Aleena mengusap wajahnya dengan frustasi, ucapannya tadi masih menggema di telinganya.
Tatapannya berubah dingin saat ia menatap wajah pria di hadapannya. Ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya yang bergejolak hebat di dalam dada.
"Kau benar-benar tidak tahu malu, ya?" suaranya terdengar tajam, penuh kemarahan yang telah lama ia pendam.
"Setelah bertahun-tahun meninggalkan kami, bahkan tidak mau mengakui keberadaan mereka, kini kau dengan begitu mudahnya ingin hadir dan mengaku sebagai ayah mereka? Kau pikir aku akan membiarkan itu terjadi?"
Aleena menggelengkan kepalanya, seolah tak percaya dengan keberanian Liam yang kini berdiri di hadapannya. Pria yang pernah mengisi hidupnya, namun juga yang menghancurkan segalanya.
"Biarkan aku menjadi ayah mereka, Aleena," suara Liam terdengar lebih lembut kali ini, seolah memohon.
"Aku tahu kau masih marah padaku, dan aku pantas mendapatkannya. Tapi mereka butuh seorang ayah. Kau pikir aku tidak tahu bahwa mereka mencariku?
“Aku mendengar percakapan mereka, Aleena. Mereka bahkan mencuri fotomu hanya untuk mencari tahu siapa ayah mereka."
Aleena terdiam sesaat, tetapi bukan karena iba. Ada rasa sakit yang kembali menyelinap ke dalam hatinya. Luka lama yang belum sepenuhnya sembuh, kini kembali menganga.
"Dan sekarang aku ada di sini!" lanjut Liam, suaranya meninggi. "Jangan halangi aku untuk bertemu dengan mereka! Mereka anak-anakku dan aku akan tetap mengklaim mereka meskipun kau terus menolak!"
Aleena menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan ketenangan sebelum menatap Liam dengan sorot mata penuh kebencian.
"Aku rasa mereka akan berubah pikiran setelah tahu apa yang telah kau lakukan pada mereka saat mereka masih dalam kandunganku," ucapnya pelan namun penuh penekanan.
Liam mengepal tangannya, rahangnya mengeras. "Jangan macam-macam kau, Aleena!" desisnya, tampak marah dengan ancaman yang tersirat dalam ucapan Aleena.
Aleena hanya tersenyum pahit. "Kau takut, kan? Bahkan jika ini sampai ke ranah hukum, aku tidak yakin kau akan menang. Kau tak punya hak setelah apa yang kau lakukan dulu."
Liam menatapnya dengan sorot mata penuh kemarahan bercampur frustasi. Namun Aleena sudah mengambil keputusannya. Ia melangkah maju, membuka pintu rumahnya lebar-lebar, lalu menatap Liam tajam.
"Sekarang pergi dari rumahku dan jangan pernah kembali lagi!" katanya lantang sebelum membanting pintu dengan keras, menutup akses bagi Liam untuk masuk ke dalam kehidupannya lagi.
Dari balik pintu, suara Liam terdengar menggedor-gedor kayu itu dengan keras. Ia berteriak, memanggil nama Aleena berulang kali, berharap wanita itu berubah pikiran.
Namun Aleena tetap diam. Tangannya mengepal erat, tubuhnya sedikit gemetar menahan emosi yang memuncak.
Saat air matanya akhirnya jatuh, ia membiarkannya mengalir tanpa bisa dihentikan. Dadanya terasa sesak, seolah dihimpit oleh beban yang begitu berat.
Ada kerinduan yang terpendam, sesuatu yang ia enggan akui. Namun kebenciannya terhadap pria itu jauh lebih besar.
Kenangan tujuh tahun lalu kembali menghantuinya, suara Liam yang dengan enteng menyangkal keberadaan anak yang dikandungnya masih terdengar jelas di benaknya.
"Berani-beraninya kau datang kembali dan menghancurkan segalanya," bisiknya pelan, suaranya bergetar, penuh luka yang belum sepenuhnya sembuh.
**
“Apa? Liam ada di kota ini? Apa yang dia lakukan di sini, Aleena?” Mata Jenny sontak membola mendengar penuturan Aleena tadi.
Seolah-olah udara di ruangan itu mendadak menipis, menyisakan ketegangan yang merayap dalam keheningan di antara mereka.
Jenny datang ke rumah Aleena dengan niat untuk menikmati makan malam yang hangat dan penuh canda tawa, tetapi berita yang baru saja disampaikan sahabatnya itu membuat selera makannya lenyap begitu saja.
Hatinya mendadak bergejolak, seperti ombak yang menggulung tanpa ampun di lautan yang selama ini tenang.
“Entahlah,” Aleena mengangkat bahu dengan ekspresi letih.
“Aku rasa karena ada pekerjaan di sini. Dia membawa laptop dan beberapa file saat makan siang di restoranku.”
Suaranya terdengar lemah, seolah tak percaya bahwa bayangan dari masa lalu kini kembali menghantui kehidupannya.
Jenny menghela napas panjang, mencoba meredakan gejolak yang menyelinap di dadanya.
“Dari sekian banyak restoran di kota ini, kenapa Liam harus masuk ke restoranmu? Dan yang lebih mengejutkan, kenapa dia harus bertemu denganmu juga anak-anak?” Nada suaranya sarat dengan kebingungan dan ketidakpercayaan.
Aleena hanya menggeleng pelan. “Itu juga yang ada di pikiranku saat ini,” ucapnya dengan suara lemah, matanya menerawang kosong ke depan, seolah mencari jawaban di balik kegelapan yang mengintai hatinya.
Jenny menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum kembali menatap Aleena yang kini terlihat begitu rapuh.
“Apa lagi yang dia katakan padamu, Aleena? Apakah dia menuntut hak atas mereka?” tanyanya, suara sedikit bergetar, takut mendengar jawaban yang mungkin akan semakin meremukkan hati sahabatnya.
Aleena mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. “Tentu saja. Anehnya, dia mengancamku akan membawa ini ke ranah hukum.”
Ia menelan ludah dengan susah payah, berusaha mengendalikan emosi yang berkecamuk dalam dadanya. “Aku rasa dia sudah gila. Bisa-bisanya mengancamku dengan hal seperti itu.”
Aleena menggeleng keras. “Tidak! Kau tidak bisa datang dan tiba-tiba mengklaim hak atas mereka! Kau tidak tahu apa-apa soal mereka! Aiden suka dinosaurus, Eve suka bunga matahari, dan mereka punya rutinitas, punya dunia yang tenang tanpamu!”“Dunia yang kau bentuk karena kau takut menghadapiku!” bentak Liam, kini hanya berjarak setengah meter dari Aleena. “Bukan karena mereka tidak butuhku, tapi karena kau tidak ingin aku kembali dalam hidupmu!”Aleena merasakan dadanya sesak. “Karena aku takut… mereka akan mencintaimu. Karena aku tahu, kau selalu bisa membuat siapa pun percaya padamu. Dan saat kau pergi lagi—”“Aku tidak akan pergi,” potong Liam tajam. “Tidak kali ini.”Keheningan menggantung di antara mereka. Suara hujan di luar terdengar samar, denting waktu seolah melambat. Tatapan Liam mengunci mata Aleena, seolah ingin menembus benteng pertahanannya.“Liam, tolong,” bisik Aleena dengan suara bergetar. “Pergilah. Aku mohon... jangan buat semuanya makin rumit.”Tapi pria itu tidak
Sementara itu, Aleena duduk di balkon rumahnya, memandangi langit sore yang mulai berwarna jingga. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah kering yang sebentar lagi akan basah oleh hujan.Di pangkuannya, Eve tertidur dengan napas teratur, tangan mungilnya menggenggam ujung syal milik Aleena.Di dekat jendela, Aiden duduk dengan serius, matanya menelusuri halaman-halaman buku dongeng kesukaannya. Suasana terasa damai, sejenak seperti tidak ada apa-apa yang salah di dunia.Ponsel Aleena bergetar pelan di sampingnya. Ia menoleh dan meraihnya dengan hati-hati agar tidak membangunkan Eve. Sebuah pesan singkat masuk, dari nomor yang tak ia simpan:Kita perlu bicara. Bukan sebagai mantan. Tapi sebagai ayah dan ibu dari dua anak luar biasa.–LiamAleena menatap layar itu lama. Jemarinya gemetar ringan, tapi bukan karena dingin.Ia tahu, pembicaraan itu bukan sekadar pertemuan biasa. Apa pun yang akan dikatakan Liam nanti, itu akan menja
Siang itu, udara kota terasa panas dan menyengat. Matahari menyorot tajam di balik kaca jendela besar sebuah kafe berkelas di pusat kota.Di salah satu sudut ruangan yang cukup sepi, Liam duduk dengan pandangan kosong menatap cangkir kopinya yang sudah lama mendingin.Kemeja putih yang ia kenakan tampak kusut meski ia selalu rapi. Kancing teratas dibiarkan terbuka, lengan tergulung hingga siku, tapi tidak ada kesan santai dari penampilannya.Rahangnya kaku, dan matanya seperti terus terombang-ambing oleh pikiran yang tak kunjung menemukan dermaga.Cangkir itu sesekali ia putar dengan ujung jari, seolah mencari jawaban dari pusaran kopi hitam yang nyaris basi.Denting bel pintu kafe membuatnya menoleh cepat. Sosok tinggi dengan balutan gaun krem selutut dan sepatu hak tinggi memasuki ruangan.Rambutnya ditata sempurna, wajahnya dibingkai riasan profesional, dan di bibirnya terlukis senyum tipis yang tidak sepenuhnya hangat.Laluna.
Esok paginya, Aleena bangun lebih awal. Ia sengaja menyiapkan sendiri sarapan anak-anak meski tubuhnya masih terasa lelah.Ia ingin menghindari segala kemungkinan bertemu Liam lagi, apalagi setelah ketegangan yang terjadi semalam. Ia tak ingin anak-anak berharap lebih. Dan yang paling penting—ia tak ingin hatinya goyah lagi.Namun rencana tinggal rencana.Saat ia sedang mencuci tangan di dapur, suara bel rumah mengejutkannya. Ia menoleh ke arah jam dinding. Masih pukul 06.45 pagi. Alisnya langsung berkerut.Ia berjalan ke pintu depan, membuka sedikit tirai di jendela samping—dan jantungnya langsung berdegup kencang. Liam berdiri di sana.Membawa dua kotak makan putih dan dua kantong kecil berisi susu cokelat dengan gambar kartun kelinci di depannya. Susu favorit Aiden dan Eve.Aleena menghela napas panjang sebelum membuka pintu dengan cepat, menahan tubuhnya agar tidak langsung meledak.“Kau pikir bisa masuk semudah itu ke hidup kami?” desisnya kemudian menghadang pria itu sebelum sem
Aleena menatap kedua anaknya, lalu Liam. Ia tahu ini awal dari sesuatu yang besar—pertempuran panjang yang tak lagi bisa ia hindari.Tapi melihat tatapan tulus Liam pada anak-anak mereka, hatinya melemas, meski ia mencoba mengingkarinya.Liam masih berdiri di ambang pintu, dengan senyum tipis yang tak bisa disembunyikan.Tatapannya jatuh pada Eve yang menggenggam tangan Aleena erat, dan Aiden yang tampak ragu namun memancarkan rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan.“Ayo cepat, sebelum Om Liam berubah pikiran,” ucap Liam sambil mengedip pada Eve. Suaranya ringan, tapi ada getaran harap yang dalam.Eve cekikikan kecil, dan Aiden menoleh ke arah Liam dengan senyum malu-malu. Ada sesuatu yang berubah dari anak laki-laki itu sejak mereka bertemu Liam—Aleena bisa merasakannya.Aleena tidak menjawab. Ia hanya mengikuti langkah mereka dari belakang, dengan segudang pikiran yang berkecamuk di benaknya. Setiap langkah terasa berat, seolah kaki dan hatinya tak lagi sejalan.Ia menunduk, mem
Aleena terpaku. Napasnya tercekat, seolah udara di sekelilingnya mendadak menghilang. Nama itu—John—keluar dari bibir Liam seperti peluru yang menghantam jantungnya.Ia tak tahu dari mana pria itu tahu, atau seberapa banyak yang sudah ia ketahui, tapi satu hal pasti: Liam tidak main-main.“Apa maksudmu?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Suaranya gemetar, matanya menatap Liam dengan campuran ketakutan dan kebingungan.Liam mengendurkan genggamannya, tapi tetap berdiri tak jauh darinya. Tatapannya masih menusuk, namun kini diselimuti aura yang lebih gelap.“Maksudku jelas, Aleena. Pria itu bukan seseorang yang bisa kau andalkan. Dia hanya datang saat keadaan tenang, saat semuanya baik-baik saja. Tapi ketika badai datang, dia akan lari.”Aleena menggeleng cepat, mencoba menyangkal. “Kau tidak tahu apa-apa tentang John!”“Tapi aku tahu segalanya tentangmu,” balas Liam tenang. “Aku tahu bagaimana caramu menyembunyikan luka. Aku tahu nada suaramu ketika kau berpura-pura bahagia. Dan ak