Share

8. Konsltasi Buatan

“Ini yang terakhir?” Fara bertanya begitu pasien yang dirawat jalannya telah selesai konsultasi.

“Ya,” sahut seorang perawat yang menemaninya. “Namun, ada yang aneh,” katanya melihat kertas di tangannya.

Fara mendongakan wajahnya menatap pewarat itu seakan bertanya dalam diam.

“Ada apa?”

“Di sini tidak dijelaskan apa-apa selain konsultasi,” jawab perawat itu.

Dahi Fara mengerut, entah kenapa firasatnya tak enak.

“Coba kulihat, Delvin Aezar?” Kerutan di dahi Fara semakin banyak dan dalam membuat kedua alisnya nyaris bertemu. Nama itu terasa tak asing. “Persilahkan masuk,” katanya.

Perawat itu hanya mengangguk, mengiyakan instruksi Fara untuk memanggil pasien terakhirnya yang sedikit aneh. Dia sendiri fokus pada layar laptop di depannya dan beralih ke data yang tersedia di atas meja.

Sementara itu, pria itu berjalan dengan dongkol. Setelah sekian lama menunggu akhirnya tiba juga gilirannya. Dia merasa konyol karena menghabiskan waktunya hanya untuk duduk di deret kursi antrian yang didominasi ibu dengan anak, sementara dia seorang diri menahan ketidaknyamanan. Sekarang adalah gilirannya, rasanya ingin sekali dia membuat perhitungan. Setiap langkahnya membawa ketidaksabaran untuk bertemu gadis itu, yang telah meninggalkan jejak kilat di bibirnya kemarin.

“Silakan,” suara perawat itu menyadarkannya dari alam bawah sadarnya yang membuat rencana.

Pria itu mengangguk sekilas lalu melangkahkan kakinya melewati pintu ruangan. Dia berhenti melangkah, memusatkan perhatiannya pada sosok yang duduk di balik meja dengan jas putihnya berlatar belakang senja, membuat sosoknya sedikit bersinar bak bidadari.

“Selamat sore. Silakan du –“ Kalimat sambutan Fara terputus begitu mengangkat wajahnya dan melihat siapa yang datang.

Seulas senyum miring yang menyebalkan terukir sempurna di bibir pria itu. Sosoknya tampak jelas, bersetelan jas dengan paras rupawan yang bak iblis sekarang. Rupanya firasat buruk Fara karena ini.

“Ternyata kau memang seorang dokter,” katanya dengan nada menyindir.

Dua orang perawat wanita yang masih berada di ruangan itu saling tatap bingung dengan apa yang dikatakan pria itu. Fara sadar kedatangannya bukan untuk konsultasi.

“Dia yang terakhir?”

Salah satu perawat yang masih berada di dekat pintu masuk mengangguk.

Fara menarik napasnya dalam, bagaimanapun dia harus bersikap professional meskipun emosinya tersulut dengan kedatangan pria itu.

“Silakan duduk, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” Fara bertanya seramah dan sesopan mungkin, tapi kedua perawat itu menyadari sikapnya yang terkesan dibuat-buat.

Daryn mendengkus melihat sikap gadis itu. Dia menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan mengambsen setiap sudut dan barangnya lalu mengangguk seolah meremehkan. Fara tetap bersikap setenang mungkin.

Gadis itu menyadari kedatangan Daryn bukan untuk konsultasi melainkan untuk konfrontasi atas apa yang dia lakukan kemarin. Fara menilai Daryn adalah tipe pendendam.

Pria itu duduk di kursi depan Fara yang masih bersikap formal, dia juga melihat layar komputernya untuk meninjau konsultasi buatan yang direncanakan Daryn. Entah apa yang akan mereka lakukan di ruangan itu, tapi sepertinya Fara sengaja mengulur waktu karena dengan demikian jam kerjanya segera selesai, maka dia bisa menghadapi pria itu di luar jam kerja.

“Jadi, mau konsultasi tentang apa, Tuan?” tanya Fara seramah yang dibuat-buat, nyatanya dia tak nyaman dengan keberadaan pria itu.

Sebelah alis Daryn terangkat lalu disusul senyum miring andalannya yang membuat Fara nyaris berdecak sebal.

“Hm.” Daryn berlagak berpikir, dia bahkan duduk bergaya bos dengan satu tangan terlipat di perut dan satu tangannya lagi terangkat, jarinya memainkan kedua bibirnya.

Melihat hal itu Fara menjadi salah tingkah, teringat kembali kekonyolannya kemarin, dan hal itu membuatnya kesal juga. Apakah Daryn sengaja melakukannya atau tidak?

“Kapan jam kerjamu selesai?” tanya pria itu akhirnya.

Kedua mata Fara mengerjap, begitu pula kedua perawat yang sejak tadi menunggunya saling tatap.

“Apa maksudmu?” Fara bertanya bodoh.

Daryn menatapnya.

“Kau pikir aku datang untuk konsultasi? Aku ingin mengajukan konfrontasi atas apa yang kau lakuk –“

“Baik!” Fara menyela sebelum Daryn membuka suaranya lebih jauh lagi. Dia mengumbar senyum aneh. “Bisakah Anda tunggu di luar, Tuan?” katanya.

Senyum Daryn tercetak lagi, miring.

“Tentu. Dengan syarat kau tak kabur,” katanya pelan.

Fara mendesis sama, satu sudut bibirnya terangkat, mencibir. Lalu menarik napasnya bersiap memberi tahu kedua perawat itu.

“Aku mengenalnya, jadi jadwalku berakhir sampai di sini. Terima kasih atas kerja keras kalian,” ucapnya pada kedua perawat itu sembari memberi kode lewat tatapan mata.

“Ah tentu. Sampai jumpa besok dokter,” balas salah satu perawat itu.

Gadis itu mengangguk. Begitu perawat keluar dari ruangannya, seketika Fara mengarahkan tatapan tajamnya kepada Daryn yang menahan senyum lebarnya, merasa puas telah mempermainkan gadis itu. Dia lalu memiringkan sedikit kepalanya dan mengangkat bahu acuh, merasa tak salah dengan perbuatannya yang mungkin saja mengundang salah paham.

Fara bangun dari duduknya, melepas jas putih yang membungkus tubuh rampingnya dan menyambar jas abu yang dia pakai tadi kemudian berjalan begitu saja melewati Daryn yang masih duduk manis di tempatnya. Dia mengikuti gadis itu ketika sampai di pintu.

Senja masih membentang manja, melatar belakangi semesta. Orang-orang berkata senja itu romantis, tapi bagi Fara yang menyukai sinar matahari di barat sekarang ini menyebalkan baginya. Dia sangat ingin segera keluar dari area rumah sakit tempatnya mengabdi. Dia sangat ingin segera pergi sejauh mungkin, akan lebih baik bila tidak ada yang melihatnya berjalan bersama pria itu. Namun, tunggu! Fara seketika berbalik untuk memastikan Daryn berjalan menjaga jarak darinya. Syukurlah, pria itu sepertinya cukup mengerti.

“Kau mau ke mana, buru-buru sekali, kebelet, Far?” Seseorang menegurnya ketika Fara sampai di meja informasi yang tak jauh dari pintu masuk.

Gadis itu menoleh dan mendapati kumpulan dokter magang di sana, yang menegurnya sendiri adalah seniornya yang bertugas di IGD.

“Ah, ya. Aku ada urusan. Kalian belum pulang?” tanyanya.

“Kami baru akan pulang. Tapi kita akan ada makan malam bersama, kau mau ikut?” tawar senior Fara yang merupakan seorang pria itu.

Mendengar kata makan malam bersama yang terbayang apa hidangannya membuat Fara seketika tergiur, tapi deham keras dari belakangannya menginterupsi, mengingatkan Fara kalau dia ada yang harus diurus. Daryn melengos begitu saja melewati Fara dengan ekspresi datar yang entah apa maksudnya.

“Sial!” gumam Fara pelan. “Sayangnya, aku sudah ada janji. Lain kali saja mungkin. Selamat menikmati makan malamnya. Sampai jumpa,”  katanya dan bergegas pergi sebelum ditanya hal lain.

Para dokter itu tampak kebingungan dengan sikapnya sekaligus bertanya-tanya siapa pria itu? Tidak biasanya Fara berjalan dengan seorang pria, dan lagi setiap ada makan malam bersama Fara tak pernah absen kecuali kalau sedang tidak ingin pergi. Namun kali ini, sedikit lain ceritanya yang mengundang banyak tanya, sekaligus salah paham dari rekan kerjanya. Apa yang akan Fara lakukan nanti?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status