Pagi hari, setelah berlayar lebih dari dua belas jam, kapal yang ditumpangi Gerry, Jenny dan si kembar berlabuh di sebuah pulau kecil. Pulau itu terletak di laut Jawa, di mana Freddy membangun rumah sebagai tempat persembunyian keluarganya. Tidak banyak manusia yang hidup di pulau itu, hanya sekitar lima ratus jiwa. Maka tidak aneh jika jarak antara rumah satu dan rumah yang lainnya sangat jauh, karena sebagian besar daratannya berupa ladang, sawah dan hutan. Dan satu-satunya akses yang bisa di lalui untuk ke pulau itu hanya menggunakan kapal.
Ketika kapal hendak berlabuh, Jenny memandang pulau dari atas kapal, dia tidak bisa menahan perasaannya yang mulai khawatir. Bagaimanapun dia adalah wanita yang dibesarkan dalam suasana keramaian kota, dan membayangkan bahwa dia harus hidup di tempat terpencil untuk pertama kali seumur hidupnya, mau tidak mau hal itu membuatnya merasakan ketakutan.
Gerry bisa memahami apa yang dipikirkan istrinya hanya dengan
Sore harinya, Jenny ikut bersama Gerry pergi ke rumah si kembar. Jenny tidak terkejut ketika mendengar yang akan mereka kunjungi adalah mertua Gerry, karena dia telah mengetahui hal itu sejak lama. Sebelum mereka menikah, Gerry sudah menceritakan tentangnya yang pernah menikah dengan seorang gadis desa bernama Dewi. Awalnya Jenny murka ketika mengetahui kenyataan pernikahan itu, dia merasa seperti seorang yang kesetiaannya telah dikhianati. Namun, Freddy turut membantu Gerry menjelaskan tentang itu kepada Jenny, meskipun sangat sulit, akhirnya Jenny bisa dengan ikhlas menerimanya. Apalagi ketika mengetahui Dewi telah mati terbunuh, dia pun berempati terhadap nasibnya. Gerry menatap rumah Handoyo dengan tatapan sedih ketika keluar dari mobilnya. Dia memutar matanya ke sekeliling, tampak tidak ada yang berubah dengan lingkungan rumah itu sejauh yang bisa dia ingat. Tapi tatapan Gerry terhenti pada salah satu ujung halaman rumah itu. Seketika dia tidak
Malam itu, Gerry terbangun dari tidurnya. Ketika dia melirik jam yang tergantung di dinding kamar masih menunjukkan pukul satu kurang sepuluh menit. Dia mencoba membenamkan kepalanya pada bantal supaya bisa melanjutkan tidurnya. Matanya masih terasa mengantuk, tapi seberapa keras pun dia menutup mata, ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya membuat Gerry tidak bisa tidur. Dengan malas Gerry memaksa tubuhnya untuk bangkit, lalu duduk di atas ranjangnya. Dia menatap kosong ke arah depan, seperti sedang memperkerjakan otaknya dengan sangat keras untuk berpikir. Beberapa saat kemudian ekspresi wajahnya tampak murung, dia mengacak-acak rambutnya dengan kasar menggunakan kedua tangannya seperti seorang yang sedang frustrasi. Dia mungkin bisa bersikap tenang seolah tidak ada hal berat yang ia pikirkan ketika di depan semua orang. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah Gerry merasa sangat stres dengan apa yang ada di otaknya. Dia merasa m
Gerry merasakan keraguan. Dia memandang Gatot dengan tatapan kosong, sambil beberapa kali menghisap rokoknya dengan lebih cepat. Sebenarnya dia sendiri tidak bisa merasakan secara pasti apa yang mengganggu pikirannya, tapi yang sengat jelas adalah dia bisa merasakan ketakutannya atas kematian. “Meskipun hanya sekali kau mengalami hal buruk di dalam hidupmu, itu bisa saja mengakibatkan trauma psikologis yang sangat parah.” Kata Gatot menjelaskan. “Yang harus kau ketahui adalah bahwa trauma psikologis bisa saja sembuh dengan sendirinya jika kau bisa mengendalikan pikiranmu sendiri untuk melupakan trauma itu." Gerry tetap diam mendengarkan penjelasan pamannya dengan saksama. “Tapi, akan lebih buruk jika kau membiarkan trauma terus menerus mengendalikan pikiranmu, dan itu akan menimbulkan efek trauma berkepanjangan, yang akan mengakibatkan gangguan kejiwaan lain seperti post-traumatic stress disorder atau PTSD, gangguan kecemasan berlebih dan bahkan dep
Gerry sangat menikmati tidur nyenyaknya hingga menjelang siang dia baru terbangun. Raut wajahnya terlihat lebih cerah daripada hari-hari sebelumnya. Dia merasa seolah terlahir kembali dalam hidupnya. Jenny memasuki kamar hendak membangunkan Gerry. Dia membawa baskom berisi air yang akan digunakan untuk membersihkan tubuh suaminya serta mengganti perban yang membalut luka-lukanya. Dia terlihat sedikit terkejut ketika mendapati suaminya sudah terbangun dengan ekspresi wajahnya yang tampak berseri-seri. Jenny merasa bahwa suaminya terlihat lebih tampan dari sebelumnya. Tentu saja, Jenny tidak mengetahui apa pun kecemasan yang dipikirkan Gerry sebelumnya, dan apalagi sekarang bahwa suaminya sudah bisa mengendalikan otaknya sendiri untuk berpikir lebih positif setelah mendapatkan pencerahan dari pamannya. “Kamu terlihat sangat bahagia hari ini, sayang. Apakah kamu habis memenangkan lotre?” tanya Jenny dengan nada bercanda menggoda suaminya.
Sebuah cerita rakyat sejak dulu telah mengalir secara turun menurun di pulau tempat Gerry dan keluargannya mengasingkan diri. Menurut ceritanya, dahulu kala pulau itu hanya di huni oleh sepasang suami istri. Mereka berasal dari kota yang melarikan diri dari keluarganya karena hubungan percintaan mereka tidak mendapatkan restu. Kemudian mereka menikah diam-diam sebelum akhirnya memutuskan untuk mengasingkan diri di pulau itu hingga akhirnya beranak pinak sampai saat ini. Sedangkan untuk bertahan hidup, mereka hanya memanfaatkan bahan makanan apa pun yang ada di hutan dan juga berburu. Beruntungnya karena si pria adalah seorang yang tangguh baik secara fisik maupun kebatinan. Dia terus menerus mengasah kemampuannya hingga akhirnya dia mampu menguasai ilmu bela diri yang sangat mahir menggunakan pedang, yang selanjutnya di ajarkan kepada anak cucunya hingga sekarang. Gerry merasakan kegembiraan yang tidak terukur muncul di dalam benaknya ketika m
Tiga hari berlalu dengan cepat. Di siang hari yang cerah, sebuah mobil Pajero Sport berwarna hitam melaju santai menyusuri jalanan hutan. Itu adalah Gerry bersama si kembar yang berkendara menuju padepokan di puncak bukit. Luka-luka Gerry belum sembuh, namun sudah cukup membaik untuk bisa menggerakkan tubuhnya dengan lebih leluasa. Malam hari sebelum Gerry berangkat ke padepokan, Handoyo memberikan kabar bahwa dia sudah mendapatkan izin untuk berlatih di sana atas referensinya. Dan memerintahkan si kembar untuk mengantar Gerry, karena mereka juga pernah berlatih di sana di tempat itu. Gerry tampak bahagia. Dia sangat bersemangat, dan tanpa ragu memaksa tubuhnya yang masih terbalut perban untuk pergi menempuh jarak dua jam perjalanan. “Apa kau yakin dengan keputusanmu untuk berlatih bela diri, Gerry?” tanya Dedi yang duduk di belakang kemudi tiba-tiba memecah keheningan dalam perjalanan mereka. Gerry yang duduk di
Butuh waktu tiga jam berjalan kaki untuk mendaki sampai ke padepokan di puncak bukit. Gerry melanjutkan perjalanannya seorang diri, dan benar seperti yang dikatakan Dedi, dia sampai di puncak bukit saat hari menjelang gelap. Sesampainya di puncak bukit, Gerry tidak bisa menahan dirinya untuk tidak terkejut. Sebab padepokan itu tidak seperti apa yang ada di dalam bayangannya. Kenyataannya itu hanyalah hamparan pekarangan luas dengan pagar kayu setinggi sekitar satu meter berdiri di sekelilingnya dan beberapa gubuk kayu yang terlihat tampak rapuh termakan usia. Seakan semua itu belum cukup menyedihkan, ketika Gerry mulai membayangkan bagaimana dia akan menjalani hidup di tempat itu dalam waktu yang lama, tanpa adanya listrik dan jaringan internet. Bagaimana dia bisa memantau bisnisnya jika tidak bisa berkomunikasi dengan dunia luar? Memikirkan hal itu membuat pikirannya melayang dalam gambaran-gambaran kesusahan yang akan menyulitkannya. Di sisi
Suatu malam di kota, suasana rumah Dicky Surya Negara tampak ramai. Puluhan mobil mewah terparkir rapi di halaman dan juga lalu lalang sekumpulan pria bersiaga. Di dalam rumah, Dicky sedang mengadakan perjamuan makan malam bersama para keluarga lain relasi bisnisnya. Setalah makan malam, para pria penting di dalam masing-masing keluarga melanjutkan pertemuan di sebuah ruangan yang dijadikan ruang rapat. Mereka duduk pada kursi yang tertata saling berhadapan di kedua sisi meja panjang. Selain Dicky, ada enam pria lain yang mengikuti pertemuan itu, yaitu Robertus Franky, Florentinus Andrew, Robbi Surya Negara, Gregorius James putra kedua Franky, serta dua orang pria lagi adalah bandar narkoba yang bekerja sama dengan kedua keluarga itu, Ronald dan Anthony.Mereka semua tampak rapi dan gagah mengenakan setelan jas, membuat suasana terkesan sangat serius dan formal. “Kenapa Pimpinan belum datang, Frank?” tanya Dicky kepada Frank