Pagi itu, mentari bersinar hangat di ufuk timur, menyelimuti kota dengan sinar keemasannya.
Aleena sudah terbiasa dengan rutinitasnya setiap pagi—menyiapkan sarapan, memastikan kedua anaknya mengenakan seragam dengan rapi, lalu mengantarkan mereka ke sekolah.
Hari ini pun, seperti biasa, ia menurunkan Eve dan Aiden di depan gerbang sekolah mereka.
“Belajar yang fokus. Mommy akan menjemput kalian lagi. Dan kau, Aiden. Jangan nakal!” ucapnya lembut, meski ada sedikit nada tegas yang terselip dalam suaranya.
Aiden hanya mengerucutkan bibir merahnya, matanya yang bulat dan jenaka menatap Aleena seolah tak terima dengan peringatan itu.
Anak laki-lakinya memang penuh energi dan sedikit usil, tetapi justru itulah yang membuatnya semakin menggemaskan di mata Aleena.
Tak kuasa menahan dorongan dalam hatinya, ia pun mencubit pipi tembem Aiden yang terasa lembut di tangannya.
“Bye, Mommy!”
Eve dan Aiden melambaikan tangan mereka dengan semangat, sebelum berlari masuk ke halaman sekolah bersama teman-teman mereka.
Aleena membalas lambaian tangan itu dengan senyuman, lalu menghela napas panjang sebelum masuk kembali ke mobilnya.
Dalam hatinya, ia hanya berharap satu hal—Liam tidak akan mengikutinya sampai ke sekolah.
Pria itu mungkin sudah tahu di mana ia tinggal dan di mana restorannya berada, tetapi setidaknya, sekolah anak-anaknya masih menjadi rahasia darinya.
Namun, harapannya seakan buyar begitu saja ketika ia tiba di restoran. Baru saja ia keluar dari mobil, matanya langsung menangkap sosok yang berdiri tegap di ambang pintu. Liam.
Aleena menghela napas panjang, menenangkan dirinya sebelum menghadapi pria yang sudah terlalu lama ia coba hindari.
“Restoran kami masih tutup. Jadi, sebaiknya tunggu sampai buka,” ujarnya dengan nada ketus, tak berniat berbasa-basi.
Liam hanya menatapnya tajam, ekspresinya tak menunjukkan tanda-tanda menyerah. “Aku datang kemari bukan untuk makan. Aku ingin bernegosiasi denganmu. Kau pikir aku akan menyerah begitu saja? Tentu saja tidak, Aleena!”
Aleena mengangkat sebelah alisnya, menatapnya dengan tatapan datar. “Tidak ada yang perlu dinegosiasikan, Liam. Kau sendiri yang memilih untuk tidak mengakui mereka. Jadi, sebaiknya lupakan kedua anakmu dan lanjutkan hidupmu seperti biasa. Seperti saat kau tidak tahu kalau kau memiliki anak.”
Liam mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. “Kau pikir itu mudah? Tidak, Aleena. Bahkan sejak kau pergi pun, aku selalu mencari tahu di mana kau tinggal! Kau meninggalkan kota itu begitu saja, menghilang tanpa jejak!”
Aleena menyunggingkan senyum samar, seolah meremehkan ucapannya. “Apa aku tidak salah dengar?” Ia menghela napas panjang, lalu melipat kedua tangannya di dada.
“Aku pikir, kau sibuk dengan pacar-pacarmu yang selusin itu. Rupanya, kau masih memikirkan keberadaanku?”
Nada skeptis dalam suaranya begitu jelas. Ia geleng-geleng kepala, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut pria itu.
Seberapa besar pun usaha Liam untuk menunjukkan kesungguhannya sekarang, bagi Aleena, itu sudah terlambat.
Luka yang ia tinggalkan dulu tak bisa begitu saja terhapus hanya karena kata-kata manis yang baru sekarang ia lontarkan.
"Keputusanku sudah bulat, Liam." Suaranya dingin, tak sedikit pun bergetar.
Mata cokelatnya menatap lekat lelaki yang dulu pernah ia cintai, tetapi kini tak lebih dari kenangan pahit yang ingin ia kubur dalam-dalam.
"Kau… bukan ayah mereka. Aiden dan Eve tidak pernah berharap memiliki ayah yang tidak mengakuinya."
Liam tersentak, dadanya naik turun seiring tarikan napasnya yang tertahan. Matanya membulat, seakan tak percaya dengan ucapan itu.
"Sekarang aku mengakuinya!" pekiknya, suaranya parau bercampur amarah dan rasa bersalah yang terlambat.
Aleena terkekeh kecil, namun bukan karena bahagia. Ada getir yang menyelip di antara bibirnya yang sedikit bergetar.
"Ya, sekarang, kan? Dulu kau ke mana saja?" Tatapannya berubah dingin, nyaris seperti es yang mengiris sanubari.
"Andai saja kau tidak mengingkari janjimu pada saat itu, aku tidak akan melarangmu bertemu dengan anak-anakku."
Liam menggertakkan rahangnya, matanya menyiratkan kepedihan yang tak terucap. "Anak-anak kita, Aleena!" ucapnya tegas, mencoba memperbaiki segala yang telah hancur.
Aleena menghela napas panjang. Kegetiran merayapi benaknya, tetapi ia tetap berdiri tegak, seolah tak ada yang bisa menggoyahkan keputusannya.
"Terserah kau saja. Sebaiknya pergi dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi. Aku lelah dan aku juga sudah melupakanmu. Anak-anak juga tidak membutuhkan kehadiranmu."
Tanpa menunggu jawaban, Aleena melangkah ke pintu restoran dan menariknya perlahan.
Namun sebelum ia benar-benar melangkah masuk, Liam bergerak cepat. Ia mencengkeram kedua lengannya, menahan tubuhnya agar tak beranjak lebih jauh.
"Sampai kapan kau akan bersikap angkuh seperti ini padaku, Aleena?" Suaranya lebih rendah, nyaris seperti bisikan yang mengandung bara. "Kau sedang balas dendam padaku, hah?"
Aleena tak menghindar, hanya menatapnya dengan sorot yang tajam, tak beremosi.
Bibirnya membentuk senyum tipis, tetapi bukan karena kelembutan—melainkan karena kepastian yang telah ia genggam erat.
"Tidak. Aku tidak pernah dendam padamu, Liam." Suaranya selembut angin malam, tetapi begitu tajam menghunjam sanubari.
"Justru aku merelakanmu." Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Sekali lagi aku tegaskan padamu, Liam. Anak-anak… tidak membutuhkanmu."
Aleena menggeleng keras. “Tidak! Kau tidak bisa datang dan tiba-tiba mengklaim hak atas mereka! Kau tidak tahu apa-apa soal mereka! Aiden suka dinosaurus, Eve suka bunga matahari, dan mereka punya rutinitas, punya dunia yang tenang tanpamu!”“Dunia yang kau bentuk karena kau takut menghadapiku!” bentak Liam, kini hanya berjarak setengah meter dari Aleena. “Bukan karena mereka tidak butuhku, tapi karena kau tidak ingin aku kembali dalam hidupmu!”Aleena merasakan dadanya sesak. “Karena aku takut… mereka akan mencintaimu. Karena aku tahu, kau selalu bisa membuat siapa pun percaya padamu. Dan saat kau pergi lagi—”“Aku tidak akan pergi,” potong Liam tajam. “Tidak kali ini.”Keheningan menggantung di antara mereka. Suara hujan di luar terdengar samar, denting waktu seolah melambat. Tatapan Liam mengunci mata Aleena, seolah ingin menembus benteng pertahanannya.“Liam, tolong,” bisik Aleena dengan suara bergetar. “Pergilah. Aku mohon... jangan buat semuanya makin rumit.”Tapi pria itu tidak
Sementara itu, Aleena duduk di balkon rumahnya, memandangi langit sore yang mulai berwarna jingga. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah kering yang sebentar lagi akan basah oleh hujan.Di pangkuannya, Eve tertidur dengan napas teratur, tangan mungilnya menggenggam ujung syal milik Aleena.Di dekat jendela, Aiden duduk dengan serius, matanya menelusuri halaman-halaman buku dongeng kesukaannya. Suasana terasa damai, sejenak seperti tidak ada apa-apa yang salah di dunia.Ponsel Aleena bergetar pelan di sampingnya. Ia menoleh dan meraihnya dengan hati-hati agar tidak membangunkan Eve. Sebuah pesan singkat masuk, dari nomor yang tak ia simpan:Kita perlu bicara. Bukan sebagai mantan. Tapi sebagai ayah dan ibu dari dua anak luar biasa.–LiamAleena menatap layar itu lama. Jemarinya gemetar ringan, tapi bukan karena dingin.Ia tahu, pembicaraan itu bukan sekadar pertemuan biasa. Apa pun yang akan dikatakan Liam nanti, itu akan menja
Siang itu, udara kota terasa panas dan menyengat. Matahari menyorot tajam di balik kaca jendela besar sebuah kafe berkelas di pusat kota.Di salah satu sudut ruangan yang cukup sepi, Liam duduk dengan pandangan kosong menatap cangkir kopinya yang sudah lama mendingin.Kemeja putih yang ia kenakan tampak kusut meski ia selalu rapi. Kancing teratas dibiarkan terbuka, lengan tergulung hingga siku, tapi tidak ada kesan santai dari penampilannya.Rahangnya kaku, dan matanya seperti terus terombang-ambing oleh pikiran yang tak kunjung menemukan dermaga.Cangkir itu sesekali ia putar dengan ujung jari, seolah mencari jawaban dari pusaran kopi hitam yang nyaris basi.Denting bel pintu kafe membuatnya menoleh cepat. Sosok tinggi dengan balutan gaun krem selutut dan sepatu hak tinggi memasuki ruangan.Rambutnya ditata sempurna, wajahnya dibingkai riasan profesional, dan di bibirnya terlukis senyum tipis yang tidak sepenuhnya hangat.Laluna.
Esok paginya, Aleena bangun lebih awal. Ia sengaja menyiapkan sendiri sarapan anak-anak meski tubuhnya masih terasa lelah.Ia ingin menghindari segala kemungkinan bertemu Liam lagi, apalagi setelah ketegangan yang terjadi semalam. Ia tak ingin anak-anak berharap lebih. Dan yang paling penting—ia tak ingin hatinya goyah lagi.Namun rencana tinggal rencana.Saat ia sedang mencuci tangan di dapur, suara bel rumah mengejutkannya. Ia menoleh ke arah jam dinding. Masih pukul 06.45 pagi. Alisnya langsung berkerut.Ia berjalan ke pintu depan, membuka sedikit tirai di jendela samping—dan jantungnya langsung berdegup kencang. Liam berdiri di sana.Membawa dua kotak makan putih dan dua kantong kecil berisi susu cokelat dengan gambar kartun kelinci di depannya. Susu favorit Aiden dan Eve.Aleena menghela napas panjang sebelum membuka pintu dengan cepat, menahan tubuhnya agar tidak langsung meledak.“Kau pikir bisa masuk semudah itu ke hidup kami?” desisnya kemudian menghadang pria itu sebelum sem
Aleena menatap kedua anaknya, lalu Liam. Ia tahu ini awal dari sesuatu yang besar—pertempuran panjang yang tak lagi bisa ia hindari.Tapi melihat tatapan tulus Liam pada anak-anak mereka, hatinya melemas, meski ia mencoba mengingkarinya.Liam masih berdiri di ambang pintu, dengan senyum tipis yang tak bisa disembunyikan.Tatapannya jatuh pada Eve yang menggenggam tangan Aleena erat, dan Aiden yang tampak ragu namun memancarkan rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan.“Ayo cepat, sebelum Om Liam berubah pikiran,” ucap Liam sambil mengedip pada Eve. Suaranya ringan, tapi ada getaran harap yang dalam.Eve cekikikan kecil, dan Aiden menoleh ke arah Liam dengan senyum malu-malu. Ada sesuatu yang berubah dari anak laki-laki itu sejak mereka bertemu Liam—Aleena bisa merasakannya.Aleena tidak menjawab. Ia hanya mengikuti langkah mereka dari belakang, dengan segudang pikiran yang berkecamuk di benaknya. Setiap langkah terasa berat, seolah kaki dan hatinya tak lagi sejalan.Ia menunduk, mem
Aleena terpaku. Napasnya tercekat, seolah udara di sekelilingnya mendadak menghilang. Nama itu—John—keluar dari bibir Liam seperti peluru yang menghantam jantungnya.Ia tak tahu dari mana pria itu tahu, atau seberapa banyak yang sudah ia ketahui, tapi satu hal pasti: Liam tidak main-main.“Apa maksudmu?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Suaranya gemetar, matanya menatap Liam dengan campuran ketakutan dan kebingungan.Liam mengendurkan genggamannya, tapi tetap berdiri tak jauh darinya. Tatapannya masih menusuk, namun kini diselimuti aura yang lebih gelap.“Maksudku jelas, Aleena. Pria itu bukan seseorang yang bisa kau andalkan. Dia hanya datang saat keadaan tenang, saat semuanya baik-baik saja. Tapi ketika badai datang, dia akan lari.”Aleena menggeleng cepat, mencoba menyangkal. “Kau tidak tahu apa-apa tentang John!”“Tapi aku tahu segalanya tentangmu,” balas Liam tenang. “Aku tahu bagaimana caramu menyembunyikan luka. Aku tahu nada suaramu ketika kau berpura-pura bahagia. Dan ak