[Selama ini dia tinggal di sebuah pedesaan. Hamil, melahirkan, dan membesarkan anak kembarnya sampai usia dua tahun, kemudian pindah ke kota dan bekerja sebagai guru les biola di sekolah swasta. Saat anak-anaknya berumur lima tahun, dia bisa mendirikan sekolah musik sendiri, meski tempat yang digunakan masih kontrak, serta dia juga mulai ikut audisi untuk bisa bermain dengan grup orkestra luar negeri. Jadi kesimpulannya, selama tujuh tahun ini, dia tidak ada jejak menikah atau dekat dengan pria. Dan, tanpa saya sebutkan, Anda pasti bisa menebak.] Evan terdiam membaca pesan dari Albert, hingga kemudian membuka file yang dikirimkan bersama pesan itu, hingga melihat dengan jelas jika di Akta lahir juga kartu keluarga, tidak ada nama ayah Dhira dan Dharu. Dia mencengkram erat ponsel itu, lantas menoleh ke arah Renata yang terduduk lemas menunggu dokter selesai menangani Dhira. Renata menunduk sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Dia sedang merutuki kebodohannya karena tidak
“Jika ingin menangis, menangis saja. Tidak usah ditahan.” “Aku tidak mau nangis. Aku cowok, jadi harus kuat. Nangis hanya buat anak cewek.” Evan mengajak Dharu ke kantin atas keinginannya karena bocah itu belum makan sama sekali, sedangkan Renata berada di ruang inap menjaga Dhira yang sedang tidur. Dharu memalingkan wajah saat Evan memintanya menangis, dia tidak suka memperlihatkan kelemahannya di depan orang lain, meski sebenarnya memang ingin menangis sebab tidak tega melihat Dhira. “Kamu tahu sesuatu? Bahkan pria dewasa pun menangis jika sedih, lalu apa ada alasan untuk anak sekecil dirimu tidak mau menangis dan harus bersikap kuat? Tidak semua orang bisa terus bersikap kuat, adakalanya merasa lemah dan menangis itu perlu,” ujar Evan menjelaskan. Evan tidak tahu apa yang sudah dialami Dharu, sehingga anak kecil itu bersikap layaknya orang dewasa. Dharu sendiri selalu merasa jika perlu bertanggung jawab ke ibu dan adiknya, sebab dia pria di
“Terima kasih karena sudah mau menolong dan mengajak Dharu makan. Aku pasti akan membalas kebaikanmu,” ucap Renata, saat Evan kembali ke kamar inap Dhira.“Tidak perlu berterima kasih,” ucap Evan dengan ekspresi datar.Renata melipat bibir, penilaiannya akan pria itu sepertinya benar karena Evan memang dingin dan kurang ramah, meski begitu Renata juga berpikir kalau Evan memiliki sisi baik.“Apa--”“Jika--”Evan dan Renata bicara bersamaan, tapi keduanya terdiam bersamaan pula.“Apa yang mau kamu katakan. Katakan dulu,” ucap Evan memberi kesempatan Renata untuk bicara lebih dulu.Renata mengangguk, kemudian berkata, “Jika kamu mau pulang, tidak masalah. Maaf sudah merepotkan. Aku tadi tanya ke ruang perawat, katanya kamu sudah membayar setengah biaya rumah sakit Dhira. Boleh aku minta nomor rekeningmu, untuk mengganti biaya yang sudah kamu bayarkan?”&ldquo
“Aku sangat terkejut mengetahui kamu membantu Renata, bahkan sampai ikut menjaga di sana. Kupikir kamu tidak menyukainya, apalagi semalam kamu terlihat tak acuh sama sekali.” Kasih memperhatikan Evan. Keduanya pergi keluar untuk bicara, karena Evan masih tidak nyaman jika membahas banyak hal di depan Renata. “Aku hanya kasihan, apalagi dia menjaga dua anak,” balas Evan tanpa ekspresi. Kasih mengangguk-angguk, kemudian berkata, “Syukurlah kamu kasihan, setidaknya kamu memiliki rasa peduli dengan orang lain.” Evan langsung melotot mendengar ledekan Kasih, hingga kemudian mencebik kesal. “Oh ya, apa Dean sudah menghubungimu?” tanya Kasih kemudian. Evan langsung memandang Kasih begitu menyebut nama Dean—sepupu Evan. Dean dan Evan pernah menyukai Kasih secara bersamaan, tapi Evan memilih mengalah sebab tahu jika Kasih lebih menyukai Dean. “Belum, ada apa?” tanya Evan kemudian. Kasih tersenyum lebar mendengar pertanyaan Evan, hingga kemudian menjawab, “Padahal minggu depan dia akan m
“Kapan Dhira boleh pulang? Dhira kangen rumah, kangen sekolah,” kata Dhira saat Renata sedang menyuapinya.“Nanti, kalau Pak Dokter sudah bilang kalau Dhira boleh pulang, maka kita bisa pulang ke rumah,” balas Renata, kemudian menyuapi Dhira.“Hm … apa masih lama?” tanya Dhira lagi. Dia membuka mulut dan membiarkan sang mama menyuapi.“Entah, mama juga belum tahu,” balas Renata.Dhira terlihat berpikir, hingga kemudian kembali berkata setelah selesai menelan makanan yang ada di mulut.“Ga apa-apa, deh. Asal ada Papa tampan, Dhira ga papa dirawat terus,” ujar bocah itu.Renata terkesiap dan menatap Dhira dengan perasaan heran, sebelum kemudian menoleh ke arah sofa, di mana Evan ada di sana dan kini menatap Renata juga sebab mendengar ucapan Dhira.Dharu juga heran, kenapa Dhira masih saja terus memanggil Evan dengan sebutan papa, yang bagi Dharu tidak sopan karena takut Evan tidak berkenan.“Dhira, ga sopan manggil orang lain dengan sebutan papa,” ujar Dharu menasihati.Dhira memayunka
Lantas sekarang harus bagaimana? Evan yang penasaran sejak awal karena pertemuannya dengan Renata, hingga mengetahui hadirnya kedua anak kembar wanita itu. Andai dia mengabaikan dan tidak menaruh rasa penasaran, mungkin sekarang dia tidak akan sebimbang ini. Setelah dia tahu jika Renata melahirkan anaknya, Evan harus bagaimana? Menikahi? Mengakui kesalahannya? Atau mengambil anak kembar itu? Tapi untuk apa dia mengambil, lagi pula dia tidak butuh atau dikejar-kejar untuk cepat mendapatkan anak. Sungguh semua ini membuat Evan frustasi. “Apa yang harus aku lakukan? Kenapa sekarang aku bingung sendiri?” Evan menyugar rambut ke belakang, lantas menatap kertas hasil lab di tangan. “Kamu kenapa?” Suara Renata mengejutkan Evan, hingga dia buru-buru menyembunyikan amplop berisi hasil tes DNA. Renata sendiri keluar dari kamar Dhira karena putrinya itu merengek ingin makan es krim. Dia tidak kuasa menolak, apalagi Dhira sampai menangis. Evan terlihat gelagapan, tangan yang memegang amplop
“Papa!”Dhira berlari begitu kencang, hingga tas yang tersemat di punggung bergoyang ke kanan dan kiri. Dhira sudah keluar rumah sakit dari dua hari lalu dan hari ini dia akan pulang ke kotanya bersama sang mama dan kakak.Evan sendiri sengaja belum pulang, karena menunggu Renata mengajak anak-anak pulang. Dia dan Renata saling diam akibat perdebatan di rumah sakit tempo hari.Begitu tahu kalau Renata akan pulang hari itu, Evan pun melakukan hal yang sama, hingga sekarang mereka bertemu di lobi dan Dhira langsung menghampiri.“Papa akan pulang bareng kami?” tanya Dhira saat sudah sampai di depan Evan, ditatapnya sang papa yang tinggi hingga dia harus mendongak.Dharu menatap dengan ekspresi wajah datar ke Evan, dia tetap berdiri di samping Renata.Evan memandang ke arah Renata dan Dharu, sebelum kemudian menggandeng tangan Dhira dan satu tangan menarik koper. Dia mengajak Dhira berjalan menuju ke Renata.“Kalian mau pulang sekarang, ‘kan? Kebetulan aku juga. Aku sudah menyewa mobil un
“Apa di sana ada kendala? Kenapa kepulanganmu sampai diulur begitu lama?”Max menatap Evan yang mengajaknya bertemu setelah dokter muda itu selesai praktek. Keduanya kini duduk di kafe bersama, memesan secangkir kopi sambil menikmati sore yang lumayan indah.“Tidak ada kendala, hanya saja ….” Evan menjeda ucapannya, kemudian melirik Max yang sedang menyesap kopi. “Apa aku lebih baik bercerita ke Max dan menceritakan tentang anak Renata?” Evan kemudian bertanya-tanya dalam hati.“Hanya apa?” tanya Max saat mendengar ucapan menggantung Evan.Evan berpikir sejenak, hingga kemudian menjawab, “Aku bertemu teman dan memintaku jadi pendengar setianya.”Max menaikkan satu sudut alis mendengar jawaban Evan. Sejak kapan Evan jadi pendengar dan mau sabar mendengar keluh kesah orang lain, biasanya juga tidak peduli dan bersikap cuek.“Teman mana?” tanya Max penasaran.“Teman jauh,” jawab Evan sedikit ragu.“Memangnya dia cerita apa?” tanya Max lagi.Evan berdeham seolah mencoba melegakan tenggoro