Share

Bab 2

"Ya Allah gustiii, Nila sayang anakku, kenapa kamu, Nak? Siapa yang sudah berbuat seperti ini padamu?" Aku kembali terisak sambil menciumi wajahnya yang sudah dingin dan kaku.

"Ada apa, Bi?" tanya Sarah yang baru saja masuk dengan wajah cemas.

"Lihat ini Sarah, lihat ini, ada luka sayatan di perut sebelah kirinya Nila, tubuhnya juga penuh lebam, benar 'kan dugaan Bibi pasti ada sesuatu yang tak beres sudah terjadi."

"Ta-tapi siapa yang sudah melakukan ini, Bi?"

"Mungkin saja suami dan keluarganya."

Anak itu mengangguk ragu.

"Ada apa, Bu? Kenapa belum selesai juga memandikannya? Semua orang sudah menunggu itu." Bapaknya Nila datang.

"Lihat ini, Pak, lihat ini anak kita kenapa?"

Kutunjukan luka panjang sekitar 15 centi meter itu pada suamiku.

Sontak ia juga terkejut bahkan sampai harus membekap mulutnya sendiri sebab merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Ya Allah, Nila kenapa ini, Bu?"

"Ibu juga gak tahu Pak, pantas saja Ibu ingin sekali memandikannya, ternyata sesuatu memang sudah terjadi pada anak kita."

"Nilaa, Naaak kenapa kamu sebenarnya? Ya Allah." Perih kudengar suaranya bergetar dan mengiris ulu hati. Perlahan suamiku pun ambruk di bawah tempat pemandian.

"Paman kenapa? Ayo bangun." Sarah meraih kembali bobot suamiku, lalu membawanya kembali ke dalam rumah.

"Ayo Bi, kita harus cepet mandiin Nila biar proses pemakaman segera dilakukan," kata Sarah saat ia sudah datang lagi.

"Tunggu dulu Sarah," ucapku, anak itu mematung sebentar.

"Ada apa, Bi?"

"Kamu bawa hp enggak?"

"Enggak Bi, kenapa?"

"Cepat ambil hp kamu, tapi jangan sampai ada orang yang tahu."

"Tapi buat apa, Bi?"

"Bibi perlu ambil foto luka ini."

"Udahlah Bi, jangan, kasihan Nila, Bi."

"Gak apa-apa Sarah ini cuma foto lukanya saja untuk Bibi tunjukan pada kakaknya nanti, barangkali kita juga butuh suatu hari nanti, cepat ambil sana."

Anak itu akhirnya bergerak tanpa bertanya lagi.

-

-

"Ni-Nila?" Aku tegagap ketika aku bangun sudah melihat Nila sedang terisak-isak di pojok ruangan.

Tetapi tubuhku kaku tak bisa bergerak, padahal ingin sekali rasanya aku memeluk dan menghampirinya.

"Buuu." Nila mengangkat wajah lalu melambaikan tangannya. Sementara air matanya terurai deras membasahi pipinya yang pucat.

Mulutku refleks menganga, tenggorokanku juga mendadak kering saat kulihat perlahan Nila menghilang di balik tembok.

"Ni-Ni-Nilaaa!" Aku berteriak kencang.

Sontak suamiku dan Sarah datang membuka pintu.

"Bu, Bu sadar Bu, sadar ada apa?" Ia mengguncang kedua bahuku.

"Bibi nyebut Bi, nyebut," timpal Sarah sambil menyipratkan air ke wajahku, barulah setelah itu aku sadar sepenuhnya.

"Astagfirullah ya Allah." Kupegangi dada sekuat-kuatnya. Kuatur napas sebisanya.

"Ada apa, Bi? Bibi kenapa?" tanya Sarah lagi saat ia selesai memberiku minum.

"Ta-tadi ada Nila, Sar," jawabku lemas.

"Eh Bibi ini ngomong apa sih."

"Iya Bu, kirain ada apa, bikin kaget aja orang-orang lagi pada tahlilan itu."

"Apa? Tahlilan?" Aku terkejut.

"Iya tahlilan, tahlilan pertamanya Nila."

"Ta-pi bukannya tadi kita lagi mandiin jenazah nya Nila, Pak?"

"Tadi Ibu pingsan, sekarang malah baru siuman."

"Apa?" Aku terkejut, bagaimana bisa aku pingsan selama itu? Kupegangi kepalaku yang berat dan terasa semakin sakit ini.

"Iya Bi, tadi Bibi pingsan saat sedang memandikan jenazah Nila, kami tunggu sampai 2 jam Bibi tak kunjung sadar, karena kasihan sama Nila akhirnya terpaksa kami makamkan saja."

"Ya Allah kok bisa kalian ceroboh seperti itu?"

"Ceroboh gimana, Bi?" tanya Sarah tak paham.

"Kenapa jenazah Nila tidak diautopsi dulu untuk barang bukti?" tanya frustasi sambil terus memegangi kepalaku yang terasa semakin berat.

"Istighfar Bu, barang bukti buat apa? Sudahlah kita ikhlaskan saja, anak kita sudah tenang jangan aneh-aneh autopsi segala, menyakiti mayit itu namanya," sahut suamiku lagi seraya bangkit dan kembali keluar.

"Tap-"

"Bener apa kata Paman, Bi, udah meningan sekarang Bibi istirahat dulu, selesai tahlilan Sarah bawakan Bibi makan," potong Sarah seraya kembali membaringkanku di atas kasur.

"Tapi Sarah autopsi harus tetep dilakukan supaya kita tahu penyebab kematian Nila." Aku bersikukuh meski anak itu tak menanggapi.

"Udah Bibi jangan mikir aneh-aneh, sekarang istirahat aja dulu," katanya kemudian. Anak itu pun kembali keluar.

"Ssssshh." Aku mendesah kesal, andai tadi aku tidak pingsan, mungkin sekarang aku sudah mengetahui apa penyebab kematian anakku.

Kok bisa-bisanya aku pingsan? Perasaan tadi aku baik-baik saja dan kenapa ini kepalaku berat sekali?

"Astagfirullah." Kuatur napas sebisanya, terlalu kecewa karena jenazah Nila dimakamkan tanpa autopsi dulu membuat emosiku naik.

Akhirnya aku kembali memejamkan mata saja meski suara orang-orang yang sedang tahlilan luar sana lagi-lagi membuat air mataku luruh tak tertahan.

Ya Tuhan sakit sekali rasanya hatiku, kupikir aku yang akan pertamakalinya ditahlilkan di rumah ini tapi ternyata tidak.

Walau kematian adalah rahasia Tuhan, tapi entah mengapa rasanya aku masih saja tak terima jika anakku pergi dalam kondisi seperti itu.

Masih kuingat jelas luka lebam dan sayatan pisau itu di tubuh Nila, entah itu luka bekas apa tapi yang jelas aku perlu mencari tahu bagaimanapun caranya.

-

Selesai tahlilan Sarah kembali masuk ke dalam kamar.

"Makan dulu Bi, nih Sarah udah bawakan Bibi makan," ucapnya seraya menyodorkan sepiring nasi dan kawan-kawannya padaku.

"Sar tunggu dulu, ini kamu udah kabari Mila belum? Jangan sampai adiknya meninggal dia enggak tahu."

"Udah Bi, sekarang Mbak Mila lagi perjalanan pulang, Surabaya jauh Bi, butuh waktu apalagi kita kabari mendadak begini."

Aku mengangguk dengan lemas, tapi tak apa, setidaknya Mila sudah dikabari soal kematian adiknya meski ia tak bisa ikut memakamkan.

Mila adalah anak pertamaku, usianya hanya beda 2 tahun saja dari Nila, sudah 3 tahun ini dia ditugaskan kerja di Surabaya, karirnya termasuk bagus tapi sayang sampai sekarang anak itu belum juga menikah.

Aku harap anak itu benar-benar datang kali ini, aku ingin meminta bantuannya untuk menyelidiki kasus kematian Nila yang menurutku masih hanyak kejanggalan ini.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
kelg aneh... kok ya bisa cuma ibunya aja yg mikirin penyebab kematian Nila. itu bapaknya & Sarah kok tenang aja ya... gak pengen usut apa penyebab kematiannya. hadeuuuh...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status