Dean akhirnya setuju pergi makan malam ke rumah orang tuanya. Dia dan Kasih kini berada di mobil menuju rumah Liliana.Kasih menoleh Dean, melihat suaminya terlihat serius menyetir. Sebelumnya Dean tidak memberi keputusan apakah mau datang makan malam di rumah orang tuanya, tapi tiba-tiba saja sore ini Dean meminta Kasih bersiap.“De, kamu tidak apa-apa, kan? Kalau memang masih tidak bisa, kita tidak usah datang. Mama juga pasti maklum kalau dijelaskan,” ujar Kasih yang tidak tega memaksa suaminya pulang.Kasih tahu bagaimana suaminya itu berjuang melawan sang papa. Dia sendiri tidak pernah menyalahkan sikap Dean yang membenci ayahnya, semua tak terlepas dari perbuatan ayah Dean di masa lalu, yang membuat Dean memilih membenci sang ayah.Deon menoleh Kasih, melihat istrinya itu terlihat cemas.“Aku tidak apa-apa. Sejak kita menikah, aku juga belum pernah melihat Mama. Ya, aku sadar jika membenci Papa, tapi Mama tidak salah sama sekali, jadi kupikir tidak ada salahnya berkunjung, selam
Dean dan yang lain terkejut saat melihat siapa yang kini berdiri memandang mereka, bahkan Liliana langsung berdiri karena panik.Dean langsung memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat pria yang kini berdiri memandang dirinya.Kasih sendiri mengalihkan pandangan ke Dean, melihat suaminya yang terlihat tidak senang dan tidak nyaman.“Kamu sudah pulang. Kupikir kamu akan pulang minggu depan,” ujar Liliana dengan wajah panik.Jefrine—ayah Dean, menatap istrinya yang sudah berdiri dengan sikap kebingungan.“Mumpung kamu di sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar Jefrine sambil menatap Dean.Kasih langsung memandang suaminya, terlihat jelas jika Dean benar-benar tertekan.Jefrine menunggu Dean bicara, hingga sekilas melirik ke Kasih.“Hanya sebentar,” ucap pria itu kemudian.Dean menghela napas kasar, hingga akhirnya berdiri lantas memandang ke arah Jefrine.“Aku juga merasa perlu menyelesaikan sesuatu denganmu,” ucap Dean yang tak mau bersikap sopan ke pria yang dianggapnya buru
“Benarkah? Ini berita yang sangat bagus.”Renata begitu senang mendengar Kasih dan Dean akhirnya berbaikan dengan Jefrine.Malam itu Kasih dan Dean mengajak makan malam Evan juga Renata, tentu saja untuk merayakan kebahagiaan keduanya yang kini sudah berbaikan dengan orang tua Dean.“Ya, kami pun tak menyangka. Kupikir bertemu dengan Papa akan membuat kami kembali bertengkar hebat. Namun, siapa sangka jika kemarin malam adalah malam yang benar-benar di luar dugaanku,” ujar Dean menjelaskan.Renata paham maksud Dean, hingga kemudian membalas, “Terkadang kita terlalu takut akan pemikiran kita sendiri. Kita merasa jika orang yang membenci kita, benar-benar akan terus membenci kita selamanya. Tapi siapa sangka jika ketakutan itu tidak benar, nyatanya papamu mau meminta maaf dulu.”“Benar, sama seperti Mama saat dulu tak suka Renata. Tiba-tiba saja datang dan meminta maaf, lalu menerima hubungan kami. Bukankah terkadang kita yang terlalu takut untuk memperbaiki kesalahan, hingga menunggu o
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Kasih melahirkan dengan cara cesar. Kini Kasih sudah dipindah ke ruang inap, tapi bayinya masih dalam pemantauan dokter di ruangan khusus perawatan bayi. “Syukurlah semua berjalan dengan lancar,” ucap Liliana penuh kelegaan melihat Kasih baik-baik saja. “Kita akhirnya punya cucu.” Jefrine merangkul istrinya, terlihat tatapan penuh kebahagiaan di mata pria itu. Dean melihat tatapan berbeda dari sang papa ke sang mama. Tatapan yang dianggapnya sudah lenyap sejak bertahun-tahun lamanya. “Kamu sudah menghubungi ibunya Kasih?” tanya Liliana yang ingat ke besannya itu. “Sudah, Ma. Ibu bilang akan datang secepatnya naik kereta, jadi butuh waktu ke sini,” jawab Dean. “Iya ga papa, terpenting kamu sudah mengabarinya,” ujar Liliana. Renata dan Evan senang melihat kebahagiaan Dean. Akhirnya bisa melihat pria itu bisa tersenyum penuh kelegaan dan bahagia. “Kami pulang dulu, kalau nanti Kak Kasih bangun dan tanya, katakan kami akan datang besok,” ujar R
“Lepaskan aku!” teriak gadis itu saat pagutan bibir mereka terlepas. Gadis itu berusaha memberontak, tapi sekuat apa pun tenaganya untuk melawan, itu tidak sebanding dengan kekuatan Evan. Namun, Evan tidak melepasnya, tapi menjatuhkan tubuh Renata di atas ranjang, mengukung di bawahnya dan menatapnya dengan rasa lapar. “Bantu aku,” ucap Evan dengan tatapan begitu sayu. Renata sangat syok, meski dia mabuk berat tapi bisa mendengar jelas apa yang diucapkan Evan kepadanya. “Tidak! Menyingkir dari atas tubuhku!” Renata pun berusaha mendorong tubuh pria yang kini mengukung dirinya. Evan mengabaikan permintaan Renata, tubuhnya sudah tidak nyaman dan bagian bawah tubuhnya sudah tidak bisa ditahan untuk bersabar. Evan menarik paksa pakaian yang dikenakan Renata, membuat gadis itu semakin berusaha memberontak tapi tetap sia-sia. Renata tidak bisa berkutik, terlebih saat Evan terus menjamah dan merangsek masuk ke bagian inti tubuhnya, membuat Renata meringis menahan sakit dan sempat berte
“Dari mana saja kamu semalaman tidak pulang? Lihat pakaianmu itu, kemeja siapa itu?”Begitu menginjakkan kaki di rumah, Renata langsung dicecar banyak pertanyaan oleh sang paman. Ya, Renata selama ini tinggal bersama paman dan neneknya. Sang paman memang belum menikah, meski usianya hampir menginjak kepala empat.Renata terlihat malas mendengar pertanyaan sang paman, hingga kemudian menjawab, “Ada pesta perpisahan, semalam aku menginap di rumah teman karena sudah sangat larut. Kemeja ini pinjam, karena udaranya dingin.”Veronica—nenek Renata hanya diam dan memperhatikan cucunya itu, sedangkan Kevin—paman Renata, menatap sinis dan tidak percaya dengan jawaban Renata.“Pesta perpisahan? Menginap di rumah teman? Apa kamu yakin jika itu bukan hanya dalih untuk menutupi kelakuanmu!” tuduh Kevin dengan senyum mencibir.“Terserah Paman mau bicara apa, bukankah apa pun yang aku jelaskan, tidak pernah Paman percayai!” ketus Renata. Dia sudah biasa menghadapi sikap pamannya yang selalu meremehk
“Saya ingin tahu, siapa yang check in kamar 221?” tanya Evan sambil mengembalikan kunci kamar ke resepsionis.“Maaf, kami tidak bisa memberikan data tamu ke Anda. Meskipun Anda yang mengembalikan kunci kamarnya,” jawab respsionis itu dengan senyum ramah.Evan memberikan tatapan dingin begitu mendengar jawaban respsionis, seolah dalam tatapan itu melontarkan sebuah pertanyaan 'apa maksudmu?', bahkan dia sampai mengepalkan telapak tangan karena geram sebab pihak hotel merahasiakan nama wanita yang tidak sengaja tidur dengannya.“Apa kamu tahu kalau ini sangat penting. Berikan informasi tentang orang yang memesan kamar ini!” perintah Evan dengan nada paksaan.Resepsionis itu mengulas senyum, hingga kemudian kembali berkata, “Maaf, saya hanya menjalankan prosedur hotel. Jadi mohon maaf sekali lagi, saya tidak bisa memberikan informasi yang Anda minta.”Evan benar-benar geram. Dia bertekad menemukan wanita yang ditidurinya karena takut jika wanita itu memanfaatkan dirinya saja. Hingga Evan
Evan pergi ke Queen Hotel untuk kembali bertemu dengan resepsionis yang semalam memberinya kunci kamar lain, sehingga dia terjebak dan akhirnya tidur dengan wanita yang tidak dikenalnya.“Aku ingin bertemu dengan staff yang berjaga di sini tadi malam,” kata Evan ke staff yang berjaga di bagian penerima tamu.Staff itu malah terlihat bingung, menoleh dan terlihat berbisik dengan staff lain, membuat Evan memicingkan mata karena tidak senang dengan sikap resepsionis itu.“Jika ada masalah, bisakah kamu mengatakan langsung dan jangan berbisik di depan tamu!” bentak Evan yang geram. Dia sudah cukup bersabar menunggu sampai sore agar bisa bertemu staff itu, tapi sekarang malah harus melihat sikap staff lain yang sangat tidak mengenakkan.Staff itu meminta maaf, kemudian dengan hati-hati bicara. “Maaf atas ketidaknyamanan yang Anda rasakan. Staff yang Anda maksud dan berjaga di sini semalam, tadi pagi ditemukan tewas di rumahnya karena bunuh diri.”Tentu saja hal itu membuat Evan sangat terk