Share

Kenyataan

Anak Pungut ini yang Akan Merawatmu Ibu

Part 2. Kenyataan

By. Erin Marta Lina

"Oeeeek oeeeekk..." Suara tangisan Fauzi menyadarkanku dari mendengar percakapan ibu dan Kak Silfa, karena tangisan itu pula mereka berdua beranjak menuju kamarku.

"Sayang .... Udah cup cup sayang " bujukku sambil memeluk Fauzi dalam dekapan. Ia selalu terbangun jika mendengar sedikit saja suara berisik. Entah, percakapan ibu dan Kak Silfa terdengar keras sekali, padahal mereka hanya berdua saat berbincang.

"Tante, adek Fauzi tadi ga aku apa apain loh te, adek nangis sendiri" ucap Niar agaknya ia takut jika jadi tertuduh yang menggangu tidur Fauzi. Padahal bukan.

"Enggak sayang, adek Fauzi emang kayaknya lagi haus, tante kasih nenen dulu ya adeknya " ucapku pada Niar agar ia tak lagi merasa bersalah. Fauzi mulai terdiam ketika sudah minum ASI.

"Ehm.. ehmmm.. sejak kapan di kamar" tanya kak Silfa di ambang pintu yang kini telah membuka lebar. Ia melipat tangannya di depan dada sambil menelisik kami di dalam aku, Niar, dan Fauzi di dalam kamar.

"Sejak tadi kak, sambil nunggui Niar dan Fauzi main tadi" jujurku. Memang sejak tadi setelah membuat kudapan untuk ibu, kak Silfa, dan mas Taufik aku memutuskan untuk menidurkan Fauzi setelah mereka bermain, lebih tepatnya Niar yang suka sekali mengelus pipi Fauzi sambil menyanyikan lagu yang ia pelajari ketika di sekolah. Mas Andi pamit untuk berjamaah isya di musholla. Biasanya ia akan berlama dzikir jika ada yang mengganjal dalam hatinya. Tentu setelah ucapan ibu pada mas Andi tadi sore.

"Kamu denger omongan ibu sama Silfa barusan? " Tanya ibu tanpa basa basi menyusul di belakang kak Silfa, kak Silfa menggeser tubuhnya agak masuk ke dalam sedangkan ibu berganti yang berdiri tepat di mulut pintu. Tenang sekali ibu bertanya tanpa ada beban.

"Sebentar ya Bu, aku tiduri Fauzi dulu, nanti aku nyusul ke depan" ucapku agar tidak menggangu Fauzi yang sedang mulai terlelap di samping Niar yang juga mulai mengantuk juga sepertinya, ya.. gadis kecil ini sangat menyayangi Fauzi. Katanya ia sangat ingin memiliki adek bayi, namun sang ibu menolak karena tak mau repot lagi dengan urusan bayi. Ribet katanya.

******

"Duduk, ada yang ingin ibu bicarakan denganmu. Mana suamimu?" Tanya ibu dingin ketika aku telah sampai di ruang tengah menyusul ibu dan Kak Silfa.

"Bu, aku udah denger semua yang ibu dan Kak Silfa bicarkan tadi, maaf bukan berniat menguping pembicaraan kalian, tapi aku mendengarnya tanpa sengaja karena suara kalian cukup keras ditambah Niar lupa tidak menutup pintu kamarku rapat" jujurku saat ibu dan Kak Silfa memang sengaja menunggu di ruang tengah. Aku berucap apa adanya karena memang ketidaksukaan ibu terhadapku sudah menjadi rahasia umum. Aku bertahan di rumah ini murni karena aku menyayangi ibu selain itu juga wasiat bapak agar aku yang nantinya merawat ibu hingga ibu berpulang nanti. Tapi kebenaran tentang seseorang yang disebut sebagai anak pungut tadi belum juga mampu kutanyakan. Ada sesak di tenggorokan ini tatkala ingin menanyakan langsung pada ibu. Takut, khawatir jika itu adalah aku.

"Syukur kalau kamu sudah tau semuanya, aku tak perlu lagi menjelaskan siapa kamu sebenarnya" sinis ibu dengan tatapan yang susah kumengerti. Tatapan yang akhir-akhir ini senantiasa menghiasi wajah ibu ketika usai menerima telfon dari ketiga kakakku maupun ketika bertemu mereka secara langsung. Aku yang awalnya masa bodoh dan cuek, mau tak mau membicarakan masalah sikap ibu padaku kepada mas Andi suatu ketika. Namun, mas Andi bilang agar aku tetap bersabar karena mungkin efek usialah.

"Mana suamimu, biar dia mendengar pula apa keputusan ibu selanjutnya. Ibu tak mau capek-capek menjelaskan dua kali" lanjut ibu yang diiringi senyuman miring oleh Kak Silfa. Semua kakakku memang tak menyukaiku, tapi Kak Silfa yang paling kentara.

"Mas Andi masih di musholla Bu, tak apa biar nanti aku yang menjelaskan. Apa yang sebenarnya mau ibu dan Kak Silfa bicarakan padaku?" Ucapku mencoba sebisa mungkin memenangkan diri dari suara yang semakin tercekat ini.

"Ke mushola melulu, toh masih aja jadi benalu. Ga kaya-kaya yang ada menggerogoti orangtua. Cih" sahut Kak Silfa sinis. Sakit rasanya.

"Kenapa Kak Silfa selalu saja menghinaku dan Mas Andi? Meskipun aku tinggal di rumah ini tapi untuk kehidupan sehari-hari aku makan dari hasil keringan kerja keras Mas Andi dari ngojek. Bahkan untuk makan ibu sehari-hari. Adalah kalian bertiga yang selalu menghinaku dan Mas Andi berkirim untuk kebutuhan ibu sehari-hari. Sudah cukup kalian menghinaku seakan aku benalu yang makan dari hasil keringat kalian. Aku tak akan terima jika suamiku kalian hina terus-menerus" Aku mengeluarkan segala unek-unek yang selama ini kutahan. Aku bisa mereka menghinaku, tapi tidak untuk suamiku.

"Oh jadi mulai perhitungan dengan apa yang kamu beri ke ibu selama ini? Heh asal kamu tahu ap 90a yang kamu berikan ke ibu, tak akan pernah bisa menggantikan biaya membesarkanmu yang hanya anak pungut" ucap Kak Silfa sambil menunjuk si depan wajahku. Badan ini terasa dingin, takut dan khawatir menjadi satu.

"Maksud Kak Silfa? Anak pungut? Siapa anak pungut?" Pelan aku meminta penjelasan. Rasanya semakin jelas bahwa aku bukan bagian dari keluarga ini. Meski perlakuan ibu selalu berbeda, tak pernah sedikitpun aku berfikir bahwa aku anak pungut.

"Sudah cukup jelas bukan? Kamu adalah anak pungut Yura. Anak yang dibawa ayahmu tanpa tahu siapa kamu sebenarnya" ibu melanjutkan. Seketika jantung ini seakan berhenti beberapa detik, lantas berdenyut lagi dengan dentuman dua kali lipat kerasnya. Kusandarkan berat tubuhku pada sandaran sofa untuk sejenak menenangkan diri.

"Kamu adalah anak dari Reni, mantan kekasih ayahmu dulu. Kukira ayahmu ada main hati di belakang ibu. Masih untung ibu mau merawatmu hingga kini. Dan sekarang, tugas ibu sudah selesai. Kamu dan suamimu silakan pergi dari rumah ini" lanjut ibu menegaskan arah dari pembicaraan ini.

"Tapi Bu,... aku tidak mau pergi Bu, aku mau menjaga ibu di sini seperti pesan almarhum ayah. Dan tak apa meski aku bukan anak kandung ibu. Aku janji akan merawat ibu sampai kapanpun" mohonku pada ibu yang wajahnya tak pernah ramah denganku. Apalagi saat ini.

"Katanya bukan benalu, tapi disuruh pergi malah mohon-mohon untuk tinggal. Ih tak tahu malu" Kak Silfa menghinaku lagi. Aku bergeming mendengarnya. Lunglai sudah hati ini rasanya, mengetahui siapa sebenarnya diriku ini.

"Kenapa ibu tidak memberitahuku sejak lama Bu? Jujur meski aku mengetahui siapa statusku di keluarga ini, tak sedikitpun kasihku surut untuk ibu, ayah, Mas Bimo, kak Laras, dan kamu kak" ucapku dengan airmata mulai mengalir

"Aku tidak memberitahumu karena ayah yang selalu menghalangiku, dia tidak ingin kamu sedih, hmm.. asal kau tahu Yura, aku berkata demikian tadi memang sengaja kukeraskan agar kau dengar tanpa aku harus berbasa basi terlebih dahulu memulainya, aku sungguh muak sejak awal kau berada disini" ucap ibu sembari melipat tangan di dada. Kejam sekali perkataan ibu, tapi seperti bukan ibu yang biasanya, mungkinkah Kak Silfa yang meracuni otak ibu sedari tadi hingga sikap dingin ibu terasa sepuluh kali lebih terasa kepadaku. Entahlah

"Kau adalah anak dari orang yang telah Reni, perempuan yang telah menggoda ayahmu, dan sedikitpun aku tak ikhlas jika kau mendapat meski secuil warisan dari almarhum suamiku, karena kau tak lebih dari anak pungut yang menumpang hidup di kehidupan keluargaku" sengit ibu lagi

"Maafkan aku ibu, jika aku hanya menjadi beban dalam kehidupan ibu selama ini, tapi, demi apapun di dunia ini, aku sangat tulus menyayangi ibu sampai kapanpun, karena hanya keluarga ini yang kuanggap keluarga sepenuhnya selama ini" tulusku pada ibu sambil mengiba.

"Kalau aku sih ya, tahu diri aja sih... Udah terang-terangan tahu siapa situ, harusnya tahu diri juga lah apa yang harus dilakukan, masak iya anak pungut sok-sok an mau numpang terus" decih kak Silfa membuatku semakin terluka, karena jujur aku malah khawatir jika ibu dirawat oleh kakak kakaku, ucapan ayah lah yang selalu kujadikan pedoman meski ibu selalu memberi perlakuan beda terhadapku

"Baiklah, aku cukup tahu diri akan siapa aku Bu, kak, tapi izinkan aku merawatmu sampai nanti, aku harus menjalankan amanah ayah bu" ucapku tulus. Aku khawatir dengan sakit ibu yang beberapa hari ini sering kambuh bahkan tak kenal waktu.

"Halah, alesan ... Bilang aja mau numpang hidup, dasar ya benalu. Udah tahu bukan siapa siapa malah masih ngotot tinggal dengan alesan jagain ibu" sinis kak Silfa

"Benar kata Silfa, sudahlah Yura, kau pergilah berama suamimu, juga Fauzi, bagiku tugasku sudah selesai, tak perlu lagi aku menampungmu di sini, bahkan semenjak suamiku meninggal, aku bertekad mengusirmu, dan sebelum kau pergi, tolong tanda tangani surat ini" titah ibu ternyata sudah mempersiapkan semuanya dengan matang, jelas sekali ucapan ibu tadi memang sengaja dikeraskan agar aku mendengarnya.

Aku membaca surat itu dengan seksama, isinya sungguh membuat aku takjub.

Tak tahukah ibu, isi dari surat ini yang bahkan akan menjadikan penyesalan baginya sendiri, karena sedikit banyak aku tahu sifat saudara-saudara angkatku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status