"Memang apa yang salah dengan hal itu? Bukankah kita memang satu kelas? Berarti kita semua memang berteman kan?" ucap Derrick dengan santainya.
Alea terbelalak kaget. Dia mengatupkan mulutnya rapat-rapat, tak tahu bagaimana mengomentari ucapan Derrick.
Alea tidak mungkin berani membantah Derrick karena status sosial Derrick yang sama dengannya. Dia tidak ingin membuat masalah dengan pria muda itu karena dia tak ingin nama besar keluarganya ikut terseret.
Maka dari itu Alea hanya bisa menghentakkan kakinya dengan kesal sebelum melangkah pergi dari area itu.
Derrick menghela napasnya dengan lega usai gadis itu akhirnya tak terlihat.
Pria dengan rambut pirang itu menoleh ke arah Vesa, "Vesa, aku antar kau pulang. Aku akan telepon orang bengkel untuk mengurus mobilmu. Kalau sudah beres, akan langsung diantar ke rumah kamu."
Vesa terkejut karena ini menurutnya sangat aneh. Seorang Derrick White mau berbicara dengannya itu sudah sebuah hal yang langka, pasalnya putra dari keluarga kaya itu hampir tak pernah mau berbicara dengan orang dari kalangan bawah seperti dirinya. Akan tetapi, kali ini Derrick tidak hanya berbicara dengannya, namun juga mau mengantar dia pulang.
Apakah dia sedang bermimpi? Atau Derrick sedang berpikir tidak waras sehingga melakukan hal yang tidak sesuai dengan dirinya? Vesa mulai bertanya-tanya sendiri.
Dia kemudian berujar, "Derrick. Apakah kau melakukan ini karena arloji kamu itu? Well, aku tak masalah. Kau tahu, kau tidak perlu melakukan apapun. Aku hanya melakukan apa yang bisa aku lakukan saja."
Derrick mengangguk, "Aku tahu. Tapi aku hanya ingin mencoba berbuat baik. Apakah itu salah?"
Derrick lalu mengajak Vesa menuju mobilnya.
Vesa hanya bisa berdecak kagum saat melihat mobil mewah yang tentunya limited edition itu. Mobil berwarna hitam yang memiliki desain unik.
"Naiklah," ucap Derrick.
Vesa berkedip, "Serius? Aku boleh naik?"
Derrick tahu Vesa terkejut jadi dia lalu berkata, "Iya. Kan tadi aku sudah bilang kalau aku mau mengantar kamu? Kau pikir aku bercanda?"
Vesa masih terdiam.
Derrick mengulangi, "Naiklah!"
Vesa dengan agak gugup naik ke mobil itu dan duduk di samping Derrick.
Derrick mulai menyalakan mesin mobilnya. Vesa merasa agak tak nyaman tapi dia berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri.
"Di mana alamatmu?" tanya Derrick.
"Wilmslow," jawab Vesa.
Derrick terlihat berpikir sejenak, "Dekat Didsbury Medical Center?"
"Benar," jawab Vesa lagi.
Derrick mengangguk dan tetap menyetir hingga sampai ke rumah Vesa.
Derrick ikut turun dari mobil itu ketika sampai di rumah Vesa.
"Terima kasih. Maaf sudah merepotkan kamu," ucap Vesa.
Derrick tidak tahu bagaimana harus menanggapi ucapan itu karena sebenarnya dialah yang harus berterima kasih pada pemuda itu. Jadi Derrick hanya tersenyum tipis sebelum kemudian pulang dari rumah itu.
Vesa menggelengkan kepalanya seakan baru saja mendapatkan sebuah jackpot. Dia tidak pernah menyangka bahwa pemuda seperti Derrick mau mengantarkan dirinya sampai ke rumah.
"Vesa, di mana mobilmu? Kenapa kau malah pulang diantar teman kamu? Dan kenapa teman kamu tidak mampir dulu?" Thomas Miller memberondong cucunya itu dengan banyak pertanyaan sekaligus.
"Opa, biarkan aku menjelaskannya pelan-pelan oke?"
Vesa kemudian ikut duduk di ruang tamu bersama dengan kakeknya yang sedang terlihat meminum kopinya di tengah malam itu. Vesa tidak bertanya kepada sang anak yang masih belum tidur, karena sudah jelas kakeknya itu pasti sedang menunggu dirinya pulang.
Vesa tahu betapa besar kasih sayang kakek neneknya itu terhadapnya jadi dia pun memaklumi bagaimana mereka begitu mencemaskan dirinya.
"Opa, mobilku mogok. Aku menyalakannya jadi aku tinggalkan saja mobil itu di di gedung tadi lalu temanku mengantarku pulang. Opa tidak perlu khawatir karena temanku sudah janji akan memperbaiki mobil itu dan mengembalikannya ke sini besok," jelas Vesa.
Thomas Miller membalas, "Kau punya teman sebaik itu? Tidakkah kau bilang semua teman-temanmu selalu mem-bullymu?"
Vesa mengangguk.
"Dia bukan teman seperti yang kau maksud, Opa. Dia hanya teman biasa dan bukan seperti teman baikku. Dia juga dulu pernah memberiku dan bahkan menghina aku tapi yah Opa tahu tadi dia berbuat baik kepadaku," ucap Vesa.
Vesa tidak berbohong karena memang Derrick beberapa kali juga ikut membully dirinya dan bahkan menghina statusnya sebagai salah satu penerima beasiswa di University of Greenwich.
Thomas menatap cucunya itu dengan sorot mata khawatir karena takut jika cucunya tersebut akan dilukai.
"Jangan terlalu percaya pada orang lain karena bisa saja dia hanya berpura-pura baik kepadamu untuk membullymu lagi. Dia..."
Vesa sepertinya tahu apa yang sedang dipikirkan oleh kakeknya itu jadi dia berujar, "Opa, aku tahu. Aku tahu betul. Derrick hanya sedang membalas budi saja kepadaku dan aku yakin besok dia pasti akan kembali seperti biasanya. Tenang, Opa. Aku tidak akan terlalu memikirkannya dan tetap waspada seperti biasanya."
Vesa lalu naik ke atas dan masuk ke dalam kamarnya. Pria muda itu melepas jasnya dan kemudian melempar dirinya ke atas tempat tidurnya.
Vesa bohong sekali kalau dia tidak memikirkan kebaikan Derrick. Kalau dia ingin jujur dia tadinya sedikit berharap jika Derrick benar-benar akan menganggapnya seperti temannya. Ini karena Vesa benar-benar tidak memiliki teman di kelasnya. Dia selalu sendirian selama menginjakkan kakinya ke kampus itu.
Dia memang memiliki beberapa teman yang berkuliah di fakultas yang berbeda tapi mereka tidak terlalu dekat. Tapi perkataan kakeknya semakin membuatnya tersadar karena tidak mungkin seorang anak dari keturunan keluarga kaya seperti Derrick White mau berteman dengannya.
Tiba-tiba dia penasaran apakah ayahnya dulu juga ikut merasakan seperti apa dia rasakan. Vesa benar-benar ingin tahu mengenai kehidupan sang ayah yang sama sekali tidak pernah dia ketahui itu.
"Ayah, sebenarnya bagaimana hidup ayah dulu? Kenapa kau tidak pernah bicarakan kehidupanmu? Aku ini anakmu, kan? Kenapa aku sama sekali tak mengetahui banyak hal tentangmu?" gumam Vesa.
Pria itu kemudian terlelap.
Pagi harinya, dia berangkat ke kampus seperti biasanya menggunakan bis. Pria itu tiba di kampusnya dan langsung saja menuju ruang kuliahnya. Dia selalu menyapa semua dosen yang dia temui di jalan dan itulah yang membuat banyak sekali dosen menyukai pemuda itu.
Karena selain memiliki otak yang sangat cerdas sehingga membuatnya mendapatkan nilai tertinggi di setiap mata kuliah yang diambil, Vesa dikenal sebagai mahasiswa yang memiliki attitude yang baik. Sayangnya, hal itu jugalah yang membuat banyak sekali mahasiswa yang tidak menyukainya.
Mereka bahkan menuduh pemuda itu hanya mencari muka di depan para dosen.
Vesa kemudian menemukan ruangannya untuk mata kuliah pertamanya dan membuka pintunya. Dia begitu kaget ketika langsung saja didorong Sebastian Wright hingga dia jatuh terjerembab.
Suara tawa langsung saja memenuhi ruang kelas itu.
"Well, inilah pahlawan kita yang sudah menyelamatkan arloji milik Derrick," ujar Sebastian dengan suaranya yang cukup kencang hingga membuat semua orang bisa mendengar ucapannya dengan sangat jelas.
Mereka semua menertawakan Vesa.
Vesa bangkit dan kemudian dia menatap Sebastian dengan malas.
"Heh, kau menantangku? Kau berani?" ucap Sebastian yang mendelik ke arah Vesa.
Vesa menggelengkan kepalanya.
"Apakah kau tidak bisa membedakan ekspresi seseorang?" ucap Vesa dan menatap malas lagi pada Sebastian.
"Apa maksudmu?" Sebastian tak lagi menahan amarahnya dan membentaknya.
"Maksudku adalah aku tidak menantang dirimu tapi aku memberikan sebuah tatapan malas atas apa yang baru saja kau lakukan," jawab Vesa santai dan dia melewati pemuda yang semakin berang itu menuju salah satu bangku yang masih kosong.
"Heh, berhenti!" teriak Sebastian.
Vesa tetap berjalan dan kemudian malah duduk di salah satu bangku. Dia mengabaikan Sebastian sepenuhnya hingga membuat Sebastian berteriak, "Apa maumu, hah? Berani kau mengabaikan aku? Kau pikir kau siapa, hah?"
Dengan tenang Vesa menjawab, "Astaga, kau masa tidak tahu siapa aku? Aku Vesa Araya, salah satu mahasiswa di sini."
Wajah Sebastian langsung saja memerah karena terlalu marah hingga kemudian dia mencengkeram leher Vesa tapi lagi-lagi Vesa masih menatapnya dengan sangat malas.
"Kau mau mati ya?" Sebastian berteriak di depan wajah Vesa.
Vesa hanya memejamkan matanya.
Halo, readers. Kita ketemu lagi di sini. Akhirnya selesai juga season kedua ini. Lega sekali rasanya bisa menyelesaikan cerita ini. Zila ucapkan banyak terima kasih yang sudah antusias membaca kisah Vesa Araya, anak dari Valentino Araya ini dan mengikutinya sampai akhir. Semoga ceritanya tidak mengecewakan ya dan kalian puas dengan cerita ini. Endingnya semoga juga memuaskan bagi para readers ya dan nggak ada yang kecewa. Zila harap kisah Vesa Araya ini semoga bisa diingat oleh para pembaca. Akhir kata, Zila harap bisa membuat cerita lain yang juga disukai para pembaca. Salam hangat dari Zila Aicha, sampai ketemu di karya Zila berikutnya.
Tubuh Gea terlihat begitu mengerikan. Dadanya tertancap pisau dan mulutnya mengeluarkan busa serta matanya pun terbuka.Vesa langsung memerintah, "Hubungi polisi sekarang."Inka menutup wajahnya karena tak sanggup melihatnya. Vesa langsung saja memeluk gadis itu agar Inka tak merasa takut."Siapa yang membunuhnya? Itu terlalu kejam, Vesa. Sungguh mengerikan," ujar gadis itu dengan suara bergetar."Kita akan segera tahu, biarkan polisi yang menanganinya," ujar Vesa.Tak lama kemudian polisi datang dan langsung saja memeriksa kasus itu."Apakah Anda berdua bisa ikut kami ke kantor polisi untuk memberi kesaksian?" tanya petugas polisi itu."Ya," jawab Vesa.Vesa pun mengajak Inka untuk ikut ketua polisi itu.Vesa dan Inka harus berada di kantor polisi setidaknya selama dua jam lamanya guna memberi kesaksian mereka. Dan saat dia telah selesai dan keluar dari ruang interogasi, dia melihat Lara, anak Gea itu datang ke kantor polisi dengan raut wajah yang penuh air mata."Apa Anda sudah mene
"Aku tidak membencimu, Alea. Hanya saja kau sudah keterlaluan," ucap Vesa. Dia lalu menggandeng Lara pergi dari sana.Alea berteriak, "Vesa."Vesa tak memperdulikannya. Alea hanya bisa menggigit bibir bawahnya dengan perasaan getir. Vesa sudah tak mau berhubungan lagi dengannya. Pria muda itu pastilah sudah begitu jijik padanya.Alea menjambak rambutnya sendiri lalu pergi dari kampus itu karena tak tahan melihat para mahasiswa yang menatapnya dengan tatapan aneh.Di sisi lain, Vesa berujar pelan, "Maafkan aku. Gara-gara aku, kamu jadi...""Tak apa. Well, omong-omong aku harus pergi sekarang, aku rasa temanku sudah datang," ujar Lara kemudian.Vesa mengangguk pelan, masih merasa begitu bersalah. Begitu gadis itu pergi, dia memilih untuk mengubah rencananya. Dia tak mungkin memanfaatkan Lara untuk menjebak Gea. Gadis itu tak tahu apa-apa. Entah kenapa, dia merasa jika Lara memang gadis polos. Maka dari itu dia memutuskan untuk menyerang Gea tanpa melibatkan Lara. Sore itu dia kembali
Hanya dalam waktu tak kurang dari tiga puluh detik saja, Stefan sudah mengirimkan sebuah photo begitu Vesa mematikan sambungan teleponnya.Vesa dengan tenang membuka pesan itu dan tersenyum miring begitu dia melihat photo itu.Kena kau, Gea. Vesa membatin.Segera dia mengantongi kembali ponselnya dan berjalan mendekati Lara sambil tersenyum cerah."Sudah selesai menghubungimu?" tanya Vesa yng jauh lebih ramah dari pada sebelumnya."Sudah. Mau berkeliling sekarang?" tanya Lara balik."Ya, langsung saja. Aku tak akan mengambil waktumu banyak-banyak," ucap Vesa.Lara mengangguk dan kemudian mulai bertindak sebagai seorang tour guide di sana. Meskipun baru meninggalkan kampus itu selama tujuh bulan lamanya, tapi kampus itu sudah cukup banyak berubah.Vesa mengenang masa-masa di kampusnya itu. Walaupun memang banyak kenangan buruk di sana, dia tetap masih sedikit kenangan baik hingga sekarang dia cukup merasa kecewa lagi ketika teringat masa-masa awal pertemanannya dengan Derrick.Derrick
Lara Serafin tergesa-gesa masuk ke dalam kampusnya, Greenwich University. Dia telah berjanji pada Gemma Jones semalam untuk menemani gadis itu ke perpustakaan.Saat dia melangkahkan kakinya menuju tempat itu, dia harus melewati segerombolan mahasiswa dari fakultas lain yang terlihat sedang berbincang-bincang santai.Lara begitu menikmati kehidupan barunya di kampus itu. Meskipun pada awalnya dia merasa banyak sekali hal yang begitu janggal seperti alasan yang tidak jelas sang ibu yang memilih negara ini. Di samping itu, ibunya yang sekarang ini memilih untuk bekerja dari rumah tentu membuatnya semakin bertanya-tanya.Ibunya, Gea Raharjo beralasan jika bekerja dari rumah berarti membuatnya memiliki waktu yang lebih banyak dengannya. Dikarenakan hal itu juga, Lara tak pernah bisa memprotes ataupun bertanya lebih banyak mengenai alasan utama ibunya itu.Dan ketika Lara bertanya tentang pekerjaan ibunya itu, ibunya hanya akan menjawab jika dia bergelut dengan saham. Entah saham yang seper
Derrick hanya bisa terdiam kala melihat sahabat baiknya pergi dari rumahnya. Dia melirik Alea sekilas, ingin sekali dia merengkuh tubuh Alea tapi di saat dia mendekat, Alea mundur ke belakang.Dengan wajah yang sudah basah karena air mata, Alea berkata dengan terisak-isak pelan, "Ini semua salahku. Salahku, Derrick."Derrick menggeleng, "Tidak. Ini salahku, Alea. Kau tidak salah. Aku yang membuat semuanya berantakan.""Aku yang datang padamu, aku yang paling bersalah," ujar Alea lagi."Aku yang memintamu datang, aku, Derrick," lanjut Alea.Derrick menyambar, "Dan aku juga mau datang ke sini. Oke, baiklah. Kita sama-sama bersalah. Kita berdua sama-sama bersalah."Alea jatuh terduduk di lantai halaman rumah Derrick, "Vesa pasti membenciku. Padahal kami baik-baik saja. Dia tidak pernah menyakitiku. Tapi kenapa aku? Derrick, aku hanya kesal karena dia tak pernah mau mengunjungiku ke sini. Padahal kan jelas uang bukan masalah baginya. Tapi dia lebih mementingkan perusahaannya itu. Aku hany
London masih menjadi salah satu kota terpadat yang Vesa datangi. Pemandangan malam kota ini selalu berhasil membuat Vesa rindu. Semenjak kematian kakek dan neneknya sekitar tujuh bulan yang lalu, Vesa Araya belum pernah mendatangi kota itu. Hal ini bukan karena dia yang tak ingin pergi menengok kakek dan neneknya, melainkan karena kesibukannya yang cukup menyita waktu.Dalam enam bulan belakang, selain Vesa harus mengejar gelar pendidikanya, dia harus kembali mengurus perusahaan peninggalan sang ayah. Dirinya yang mungkin menjadi anak miliarder terkaya di Indonesia itu pun hampir tak memiliki waktu senggang sedikit pun.Hingga mungkin, bisa dikatakan jika hidup Vesa hanyalah berkutat pada dunia bisnis, pendidika sekaligus melacak keberadaan Gea yang sampai sekarang belum juga dia ketahui.Namun, Vesa bukanlah orang yang mudah menyerah apalagi Gea menjadi salah satu penyebab segala ketidakberuntungan yang menghinggapinya. Vesa tidak sedikitpun menghentikan pencarian dan malah semakin m
"Kau tidak mau menyelidikinya?" tanya Inka kemudian.Vesa terkejut mendengar perkataan Inka, "Menyelidiki? Kau mengatakannya seolah Derrick telah melakukan sesuatu yang aneh-aneh saja."Inka tergelak, "Vesa, bukan begitu maksudku. Yah, kita tidak tahu apa yang terjadi di sana. Kan bisa jadi dia memang sedang menghadapi masalah yang besar."Inka melihat kening Vesa mengerut. Pria muda itu sedang berpikir."Beberapa waktu aku mengenal Derrick, dia tidak sepertimu. Kau selalu mengatakan apapun. Tapi tidak dengan Derrick. Kalian memang berteman dekat, namun aku rasa dia masih menyimpan rahasia atau bisa dibilang tak selalu mengatakan apapun kepadamu," jelas Inka."Itu aku tahu, Inka. Kan tadi sudah aku katakan. Dia memang tak selalu mengatakan segalanya dan aku tak pernah memaksanya untuk mengatakannya. Aku menghargai privasinya," sahut Vesa."Nah, itu dia, Vesa. Kenapa kau tidak coba selidiki. Siapa tahu sebenarnya dia membutuhkan bantuanmu tapi tak mengatakannya," ucap Inka.Vesa berpik
Gea tersenyum sekilas sebelum menjawab pertanyaan putrinya itu, "Karena Inggris itu negara impian Ibu."Lara bingung tapi berusaha tersenyum, tak ingin mengerecoki ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan dirinya lagi yang mungkin saja malah membuat Sang Ibu bersedih."Kau pasti akan suka nanti, Sayang. Kau bisa masuk ke Greenwich University nanti," ujar Gea.Lara mengangguk dan setelah itu makanan datang. Gadis muda yang telah menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya itu mulai berkonsentrasi pada makanan yang ada di depannya."Makanlah dulu, Ibu tidur sebentar ya? Jika perlu apa-apa, kau bisa bangunkan Ibu," ucap Gea lagi.Lara menjawab, "Ya, Ibu tenang saja. Setelah makan, aku akan ikut tidur.""Anak baik," puji Lara sambil mengusap lembut rambut Sang Putri.Tak lama setelah itu, Gea benar-benar terpejam. Sayangnya, meskipun Lara dari luar tampak menikmati makanannya, sayang sekali pikirannya sedang berkelana ke mana-mana.Lara memang masih sangat muda, di usianya yang baru saja meng