Lake tak lagi bergantung sepenuhnya pada Ivy. Bocah tampan itu sudah bisa berjalan. Satu tahun kelahirannya bertepatan dengan kemalangan yang menimpa Marion. Ayahnya meninggal dunia.Jacob terpaksa meninggalkan Lake di rumah. Karena prosesi pemakaman baginya tak baik dihadiri oleh Lake. Lagipula Marion butuh waktu untuk menepi."Bibi buatkan kau kue, Lake. Kita tiup lilin sama-sama. Oke?" Ivy membawa kue ulang tahun buatannya ke dalam kamar Lake. Bocah itu sedang berdiri di depan jendela, menatap hampa keluar. "Papa."Ivy mendengar panggilan itu. Mungkin Jacob menjanjikan sesuatu untuk putranya. Namun, takdir tak bisa ditebak. Kemalangan menimpa persis di hari yang sudah dijanjikan Jacob.Ivy menghela napas panjang. "Papa sedang ada pekerjaan. Nanti kalau sudah tidak sibuk, pasti kau akan dibawa ke taman bermain sepuasnya."Mata biru Lake itu menyimpan kesedihan. Mungkin terlalu banyak janji yang terucap, tetapi kalah karena kesibukan sang ayah. "Kau anak yang baik. Ayo, kita buat p
Belakangan, Jacob memonopoli perhatian Lake untuknya dan Marion. Keberadaan Ivy tak lagi mendominasi. Apalagi Lake mulai jarang mendatangi Ivy untuk urusan ASI. Ada rasa rindu yang terkadang muncul, tetapi Ivy tak bisa berbuat banyak. Dia tak punya hak. Apalagi sejak Marion kehilangan papanya, Jacob takut kondisi mental sang istri kembali terganggu. Maka sebisa mungkin, Lake yang menjadi semangat dan penyembuh ibunya.Dalam masa berkabung, Lake memang lebih sering dibawa berlibur. Tinggallah Ivy di mansion yang seperti kehilangan pekerjaan. Bagaimana tidak, urusan rumah tangga, perdapuran, dan seisi mansion sudah ada pekerjanya masing-masing. Status Ivy tidak merangkap sebagai baby sitter yang diikut sertakan ke mana pun Tuan dan nyonyanya pergi. Padahal seharusnya Ivy dibawa ke mana pun. Akan tetapi, Jacob lebih suka pergi tanpa Ivy. Entah kenapa. "Jangan melamun, Ivy!" Charlotte tertawa kecil sambil ikut duduk di kursi yang ada di taman belakang mansion.Ivy tersenyum tipis. La
Ivy tak tahu kenapa tiba-tiba Jacob memintanya untuk datang ke ruang kerja. Ada ketakutan tersendiri diberhentikan dari pekerjaan menjaga Lake. Karena bocah itu sudah semakin besar. Keterikatan di antara Ivy dan Lake sudah tak seperti dahulu. Saat bayi itu benar-benar bergantung sepenuhnya pada Ivy. Menempel erat seperti bayi koala yang manja.Gemetar jemari lentik Ivy mengetuk pintu ruang kerja Jacob. Suara berat terdengar dari dalam yang menyuruhnya untuk masuk."Maaf, Tuan memanggilku?" Ivy berdiri canggung tak jauh dari meja kerja majikannya itu.Tatapan Jacob masih belum beralih dari layar laptop. Tampak tumpukan berkas dokumen ada di sebelah kirinya. Ivy hanya bisa berdiam diri sembari menunggu majikannya memberi perintah. Ivy menundukkan pandangan. Karena tak akan tampak sopan jika dia memindai sekeliling dalam kondisi Jacob ada di ruangan yang sama. "Oke." Jacob berdeham. "Duduklah, Ivy."Ivy mengangkat wajah lalu beranjak duduk di kursi yang membatasi meja. Jantungnya berd
Sejak saat Lake berani mengemukakan sikap protesnya, Marion mendadak lebih peduli. Ada waktu yang sengaja dikhususkan untuk *quality time* bersama bocah kesayangan seisi mansion. Entah menemani menggambar, bermain atau menyusun Legoo.Ivy tak lagi kebagian waktu untuk menemani Lake. Walau ada rasa 'tersisih' sampai sedikit menganggap diabaikan, tetapi Ivy harus rela. Biar bagaimanapun, Marion adalah ibunya Lake. Hal itu akhirnya dimanfaatkan Ivy untuk mengurus dokumen demi mendaftar kuliah. Dia diizinkan pergi bersama Charlotte. Keduanya benar-benar larut dalam euforia menjadi mahasiswi baru.Keduanya saling mengulum senyum ketika berada di kereta bawah tanah. "Aku lega. Urusan kita seperti melewati jalan tol. Mulus, tanpa hambatan." Ivy mengiyakan. "Kita harus membuktikan dengan belajar bersungguh-sungguh, Charlotte. Tuan Jacob begitu murah hati."Charlotte menggembungkan pipinya lalu tertawa kecil. "Bibi Anne, Ivy. Dialah malaikat penolong kita.""Ya. Beliau seperti Ibu pengganti
Ivy menatap ke arah bangunan yang menjulang tinggi. Kampus itu memang tidak terkenal dan menjadi incaran para mahasiswa di seluruh dunia. Hanya kampus biasa yang letaknya tidak begitu jauh dari mansion Jacob."Kau gugup?" tanya Charlotte yang berdiri tepat di sebelah Ivy."Ya. Aku juga tak percaya bisa kembali menjadi mahasiswi," jawab Ivy yang disusul dengan bibir tersenyum penuh.Charlotte mengiyakan. Karena sebelumnya memang Ivy pernah bercerita tentang itu. Hanya bagian mengenai kematian anak beserta siapa kekasih Ivy yang masih ditutupi. Dan Charlotte enggan bertanya lebih jauh."Heh, kalian berdua, kenapa malah bengong di sini?" Seorang gadis bertubuh besar melotot galak. Ivy langsung mengangguk sopan. "Maaf. Permisi." Lalu ditariknya tangan Charlotte agar segera menjauh dari gerbang masuk.Setelah memastikan jarak keduanya aman, barulah Ivy mengembuskan napas lega. "Astaga, aku tak mau mengalami perundungan seperti di kampus lama.""Ck! Tindakan *bullying* itu menyebalkan. Apa
Tidak mudah bagi Ivy untuk sekadar mengenyam pendidikan. Setiap pagi, dia harus pintar-pintar memilih waktu untuk menghilang. Jika Lake tahu kalau Ivy hendak pergi, bocah itu akan tantrum. Sepulang dari kampus, Ivy harus turun dari halte bus lebih dahulu daripada Charlotte. Karena Ivy harus membeli cake buah kesukaan Lake, sebagai permintaan maaf.Ivy kembali menunggu bus rute terakhir menuju jalan raya sebelum mansion milik Jacob. Senyumnya mengembang sepanjang berjalan kaki memasuki komplek mansion itu. Benar saja, Lake sudah menunggu kepulangan Ivy dengan wajah yang ditekuk masam. Ivy mengulum senyum. Di satu sisi, dia merasa dirindukan. Walau di sisi lain, ada rasa takut memantik kecemburuan Marion."Hai, Lake. Maaf, aku pulang terlambat." Ivy meletakkan kotak kue di atas meja.Lake duduk di sofa di ruang tamu. Bocah tampan itu sempat melirik sepintas ke arah kotak kue yang diletakkan Ivy."Ayo, kita makan kue. Ini kue buah kesukaanmu. Dengan buah strawberry dan kiwi." Ivy menco
Cukup sulit bagi Ivy untuk membujuk Lake ketika hendak pergi kuliah. Karena Jacob dan Marion tidak pulang, Ivy dipaksa untuk tidur di kamar Lake.Bocah tampan itu menatap sendu. Matanya bengkak karena terus menangis. Ivy sudah kehabisan akal untuk membujuknya. "Sayang, jangan menangis lagi. Matamu sudah sebesar bola pingpong." Ivy mengusap wajah tampan itu. "Aku sudah membuatkan roti isi daging untukmu. Ada sosis juga di dalamnya."Charlotte sudah berangkat lebih dahulu karena Ivy yang memintanya. Ivy tak enak hati kalau temannya itu sampai datang terlambat ke kampus. "Aku tidak lapar, Bibi. Aku mau ditemani bermain." Lake menatap dengan berlinang air mata.Ivy menghela napas panjang. Tidak tega melihat bocah tampan itu terus menangis. "Ya sudah, aku tidak akan pergi kuliah hari ini. Tapi janji, jangan menangis lagi dan sarapan dahulu."Ajaib. Lake langsung menghapus air matanya, lalu tersenyum lebar. "Aku mau disuapi."Ivy mengacak rambut bocah itu sambil tertawa kecil. "Kau memang
Mata sebiru lautan itu menatap tajam pada gadis yang terus saja menundukkan pandangan. Ada debar yang terasa aneh ketika mengingat bagaimana semesta pertama kali mempertemukan keduanya.'Sebenarnya siapa gadis ini? Dahulu, aku melihatnya di acara bayinya Jacob. Sekarang dia malah menjadi mahasiswi di kampus milik keluarga Alexavier.' Ocean masih terus menatap dengan tanya yang tak berkesudahan.Tak tahan dengan keheningan di antara keduanya, Ocean berdeham. "Siapa namamu?""Ivy Aurora, Tuan," jawab Ivy tanpa mengangkat wajah.Sesaat, Ocean terpana mendengar nama sebenarnya si gadis seratus dollar. 'Namanya secantik rupanya.' Tanpa bisa dicegah, batin Ocean memuji. Kenangan tentang malam paling indah dalam hidupnya kembali muncul di pelupuk mata."Apa kau hanya berstatus sebagai mahasiswi saja?" Ocean kembali melontarkan pertanyaan.Ivy merasa heran dengan pertanyaan itu. Namun, dia tetap harus menjawabnya, kan? "Saya ... bekerja sebagai baby sitter."Ocean diam. Begitu banyak yang