Share

Bab 04

"Padahal itu rencana bagus loh, Mas. Tapi ya sudah deh," Hilda membenamkan wajahnya di dada bidang sang suami.

Pria itu hanya terkekeh lalu mengecup puncak kepala istrinya berkali-kali.

Satu minggu kemudian.

Whindy sedang mengajak anaknya mengobrol. Dia bersama anak dan suaminya sedang berada di dalam mobil, karena hari ini keadaan Whindy sudah membaik, oleh sebab itu dia sudah di perbolehkan pulang dari rumah sakit.

"Mas... kenapa fokus terus dengan ipad. Sekali-kali ajak anak kita ngobrol. Atau di gendong saja, walaupun sebentar, pasti dia akan sangat senang," jelas Whindy menatap ke arah suaminya.

"Sebenarnya kamu itu bisa diam atau tidak, Whindy. Kamu jangan mengganggu konsentrasi aku yang sedang bekerja dong," Evan menatap tajam ke arah istrinya.

"Bekerjanya kan bisa di lanjut nanti saja di rumah, Mas," Whindy sangat berharap suaminya akan menyetujui permintaannya itu.

"Semenjak kamu melahirkan anak cacat itu, kenapa kamu menjadi banyak bicara dan melarang aku untuk bekerja? Jangan membuat ku melakukan hal yang tidak kamu inginkan, diam lah dan urus amak cacat itu," Evan benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan perkataan istrinya yang membuat dirinya sangat tidak nyaman dan terusik.

Wanita itu terdiam lalu menatap anaknya yang sedang tersenyum. Dia memeluk anaknya erat lalu menangis dalam diam.

Wanita itu merasa bayinya menggenggam erat jari nya.

"Setiap Mas Evan menghina nya, anakku selalu menggenggam jariku sangat erat. Apa ini tandanya anakku sangat sedih karena Papa nya tidak mengakui nya sebagai anak, malah menghina keistimewaan yang dia miliki," batin Whindy.

"Lagi-lagi Mas menghina bayi yang tidak berdosa ini. Apa salah bayi ini, Mas? Kenapa Mas suka sekali menghina nya, ingat lah satu hal, dia anak kandung Mas, darah daging Mas, buah hati kita berdua, hasil cinta kita, Mas," Whindy menatap suaminya dengan kedua mata yang mengeluarkan air dengan sangat deras.

"Kamu ingin tau salah bayi itu apa kepadaku? Salahnya dia itu terlahir cacat. Aku tidak perduli dia darah dagingku atau tidak, intinya aku tidak akan mengakuinya sebagai anakku!," bentak Evan.

Jleb!

Hati Whindy sangat hancur mendengarkan Evan yang secara langsung tidak ingin mengakui bayinya sebagai anak kandungnya. Perkataan Evan tentu saja di dengan oleh kedua Bodyguard yang sedang duduk di depan bagian pengemudi dan di sebelah kiri pengemudi.

"Owek... owek," bayi itu menangis.

Seolah-olah memberitahu kepada Mama nya jika dia merasa sangat sedih. Wanita itu menenangkan anaknya dengan cara menyusui nya, dan bayi itu langsung berhenti menangis.

"Astagfirullahaladzim, kenapa Tuan Evan sangat kejam. Kenapa dia tidak ingin menganggap anaknya, padahal anak adalah anugrah dari Allah," batin Bodyguard yang sedang menyetir mobil.

Tidak membutuhkan waktu lama mereka sudah sampai di rumah kediaman keluarga Avalon. Bodyguard langsung membukakan pintu mobil untuk majikan nya.

"Tutupi wajah anak cacat itu. Jangan sampai ada yang melihat nya, menurut lah! Awas jika membantah perintahku," Evan menatap tajam ke arah Whindy.

Pria itu keluar dari mobil terlebih dahulu lalu berjalan ke arah pintu utama, wanita itu meninggalkan istrinya yang masih berada di dalam mobil. Dia menghapus air matanya lalu keluar dari mobil secara perlahan sembari menutup wajah buah hatinya itu.

"Maaf ya, Sayang. Mama terpaksa, supaya Papa kamu tidak melukai mu," bisik Whindy di telinga buah hatinya.

"Nyonya... saya saja yang akan mengantarkan barang-barang nya ke kamar Nyonya," ucap Bodyguard yang tadi menyetir mobil.

"Terima kasih ya," Whindy berusaha tersenyum kepada Bodyguard itu.

"Jangan berterima kasih, Nyonya. Ini sudah menjadi kewajiban saya," Bodyguard itu melepas jas nya lalu menjadikan payung untuk menutupi Whindy dan bayinya.

"Ayo, Nyonya. Jarak pintu utama dari halaman lumayan jauh. Kasihan bayi imut itu jika harus kepanasan," Bodyguard itu menatap sendu kepada bayi yang di tutupi oleh Whindy.

Wanita itu sangat senang karena ada yang perduli dengan anaknya. Lalu dia mengangguk dan mereka mulai jalan ke arah pintu utama.

Mereka pun sampai di depan pintu utama, Bodyguard itu memakai kembali jas nya ke tubuh kekarnya.

"Terima kasih," ucap Whindy sembari tersenyum kepada Bodyguard itu.

Sungguh, Bodyguard itu rasanya ingin melayang saat melihat senyuman istri bos nya itu.

"Ternyata wajah asli Nyonya Whindy saat tidak memakai riasan wajah nya sangat cantik. Kecantikan nya sangat-sangat alami," batin Bodyguard itu memuji Whindy.

"Sama-sama, Nyonya. Saya permisi untuk mengambil barang-barang anda," pamit Bodyguard menunduk hormat lalu pergi dari hadapan Whindy.

Wanita itu membuka kain yang menutupi wajah anaknya itu. Dia merasa sangat bersalah saat melihat deru nafas anaknya sangat cepat, bayi itu seperti sesak nafas gara-gara di tutupi wajahnya dengan kain.

"Maafkan Mama ya, Sayang. Mama terpaksa melakukan ini supaya kamu tidak di lukai oleh Papamu, Nak," Whindy mengecup seluruh wajah anaknya dengan pelan.

Bayi itu mulai bernafas seperti biasa lagi. Whindy merasa sangat lega lalu masuk ke dalam rumah, setelah sampai di ruang tengah, dia melihat Mommy mertuanya dan Adik iparnya sedang duduk santai di sofa sembari menonton tv.

"Mommy... lihatlah siapa yang datang," ucap Bianca menatap sinis ke arah Whindy.

Hilda menatap malas ke arah menantunya itu.

"Kenapa kamu diam di situ? Cepat pergi dari hadapan saya, bawa anak cacat itu menjauh dari kami " pinta Hilda.

Whindy sudah mengerti jika seluruh anggota keluarga Avalon tidak sudi menerima anaknya. Wanita itu berusaha untuk sabar dan menerima semua perlakuan mereka kepada dirinya, asal bagi dirinya, mereka tidak akan melukai buah hatinya itu.

"Maaf, Mom," ucap Whindy lalu berjalan ke arah anak tangga.

Wanita itu menaiki anak tangga secara perlahan. Sedangkan Hilda dan Bianca melanjutkan aktivitas menonton tv nya.

"Mom.. kenapa Kak Whindy membawa anak cacat itu untuk tinggal di sini sih. Apa Mommy tidak malu dan tidak takut reputasi keluarga kita akan hancur?" tanya Bianca.

"Kamu tenang saja, Sayang, reputasi keluarga kita tidak akan hancur. Karena Daddy mu akan melarang Kakak ipar mu itu keluar rumah dengan bayi cacat itu. Jika di rumah kita sedang ada tamu, Kakak iparmu tidak akan membawa anaknya itu keluar kamar, jadi kamu tenang saja ya, Sayang," jelas Hilda.

"Sungguh? Astaga itu rencana yang sangat-sangat bagus, Mommy " Jawab Bianca.

"Maka dari itu. Kamu jangan merasa khawatir, kamu fokus saja dengan kuliah kamu," pinta Hilda.

"Siap, Mommy," Bianca memberi hormat kepada Mommy nya.

Wanita tua itu tersenyum lalu mereka kembali fokus ke layar tv. Whindy sudah sampai di lantai dua, dia berjalan ke arah kamar khusus anaknya yang sudah di siapkan dirinya dan suami nya saat anaknya belum lahir.

"Ayo kita lihat kamar kamu, Sayang. Walaupun kamu tidak bisa melihat keadaan kamarmu, tapi Mama sangat yakin kamu bisa merasakan di dalam hati kecilmu," ucap Whindy yang berjalan ke arah kamar buah hatinya.

Di dalam kamar sudah sangat lengkap dengan ranjang besar, ayunan yang mewah, pakaian yang banyak, dann tema kamar itu juga berwarna biru. Evan dulu sangat semangat menyiapkan dan membeli perlengkapan anaknya yang waktu itu masih berada di dalam perut sang istri, tapi sekarang pria itu berubah sangat drastis.

"Hanya karena bayi tidak berdosa ini, Mas Evan berubah. Harusnya dia bersyukur masih bisa di beri anak oleh Allah, banyak di luar sana yang menantikan kehadiran seorang anak puluhan tahun," gumam Whindy sembari mengusap-usap kepala buah hatinya.

Ceklek.

Wanita itu membuka pintu kamar buah hatinya secara perlahan, lalu dia pun masuk ke dalam kamar tersebut. Betapa terkejut nya dia saat melihat keadaan kamar buah hatinya itu.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status