“Ini yang terakhir?” Fara bertanya begitu pasien yang dirawat jalannya telah selesai konsultasi.
“Ya,” sahut seorang perawat yang menemaninya. “Namun, ada yang aneh,” katanya melihat kertas di tangannya.
Fara mendongakan wajahnya menatap pewarat itu seakan bertanya dalam diam.
“Ada apa?”
“Di sini tidak dijelaskan apa-apa selain konsultasi,” jawab perawat itu.
Dahi Fara mengerut, entah kenapa firasatnya tak enak.
“Coba kulihat, Delvin Aezar?” Kerutan di dahi Fara semakin banyak dan dalam membuat kedua alisnya nyaris bertemu. Nama itu terasa tak asing. “Persilahkan masuk,” katanya.
Perawat itu hanya mengangguk, mengiyakan instruksi Fara untuk memanggil pasien terakhirnya yang sedikit aneh. Dia sendiri fokus pada layar laptop di depannya dan beralih ke data yang tersedia di atas meja.
Sementara itu, pria itu berjalan dengan dongkol. Setelah sekian lama menunggu akhirnya tiba juga gilirannya. Dia merasa konyol karena menghabiskan waktunya hanya untuk duduk di deret kursi antrian yang didominasi ibu dengan anak, sementara dia seorang diri menahan ketidaknyamanan. Sekarang adalah gilirannya, rasanya ingin sekali dia membuat perhitungan. Setiap langkahnya membawa ketidaksabaran untuk bertemu gadis itu, yang telah meninggalkan jejak kilat di bibirnya kemarin.
“Silakan,” suara perawat itu menyadarkannya dari alam bawah sadarnya yang membuat rencana.
Pria itu mengangguk sekilas lalu melangkahkan kakinya melewati pintu ruangan. Dia berhenti melangkah, memusatkan perhatiannya pada sosok yang duduk di balik meja dengan jas putihnya berlatar belakang senja, membuat sosoknya sedikit bersinar bak bidadari.
“Selamat sore. Silakan du –“ Kalimat sambutan Fara terputus begitu mengangkat wajahnya dan melihat siapa yang datang.
Seulas senyum miring yang menyebalkan terukir sempurna di bibir pria itu. Sosoknya tampak jelas, bersetelan jas dengan paras rupawan yang bak iblis sekarang. Rupanya firasat buruk Fara karena ini.
“Ternyata kau memang seorang dokter,” katanya dengan nada menyindir.
Dua orang perawat wanita yang masih berada di ruangan itu saling tatap bingung dengan apa yang dikatakan pria itu. Fara sadar kedatangannya bukan untuk konsultasi.
“Dia yang terakhir?”
Salah satu perawat yang masih berada di dekat pintu masuk mengangguk.
Fara menarik napasnya dalam, bagaimanapun dia harus bersikap professional meskipun emosinya tersulut dengan kedatangan pria itu.
“Silakan duduk, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” Fara bertanya seramah dan sesopan mungkin, tapi kedua perawat itu menyadari sikapnya yang terkesan dibuat-buat.
Daryn mendengkus melihat sikap gadis itu. Dia menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan mengambsen setiap sudut dan barangnya lalu mengangguk seolah meremehkan. Fara tetap bersikap setenang mungkin.
Gadis itu menyadari kedatangan Daryn bukan untuk konsultasi melainkan untuk konfrontasi atas apa yang dia lakukan kemarin. Fara menilai Daryn adalah tipe pendendam.
Pria itu duduk di kursi depan Fara yang masih bersikap formal, dia juga melihat layar komputernya untuk meninjau konsultasi buatan yang direncanakan Daryn. Entah apa yang akan mereka lakukan di ruangan itu, tapi sepertinya Fara sengaja mengulur waktu karena dengan demikian jam kerjanya segera selesai, maka dia bisa menghadapi pria itu di luar jam kerja.
“Jadi, mau konsultasi tentang apa, Tuan?” tanya Fara seramah yang dibuat-buat, nyatanya dia tak nyaman dengan keberadaan pria itu.
Sebelah alis Daryn terangkat lalu disusul senyum miring andalannya yang membuat Fara nyaris berdecak sebal.
“Hm.” Daryn berlagak berpikir, dia bahkan duduk bergaya bos dengan satu tangan terlipat di perut dan satu tangannya lagi terangkat, jarinya memainkan kedua bibirnya.
Melihat hal itu Fara menjadi salah tingkah, teringat kembali kekonyolannya kemarin, dan hal itu membuatnya kesal juga. Apakah Daryn sengaja melakukannya atau tidak?
“Kapan jam kerjamu selesai?” tanya pria itu akhirnya.
Kedua mata Fara mengerjap, begitu pula kedua perawat yang sejak tadi menunggunya saling tatap.
“Apa maksudmu?” Fara bertanya bodoh.
Daryn menatapnya.
“Kau pikir aku datang untuk konsultasi? Aku ingin mengajukan konfrontasi atas apa yang kau lakuk –“
“Baik!” Fara menyela sebelum Daryn membuka suaranya lebih jauh lagi. Dia mengumbar senyum aneh. “Bisakah Anda tunggu di luar, Tuan?” katanya.
Senyum Daryn tercetak lagi, miring.
“Tentu. Dengan syarat kau tak kabur,” katanya pelan.
Fara mendesis sama, satu sudut bibirnya terangkat, mencibir. Lalu menarik napasnya bersiap memberi tahu kedua perawat itu.
“Aku mengenalnya, jadi jadwalku berakhir sampai di sini. Terima kasih atas kerja keras kalian,” ucapnya pada kedua perawat itu sembari memberi kode lewat tatapan mata.
“Ah tentu. Sampai jumpa besok dokter,” balas salah satu perawat itu.
Gadis itu mengangguk. Begitu perawat keluar dari ruangannya, seketika Fara mengarahkan tatapan tajamnya kepada Daryn yang menahan senyum lebarnya, merasa puas telah mempermainkan gadis itu. Dia lalu memiringkan sedikit kepalanya dan mengangkat bahu acuh, merasa tak salah dengan perbuatannya yang mungkin saja mengundang salah paham.
Fara bangun dari duduknya, melepas jas putih yang membungkus tubuh rampingnya dan menyambar jas abu yang dia pakai tadi kemudian berjalan begitu saja melewati Daryn yang masih duduk manis di tempatnya. Dia mengikuti gadis itu ketika sampai di pintu.
Senja masih membentang manja, melatar belakangi semesta. Orang-orang berkata senja itu romantis, tapi bagi Fara yang menyukai sinar matahari di barat sekarang ini menyebalkan baginya. Dia sangat ingin segera keluar dari area rumah sakit tempatnya mengabdi. Dia sangat ingin segera pergi sejauh mungkin, akan lebih baik bila tidak ada yang melihatnya berjalan bersama pria itu. Namun, tunggu! Fara seketika berbalik untuk memastikan Daryn berjalan menjaga jarak darinya. Syukurlah, pria itu sepertinya cukup mengerti.
“Kau mau ke mana, buru-buru sekali, kebelet, Far?” Seseorang menegurnya ketika Fara sampai di meja informasi yang tak jauh dari pintu masuk.
Gadis itu menoleh dan mendapati kumpulan dokter magang di sana, yang menegurnya sendiri adalah seniornya yang bertugas di IGD.
“Ah, ya. Aku ada urusan. Kalian belum pulang?” tanyanya.
“Kami baru akan pulang. Tapi kita akan ada makan malam bersama, kau mau ikut?” tawar senior Fara yang merupakan seorang pria itu.
Mendengar kata makan malam bersama yang terbayang apa hidangannya membuat Fara seketika tergiur, tapi deham keras dari belakangannya menginterupsi, mengingatkan Fara kalau dia ada yang harus diurus. Daryn melengos begitu saja melewati Fara dengan ekspresi datar yang entah apa maksudnya.
“Sial!” gumam Fara pelan. “Sayangnya, aku sudah ada janji. Lain kali saja mungkin. Selamat menikmati makan malamnya. Sampai jumpa,” katanya dan bergegas pergi sebelum ditanya hal lain.
Para dokter itu tampak kebingungan dengan sikapnya sekaligus bertanya-tanya siapa pria itu? Tidak biasanya Fara berjalan dengan seorang pria, dan lagi setiap ada makan malam bersama Fara tak pernah absen kecuali kalau sedang tidak ingin pergi. Namun kali ini, sedikit lain ceritanya yang mengundang banyak tanya, sekaligus salah paham dari rekan kerjanya. Apa yang akan Fara lakukan nanti?
Fara tak menunggu Daryn, dia terus berjalan meninggalkan pria itu sejauh mungkin bahkan ketika namanya dipanggil pun dia tak menoleh. Perasaannya sedang kesal, itu sebabnya dia tak menghentikan langkah. Namun anehnya, Daryn sama sekali tak mengeluh dan mengikuti saja ke mana langkah kaki gadis itu membawa seolah dia menikmatinya, memantau kekasih yang merajuk.Sekali lagi, perhatiannya tefokus pada punggung Fara yang masih berjalan di depan. Meskipun jaraknya cukup jauh, Daryn bisa dengan mudah mengimbangi langkah gadis itu. Namun sekarang, ingatan masa lalunya kembali terpicu ketika melihat punggung kecil itu.“Tiga tahun berlalu, dia pasti berubah,” katanya bergumam, meyakinkan dirinya ada banyak gadis yang memiliki punggung serupa, tetapi entah mengapa bertemu gadis itu ingatan kelamnya terpicu.Fara akhirnya berhenti di zebra cross perasaanya campur aduk, sungguh tak nyaman sekali di ikuti seorang pria. Dia mungkin pergi makan malam bersama rekan pria juga tapi tak pernah terlibat
Daryn pulang setelah mengantarkan Fara ke rumahnya. Pria itu sama sekali tak menjelaskan apa pun sepanjang jalan mengantarkan gadis itu, hanya mengatakan kalau dialah yang dicarinya, hal itu justru membuat Fara semakin bingung.Dia terlihat bahagia bak orang jatuh cinta, tak hentinya tersenyum seperti orang gila, bahkan sesekali bersenandung dengan riangnya. Namun semua itu sirna seketika saat suara wanita mengintrupsinya di ruang tengah menuju kamarnya.“Dari mana kau?” Suara itu dingin dan datar. Sosoknya duduk di sofa yang seperti singgasana, menenggelamkan tubuhnya dari belakang tapi suaranya mengagetkan berhasil menghentikan langkah Daryn.“Aku pikir siapa. Sedang apa Ibu di situ?” tanya Daryn tetap berdiri di tempatnya.“Duduklah,” katanya dengan nada perintah.Merasakan atmosfer yang tak enak membuat Daryn mau tak mau menurutinya dan duduk di sofa tak jauh dari sang ratu yang menahan murka. Daryn bahkan tak berani mengangkat wajahnya terlalu lama.“Apa yang kau lakukan seharian
“Dia sungguh datang kemarin?” Ira merecoki Fara ketika baru sampai di rumah sakit. “Seluruh staf heboh sekali membicarakanmu, Far,” katanya.Fara tak peduli dia terus berjalan. Apa yang Daryn lakukan padanya kemarin itu membuatnya kesal. Tanpa menjelaskan apa pun pria itu tiba-tiba memeluknya, bukankah itu terasa aneh, bahkan menolak untuk melepaskannya. Sikapnya semakin aneh ketika sepanjang jalan mengantarnya pulang pria itu tersenyum senang.“Itu salahmu, Ira! Kau yang memberi tahu dia kalau aku bekerja di sini, bukan?” tuduh Fara menghentikan langkah kakinya untuk menghadapi rekannya yang satu ini.“Yah, apa yang bisa aku lakukan? Waktu itu dia hendak mengejarmu dan tak membiarkanmu, jadi aku tak punya pilihan ….”“Itu hanya akalanmu. Ada banyak pilihan, salah satunya adalah, diam!” tekan Fara di akhir katanya.Ira seketika membungkam mulutnya, tapi tak di pungkiri dia tak bisa menahan senyumnya. Bukan senang karena temannya menderita, tapi sedang akhirnya ada yang bisa menembus t
Sandra mengikuti Daryn hingga ke ruangannya, dia tak peduli dengan tatapan heran para karyawan yang berpapasan dengan mereka. Daryn mungkin sudah biasa memasang wajah dingin dan datar, tapi dia membalas sapaan para karyawan perusahaannya dengan anggukan meskipun hanya sekilas. Tapi kali ini mereka juga menyadari kalau ekspresi wajah Daryn tampak tak beres.“Jadi, apa maumu?” tanya Daryn tanpa menoleh pada Sandra yang berdiri tak jauh di belakangnya.“Aku, ingin mengatakan sesuatu padamu,” katanya pelan. Jelas ada keraguan dari nada bicaranya, dan lidahnya pun tampak begitu kaku.Daryn menunggu sembari menghadapnya dan melipat kedua tangannya. Apakah Sandra akan meminta maaf atas apa yang dia katakan waktu itu, menjadi penyebab putusnya hubungan mereka? Namun, Daryn kecewa saat Sandra mengatakan sesuatu yang tak ingin dia dengar.“Aku salah, jadi aku mengakuinya. Namun, kau juga salah karena bersama wanita itu,” katanya. Bahkan tatapan Sandra berubah menyadi amarah.“Tidakkah kau tau a
Daryn jadi tidak fokus pada pekerjaannya setelah bertemu Sandra dan ayahnya, sementara hatinya merasa tak begitu keruan. Apa yang sesungguhnya ingin dia lakukan? Bahkan di atas kertas yang seharusnya membubuhkan tanda tangannya, dia justru menuliskan apa yang harus dia lakukan sekarang? Kalau saja sang sekretaris tak menegurnya, dia pasti akan mencurahkan perasaannya di atas kertas itu.“Kalau tidak bisa fokus begini, bagaimana Anda bisa bekerja, Direktur?” tegurnya. Sang Sekretaris itu menyadari lebih dari apa yang biasanya Daryn lakukan.Menarik napasnya dalam, Daryn menyandarkan punggungnya dan membuang napas kasar. Dia tidak bisa melakukan ini sekarang. Dia butuh udara segar.“Jadwal Anda setelah makan siang tidak begitu sibuk, hanya menandatangani berkas dan yah, itu saja,” ujar Sekretaris tiba-tiba.Daryn mengangkat wajahnya dan menatap pria itu, bertanya apa maksudnya.“Maksudku, Anda bisa pergi mencari udara segar,” kata sekretaris.Pria itu terdiam, mempertimbangkannya. Tapi,
Fara segera keluar dari ruang seminar dalam rumah sakit. Dia sedang mengadakan rapat kecil dengan rekan dokternya ketika perawat IGD memberi tahu kalau ada pasien anak kecil. Sebagai dokter spesialis Fara harus bisa siap siaga.“Di mana anaknya?” tanyanya begitu tiba di IGD.“Di sana. Dia mengalami demam disertai keringat dingin, dan tampak kesulitan bernapas serta batuk.” Fara bergegas ke bangsal yang ditunjukan perawat, sesaat dia terdiam mendapati Daryn tak jauh dari sana. Namun, Fara menyadari pria itu tampak begitu cemas. Yang jadi prioritas sekarang ini adalah pasien, Fara menghampirinya untuk memeriksa pasien dan mereka saling bertatapan. Tanpa sengaja Fara menatap langsung kedua mata Daryn yang mencemaskan keadaan anaknya. Begitu mengalihkan perhatiannya, dia mengetahui alasan keberadaan Daryn di sana.Dengan cekatan Fara memeriksa kondisi Delvin yang kesadaranya menurun. Dia juga memakai stetoskopnya untuk memeriksa. Daryn memperhatikan dalam diam. Entah mengapa, melihat gad
Delvin bangun dan mencari Daryn. Pria itu segera datang dan menggenggam tangannya.“Ayah di sini, Delvin,” katanya.Anak itu tersenyum dan mengedipkan matanya, tampak senang karena sang ayah ada di sana.“Maaf sudah membuatmu seperti ini. Ayah tidak tahu kalau kamu akan sakit. Maafkan Ayah, Delvin,” ucapnya seraya menatap wajah mungil putranya.Delvin tak mengatakan apa-apa, hanya balas menggenggam tangan Daryn. Baginya, melihat sang ayah di sana sudah lebih dari cukup. Sejak tadi, dia menunggu ayahnya untuk datang walau tubuhnya semakin lemah. Tidak apa-apa selama masih bisa melihat Daryn yang datang.“Kamu akan baik-baik saja sayang. Kamu pasti kuat, jagoan Ayah,” katanya mengundang senyum Delvin.Fara kembali untuk memeriksanya begitu perawat mengabari kalau Delvin bangun. Gadis itu menyapanya dengan senyuman. Ada reaksi
Setelah menjenguk Delvin sebelum pulang, Fara akhirnya pamit. Memang tidak lama di sana, dan berbincang sesaat dengan sang nenek yang terus memperhatikannya dalam diam seolah menilai dengan caranya tentang Fara. Tentu saja Dennda juga menyadari tatapan berbeda dari sang putra, sorot yang biasanya kosong dan dingin tampak sendu dan hangat, ada apakah gerangan?“Sampai jumpa lagi, Delvin. Semoga lekas sembuh,” kata Fara sebelum dia keluar dari ruangan.Gadis itu mengangguk sopan pada wanita anggun yang membalasnya dengan senyuman. Ramahnya Dennda ada sebuah maksud.“Aku akan mengantarmu,” kata Daryn tiba- tiba.Fara mendongakkan wajahnya.“Tidak usah. Aku akan mampir ke ruang piket dokter sebentar, ada yang tertinggal,” katanya.“Tidak apa- apa. aku akan mengantarmu hingga ke depan saja. Ayo,” katanya dan melengos melewati Fara sebelum gadis itu protes lagi.Fara tersenyum canggung pada ibunya pria itu, kemudian melambai pada Delvin dan mengikuti Daryn yang sudah lebih dulu ke pintu. Ad