Share

Anak Rahasia Sang CEO
Anak Rahasia Sang CEO
Penulis: Sarah Nurlatifah

1. Kau Siapa?

Lalu-lalang kendaraan tampak ramai di jalanan, dari kiri kanan nyaris tak ada celah untuk menyebrang. Bocah lelaki itu ketakutan berdiri di sisi jalan, pandangannya buram melihat kendaraan yang berseliweran dengan begitu cepat sampai membuatnya tanpa sadar melangkah ke tengah jalanan. Tubuhnya gemetar hebat, pandangannya mengabur, bahkan pendengarannya juga terganggu, dia tak bisa menemukan jalan untuk kembali.

“Ayah bilang tetap diam. Kenapa kau tak menurut?” Bayangan perkataan sang ayah memenuhi benaknya.

Napas anak itu memburu, ketakutan mengungkungnya sampai sebuah mobil sedan hitam melaju dari arah kanannya ketika dia sampai di tengah jalan raya tanpa sadar. Tubuh kecilnya hanya mampu terpaku di tempat, tidak bisa bergerak barang sedikitpun, bahkan pandangannya tertuju pada lampu mobil itu dengan suara klakson yang memekakkan telinga.

Satu, dua, tiga detik lagi ketika depan mobil itu nyaris menyundulnya, seseorang meraih tangan anak itu, dan mendekapnya dalam pelukan.

“Sialan! Perhatikan anakmu! Payah sekali menjadi orang tua yang tak becus menjaga anak!” maki si pengemudi mobil yang menghentikan lajunya ketika anak itu berhasil diselamatkan.

“Maafkan saya, tuan. Mohon maaf,” ucap seorang gadis yang menolong anak itu dari nyaris kecelakaan.

Si pengendara itu melengos ketika suara klakson dari belakangnya menjerit. Mata-mata tertuju pada seorang gadis yang terduduk di sisi bahu jalan mendekap erat tubuh mungil anak itu, dia gemetar hebat.

“Tenanglah, kamu sudah tidak apa-apa sekarang, sudah aman,” katanya mengusapkan telapak tangannya ke kepala si anak yang menangis di dadanya.

Tadi itu nyaris sekali, untungnya dia datang tepat waktu walau harus membuat tubuhnya terluka, tapi setidaknya dia lega karena berhasil menyelamatkan anak itu yang entah siapa.

Setelah merasa tenang, gadis bernama Fara Izzumi itu menangkupkan kedua tangannya di sisi wajah anak lelaki itu, menatapnya lembut agar tak menakutinya.

“Apakah kamu terluka, adik kecil?” tanyanya pelan seraya tersenyum.

Linangan air mata memenuhi wajahnya yang tampan dan putih, gadis itu berusaha menenangkan.

“Tidak apa-apa, ada kakak di sini, kamu aman sekarang. Coba lihat, apakah kamu terluka?”  

Bukannya menjawab, anak itu justru terisak tapi menuruti apa yang gadis itu lakukan untuk mengecek apakah dia terluka. Rupanya lututnya yang terluka, dan Fara menghela napasnya setelah tak ada luka serius di tubuh mungil itu, tapi sepertinya anak itu masih terkejut atas kejadian barusan. Gadis itu kembali mendekap tubuhnya untuk menenangkannya.

“Hanya satu luka lecet di lututmu. Jangan khawatir, kakak akan mengobatimu, hm.” Fara tersenyum menenangkannya dan kembali memeluknya yang kembali menangis ketakutan tanpa menyadari kalau dia juga terluka.

Sementara itu di dalam hotel, semua staf sudah dikerahkan ketika Daryn Affandra akhirnya selesai rapat dan menyadari kalau anaknya tak ada di tempat. Dia turut mencari, tapi tak berhasil ditemukan karena hotel itu cukup luas. Daryn juga tak bisa menghubungi ponsel anaknya yang selalu tergantung di dadanya.

“Kemana dia?” desahnya khawatir dan berdecak kesal, kalau ibunya sampai tahu cucunya menghilang tamatlah dia.

“Maaf, Direktur, kami sudah mencarinya, tapi tidak ada di hotel ini,” ujar salah satu staf yang mencari.

Kedua mata Daryn terpejam, kepalanya pening sekarang. Dia memijat pelipisnya pelan. Beginilah bila dia yang selalu sibuk membawa anak enam tahun yang memiliki trauma. Sepertinya anak itu bosan menunggu, tapi tidak ada waktu untuk menyalahkan diri sekarang.

“Bagaimana di bagian lain? Apakah terlihat di CCTV?” tanyanya.

“Ya, dia pergi keluar hotel lewat lobi utama,” lapor salah satu staf yang baru saja bergabung.

Kedua matanya membulat, dia bergegas mengambil langkah lagi untuk mencari anaknya.Tanpa menunggu lagi Daryn melesat pergi melintasi lobi utama dan hendak keluar dari hotel ketika dilihatnya sosok bocah yang dikenalinya berada dalam gendongan seorang gadis berjalan memasuki hotel dengan terpincang-pincang.

Posisi anak itu yang berada dalam dekapan Fara membelakangi Daryn dan menutupi wajah gadis itu, tapi dengan mudah pria itu mengenalinya sebagai gadis yang menumpahkan kopi padanya tadi pagi. Matanya menyipit, dia tiba-tiba menjadi emosi. Dia bergegas menghampiri, merebut paksa anaknya dari pangkuan si gadis dan mengejutkan mereka.

Mata Fara terbuka lebar, melotot pada Daryn yang mengambil alih anaknya dengan paksa padahal anak itu baru saja tenang.

“Apa yang kau lakukan? Kau mengejutkanny!” seru Fara marah.

“Aku yang seharusnya bertanya, apa yang kau lakukan padanya, hah? Kaulah yang mengajaknya keluar,” balas Daryn menuduh.

“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti?” kata gadis itu.

“Jangan berpura-pura denganku, Nona.”

Fara mendesah tak percaya, dia memalingkan mukanya sesaat dan kembali menatap Daryn. Jelas tak terima dengan tuduhan pria itu padahal dialah yang telah menyelamatkan anaknya dari celaka, bahkan yang lebih buruk dari itu, tapi pria itu seenaknya menuduh dialah yang membawa anak itu keluar?

“Kau pikir aku sejahat itu? Oh, maaf, Tuan, aku sama sekali tak tertarik pada anak orang lain kalau saja dia tak berada di jalanan dan nyaris saja tertabrak mobil! Apa salahku yang menyelamatkannya dari kecelakaan? Kau menuduhku sembarangan,” balas Fara tak mau kalah, bahkan suaranya juga meninggi.

Daryn yang telah mengambil alih tubuh anaknya dan kini dalam gendongannya menatap Fara tak percaya.

Pedebatan itu menjadi tontonan orang-orang di lobi, mereka berbisik-bisik sampai membuat sekretaris Daryn yang berdiri di belakangnya salah tingkah karena atasanya sama sekali tak mau mengalah bahkan semakin gencar membalik pembelaan gadis itu, menuduhnya, juga tak peduli dengan tangis anaknya di pangkuan.

“Direktur, sebaiknya Anda mencari tempat aman. Di sini banyak orang, citramu dan hotel bisa ternoda,” bisik sekretarisnya mengingatkan.

Barulah Daryn menghentikan debatnya dan melirik sekitar.

“Ayah jahat,” ujar anak itu meracau dalam dekapannya. Dia menangis yang tak dipedulikan ayahnya.

“Bawa dia ke ruanganku juga. Aku akan menuntutnya,” katanya memerintah seraya melirik Fara tajam.

Sekretarisnya hanya mengangguk, dan Daryn melengos begitu saja meninggalkan lobi tanpa menenangkan anaknya lebih dulu. Sekretaris menghampiri Fara yang tercengang melihat ketidakpedulian pria itu pada anaknya, ayah macam apa dia itu? Pikirnya. Fara menuruti sekretaris untuk mengikuti atasannya dengan kaki terpincang-pincang karena sempat terkilir ketika menyelamatkan bocah itu tadi.

Tak hanya kakinya terkilir, sikunya juga menjadi korban benturan dengan jalan dan terluka, tapi dia mengabaikannya karena terlalu sibuk menenangkan tangis anak itu yang masih ketakutan, sepertinya itu memicu kembali trauma yang Fara sendiri tidak tahu, tapi dia menyadarinya. Tatapannya masih tertuju pada punggung Daryn yang berjalan di depan sambil menenangkan tangisan kecil itu. Dengus kesal terbuang dari Fara mengkritik cara pria itu menenangkan anaknya.

Mereka tiba di kantor Daryn, Fara tak segera duduk, bahkan tak mempedulikan denyutan di kakinya yang minta diobati lebih dulu, perhatiannya masih tertuju pada bagaimana sikap Daryn terhadap anaknya.

“Ayolah Delvin, jangan menangis,” bujuknya begitu menurunkan anaknya di sofa ruangannya.

“Kau sungguh ayah yang payah,” kritik Fara meliriknya tajam. Dia berjalan menghampiri Daryn yang berjongkok di depan anaknya dan menyuruhnya untuk minggir.  

Daryn menoleh dan balas menatapnya tajam, tapi Fara tak peduli, perhatiannya terpusat pada anak itu yang tangisnya mereda begitu melihatnya.

“Biar aku yang urus. Kau ambilkan kotak keshatan,” titah Fara seenaknya.

Tentu saja Daryn tak terima dengan perintah gadis itu, dialah yang punya hak sekarang sebagai ayahnya dan pemilik hotel ini. Dialah yang seharusnya memerintah.

“Kenapa diam? Cepat ambil, biar aku yang menenangkannya. Minggir!” Fara menggeser tubuh Daryn sembarang yang diam di tempatnya dan mengambil alih posisi pria itu untuk menenangkan anaknya sekaligus memeriksanya.

Sekretaris hanya memalingkan muka ketika atasannya itu melampiaskan tatapan tajam padanya dan menawarkan diri untuk mengambil kotak kesehatan. Daryn berdiri di belakang gadis itu yang mulai bicara dengan nada lembut dan ramah, lantas hal itu mengundang dengus sinis darinya. Namun, melihat punggung Fara yang ada di depannya tiba-tiba memicu sekelebat bayangan tentang seseorang yang dahulu dilihatnya. Suara dari gadis itu yang menenangkan tangis anaknya mengingatkan Daryn pada kenangan lama yang selalu menghantui.

Matanya menyipit, kenangan itu samar, tapi masih berlangsung dalam benaknya bagai deja-Vu.

“Kau siapa?” Pikirnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status