"Bi Sitah, Nila pulaaang!" teriak Sarah-sahabatnya Nila di pematang sawah.
Aku yang tengah mencabut rumput hama di antara tanaman padi-padiku langsung menyisi mendekatinya."Ada apa teriak-teriak begitu Sarah?" tanyaku seraya membuka cetok yang menutup kepala dari terik matahari."Bi itu Bi, anu ...," jawabnya terengah-engah sambil memegangi dadanya yang tampak sesak."Apa? Ada apa Sarah? Kalau ngomong itu yang jelas." Aku mencecar tak sabar sebab saat melihat raut wajahnya perasaanku langsung berubah tak enak."Anu itu Bi, si Nila pulang."Mataku mendadak berbinar dengan senyuman lebar."Yang bener kamu Sarah? Anakku pulang?"Dengan semangat aku naik ke pematang sawah."Iya Bi, tapi anu Bi ....""Anu anu apa sih? Dari tadi kamu anu anu terus, ayo meningan kita balik aja, Bibi udah kangen banget rasanya sama si Nila," ucapku sambil melangkah tergesa-gesa melewati pematang sawah yang terbentang panjang itu."Tapi Bi, Biii tungguu." Si Sarah yang usianya sama dengan anakku itu berteriak ketika aku berlari meninggalkannya.Kubiarkan saja anak itu. Aku sudah tak tahan lagi rasanya ingin bertemu Nila, 2 tahun sejak anakku itu menikah ia tak sekalipun pernah pulang. Kami juga tak pernah menengok ke rumah mertuanya karena jarak antara tempat kami yang terlalu jauh.Kami berbeda pulau, kadang harus naik pesawat agar perjalanan lancar dan cepat. Tapi maklum aku dan bapaknya Nila itu sudah tua jangankan naik pesawat, naik kapal laut saja kami tidak tahu bagaimana caranya.Syukurlah hari ini Nila pulang, entah kenapa pulang nya pun mendadak, biasanya anak itu selalu menelepon pada Sarah untuk mengabari jika ada sesuatu.Tapi tak apa-apa, walau begitu kepulangannya hari ini sangat membuatku bahagia sekali.Dengan wajah berseri, tak kupedulikan keringat dan rasa lelahku setelah seharian ini mencabut rumput liar. Aku terus berlari semampu yang kubisa agar aku segera sampai dan memeluk anakku di rumah."Pulang, Bu?" Sapa tetangga sawah yang berpapasan di jalan."Ya Bu, saya pulang duluan ya, anak saya pulaaang," jawabku sambil berteriak melambaikan tangan.-Sampai di depan rumah langkahku mendadak terhenti saat kulihat para tetangga sedang berkumpul di rumahku.Beberapa di antara mereka juga tengah sibuk menata kursi dan memasang tenda.Aku sampai harus mengucek mata beberapa kali untuk memastikan penglihatanku ini tidak ngawur. Tapi nyatanya di dalam rumahku memang sudah banyak sekali orang.Tapi untuk apa? Kenapa mereka semua berkumpul di rumahku? Ada apa ini?"Bi ya ampun lari kenceng banget kayak dikejar setan aja." Sarah datang dengan napas terengah-engah."Sarah, ada apa ini? Kenapa semua orang berkumpul di rumah, Bibi?"Sarah diam sambil berusaha mengatur napasnya yang masih berantakan."Sarah ada apa ini?" Aku bertanya lagi sambil mengguncang kedua bahunya."Bi itu ... anu Bi, Nila-""Nila kenapa? Kenapa anakku?" potongku cepat.Akhirnya tanpa mendengar lagi jawabannya aku melempar cetok ke atas tanah dan berlari ke dalam rumahku."Nilaaa.""Bu Sitah Astagfirullah." Semua orang terkejut dengan kedatanganku yang berteriak kencang.Namun tak kupedulikan mereka, mataku hanya langsung tertuju pada sesuatu yang teronggok di tengah-tengah mereka."Apa ini? Siapa yang ...?" Aku menutup mulut, tiba-tiba miliku juga merembes tak tertahan."Sabar Bu, sabar, ini Nila," ucap seseorang di belakangku, entah dia siapa aku tak sempat menoleh wajahnya."Apa? Nila? Nila anakku?"Bruk. Tulangku mendadak lemas, seketika aku ambruk di dekat jenazah yang sudah ditutup kain putih itu."Iya ini Nila, ini Nila anak kita, Bu." Suamiku yang juga entah datang dari mana terisak-isak di pundakku."Nilaaaa." Sontak aku memeluk raga yang sudah tak bernyawa itu."Nila kenapa kamu, Nak? Kenapa kamu begini? Bangun Nak, bangun, Ibu kangen sayang, kenapa kamu pulang dalam kondisi seperti ini sayang?" cecarku seraya mengguncang jenazah itu.Isak tangis dan kesedihan orang-orang yang ada di sana pun kembali pecah. Beberapa di antara mereka pun saling bergantian menyemangatiku."Sabar Bu Sitah, sabar ikhlaskan Nila, Nila sudah pergi, Nila sudah tenang di sisi Allah.""Enggaaak, anakku masih hidup, anakku masih hidup.""Eling Bu, eliiing." Suamiku berhambur lagi, membenamkan tubuh ini pada dadanya."Pak, anak kita kenapa? Anak kita kenapa, Pak?"Aku terus mencecar dengan teriakan kencang, duniaku saat ini terasa runtuh tak tersisa, bagaimana bisa anakku yang berangkat dalam keadaan baik-baik saja sekarang tiba-tiba pulang dalam keadaan tanpa nyawa? Sebetulnya anakku kenapa? Kenapa?Para tetangga berusaha menjauhkanku dari jenazah Nila, mereka membaringkanku di kamar setelah aku diberi mereka minum."Bu Sitah, tenangkan dulu diri Ibu, kasihan Nila jika Ibu terus berteriak dan berontak begini," kata Bu Saudah, ia adalah istrinya ustaz Rohim di kampung ini."Anak saya Bu, anak saya, saya mau lihat anak saya, Bu." Aku kembali bangun dari kasur sambil tak hentinya terisak, periiiih sekali rasanya saat kuingat lagi anakku kini pulang tanpa nyawa."Tenangkan diri dulu Bu, setelah itu ambil air wudhu dan baru doakan Nila di depan." Bu Saudah mengingatkan lagi.-Setelah diri cukup tenang, aku kembali ke depan. Tapi tak bisa kuhindari air mata terus saja lolos melewati pipi."Nila," lirihku.Pelan kubuka kain penutup wajahnya. Tak butuh waktu lama wajah cantik anakku yang kini sudah pucat dan membeku langsung menyambut. Hatiku kembali nyeri, seperti sepuluh jari dicabut kukunya dalam waktu bersamaan.Sementara tulang-tulangku juga terasa mendadak lepas dari tubuh ini."Sabar Bi, ikhlaskan Nila," kata Sarah sambil mengelus pundakku."Kenapa sahabatmu seperti ini Sar? Apa yang sebetulnya terjadi? Dan mana suaminya? Tadi anakku pulang sama siapa Sar? Kamu seharian ada di rumah 'kan? Kamu pasti tahu saat pertama dia datang." Aku mencecar pada gadis itu, karena rumah kami tepat bersebelahan jadi aku yakin sekali Sarah tahu saat Nila dibawa ke rumahku."Iya Bi, tadi ...."Sarah berhenti, ia tampak ragu-ragu menjawab tentetan pertanyaanku. Sementara kedua bola matanya melirik ke bapaknya Nila."Katakan saja Sar, Paman gak kuat."Sarah mengangguk."Bi, tadi Nila pulang hanya sendiri, dia diantarkan ambulans kota, tak ada yang menemaninya ke sini, entah suami atau pun keluarga suaminya.""Apa?" Aku syok setengah berteriak. Kali ini bahkan seperti ada sesuatu yang menebas ulu hatiku sampai putus."Iya Bi, tadi sopir mobil ambulansnya bilang, katanya jenazah Nila ini dijemput langsung dari bandara, tapi pihak keluarga hanya memberikan alamatnya saja, mereka tidak ikut mengantar ke sini."Air mataku kembali jatuh. Dadaku makin sesak tak berrongga.Anakku pulang sendiri? Jenazahnya tak diantarkan oleh siapapun? Suami dan keluarga macam apa mereka itu? Bagaimana bisa mereka berbuat dzalim seperti ini pada jenazah anakku? Apa yang sebetulnya sudah terjadi? Jika memang anakku punya salah setidaknya mereka tidak jadi pengecut seperti ini."Kalau sudah siap, mari kita salatkan dan segera dimakamkan saja jenazahnya, Bu," kata Ustaz Rohim di sela obrolanku dengan Sarah."Ya ustaz silakan, kami sudah ikhlas." Suamiku menyahut.Sarah pun berusaha mengangat bobotku dan semua orang pun mulai bersiap untuk menyalatkan jenazah Nila.Tapi ketika Ustaz Rohim sudah mengambil tempatnya refleks mulutku berteriak."Tunggu Pak, Ustaz."Semua orang kembali menoleh ke arahku."Ya, Bu Sitah, kenapa?""Tolong izinkan saya memandikan jenazah anak saya untuk terakhir kalinya."Semua orang saling melirik."Tapi jenazahnya sudah dimandikan Bu, dan sekarang tinggal disalatkan saja.""Tapi saya ingin memandikannya sekali saja, Pak."Berat hati akhirnya mereka mengizinkan, tak mengizinkan bagaimana? Aku ibunya aku berhak melakukan ini meski kata mereka kasihan sebab jenazahnya sudah rapi tinggal disalatkan saja, tapi entah mengapa aku masih merasa aneh, seperti ada kejanggalan yang harus kuketahui dengan jelas.Kain kafan akhirnya kembali dibuka. Benar saja, saat di tempat pemandian kulihat hampir sekujur tubuh anakku dipenuhi luka lebam dan yang paling membuatku syok adalah saat mendapati bagian perut sebelah kirinya sudah robek."Astagfirullah, luka bekas apa ini? Kenapa seperti bekas sayatan pisau?""Ya Allah gustiii, Nila sayang anakku, kenapa kamu, Nak? Siapa yang sudah berbuat seperti ini padamu?" Aku kembali terisak sambil menciumi wajahnya yang sudah dingin dan kaku."Ada apa, Bi?" tanya Sarah yang baru saja masuk dengan wajah cemas."Lihat ini Sarah, lihat ini, ada luka sayatan di perut sebelah kirinya Nila, tubuhnya juga penuh lebam, benar 'kan dugaan Bibi pasti ada sesuatu yang tak beres sudah terjadi.""Ta-tapi siapa yang sudah melakukan ini, Bi?""Mungkin saja suami dan keluarganya."Anak itu mengangguk ragu."Ada apa, Bu? Kenapa belum selesai juga memandikannya? Semua orang sudah menunggu itu." Bapaknya Nila datang."Lihat ini, Pak, lihat ini anak kita kenapa?"Kutunjukan luka panjang sekitar 15 centi meter itu pada suamiku.Sontak ia juga terkejut bahkan sampai harus membekap mulutnya sendiri sebab merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya."Ya Allah, Nila kenapa ini, Bu?" "Ibu juga gak tahu Pak, pantas saja Ibu ingin sekali memandikannya, ternyata sesuatu memang
Pukul 10 malam aku masih termenung di kursi depan sambil memeluk lututku. Selain mataku yang tak kunjung terpejam lagi, aku juga sedang menunggu Mila datang.Akan langsung kuceritakan apa yang kulihat tadi, ada luka di sekujur tubuh Nila dan jenazahnya tidak diantarkan oleh keluarga suaminya yang bedebah itu."Hujan Bi, dingin," kata Sarah yang tiba-tiba datang dari dapur.Aku menoleh, wajahnya memang tampak pucat dan menggigil kedinginan."Ya ampun Sarah, ambil selimut di lemari Bibi dan tidur sana," sahutku tanpa beranjak dari kursi.Anak itu memang sengaja ingin menginap di sini untuk menemaniku katanya, karena bapaknya Nila seperti biasa, mereka melekan untuk menunggu makam baru sampai malam ke 3."Ayo tidur Bi, Sarah mau tidur sama, Bibi.""Bibi belum ngantuk Sar, kamu tidur duluan gih.""Jangan terlalu pikirin Nila, Bi."Aku mengangguk, anak itu pun beranjak pergi ke kamar.Dipikir-pikir, kenapa anak itu terlihat lemas sekali? Padahal kalau dia sakit tak usahlah dia menginap di
"Nila menangis dan melambai ke arah Bibi Sar, dia bilang sakit katanya.""Hah? Apa iya, Bi? Bibi cuma mimpi kali.""Iya, tapi mimpi itu kayak nyata Sar.""Mimpi cuma kembang tidur Bi, gak usah terlalu dipikirin."Aku mematung. Saat anak itu akan kembali tidur aku segera menariknya lagi."Sar, apa menurutmu orang yang sudah meninggal bisa meminta tolong lewat mimpi? Atau ini memang hanya sugesti Bibi yang terlalu kepikiran aja?" cecarku.Sarah menggeleng ragu."Besok antar Bibi ke makam Nila ya Sar, tapi tunggu Mila datang dulu."Anak itu mematung tak menanggapi."Sar, kamu malah bengong sih." Aku menyikut lengannya."Eh i-iya Bi, Sarah sampe kaget," katanya tergagap."Kamu ini mikirin apa sih Sar?""Emm enggak Bi, tadi Sarah cuma lagi mikir soal apa yang tadi Bibi ceritakan, apa iya orang yang sudah meninggal bisa meminta tolong?"Aku menggeleng tak paham, tentu saja, aku sendiri ragu menafsirkan mimpiku, di sisi lain aku melihat Nila tampak jelas sekali meminta tolong.Tapi di sisi
"Nomor teleponnya gimana? Emang kita punya nomor telepon Mila?""Coba minta ke si Sarah, Bu."Aku diam sebentar sambil kembali berpikir.Kalau aku minta nomor telepon sama Sarah, anak itu pasti akan tersinggung dan bertanya kenapa kami harus menelepon lewat telepon desa?Tapi kalau bukan dari Sarah dari mana lagi aku akan mendapatkan nomor telepon Mila?"Gimana, Bu?" Suamiku bertanya lagi."Enggak, Pak, kita gak boleh minta nomor telepon Mila sama Sarah, anak itu bisa tersinggung, lagi pula katanya Sarah lagi sibuk bikin proposal malam ini, gak bisa diganggu."Suamiku termenung sambil memijit keningnya."Terus gimana, Bu? Kita khawatir di sini, Mila udah dua malam di perjalanan gak sampai-sampai, kita perlu bicara langsung sama dia supaya kita gak terlalu cemas."Benar juga kata suamiku, tapi bagaimana? Darimana kami akan mendapatkan nomor telepon Mila?"Apa perlu kita minta ke kantor desa, Pak? Barangkali disana Mila pernah mengurus surat-surat keberangkatannya ke Surabaya dia pasti
"Cuma dicas? Gak rusak?" Aku mengulangi.Suami mengangguk dengan tatapan serius."Tapi kata Sarah hape nya rusak Pak, makanya gak dipake dari dulu.""Ya ini hape nya baik-baik aja, tadi Bapak cuma disuruh ke conter aja sama Pak Tomo, katanya suruh beli kartu baru dan pasang di sana, nih kalau gak percaya Bapak mau telepon Mila, tadi Bapak juga udah diajarin gimana caranya nelepon sama Pak Sutomo di kantor bale desa," ujarnya lagi.Ia mulai memencet beberapa tombol hingga ponsel itu pun berbunyi menunggu telepon diangkat."Mana, Pak? Mila mana?" Aku tak sabar."Sabar dulu, tadi kata Pak Tomo sebelum ada bunyi hallo berarti belum diangkat, Bu."Akhirnya kami pun menunggu beberapa detik."Hallo." Suara Mila pun mulai terdengar di jauh sana. Aku dan suami sampai melonjak kegirangan."Ha-hallo, hallo hallo hallo Mila.""Ibu? Ini Ibu?""Iya, Nak ini Ibu, Ibu sama Bapak khawatir banget sama kamu, kamu masih di mana sekarang?" Aku langsung mencecaer karena sudah tak sabar lagi rasanya."Maksu
Mungkin saja apa yang diucapkan suamiku itu benar tapi entah kenapa lagi-lagi aku merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan Sarah.Tapi apa? Ah sudahlah, kenapa juga aku harus memikirkan masalah Sarah? Sekarang aku harus fokus pada masalah kepergian Nila yang masih banyak kejanggalan itu.Setelah Mila benar-benar datang, aku pasti akan menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewat."Siapa yang berbohong, Paman?"Kaget bukan main saat kami lihat tiba-tiba Sarah sudah berdiri di belakang kami.Secepat kilat suamiku memasukan ponsel itu ke dalam saku celananya, kemudian bergegas masuk ke dalam kamar."Eh Sar, kamu kirain siapa."Sarah mendekat lalu duduk di atas dipan bersamaku."Lagi pada ngomongin apa sih, Bi? Kok serius banget."Aku mengibaskan tangan."Ah bukan apa-apa, cuma ngomongin masalah buat tahlilan nanti malam aja, Bibi bingung masih belum punya apa-apa buat jamuan yang tahlil," jawabku sekenanya."Gak usahlah dipaksain kalau gak ada Bi, mereka ikhlas mendoakan Nila."Ak
Aku menganggukan kepala."Ya udah gih Sar, Bibi kan udah bilang dari tadi, takut kamu lagi ada urusan gak apa-apa kamu gak usah bantu-bantu di sini dulu," ucapku.Sarah tersenyum."Sebenarnya bukan urusan penting sih, Bi, emang Sarah ada yang kelupaan aja, tapi nanti juga Sarah balik lagi ke sini, cuma bentar kok, ya udah bentar ya, Bi," pungkasnya.Sarah pun segera keluar lewat pintu dapur. Aku mengangkat bahu, entahlah anak itu mau ke mana dan ada urusan apa, tadi katanya gak ada kegiatan sekarang malah mendadak ada yang kelupaan. Hmm Saraah Saraah.Dia itu memang mirip sekali dengan Nila.-Malam hari ketika waktu tahlilan ketiganya Nila tiba. Para tetangga sudah berkumpul selepas isya.Sementara aku sibuk sendiri di dapur, menyiapkan berbagai macam makanan ringan untuk kuberikan setelah tahlilan selesai dilaksanakan.Tadi ada si Mae yang bantu-bantu tapi anaknya yang paling kecil malah nangis terus di rumahku, gak tahu kenapa, jadinya terpaksa Mae pulang saja."Kemana si Sarah? K
"Hah? Apa iya, Bi?" tanya Sarah tak percaya."Iya bener enggak tahu kenapa, apa mungkin karena kamu sahabatnya? kamu yang selalu bersamanya dan kamu yang selalu membantu kami selama ini? Jadi lah ia datang dengan rupa kamu."Sarah menelan salivanya."Tapi untuk apa Nila datang, Bi?" Dia bertanya lagi.Aku menggeleng kepala."Itulah Bibi juga enggak tahu, tapi kata paman mungkin Bibi hanya trauma jadi pikiran-pikiran itu memunculkan ketakutan dalam diri Bibi sendiri.""Iya bener, Bi, makanya Bibi harus ikhlaskan Nila, jangan sampai Nila gak tenang karena pikiran Bibi yang terlalu berlebihan," ucapnya sambil mengelus punggungku.Aku tertunduk lesu, mendadak aku tak berselera menyiapkan makanan untuk menyambut kedatangan Mila."Ya udahlah Bi, mendingan kita lanjutin aja persiapkan makanan buat Mbak Mila nya, yuk," ajak Sarah mencoba menghilangkan kesedihanku.Aku mengangguk dan kembali memegang sutil yang tadi kulepaskan itu.Selesai kami memasak Sarah juga sibuk membantuku menghidangkan