Share

Anakku Pulang Tanpa Nyawa
Anakku Pulang Tanpa Nyawa
Penulis: Ricny

Bab 1

"Bi Sitah, Nila pulaaang!" teriak Sarah-sahabatnya Nila di pematang sawah.

Aku yang tengah mencabut rumput hama di antara tanaman padi-padiku langsung menyisi mendekatinya.

"Ada apa teriak-teriak begitu Sarah?" tanyaku seraya membuka cetok yang menutup kepala dari terik matahari.

"Bi itu Bi, anu ...," jawabnya terengah-engah sambil memegangi dadanya yang tampak sesak.

"Apa? Ada apa Sarah? Kalau ngomong itu yang jelas." Aku mencecar tak sabar sebab saat melihat raut wajahnya perasaanku langsung berubah tak enak.

"Anu itu Bi, si Nila pulang."

Mataku mendadak berbinar dengan senyuman lebar.

"Yang bener kamu Sarah? Anakku pulang?"

Dengan semangat aku naik ke pematang sawah.

"Iya Bi, tapi anu Bi ...."

"Anu anu apa sih? Dari tadi kamu anu anu terus, ayo meningan kita balik aja, Bibi udah kangen banget rasanya sama si Nila," ucapku sambil melangkah tergesa-gesa melewati pematang sawah yang terbentang panjang itu.

"Tapi Bi, Biii tungguu." Si Sarah yang usianya sama dengan anakku itu berteriak ketika aku berlari meninggalkannya.

Kubiarkan saja anak itu. Aku sudah tak tahan lagi rasanya ingin bertemu Nila, 2 tahun sejak anakku itu menikah ia tak sekalipun pernah pulang. Kami juga tak pernah menengok ke rumah mertuanya karena jarak antara tempat kami yang terlalu jauh.

Kami berbeda pulau, kadang harus naik pesawat agar perjalanan lancar dan cepat. Tapi maklum aku dan bapaknya Nila itu sudah tua jangankan naik pesawat, naik kapal laut saja kami tidak tahu bagaimana caranya.

Syukurlah hari ini Nila pulang, entah kenapa pulang nya pun mendadak, biasanya anak itu selalu menelepon pada Sarah untuk mengabari jika ada sesuatu.

Tapi tak apa-apa, walau begitu kepulangannya hari ini sangat membuatku bahagia sekali.

Dengan wajah berseri, tak kupedulikan keringat dan rasa lelahku setelah seharian ini mencabut rumput liar. Aku terus berlari semampu yang kubisa agar aku segera sampai dan memeluk anakku di rumah.

"Pulang, Bu?" Sapa tetangga sawah yang berpapasan di jalan.

"Ya Bu, saya pulang duluan ya, anak saya pulaaang," jawabku sambil berteriak melambaikan tangan.

-

Sampai di depan rumah langkahku mendadak terhenti saat kulihat para tetangga sedang berkumpul di rumahku.

Beberapa di antara mereka juga tengah sibuk menata kursi dan memasang tenda.

Aku sampai harus mengucek mata beberapa kali untuk memastikan penglihatanku ini tidak ngawur. Tapi nyatanya di dalam rumahku memang sudah banyak sekali orang.

Tapi untuk apa? Kenapa mereka semua berkumpul di rumahku? Ada apa ini?

"Bi ya ampun lari kenceng banget kayak dikejar setan aja." Sarah datang dengan napas terengah-engah.

"Sarah, ada apa ini? Kenapa semua orang berkumpul di rumah, Bibi?"

Sarah diam sambil berusaha mengatur napasnya yang masih berantakan.

"Sarah ada apa ini?" Aku bertanya lagi sambil mengguncang kedua bahunya.

"Bi itu ... anu Bi, Nila-"

"Nila kenapa? Kenapa anakku?" potongku cepat.

Akhirnya tanpa mendengar lagi jawabannya aku melempar cetok ke atas tanah dan berlari ke dalam rumahku.

"Nilaaa."

"Bu Sitah Astagfirullah." Semua orang terkejut dengan kedatanganku yang berteriak kencang.

Namun tak kupedulikan mereka, mataku hanya langsung tertuju pada sesuatu yang teronggok di tengah-tengah mereka.

"Apa ini? Siapa yang ...?" Aku menutup mulut, tiba-tiba miliku juga merembes tak tertahan.

"Sabar Bu, sabar, ini Nila," ucap seseorang di belakangku, entah dia siapa aku tak sempat menoleh wajahnya.

"Apa? Nila? Nila anakku?"

Bruk. Tulangku mendadak lemas, seketika aku ambruk di dekat jenazah yang sudah ditutup kain putih itu.

"Iya ini Nila, ini Nila anak kita, Bu." Suamiku yang juga entah datang dari mana terisak-isak di pundakku.

"Nilaaaa." Sontak aku memeluk raga yang sudah tak bernyawa itu.

"Nila kenapa kamu, Nak? Kenapa kamu begini? Bangun Nak, bangun, Ibu kangen sayang, kenapa kamu pulang dalam kondisi seperti ini sayang?" cecarku seraya mengguncang jenazah itu.

Isak tangis dan kesedihan orang-orang yang ada di sana pun kembali pecah. Beberapa di antara mereka pun saling bergantian menyemangatiku.

"Sabar Bu Sitah, sabar ikhlaskan Nila, Nila sudah pergi, Nila sudah tenang di sisi Allah."

"Enggaaak, anakku masih hidup, anakku masih hidup."

"Eling Bu, eliiing." Suamiku berhambur lagi, membenamkan tubuh ini pada dadanya.

"Pak, anak kita kenapa? Anak kita kenapa, Pak?"

Aku terus mencecar dengan teriakan kencang, duniaku saat ini terasa runtuh tak tersisa, bagaimana bisa anakku yang berangkat dalam keadaan baik-baik saja sekarang tiba-tiba pulang dalam keadaan tanpa nyawa? Sebetulnya anakku kenapa? Kenapa?

Para tetangga berusaha menjauhkanku dari jenazah Nila, mereka membaringkanku di kamar setelah aku diberi mereka minum.

"Bu Sitah, tenangkan dulu diri Ibu, kasihan Nila jika Ibu terus berteriak dan berontak begini," kata Bu Saudah, ia adalah istrinya ustaz Rohim di kampung ini.

"Anak saya Bu, anak saya, saya mau lihat anak saya, Bu." Aku kembali bangun dari kasur sambil tak hentinya terisak, periiiih sekali rasanya saat kuingat lagi anakku kini pulang tanpa nyawa.

"Tenangkan diri dulu Bu, setelah itu ambil air wudhu dan baru doakan Nila di depan." Bu Saudah mengingatkan lagi.

-

Setelah diri cukup tenang, aku kembali ke depan. Tapi tak bisa kuhindari air mata terus saja lolos melewati pipi.

"Nila," lirihku.

Pelan kubuka kain penutup wajahnya. Tak butuh waktu lama wajah cantik anakku yang kini sudah pucat dan membeku langsung menyambut. Hatiku kembali nyeri, seperti sepuluh jari dicabut kukunya dalam waktu bersamaan.

Sementara tulang-tulangku juga terasa mendadak lepas dari tubuh ini.

"Sabar Bi, ikhlaskan Nila," kata Sarah sambil mengelus pundakku.

"Kenapa sahabatmu seperti ini Sar? Apa yang sebetulnya terjadi? Dan mana suaminya? Tadi anakku pulang sama siapa Sar? Kamu seharian ada di rumah 'kan? Kamu pasti tahu saat pertama dia datang." Aku mencecar pada gadis itu, karena rumah kami tepat bersebelahan jadi aku yakin sekali Sarah tahu saat Nila dibawa ke rumahku.

"Iya Bi, tadi ...."

Sarah berhenti, ia tampak ragu-ragu menjawab tentetan pertanyaanku. Sementara kedua bola matanya melirik ke bapaknya Nila.

"Katakan saja Sar, Paman gak kuat."

Sarah mengangguk.

"Bi, tadi Nila pulang hanya sendiri, dia diantarkan ambulans kota, tak ada yang menemaninya ke sini, entah suami atau pun keluarga suaminya."

"Apa?" Aku syok setengah berteriak. Kali ini bahkan seperti ada sesuatu yang menebas ulu hatiku sampai putus.

"Iya Bi, tadi sopir mobil ambulansnya bilang, katanya jenazah Nila ini dijemput langsung dari bandara, tapi pihak keluarga hanya memberikan alamatnya saja, mereka tidak ikut mengantar ke sini."

Air mataku kembali jatuh. Dadaku makin sesak tak berrongga.

Anakku pulang sendiri? Jenazahnya tak diantarkan oleh siapapun? Suami dan keluarga macam apa mereka itu? Bagaimana bisa mereka berbuat dzalim seperti ini pada jenazah anakku? Apa yang sebetulnya sudah terjadi? Jika memang anakku punya salah setidaknya mereka tidak jadi pengecut seperti ini.

"Kalau sudah siap, mari kita salatkan dan segera dimakamkan saja jenazahnya, Bu," kata Ustaz Rohim di sela obrolanku dengan Sarah.

"Ya ustaz silakan, kami sudah ikhlas." Suamiku menyahut.

Sarah pun berusaha mengangat bobotku dan semua orang pun mulai bersiap untuk menyalatkan jenazah Nila.

Tapi ketika Ustaz Rohim sudah mengambil tempatnya refleks mulutku berteriak.

"Tunggu Pak, Ustaz."

Semua orang kembali menoleh ke arahku.

"Ya, Bu Sitah, kenapa?"

"Tolong izinkan saya memandikan jenazah anak saya untuk terakhir kalinya."

Semua orang saling melirik.

"Tapi jenazahnya sudah dimandikan Bu, dan sekarang tinggal disalatkan saja."

"Tapi saya ingin memandikannya sekali saja, Pak."

Berat hati akhirnya mereka mengizinkan, tak mengizinkan bagaimana? Aku ibunya aku berhak melakukan ini meski kata mereka kasihan sebab jenazahnya sudah rapi tinggal disalatkan saja, tapi entah mengapa aku masih merasa aneh, seperti ada kejanggalan yang harus kuketahui dengan jelas.

Kain kafan akhirnya kembali dibuka. Benar saja, saat di tempat pemandian kulihat hampir sekujur tubuh anakku dipenuhi luka lebam dan yang paling membuatku syok adalah saat mendapati bagian perut sebelah kirinya sudah robek.

"Astagfirullah, luka bekas apa ini? Kenapa seperti bekas sayatan pisau?"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rita Septiyanti
semoga nila mendapatkan keadilan bila benar itu nila dibunuh atau disiksa
goodnovel comment avatar
Emeli Emelia
apa jangan-jangan disiksa oleh keluarga suaminya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status