Seluruh mata tertuju pada bangsawan itu. "Ini merupakan aib bagi generasi selanjutnya! Mengangkat budak menjadi selir! Kekaisaran ini dalam kutukan besar!" lanjutnya membawa perut bulat bak mengandung sembilan bulan. Cassian bangun dari duduknya. Sorot matanya merancung gelap. Gerahamnya menggertak satu sama lain. Ia mengindahkan pandangannya pada bangsawan itu. Seorang pria paruh baya gemuk dengan pakaian bangsawan berbahan beludru hingga lutut maju dengan angkuh. Ia menekuk satu tangannya ke belakang. Sedangkan satu tangan lagi ia kepalkan degan erat dengan sigap menekuk ke depan. Cassian melangkahkan kaki dua jengkal ke depan. Ia berujar lantang. "Bicaralah setelah berhasil menguruskan badanmu!" Katanya dengan kedua lengan mendekap. Semua orang nampak terkejut, beberapa yang lain tertawa geli. Permaisuri mendengus lirih. Sedangkan kedua anaknya tampak penasaran aksi apa yang selanjutnya saudara bungsu seayah mereka akan perbuat. Kaisar masih duduk dalam singgasananya. Tak berucap sepatah katapun. Bukan tak peduli, tapi ia ingin mengamati sampai akhir. Tak perlu baginya tergesa-gesa ikut campur dalam segala hal. Melakukan apa yang perlu dilakukan adalah tugas kaisar. Para selir menyeringai, menikmati pemberontakan salah seorang bangsawan. Mereka berpikir ini akan mengubah sesuatu. Padahal, itu hanya angan-angan. Cassandra mecengkeram gaunnya sedikit panik. Ia merasa tidak berguna dan lemah yang lagi-lagi harus mengandalkan perlindungan sang putra, Cassian. Desah frustasi keluar dengan kedua napasnya yang mulai ngos-ngosan. Dulu ia telah mengemis pada kaisar untuk menerima putranya di istana. Namun, sayangnya ditolak dan hanya diberi sebuah rumah kayu lapuk yang sudah tua. Ia menyerah dan hanya menerima takdir sebagai pelayan yang beruntung karena mempunyai anak dengan darah kaisar. Sampai suatu hari, ia mendapati putranya berlari memeluknya dengan erat. Seakan sudah lama tidak berjumpa. Setelah hari dimana para pembunuh mengejar ia dan Cassian, rasanya semuanya terasa lebih mudah. Mungkin juga tidak, masih banyak hal yang mengganggu ketenangannya. (Apa aku akan tetap seperti ini?) Cassandra mencengkeram gaunnya lebih erat. Mencoba mengumpulkan keberaniannya. Ia bertekad dalam hatinya. Karena sudah menunggu bahkan hampir putus asa hingga 12 tahun lamanya. Ia tidak bisa menyerah pada posisi yang telah diberi kaisar untuknya juga Cassian. Kalau bukan untuknya, setidaknya Cassandra harus bertarung demi posisi putrannya. Ia bangkit dari timpuhnya. Dengan keberanian yang sedikit dipaksakan, menantap sang bangsawan yang berdiri di tengah panggung aula. Sesekali ia melirik kaisar untuk memastikan apakah ia akan tersinggung atau marah. Namun, tak terlihat tanda-tanda kegusaran dari wajah Valerius. Hal itu semakin membulatkan tekadnya lebih teguh. Cassandra menatap langit, seakan memanjatkan doa pada heningnya. Suara tipakan kaki sepatu boots mendekat dari sosok yang berjalan ke sisi kaisar. Ia bergelak tawa. "Yang mulia, sepertinya hari ini cuaca sangat damai." Lucien tersenyum miring. suaranya penuh goda. *** Sebelumnya : istana Matahari Kaisar beraktivitas seperti biasa. Membaca dokumen, menelitinya, memastikan keseluruhan isinya lalu memberi tanda tangan beserta stempel kerajaan. Marquis Lucien Devereuq berdiri dari kursinya membawa beberapa agenda juga permasalahan atas tiap-tiap wilayah yang perlu diselesaikan. Pintu masuk berderit, terbuka dengan langkah kaki pria paruh baya dengan setelan tunik hitam. Pria itu berambut putih dengan rahang tegas. Badannya kurus namun melenggok penuh etika dan tata krama yang sempurna. Marquis Lucien memberikan senyum miring, berjalan mendekat dan terhenti tepat di samping kursi kaisar. "Pak tua, kau akhirnya kembali." ujarnya dengan tangan di pinggang. Pria itu tak menanggapi Lucien dan terfokus pada Valerius. "Salam kepada matahari kekaisaran. Saya sudah kembali dari kampung halaman. Ron Reagan siap kembali bertugas." ucap pria itu merendahkan tubuhnya. Valerius sunyi, ia menilik Ron sedetik singkat dan bertutur. "Ya." Sampai kembali mengerjakan tugasnya. Dalam sekelebat seseorang berpakaian serba hitam menapak lantai. "Yang mulia, melapor!" ia bercetus, Valerius terhenti dari tugasnya, menatap sosok itu. "Terjadi insiden ledakan di pesta teh para selir. Penyebab utamanya adalah pangeran kesepuluh. Saya dapat merasakan kekuatan dalam dirinya benar-benar meluap ruah." Marquis Lucien Devereuq menaikkan alisnya, ia menoleh kepada kaisar seakan bertanya-tanya. Apakah yang barusan ia dengar juga kaisar dengar? Kedua tangan Valerius bertaut sebagai penopang dagu. Nampaknya ia sedang berpikir seksama. "Kau yakin?" tanyanya mantap. Pria berpakaian hitam itu mengangguk dengan pasti tanpa perlu banyak bicara. "Awasi dulu untuk sementara, aku yakin akan ada kejadian menarik nantinya." Kaisar menimpali, sosok itu menghilang lagi dalam sekejap. *** Para bangsawan yang hadir nampak membentuk kubu masing-masing. Ada yang setuju atas ucapan bangsawan itu, netral ada juga pihak yang menolak, merasa bahwa ucapannya tak masuk akal dan membuang-buang waktu. Knight Barsan tiba membawa beberapa pengawal untuk mendisiplinkan acara. Dua orang pengawal menyeret bangsawan yang tadi berceloteh pergi dari panggung aula. Bangsawan itu memberontak untuk melepaskan diri. "Bagaimana bisa anda memperlakukan saya seperti ini kaisar!" ujarnya merasa tak terima. Kaisar menyanggah kepalanya miring dengan raut datar. Seakan tak mendengar intrupsi bangsawan itu. Wilona geram dengan aksi kaisar yang sepertinya memang memihak Cassandra. Tangannya mengepal menahan sesuatu yang tak ia perlihatkan dari batinnya. "Kenapa pria jelek itu cerewet sekali! Dasar pria tua jelek yang cerewet." teriak dua orang pemuda terdengar dari sudut atas aula. Ucapan mereka dapat diketahui oleh seluruh hadirin di perayaan itu. Nazired Bactar Magnus, 13 tahun dan kembarannya, Nolan Bactar Magnus dengan usia yang sama. Baju jubah bangsawan yang terbuat dari beludru berwarna biru tua itu apik dengan lencana kerajaan sebagai aksesoris. Mereka adalah putra kembar Wilona dan kaisar. Kedua pangeran itu memang mendapatkan julukan spesial dari istana sebagai si pembuat onar dan si jagoan. Keduanya memiliki rambut merah muda. Nazired dengan rambut ekor panjang dan Nolan berpangkas pendek. "Ayah, lebih baik penggal kepalanya!" lanjut Nazired dengan senyum arogansinya. "Ayah aku ingin dia sebagai bahan latihan pedangku!" sahut Nolan melipar kedua tangannya. Wilona menutup wajahnya karena malu oleh kelakuan kedua putranya. Valerius tersenyum miring. Dedaunan hijau bersama kelopak bunga lavender berjatuhan diterpa angin. Pita hias yang menjuntai di aula berkibas lirih. Para penari anggun tadi masih mengamati apa yang akan terjadi, begitu pula pemeriah acara lainnya. Suara tawa menggelegar di langit-langit menyingkirkan kabut awan hitam. Kini sinar matahari terang menghujani aula beserta orang-orang di sekitarnya. Sesosok pria mengenakan jubah berwarna hijau muda, terbang melintasi langit lalu mendarat di panggung aula. "Ho~Valerius, istanamu benar-benar memberikanku tontonan yang seru." ujarnya perlahan mendarat. Seseorang melompat dari sudut atas aula. Pemuda berparas tampan dengan rambut silver panjang yang terkibas angin. Winter Leona Magnus, 15 tahun. Putra Dalora dan kaisar. Tubuhnya tinggi dan proposional. Jubah merahnya berkibar dengan aksi terjun bebas. Rambut lurus hingga pinggang yang dikuncir di belakang. Ia tampil bak pengeran dalam dongeng-dongeng teater ibu kota. "Master? Kenapa anda ke sini?!" ucap winter kepada pria itu. Pria tua yang mengenakan jubah itu merupakan guru sihir dari Winter. Seorang magician yang sudah terkenal hingga penjuru dunia. Kedatangannya ke istana kekaisaran Magnus tidak lain untuk mengunjungi kawan lamanya yaitu Valerius. Mereka berdua sama-sama lulusan terbaik dari akademi Hanzard dengan relasi kakak dan adik kelas. "Lepaskan aku terlebih dahulu!" teriak bangsawan yang diseret tadi menuju luar gerbang. Ia masih memberontak sampai akhirnya kaisar mengibaskan tangannya lirih. Seketika itu pengawal menendangnya keluar dari aula halaman istana. Perayaan berakhir dengan situasi yang mengambang. Cassian masih berdiri dengan percaya diri begitu pula Cassandra. Mereka berdua pikir tadi itu akan menjadi perseteruan yang sengit demi melindungi posisi dan harga diri. "Duduk!" ucap kaisar dengan nada komando Kepada seluruh hadirin. Satu persatu dari mereka kembali bersemayam. "Runette, lama tidak bertemu." lanjut Valerius mempersilahkan. Pria berjubah itu melangkahkan diri ke area singgasananya tepat setelah namanya disebut. "Salam kepada matahari kekaisaran. Saya datang tidak lain untuk bertemu teman lama." tuturnya pada Valerius. Valerius terkekeh, ia mengisyaratkan pelayan untuk menyediakan kursi khusus bagi kawan lamanya itu. "Siapa yang kau coba tipu, Runette. Kau selalu beraksi saat melihat keuntungan." pria bernama Runette itu terhenti pada Cassian. Matanya membelalak. "Kau! Kau! Kemari!" ujarnya dengan ketergesaan. Cassian terkejut dan bingung, ia melirik ke arah Valerius sampai akhirnya mendapat anggukan. Cassian berjalan mendekat. "Ya? Paman?" katanya dengan enggan. Runette tertawa terbahak-bahak, sedangkan Valerius mengernyit. "Dia adalah master dari menara sihir, jangan bersikap sembarangan—" katanya dengan penekanan. "Aih, tak perlu begitu serius. Siapa namamu anak muda?" tanya Runette, menatap pemuda itu dengan kedua mata yang berbinar. Cassian tertegun sejenak sebelum akhirnya menimpali. "Saya Cassian." jawabnya singkat. Runette menaikkan alisnya. "Cassian, ya? Valerius, lama tak berkunjung, tiba-tiba kau sudah memiliki anak lagi." kata pria itu mengangguk-angguk. Valerius hampir memutar bola matanya. Namun ia tahu betul untuk tetap menjaga perilaku layaknya seorang kaisar. "Penting untuk menjaga garis keturunan. Takutnya tiba-tiba kaisar tak bisa memiliki anak lagi. Lebih baik mengambil peluang dengan maksimal. Benarkan, yang mulia?" Marquis Lucien Devereuq menyaut dengan senyuman sarkastik di bibirnya. "Tutup mulutmu Lucien." kata Valerius, menggelengkan kepalanya dengan frustasi. Runette kembali mendaratkan pandanganya kepada Cassian. Meraih tangan anak berusia 12 tahun itu dan memeriksa denyut nadinya. "Kau memiliki mana yang luar biasa. Apa kau baru saja menelan pil ajaib atau semacamnya?" tanyanya dengan antusias. Runette menggunakan keterampilan mata dewa melihat kedalam titik-titik tubuh Cassian. Sebuah cahaya putih tercuat dari kedua bola mata Runette menyelam ke dalam lautan kesadarannya. Cassian tersentak sejenak, merasa pikirannya telah diambil alih. Ia dengan lirih menggelengkan kepalanya. Cassian menatap pria tua itu. "Apa yang anda lakukan?" cetusnya tajam, kepalanya berputar hebat. Runette membisu, ia melepaskan genggamannya lalu mengangguk. "Katakan, kau sudah mencapai tingkat apa? Kau, memiliki ketidakseimbangan namun juga pencapaian yang besar." kata Runette, sebelum akhirnya berdesah. Valerius menatap Cassian. Sedikit tertegun mendengar apa yang Runette jabarkan. "Runette, apa yang kau katakan?" tanyanya, kedua matanya menilik sabar, menunggu penjelasan. "Aku sudah bilang, anak ini punya mana yang meruah, ada sesuatu yang tersimpan dalam tubuhnya yang tak bisa aku tembus." kata pria itu membenamkan matanya. "Berhenti berbelit-belit. Katakan saja dengan jelas!" sahut Valerius, bibirnya berdecak. "Anak ini belum pernah mendapatkan pelatihan apapun. Jadi aku ragu jika kau hanya bermain-main dengan bualanmu." lanjut pria berahang tegas itu menimpali dengan ketus. Runette menghela napas panjang. Ia kembali melihat wajah Cassian yang tak berekspresi. "Bagaimana kemampuanmu sejauh ini?" ucapnya dengan pelan. "Saya tahu sedikit tentang pertarungan liar. Belum pernah belajar dengan serius." jawab Cassian menurunkan pandangannya. Kepalanya terangkat kembali, pusing tadi telah sirna sepenuhnya. "Apa ada yang salah?" tanyanya melanjutkan. Pemuda itu menyipitkan matanya, mungkin merasa frustasi atas penjelasan pria bernama Runette yang terdengar tak lengkap."Informasi ya, kurasa kalian tidak sepenting itu untuk ibuku repot-repot. Pada akhirnya anggota istana punya satu kesamaan, mulut mereka lebih besar daripada otaknya." ucapan Cassian membuat Ruby bangkit dari semayamnya, meraih secangkir teh itu lalu ia lemparkan ke arah wajah Cassian CPRAAAT***Pemuda itu tergelagap dalam lemparan air teh yang untungnya tak panas.Itu bisa menjadi masalah yang lain jika teh itu masih mendidih. Cassian menyeka wajahnya dengan secarik baju dari lengannya kemudian menatap Ruby dengan fokus yang mantap. Sedangkan Ruby mengatupkan rahangnya dengan alis yang naik penuh dengan kerutan wajah."Orang sepertimu ternyata punya mulut yang licin, sepertinya kau tidak bercermin ya? Ibumu adalah seorang wanita yang melebarkan selakangannya untuk kaisar!"GRAB"Keugh!" mata Ruby terbelalakkan begitu telapak tangan Cassian membalut lehernya dengan cekikan erat membuat wanita itu bernapas dengan tersumbat. "L-lepaskan!" mendengar ucapan itu, dari pada melepaskan
"Archduke! Jangan bicara seenaknya! Tanpa kami Kekaisaran ini sudah lama jatuh miskin! Jika bukan karena permaisuri bersedia menikah dengan kaisar, orang-orang dari kerajaan Zaraon tak akan Sudi harus bekerja di bawah kekaisaran!" Pria dengan perut besar kembali menjawab dengan sebuah pernyataan. ***Azriel melangkah maju dengan senyum penuh ejekan itu. "Kalian pikir jika bukan karena kaisar dan ayah kami yang merasa kaisar sebelumnya. Kalian masih bisa hidup dengan nyaman di kekaisaran ini? Kerajaan Zaraon adalah penyebab pecahnya perang besar di waktu itu." dengan tatapan tajam Azriel berucap lantang menantang paran bangsawan itu dengan berani.Tak hanya Azriel, namun Valkan pun ikut maju dengan tatapan tajam bak serigala yang siap memangsa. Tangannya bergerak ke area pinggangnya mencengkeram gagang pedang berukir rumit dalam satu gerakan, hingga pedang berdenting itu keluar dengan suara tajam. SRINGPara bangsawan seketika bergerak refleks mundur seakan menghindari bahaya. Tat
Di sana juga, Runette telah berdiri dengan banyak gulungan di atas meja."Kalian rupanya." cetusnya singkat mengarah fokus ke mereka bertiga.***Langkah Nin dan dua orang di belakangnya terhenti, ia meletakkan satu tangannya di dada kemudian berucap. "Saya Nin, tabib istana yang kaisar perintahkan untuk menjemput anda." cetusnya dengan suara pelan. Agnetto dan Bald melakukan gerakan yang sama tanpa menyebutkan nama mereka. Runette menutup mulutnya dengan kepalan tangan lalu suara gemuruh ringan berbunyi."Cough! Cough! Sepertinya kaisar sangat terhimpit sampai membutuhkan batuan pria tua sepertiku." katanya dengan suara serak yang lemah. Ia melangkah mendekat meninggalkan segala benda-benda yang ia genggam. "Ayo berangkat." ujar nya melangkah mendahului. Kembali ke istana kekaisaran, langit telah menyebarkan terang sekaligus terik yang sedikit menyakitkan.Cassian dengan seragam pelayanya menggerakkan kedua tangan untuk beraktivitas sepanjang jalur istana Bintang. Benar, pavil
"Aku tak punya apapun, kita bisa pergi sekarang." Alactra terdiam sejenak, kemudian kembali terkekeh dengan ucapan pemuda di hadapannya. "Baiklah. Ayo pergi." ***Dengan satu kuda yang sama, Cassian dan Alactra menuju ke istana dalam satu boncengan.Tapak kuda itu kendur setelah tiba di gerbang istana dalam beberapa waktu, tak sampai satu jam. Alactra membawa Cassian ke area istana bulan. Dengan bajunya yang lusuh, banyak pasang mata yang menilai pemuda itu dengan persepsi serba-serbi. Cassian berjalan dengan enggan seakan takut mengotori lantai-lantai istana. Pemuda itu menatap bangunan megah yang terpampang di hadapannya dengan kedua mata yang letih serta berkantung hitam. "Kemana kita akan pergi? Menemui kaisar?" tanya pemuda itu mengikuti langkah Alactra dari belakang. Mereka melewati ruangan demi ruangan, lorong demi lorong hingga Sampailah di sebuah pintu besar. Dengann dua orang penjaga di depannya. Alactra mendorong pintu itu dengan tangan kanannya hingga kayu perseg
Ucapan itu hanya menimbulkan tawa lantang dari kedua bibir Rosetta "Hahahaha!" ia mendongakkan kepalanya ke atas tertawa dengan puas.***"Valerius, sungguh. Melihat kisah cintamu dengan seorang pelayan membuatku tertawa geli." permaisuri melanjutkan dengan nada yang mengejek. "Lagipula, kenapa wanita itu sangat bodoh. Pria yang dia cintai punya banyak anak dan istri. Bukannya segera mencari pria yang dapat menghidupi kebutuhannya. Dia terus menunggumu seperti anjing patuh." mendengar ucapan Rosetta, semakin mengobarkan amarah Valerius. Ia tak kuat mendengar segala omong kosong itu, tapi pada saat yang sama ia merasa bersalah karena ucapan Rosetta ada benarnya."Cukup! Aku akan membawa putraku ke istana! Dia akan mendapatkan haknya juga kursiku untuk melanjutkan tahta kekaisaran!" Valerius menyambar dengan keputusannya yg sudah bulat. Tiba-tiba pintu terbuka menampakkan seorang pelayan dengan dua cangkir teh yang masih mengepulkan asap hangat. "Yang mulia, ini adalah teh herbal s
Mendengar ucapan Ruby, permaisuri menaikkan satu alisnya penuh dengan pengamatan yang intens. Sedangkan kedua adik Ruby, Damien dan Dalaine dengan rambut merah terangnya hanya membuat wajah penuh kepolosan. ***Seluruh orang kecuali Cassian telah meninggalkan ruangan itu. Diskusi telah selesai.Pemuda itu kini berhadapan dengan ayahnya sang kaisar.Suhu ruangan yang hangat menyebabkan dahi Cassian sedikit berkeringat, namun matanya masih menatap ke depan menunggu salah satu dari mereka untuk memulai percakapan. "Apa yang terjadi sangatlah cepat, dan kau menyelesaikannya dengan baik." kalimat itu keluar dari mulut kaisar. Entah apa yang sebenarnya coba ia katakan, namun apa yang ada dalam pikiran Cassian masihlah berupa kekecewaan."Jika saya tidak melakukan sesuatu dan membuat Kalaine mengaku. Apa anda hanya akan diam saja dan memenjarakan ibu dengan bukti-bukti itu? Bukankah para pelayan yang menjadi saksinya?" Cassian geram, namun tak ia tampakkan. Pria di hadapannya adalah ay







