"Astagfirullah ya Allah ya gustiii, itu apa yang dikubur di sana?."Mae-tetangga sebelah rumah Sarah histeris."Iya apa jangan-jangan itu bener jenazah si Nila," balas orang di sebelahnya seraya bergidig.Dadaku langsung berdebar, tubuhku mendadak meremang. Kulihat tiga orang petugas itu masih dengan susah payah mengeluarkan sesuatu yang ada di dalam gundukan tanah itu."Apa itu, Bu?" tanya suami, aku tak menjawab, perasaanku sedang tak karuan sekarang. Rasanya aku tak berselera walau hanya untuk menjawab pertanyaan seseorang."Bi, kalau benar itu jenazah Nila gimana?" Parman berbisik di telingaku.Aku tetap bergeming. Bayangan wajah anakku tiba-tiba muncul dan membuat mili ku kembali merembes."Kalau itu bener jenazah si Nila, apa motifnya si Sarah melakukan ini.""Heh belum tentu pelakunya Sarah, bisa aja orang lain."Lagi, kudengar mereka saling bersahutan di belakangku."Bu, Masitah, kemari." Aku mengerjap saat seorang petugas polisi memanggil namaku.Bergegas aku dan suami masuk
Ya benar, Nila selalu datang sebelumnya jika akan terjadi apa-apa.Aku harus pastikan jenazah Nila sampai ke rumah sakit dan segera diautopsi.Pukul setengah 11 malam kami sampai di rumah sakit. Jasad Nila langsung dibawa ke ruang jenazah.Sementara aku segera dimintai keterangan dan mengurus surat persetujuan tindakan autopsi.Dengan tubuh gemetar aku berusaha untuk terus kuat. Aku harus memastikan kasus Nila ini selesai sampai akhir, agar anakku tenang di alam sana.Setelah penyebab kematian anakku sudah diketahui, tim kepolisian tinggal membantuku menyeret para pelaku yang sudah membuat anakku meninggal hingga jasadnya dicuri dari dalam kubur.Aku yakin, aku yakin sekali mereka adalah orang yang sama. Tapi ... aku masih belum paham, kenapa mereka harus menguburkannya di belakang rumah Sarah? Apa alasannya? Dan kapan mereka melakukan itu? "Baik, sudah selesai, Bu," ucap seorang perawat.Aku mengerjap dan mengumpulkan kembali kesadaranku.Dari sana aku langsung kembali ke depan rua
PoV Mila."Ibu ini ngomong apa? Mana bisa Mila bohong, lagi pula hal kayak gini tuh gak aneh, mereka sudah pasti melakukan ini supaya dapat uang laporan dobel dari kita, Bu," jawabku, bersusah payah meyakinkan Ibu.Bisa-bisanya ibu tahu aku berbohong, arghh sial. Kemarin aku memang tidak melapor pada polisi. Tapi aku tak pernah menduga, ibu akan datang lagi ke sana hingga akhirnya ibu tahu kebohonganku."Oh ya sudah Mil, Ibu cuma mau kabari itu saja, kamu gimana di sana?" tanya Ibu lagi."Di sini? Emm aman Bu, di sini aman, Mila sudah bekerja di rumah keluarga suaminya Nila," jawabku gugup."Ya sudah Ibu mau istirahat Mil, kamu hati-hati di sana ya."Obrolan aku dan ibu pun berakhir, ibu terdengar memberikan ponselnya pada Sarah.Anak itu, awas saja, akan kuberi dia pelajaran, bisa-bisa nya dia gegabah seperti ini, untung saja aku pandai beralibi kalau enggak, gimana? Ibu bisa curiga tentang keberadaanku sekarang.Hampir saja tadi rahasiaku terbongkar. Kalau ibu tahu sekarang aku tida
Setelah Nila menikah aku jadi pribadi yang pendiam dan tertutup, entah kenapa rasanya aku tak lagi punya semangat untuk melanjutkan hidup apalagi ingin berumah tangga. Aku malu, benar-benar malu sampai aku tak pernah pulang ke kampung halaman selama 2 tahun sejak Nila menikah.Tapi semua itu berubah ketika suatu hari tepatnya seminggu yang lalu. Bani Azhar--suaminya Nila benar-benar pindah ke Surabaya.Saat itu, tanpa sepengetahuan Nila aku melamar di kantor suaminya, dan beruntungnya aku karena saat itu aku langsung diterima menjadi sekretarisnya Bani Azhar."Baik, karena sekretaris saya yang dulu tidak ikut pindah, kamu diterima jadi sekretaris saya, saya harap kamu bisa membantu saya dalam mengembangkan perusahaan ini," ucapnya saat itu.Senyumku terbit sempurna. Aku bahagia sangat sangat bahagia saat itu.Bagaimana tidak? Ini adalah saat-saat yang kunantikan dalam hidupku. Aku masuk dalam kehidupan Bani Azhar dan perlahan aku akan merebut hatinya.Di depan meja kerja Bani Azhar
Nila tersenyum renyah. Lalu mengangkat sebelah tangannya sedikit untuk memanggil pelayan cafe.Tak butuh waktu lama, pelayan itu pun datang membawa buku menu dan tablet untuk mencatat pesanan kami."Espresso chill dua," kata Nila pada pelayan itu. Selain memesan kopi pahit dingin Nila juga memesan beberapa menu andalan di cafe itu, entah itu makanan jenis apa aku sendiri tak begitu familiar, jujur aku tak pernah memesannya.Karena walau aku bekerja siang malam, rasanya gajiku tak akan cukup jika untuk membeli makanan mewah yang hanya disajikan dalam porsi sedikit itu.Tapi waw lihatlah si Nila, adikku itu bahkan memesan apapun yang dia mau saat ini tanpa pikir panjang.Ia juga tampaknya sudah sangat terbiasa mengunjungi cafe-cafe mewah seperti ini karena saat kami makan ia sudah menguasi table manner dengan baik dan benar.Padahal dulu ia hanya gadis desa biasa, jangankan table manner makan di emperan saja ia sering gugup dan milih untuk dibungkus saja.Sungguh hidup Nila membuatku m
"Toloooong." Sejurus kemudian Nila berteriak kencang. Aku sampai tak lagi punya kesempatan untuk memberi orang-orang suruhanku itu kode.Alhasil mereka berdua langsung lari terbirit-birit keluar rumah. Aku tahu mereka tak akan membahayakan keselamatan diri mereka hanya karena sejumlah uang dariku.Arggghh. Sial. "Mbak Mila gak apa-apa?" Nila memastikan seluruh tubuhku aman.Aku mengangguk tanpa bicara. Sebetulnya masih kesal, kenapa rencana yang sudah kususun ini harus gagal?"Ayo, Mbak duduk." Nila menarik lenganku ke sofa."Kalau menurut Nila, Mbak gak usahlah tinggal di sini lagi, sudah tahu rumah ini selalu diintai tapi Mbak kok maksa banget?"Aku menelan saliva tapi tetap diam tak menjawab."Ayo meningan ikut Nila aja ke rumah Mas Azhar," katanya lagi seraya bangkit dan bergegas menarikku.Tapi cepat kutepis tangan Nila itu."Enggak, enggak Nil maaf, tapi ... Mbak gak enak, masa iya Mbak numpang di rumah suamimu."Tentu saja aku akan menolak, kalau sampai aku ke sana, Bani Azhar
Bapak diam, ia masih saja menundukkan kepalanya."Bapaknya Mbak Mila itu gak akan mau jawab, karena dia takut kelakuan busuknya akan terbongkar," sahut Sarah."Kelakuan busuk? Kelakuan busuk gimana maksudnya?""Mbak Mila pasti gak tahu kalau bapaknya Mbak Mila ini suka berkencan dengan para wanita muda di kos-an ini.""Apa?" Aku shock, dadaku bergemuruh. "Bahkan Mbak Mila gak akan pernah menyangka bahwa bapaknya Mbak Mila yang tua ini suka mabuk-mabukan dan berjudi!" semburnya lagi. Aku makin shock sampai jantung ini rasanya hampir lepas dari tempatnya, lebih-lebih saat kulihat bapak hanya menunduk seolah membenarkan semua ucapan Sarah."Sarah sengaja datang ke sini untuk menyeret bapaknya Mbak Mila ke dalam penjara," ucap Sarah lagi.Aku kembali menoleh ke arah anak itu, wajahnya makin merah padam menampakan kemarahan yang luar biasa tengah bersarang di sana. "Tapi kenapa Sarah? Emang apa yang udah dilakukan bapaknya, Mbak?" "Mbak Mila benar-benar ingin tahu?"Aku mengangguk gama
Tanpa bertanya lagi kedua orang itu mengangkat tubuh Nila ke dalam taksi online yang sudah kupesan."Terimakasih."Aku memberi mereka sejumlah uang sebelum aku naik taksi walau kesal rasanya karena pekerjaan mereka tak terlalu sempurna.Taksi mulai melaju sesuai maps yang tertera di aplikasi.Aku akan bawa Nila ke sebuah klinik gelap. Klinik kecil di sisi Kabupaten yang sudah terkenal dari mulut ke mulut sejak dulu.Aku tahu soal klinik itu, karena dulu saat di desa aku punya teman yang hamil di luar nikah, ia lalu menggugurkan kandungannya di sana.Walau banyak kasus gagal dan akhirnya si pasien meninggal karena penanganan yang jauh dari standar medis,aku tak peduli, toh akhirnya Nila juga harus secepatnya disingkirkan dari hidup Bani Azhar 'kan?Di dalam mobil kutelepon Sarah."Datang ke klinik sisi kabupaten dan jangan lupa ajak bapak ke sana.""Kilinik sisi kabupaten? Mau apa di sana Mbak? Bukannya itu klinik ...?""Gak usah banyak tanya."Tut. Kumatikan sambungan telepon. Semua