Malam itu, saat dia sedang jalan pulang karena baru saja selesai shift malam, dia melihat Arya yang sempoyongan disamping mobilnya. Tangan satunya seperti sedang mencari sesuatu disaku celananya sedangkan tangan lainnya ada didepan dadanya berusaha melepas kancing kemejanya. Tempat kost Swastika memang tidak terlalu jauh dari tempatnya bekerja, tapi saat itu karena sudah larut, dia memutuskan untuk berjalan memutar mencari jalan ramai yang harus melewati sebuah club malam. "dr. Arya?" gumamnya sambil menyipitkan mata, agar bisa melihat lebih jelas dan tidak salah orang. Setelah memastikan bahwa benar itu dr. Arya kenalannya, dia pun mendekatinya. "Tolong bantu saya" ucap Arya dengan suara serak dan tangan yang sudah memegang lengan Swastika yang ada disampingnya. Arya tidak begitu mengenali Swastika karena pandangannya saat ini sedikit kabur, tapi yang pasti dia harus meminta bantuan lebih dulu. "Saya harus bagaimana? Saya antar ke rumah sakit saja ya Dok? Sepertinya dokter sakit,
"Arya, Abi mana?" tanya Mami Ratna yang terbaring lemas karena penyakitnya kambuh. Saat itu di hotel, "Iya Mam""Halo, Tuan Arya ini saya, Ini Nyonya Tuan. Nyonya...." ucap Luna. Asisten yang memang disiapkan Arya untuk memantau Maminya dengan suara yang penuh dengan kecemasan. "MAMI KENAPA?" teriak Arya. "Pingsan" ucap "APAAA?" Dengan cepat, Arya segera beberes dan pergi dari hotel itu. Pikirannya penuh dengan harapan agar tidak terjadi apa-apa dengan Maminya. Dia merutuki sikapnya yang justru meninggalkannya hanya untuk menemui Swastika yang tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Sepanjang jalan, mulutnya komat kamit sambil terus mencoba menelfon dokter kenalannya yang menangani Maminya. Apabila saat ini ada polisi lalu lintas, niscaya dia akan terkena pasal berlapis. Setelah berkendara cukup lama karena saat itu Arya sedang ada disalah satu rumah sakit yang dia tangani dan hanya kesana saat ada operasi, akhirnya dia sampai di rumah sakit tempat Ibunya dirawat. "Bagaiman
"Abi sudah dengar semuanya Ma" ucap Abi sambil terus berjalan menuju Mama dan Neneknya yang saat ini sedang syok. "A-Abi.." ucap Mamanya terbata sambil melepas pelukan Ibunya dan mengusap jejak air matanya mencoba tersenyum menyembunyikan lukanya. "Jadi benar, Om Arya adalah Papa Abi?" tanya Abi sekali lagi setelah berada tepat didepan Mamanya. "M-Maaf Sayang. Mama tidak bermaksud untuk..." "Sudahlah Ma. Paling tidak sekarang Abi sudah tau siapa Papa Abi sebenarnya" potong Abi yang langsung memeluk Mamanya. "Sekarang biar Abi yang saja Mama. Jangan nangis lagi ya Ma" ucap Abi mencoba menenangkan Mamanya dan mengusap pipi cabi sang Mama. "Cantik" sambungnya yang membuat Mamanya tersipu malu. "Paling tidak Papa Abi ganteng Ma. Walaupun seperti itu. Hahahah" kelakar Abi mencoba mencairkan suasana. "Abi pintar sekali. Mulai sekarang buat Mama bahagia ya" ucap sang nenek sambil terus mengusap kepala Abi. "Abi adalah anugrah terindah yang Mama punya. Mama sangat bersyukur punya ana
"STOP" "JANGAN. TOLONG" "STOP" "BAIK. AKAN SEGERA KAMI LUNASI" Teriak Ibu Swastika pada preman-preman anak buah bos renternir yang mengobrak-abrik dan mencoba membawa perabotan yang terlihat masih berharga. Sementara sang suami sedang dipegang dan dipukuli oleh anak buah yang lain. "Kami sudah memberi tenggang waktu lama tapi sepertinya tidak ada niatan baik dari kalian" ucap bos renternir. "Akan segera kami lunasi. Tolong beri kami waktu sekali lagi" pinta Ibu Swastika sambil memegang suaminya yang sudah lemah dan babak belur. "Kami beri waktu dua minggu, kalau tidak segera dilunasi, segera angkat kaki dari rumah ini" ancam bos renternir itu. "Bisakah waktunya ditambah? Dua minggu terlalu cepat. Darimana kami bisa dapat uang sebanyak itu?" "Bukan urusan saya" ucap bos itu kemudian pergi dengan para anak buahnya yang membawa perabotan elektronik yang ada di rumahnya. "Yah. Bagaimana ini Yah?" ucap Ibu Swastika sambil menangis memeluk suaminya. Untuk melunasi semua biaya kar
Setelah kembali bekerja, Swastika mencoba pengajuan kasbon ke perusahaannya, Tapi ternyata dia hanya mendapat pinjaman 50 juta. Masih sangat jauh dari yang dia butuhkan. Dia memang tidak mencoba untuk meminjam pada Elena dan Balin, walau keduanya sudah menawarkan. Swastika hanya tidak ingin persahabatannya hancur hanya karena uang, karena takutnya nanti dia menggampangkan dalam pengembalian uangnya, mengingat mereka sangat dekat. Alhasil dia akan membayar dulu sesuai uang yang dia punya sambil menunggu apartement dan mobilnya terjual dan akan meminta sedikit perpanjangan waktu lagi. Saat perdebatan dengan Ayahnya kemarin, sebenarnya Ayahnya sudah mau merelakan saja rumah dan tanah yang mereka tempati, tapi Swastika tidak setuju karena itu semua adalah peninggalan dari keluarga kakeknya dan sudah turun temurun. Setelah mentransfer sejumlah uang dan melakukan negosiasi, diapun mendapat penpanjangan tenggang waktu 2 minggu lagi. "Paling tidak masih ada waktu tersisa kurang lebih 3 min
Melihat Swastika yang histeris, Arya segera memeluknya disamping brangkar Abi. Tubuhnya dipenuhi oleh alat-alat dan selang yang entah untuk apa saja fungainya. Dokter jaga yang kebetulan adalah rekan kerja Arya menjelaskan bahwa banyak sekali luka lebam disekujur tubuh Abi. Kepalanya juga terkena benturan. Tapi beruntunglah, setelah dilakukan CT Scan menyeluruh organ vital Abi tidak ada yang luka, semua berfungsi dengan baik. Setelah mendengar sedikit penjelasan dari dokter itu, perasaan Swastika sedikit lega. Dia sudah jauh lebih tenang sekarang tapi tetap Arya tidak melepas peluknya. "Ibu, bisa jelaskan apa yang terjadi? Kenapa Abi bisa mengalami luka lebam seperti penganiyayaan?" Tanya Arya dengan tatapan tajam dan wajah datarnya. Hatinya terasa perih melihat Abi dalam keadaan lemah, banyak luka dan banyak alat terpasanh ditubuhnya. "Saya.... Saya juga tidak tahu Pak" jawab Bu Yuli yang gugup karena terintimidasi dengan tatapan Arya. Siapa yang tidak tau dengan Arya, dokter den
Swastika masih diam terpaku saat Arya meninggalkannya bersama dengan perawat. Dia masih syok mendengar pengakuan Arya. Tidak hanya Swastika, rekan kerja Arya dan para perawat juga kaget dibuatnya. Selama ini yang mereka tau, Arya sangat sangat tidak suka dengan anak kecil. Terang-terangan bahkan dia mengatakan bahwa tidak ingin memiliki anak. Yang berarti itu memutus rantai keluarganya karena Arya adalah anak tunggal sekaligus pewaris harta kekayaan Gunawan Group yang saat ini masih di atas namakan Ibunya. "Benarkah semua yang dikatakan oleh dr. Arya?" tanya dokter yang menangani Abi yang membuyarkan lamunan Swastika. "Dokter bisa tanyakan sendiri padanya" jawab Swastika sambil menghampiri brangkar Abi. Abi saat ini sudah mulai tenang, demamnya sudah berangsur turun. Tapi tetap saja harus dilakukan transfusi darah karena kondisinya yang sangat lemah. Berbanding terbalik dengan keadaan Bayu, saat ini dia sudah mulai pulih dan kalau keadaannya seperti ini terus, sore harinya dia su
"Kalian semua pasti tau kabar viral yang sedang beredar disekolah ini? Adakah yang bisa menjelaskan pada saya?" ucap Arya dengan kepercayaan diri tinggi dan wajah datar serta kedua tangan yang dilipat didepan dada. "Sebagai alumni sekolah ini, Saya merasa sangat malu pernah menjadi bagian dari sekolah ini" sambungnya karena tidak ada yang menjawabnya. "Begini Pak. Pada saat kejadian, CCTV yang mengarah ke sekitar belakang sekolah sedang rusak sejak 3 hari sebelum kejadian dan tidak ada saksi lain. Kami sudah mencoba menanyakan ke beberapa anak tapi mereka juga tidak tau" jawab kepala sekolah. "Benarkah? Kenapa tidak ada pihak sekolah yang mencoba bertanya pada Bayu? Padahal kondisinya jauh lebih baik daripada Abi" tanya Arya sekali lagi. "Hanya Bu Yuli yang sering mengunjungi mereka berdua" sambungnya sambil melirik ke arah Bu Yuli. "Saya sudah mengantongi nama para pelaku. Akan segera saya proses. Saya tidak akan membiarkan mereka yang telah menyakiti anak saya berkeliaran" ucap