Fara tak menunggu Daryn, dia terus berjalan meninggalkan pria itu sejauh mungkin bahkan ketika namanya dipanggil pun dia tak menoleh. Perasaannya sedang kesal, itu sebabnya dia tak menghentikan langkah. Namun anehnya, Daryn sama sekali tak mengeluh dan mengikuti saja ke mana langkah kaki gadis itu membawa seolah dia menikmatinya, memantau kekasih yang merajuk.
Sekali lagi, perhatiannya tefokus pada punggung Fara yang masih berjalan di depan. Meskipun jaraknya cukup jauh, Daryn bisa dengan mudah mengimbangi langkah gadis itu. Namun sekarang, ingatan masa lalunya kembali terpicu ketika melihat punggung kecil itu.
“Tiga tahun berlalu, dia pasti berubah,” katanya bergumam, meyakinkan dirinya ada banyak gadis yang memiliki punggung serupa, tetapi entah mengapa bertemu gadis itu ingatan kelamnya terpicu.
Fara akhirnya berhenti di zebra cross perasaanya campur aduk, sungguh tak nyaman sekali di ikuti seorang pria. Dia mungkin pergi makan malam bersama rekan pria juga tapi tak pernah terlibat kontak fisik, kecuali dia menangani pasien yang telah menjadi tanggung jawabnya.
“Aku tidak tahu apa maumu. Tapi tolong jangan pernah muncul di hadapanku, apalagi dilihat orang lain, itu bisa menghancurkan refutasi,” kata Fara dingin.
Daryn sendiri diam, tentu mendengarnya. Hanya saja dia sendiri tak paham apa yang dia lakukan seharian ini. Mendaftarkan diri dan menunggu antrian, itu adalah sesuatu yang tak pernah dia lakukan sepanjang hidupnya. Bukankah aneh melakukan itu untuk bertemu seseorang yang bahkan asing.
“Kau mau ke mana sekarang? Tidak mungkin hanya mengikutiku saja, bukan?” tanya Fara tanpa menoleh pada Daryn.
“Tidak. Aku ingin bicara denganmu, tapi kau terus berjalan, itulah kenapa aku terus mengikutimu. Kau pikir aku tak waras? Yang benar saja.”
“Bukankah memang begitu?”
“Apa katamu?”
“Kau menggangguku dengan dalih berkonsultasi, nyatanya hanya ingin mengacaukanku. Itu namanya tak waras.”
“Kau!”
“Sudahlah. Aku tak ingin berdebat denganmu. Katakan saja apa maumu,” sela Fara.
Kali ini Daryn diam. Di Zebra cross sepi, hanya ada beberapa orang yang menunggu perubahan lampu lalu lintas untuk menyeberang. Entah ke mana Fara akan membawa Daryn. Gadis itu tak mengatakan apa pun lagi hingga lampunya berubah dan mereka siap untuk menyebrang, tapi terjadi subuah insiden yang mengagetkan banyak orang di sana.
“Astaga!”
Seorang wanita mengalami kecelakaan tabrak lari yang membuatnya terkapar di tengah jalan. Daryn juga tampak terkejut, tapi Fara secepat yang dia bisa menghampirinya dan melakukan pertolongan pertama sambil meminta orang lain untuk menghubungi ambulance agar korban dibawa ke rumah sakit secepatnya karena mengeluarkan banyak darah.
Orang-orang mengerumini wanita itu yang kisaran usianya pertengahan tiga puluh tahun. Mereka panik dan cemas, terutama seorang wanita yang bersama korban tadi, sepertinya mereka berteman karena tadi tampak bersenda gurau sambil menunggu di depan Fara.
“Tolong selamatkan dia,” pinta temannya sambil terisak ketika Fara melakukan CPR.
Laju sepeda motor yang menabraknya cukup kencang tadi hingga korban terlempar dua meter dari tempatnya berdiri. Padahal lampu lalu lintas sudah berubah agar penyebrang bergerak untuk melewati zebra cros itu.
Tak lama kemudian mobil ambulance tiba dan paramedic turun dari dalamnya segera membantu Fara yang masih melakukan pertolongan pertama. Meskipun dia spesialisasi anak, dia menguasai pertolongan pertama dan pengobatan umum. Gadis itu menjelaskan pada paramedic kalau kesadaran Koran belum kembali meskipun detak jantung dan nadinya tampak stabil jadi mereka harus segera membawanya ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut lagi.
“Ada kemungkinan cedera otak juga organ dalam,” katanya pada paramedic itu setelah korban dinaikan ke mobil.
Melihat Fara yang tengah berbicara pada paramedic sambil membelakanginya membuat Daryn terdiam cukup lama, bahkan tak peduli ketika seseorang menyenggolnya, dia tetap diam memfokuskan perhatiannya pada punggung gadis itu yang membuat bayangan masa lalu terulang jelas di depannya bagai putaran rol film, mengulang kembali kejadian waktu itu ketika seorang gadis membawa pergi keponakannya dengan ambulan.
“Aku menemukanmu,” lirihnya. Seulas senyuman terpatri di wajahnya dengan kedua mata yang berair. “Akhirnya aku menemukanmu.”
Daryn tiba-tiba yakin bahwa Fara adalah sosok gadis yang dia cari selama tiga tahun ini sejak kejadian yang menewaskan kakak serta iparnya dan seorang sopir, hanya keponakannya yang selamat tapi seorang gadis telah lebih dulu membawanya pergi ketika dia baru saja tiba di lokasi kejadian itu.
“Aku mencarimu, itu kau, kan? Aku tak mungkin salah,” katanya pelan lebih pada diri sendiri di antara banyaknya orang di tempat itu.
Korban tabrak lari itu sudah dibawa oleh ambulance ke rumah sakit yang tak jauh dari sana, bersama temannya, dan kerumunan juga sudah terurai hanya menyisakan Fara yang merapikan dirinya. Di tangannya terdapat cairan merah dari korban tadi yang mengeluarkan darah dari kepalanya yang terbentur aspal.
Gadis itu menghampiri Drayn yang sama sekali tak bergerak di tempatnya, hanya diam, memusatkan tatapan pada gadis itu yang berjalan menghampirinya.
“Maaf membuatmu menunggu. Aku harus melakukan tugasku,” kata Fara sembari melas tangannya dengan tisu basah yang dia bawa dalam tasnya.
Tidak ada respon apa pun dari Daryn yang hanya menatapnya dalam diam dengan senyuman di bibirnya yang bagi Fara terasa aneh.
“Kau kenapa?” tanya Fara sembari menyelidikinya. “Kau tak trauma akan darah, bukan?” tebaknya. Tapi Drayn menggeleng sebagai jawaban. “Lantas, kenapa kau diam?”
Drayn tetap tak merespon, hanya menatapnya dan itu membuat Fara menjadi risih.
“Katakan sesuatu, kau membuatku takut,” katanya dengan dahi berkerut.
Apa yang akan Drayn lakukan sekarang ketika hatinya yakin kalau gadis itu adalah yang dicarinya, yang membawa keponakannya ketika itu. Ada banyak sekali pertanyaan yang ingin dia sampaikan. Bertanya mengapa gadis itu menghilang sebelum dia dan keluarganya bertemu untuk mengucapkan terima kasih.
“Hei?” Fara memanggil, bingung dengan apa yang Daryn lakukan. Dia melihat ke kanan dan kiri memastikan ada orang lain, sayangnya tidak ada. “Ada apa denganmu?” tanyanya lagi berusaha untuk menyadarkan Daryn dari keanehannya yang bak patung di sisi jalan.
Namun, apa yang Daryn lakukan kemudian lebih mengejutkan Fara sehingga dia berusaha melepaskan pelukan tiba-tiba pria itu pada dirinya.
“H-hei, lepaskan aku! Ada apa denganmu?” Gagap Fara berkata seraya berusaha melepaskan lingkaran kedua tangan pria itu pada dirinya tapi itu sia-sia saja karena Daryn semakin mengeratkan pelukannya.
“Biarkan aku seperti ini untuk beberapa saat,” katanya pelan, tepat di telinga Fara. Nada suaranya yang terdengar sedih membuat gerakan tangan Fara yang berusaha melepaskan pelukan itu memelan.
“Ada apa denganmu?” tanyanya bingung dengan perubahan itu.
“Aku mencarimu selama ini. Kau pergi ke mana?” Suara Daryn terdengar melantur bagi Fara, dia seperti bicara pada orang lain, bukan padanya.
Namun, benarkah Fara Izzumi adalah sosok yang Daryn cari selama ini yang telah membawa keponakannya dari kecelakaan itu? Bagaimana Daryn bisa seyakin itu hanya melihat punggungnya saja, dan hanya beberapa kali pertemuan, bahkan masih terhitung jari. Akan tetapi, Daryn yakin Fara adalah sosok yang dia cari. Sungguhkan Fara?
Daryn pulang setelah mengantarkan Fara ke rumahnya. Pria itu sama sekali tak menjelaskan apa pun sepanjang jalan mengantarkan gadis itu, hanya mengatakan kalau dialah yang dicarinya, hal itu justru membuat Fara semakin bingung.Dia terlihat bahagia bak orang jatuh cinta, tak hentinya tersenyum seperti orang gila, bahkan sesekali bersenandung dengan riangnya. Namun semua itu sirna seketika saat suara wanita mengintrupsinya di ruang tengah menuju kamarnya.“Dari mana kau?” Suara itu dingin dan datar. Sosoknya duduk di sofa yang seperti singgasana, menenggelamkan tubuhnya dari belakang tapi suaranya mengagetkan berhasil menghentikan langkah Daryn.“Aku pikir siapa. Sedang apa Ibu di situ?” tanya Daryn tetap berdiri di tempatnya.“Duduklah,” katanya dengan nada perintah.Merasakan atmosfer yang tak enak membuat Daryn mau tak mau menurutinya dan duduk di sofa tak jauh dari sang ratu yang menahan murka. Daryn bahkan tak berani mengangkat wajahnya terlalu lama.“Apa yang kau lakukan seharian
“Dia sungguh datang kemarin?” Ira merecoki Fara ketika baru sampai di rumah sakit. “Seluruh staf heboh sekali membicarakanmu, Far,” katanya.Fara tak peduli dia terus berjalan. Apa yang Daryn lakukan padanya kemarin itu membuatnya kesal. Tanpa menjelaskan apa pun pria itu tiba-tiba memeluknya, bukankah itu terasa aneh, bahkan menolak untuk melepaskannya. Sikapnya semakin aneh ketika sepanjang jalan mengantarnya pulang pria itu tersenyum senang.“Itu salahmu, Ira! Kau yang memberi tahu dia kalau aku bekerja di sini, bukan?” tuduh Fara menghentikan langkah kakinya untuk menghadapi rekannya yang satu ini.“Yah, apa yang bisa aku lakukan? Waktu itu dia hendak mengejarmu dan tak membiarkanmu, jadi aku tak punya pilihan ….”“Itu hanya akalanmu. Ada banyak pilihan, salah satunya adalah, diam!” tekan Fara di akhir katanya.Ira seketika membungkam mulutnya, tapi tak di pungkiri dia tak bisa menahan senyumnya. Bukan senang karena temannya menderita, tapi sedang akhirnya ada yang bisa menembus t
Sandra mengikuti Daryn hingga ke ruangannya, dia tak peduli dengan tatapan heran para karyawan yang berpapasan dengan mereka. Daryn mungkin sudah biasa memasang wajah dingin dan datar, tapi dia membalas sapaan para karyawan perusahaannya dengan anggukan meskipun hanya sekilas. Tapi kali ini mereka juga menyadari kalau ekspresi wajah Daryn tampak tak beres.“Jadi, apa maumu?” tanya Daryn tanpa menoleh pada Sandra yang berdiri tak jauh di belakangnya.“Aku, ingin mengatakan sesuatu padamu,” katanya pelan. Jelas ada keraguan dari nada bicaranya, dan lidahnya pun tampak begitu kaku.Daryn menunggu sembari menghadapnya dan melipat kedua tangannya. Apakah Sandra akan meminta maaf atas apa yang dia katakan waktu itu, menjadi penyebab putusnya hubungan mereka? Namun, Daryn kecewa saat Sandra mengatakan sesuatu yang tak ingin dia dengar.“Aku salah, jadi aku mengakuinya. Namun, kau juga salah karena bersama wanita itu,” katanya. Bahkan tatapan Sandra berubah menyadi amarah.“Tidakkah kau tau a
Daryn jadi tidak fokus pada pekerjaannya setelah bertemu Sandra dan ayahnya, sementara hatinya merasa tak begitu keruan. Apa yang sesungguhnya ingin dia lakukan? Bahkan di atas kertas yang seharusnya membubuhkan tanda tangannya, dia justru menuliskan apa yang harus dia lakukan sekarang? Kalau saja sang sekretaris tak menegurnya, dia pasti akan mencurahkan perasaannya di atas kertas itu.“Kalau tidak bisa fokus begini, bagaimana Anda bisa bekerja, Direktur?” tegurnya. Sang Sekretaris itu menyadari lebih dari apa yang biasanya Daryn lakukan.Menarik napasnya dalam, Daryn menyandarkan punggungnya dan membuang napas kasar. Dia tidak bisa melakukan ini sekarang. Dia butuh udara segar.“Jadwal Anda setelah makan siang tidak begitu sibuk, hanya menandatangani berkas dan yah, itu saja,” ujar Sekretaris tiba-tiba.Daryn mengangkat wajahnya dan menatap pria itu, bertanya apa maksudnya.“Maksudku, Anda bisa pergi mencari udara segar,” kata sekretaris.Pria itu terdiam, mempertimbangkannya. Tapi,
Fara segera keluar dari ruang seminar dalam rumah sakit. Dia sedang mengadakan rapat kecil dengan rekan dokternya ketika perawat IGD memberi tahu kalau ada pasien anak kecil. Sebagai dokter spesialis Fara harus bisa siap siaga.“Di mana anaknya?” tanyanya begitu tiba di IGD.“Di sana. Dia mengalami demam disertai keringat dingin, dan tampak kesulitan bernapas serta batuk.” Fara bergegas ke bangsal yang ditunjukan perawat, sesaat dia terdiam mendapati Daryn tak jauh dari sana. Namun, Fara menyadari pria itu tampak begitu cemas. Yang jadi prioritas sekarang ini adalah pasien, Fara menghampirinya untuk memeriksa pasien dan mereka saling bertatapan. Tanpa sengaja Fara menatap langsung kedua mata Daryn yang mencemaskan keadaan anaknya. Begitu mengalihkan perhatiannya, dia mengetahui alasan keberadaan Daryn di sana.Dengan cekatan Fara memeriksa kondisi Delvin yang kesadaranya menurun. Dia juga memakai stetoskopnya untuk memeriksa. Daryn memperhatikan dalam diam. Entah mengapa, melihat gad
Delvin bangun dan mencari Daryn. Pria itu segera datang dan menggenggam tangannya.“Ayah di sini, Delvin,” katanya.Anak itu tersenyum dan mengedipkan matanya, tampak senang karena sang ayah ada di sana.“Maaf sudah membuatmu seperti ini. Ayah tidak tahu kalau kamu akan sakit. Maafkan Ayah, Delvin,” ucapnya seraya menatap wajah mungil putranya.Delvin tak mengatakan apa-apa, hanya balas menggenggam tangan Daryn. Baginya, melihat sang ayah di sana sudah lebih dari cukup. Sejak tadi, dia menunggu ayahnya untuk datang walau tubuhnya semakin lemah. Tidak apa-apa selama masih bisa melihat Daryn yang datang.“Kamu akan baik-baik saja sayang. Kamu pasti kuat, jagoan Ayah,” katanya mengundang senyum Delvin.Fara kembali untuk memeriksanya begitu perawat mengabari kalau Delvin bangun. Gadis itu menyapanya dengan senyuman. Ada reaksi
Setelah menjenguk Delvin sebelum pulang, Fara akhirnya pamit. Memang tidak lama di sana, dan berbincang sesaat dengan sang nenek yang terus memperhatikannya dalam diam seolah menilai dengan caranya tentang Fara. Tentu saja Dennda juga menyadari tatapan berbeda dari sang putra, sorot yang biasanya kosong dan dingin tampak sendu dan hangat, ada apakah gerangan?“Sampai jumpa lagi, Delvin. Semoga lekas sembuh,” kata Fara sebelum dia keluar dari ruangan.Gadis itu mengangguk sopan pada wanita anggun yang membalasnya dengan senyuman. Ramahnya Dennda ada sebuah maksud.“Aku akan mengantarmu,” kata Daryn tiba- tiba.Fara mendongakkan wajahnya.“Tidak usah. Aku akan mampir ke ruang piket dokter sebentar, ada yang tertinggal,” katanya.“Tidak apa- apa. aku akan mengantarmu hingga ke depan saja. Ayo,” katanya dan melengos melewati Fara sebelum gadis itu protes lagi.Fara tersenyum canggung pada ibunya pria itu, kemudian melambai pada Delvin dan mengikuti Daryn yang sudah lebih dulu ke pintu. Ad
“Kau melakukan apa yang kukatakan, ‘kan?”Baru saja kembali ke ruang rawat Delvin, Daryn sudah ditodong pertanyaan oleh sang ibu yang menunggunya di sofa sementara anaknya sedang bermain game di ponsel.Daryn memperhatikan anaknya beberapa saat sebelum menanggapi perkataan ibunya yang memasang wajah datar nan tegas seperti malam itu.“Ibu dengar Sandra datang ke perusahaan pagi sekali hanya untuk menunggumu di depan lobi. Kau tak mengabaikannya, bukan?” tuntut Dennda.Tidak ada jawaban dari Daryn, dan pria itu malah mengambil duduk berhadapan dengan sang ibu.“Kenapa kau diam?” desaknya tak sabar.Barulah Daryn mengangkat wajah dan memusatkan perhatian pada ibunya.“Haruskah Ibu membahasnya di saat seperti ini? Delvin sedang ….”“Katakan saja, tak perl