Beranda / Lainnya / Anakku Terlalu Pelit / 23. Sepotong Kue Hajatan

Share

23. Sepotong Kue Hajatan

Penulis: Devie Putri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-03 20:24:21

Kutarik napas dalam-dalam. Udara di sini memang masih bersih, belum banyak tercemar polusi seperti di pusat kota, tapi tetap saja dadaku terasa sesak. Ada yang menekan di dalam sana—sesuatu yang tidak bisa kulihat tapi kurasakan jelas. Seperti gumpalan awan kelabu yang menggantung di langit-langit dada, siap menurunkan hujan air mata kapan saja.

Aku melirik ke sekeliling. Jalan setapak menuju perpustakaan itu sunyi, hanya ada beberapa murid yang lalu-lalang. Tak satu pun dari mereka tahu bahwa aku sedang berperang dengan pikiranku sendiri.

Kadang rasa khawatir ini membuatku sulit mengendalikan diri. Seolah ada bara yang tak kunjung padam di dalam hati. Ingin menangis, tapi di sini bukan tempat yang bagus untuk meluapkannya.

Langkah kakiku berderap pelan, menyusuri lorong panjang menuju perpustakaan. Aroma buku tua dan AC yang sedikit bocor dari dalam sudah mulai tercium. Tapi justru di sela-sela kesunyian ini, kenangan masa kecilku kembali menyeruak, hadir dengan begitu jelas seolah b
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Anakku Terlalu Pelit   23. Sepotong Kue Hajatan

    Kutarik napas dalam-dalam. Udara di sini memang masih bersih, belum banyak tercemar polusi seperti di pusat kota, tapi tetap saja dadaku terasa sesak. Ada yang menekan di dalam sana—sesuatu yang tidak bisa kulihat tapi kurasakan jelas. Seperti gumpalan awan kelabu yang menggantung di langit-langit dada, siap menurunkan hujan air mata kapan saja.Aku melirik ke sekeliling. Jalan setapak menuju perpustakaan itu sunyi, hanya ada beberapa murid yang lalu-lalang. Tak satu pun dari mereka tahu bahwa aku sedang berperang dengan pikiranku sendiri.Kadang rasa khawatir ini membuatku sulit mengendalikan diri. Seolah ada bara yang tak kunjung padam di dalam hati. Ingin menangis, tapi di sini bukan tempat yang bagus untuk meluapkannya.Langkah kakiku berderap pelan, menyusuri lorong panjang menuju perpustakaan. Aroma buku tua dan AC yang sedikit bocor dari dalam sudah mulai tercium. Tapi justru di sela-sela kesunyian ini, kenangan masa kecilku kembali menyeruak, hadir dengan begitu jelas seolah b

  • Anakku Terlalu Pelit   22. Panggilan Ibu Kepala Sekolah

    "Harusnya tidak perlu kalau hanya untuk sepotong roti, Bu. Kecuali jika anak ibu terlalu pelit dan perhitungan," ujar Asih dengan nada dingin yang penuh sindiran. Ia memang selalu punya cara menyulut emosi, terutama emosiku."Sudah, sudah. Asih, ayo kita kembali ke depan!" akhirnya ibu kepala sekolah turun tangan, menengahi sebelum percakapan di dapur itu menjadi semakin tak terkendali."Ibu katanya tadi mau ke toilet," celetuk Kinanti dengan polos, entah sengaja atau tidak."Ndak usah. Nanti saja," sahut ibu kepala sekolah cepat-cepat, lalu pergi dengan langkah cepat kembali ke ruang utama.Satu per satu staf dan guru meninggalkan dapur. Beberapa yang tadinya hendak ke toilet mendadak berubah pikiran, mungkin karena ingin menghindari canggungnya suasana. Hening menggantung di udara seperti lem yang menempel di tenggorokan. Anak-anakku membantuku mengeluarkan suguhan ke meja tamu. Tapi saat acara selesai, aku sadar banyak piring masih penuh. Kue-kue yang sudah susah kusajikan tak ter

  • Anakku Terlalu Pelit   21. Pembelaan Ibuku

    Sedangkan yang lain masih tertegun berdiri di tempatnya, Asih langsung menyelonong melewatiku tanpa peduli pada tatapan semua orang. Dia melangkah cepat, nyaris tergesa, seolah ingin segera menghapus pemandangan yang tak layak dari depan matanya.Ia menghampiri ibu yang terduduk lemas di lantai. Ibu sedang berusaha membersihkan bungkus roti bluder yang jatuh dan kini kotor terkena debu. Tangannya gemetar, bukan hanya karena usia, tapi karena malu. Mata ibu menunduk, seakan ingin lenyap dari tempat itu."Ayo saya bantu bangun, Bu!" ucap Asih sembari meraih tangan ibu. Nadanya terdengar tegas, tapi juga menyiratkan amarah yang dipendam. Ia mengangkat tubuh ibu perlahan. Ibu berdiri dengan terbata, lalu meletakkan kembali roti bluder itu ke atas piring.“Jangan dikembalikan, Bu! Ambil saja. Biar saya yang bayar!” kata Asih, tajam.Tangannya menyelusup ke dalam tas selempang cokelatnya, lalu mengeluarkan dompet bermerk yang seolah ikut bicara bahwa dia punya cukup—atau lebih—untuk mengat

  • Anakku Terlalu Pelit   20. Reputasi Yang Hancur

    Satu minggu kemudian...Sejak pulang kerja, aku sibuk wira-wiri mengambil pesanan makanan untuk acara arisan guru hari ini. Beberapa penjual bersedia mengantar ke rumah, tapi ada juga yang menolak pengantaran, jadi aku harus mengambilnya sendiri. Badanku lelah, tapi kupaksakan demi jamuan yang sempurna. Aku ingin semuanya tampak rapi dan enak disajikan. Tidak boleh ada yang kurang."Satu, dua, tiga ..." Aku menghitung satu-satu makanan apa yang sudah tersaji di meja. Di ruang makan, beberapa buah segar sudah siap tersusun di atas meja. Anak-anak membantuku menatanya ke dalam piring-piring saji. Mereka tampak semangat, walaupun sesekali tangan mereka hendak mencomotnya. Kue-kue basah baru saja diambil oleh Danar dan langsung dipindahkan ke nampan panjang berlapis renda. Aku mengatur semuanya dengan detail, seolah ini bukan sekadar arisan, tapi pesta penting yang harus sempurna."Tinggal bluder yang belum datang," gumamku sambil melihat jam dinding."Tolong coba hubungi kontak karyawa

  • Anakku Terlalu Pelit   19. Musuh Kedua

    Pagi yang dimulai seperti biasa. Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri di balik jendela kamar, tapi suara aktivitas dari dapur dan jalanan kecil di depan rumah sudah mulai terdengar. Aku tengah bersiap untuk berangkat kerja. Baju kerja sudah rapi tergantung di gantungan belakang pintu, tas sudah aku susun sejak malam. Anak-anak sudah berangkat lebih dulu bersama ayahnya. Rumah terasa sedikit lebih sepi setelah kepergian mereka.Namun, ada satu suara yang sedari malam belum juga hilang—tangisan bayi yang memekakkan telinga.Sejak semalam, suara itu tak berhenti. Tangisan panjang, sesenggukan, lalu kembali meraung. Ibu bolak-balik ke ruang tamu, sesekali mengintip dari balik gorden. Wajahnya muram. Aku yang dari tadi hanya memperhatikan akhirnya membuka suara."Anak siapa sih yang nangis terus dari tadi malam, Bu? Bikin tidur nggak nyenyak," gerutuku sambil memijat pelipis. Mataku terasa berat. Kepala pun berdenyut. Rasanya aku hanya sempat tidur satu atau dua jam malam tadi."Ya

  • Anakku Terlalu Pelit   18. Mendapat Rejeki

    Tanpa mencium tangannya seperti biasa, aku menyalakan motor dan melesat pergi. Mood-ku sudah rusak sejak sore, dan sekarang makin keruh. Aku benci diceramahi. Aku bukan anak kecil. Aku tahu apa yang aku lakukan. Dan Lastri... dia memang sudah keterlaluan. Dia yang duluan memulai drama itu di depan ibu-ibu kompleks."Kenapa dia selalu dibela? Selalu dianggap baik sedangkan aku adalah sebaliknya. Padahal aku nggak pernah ngusik hidup orang lain. Soal bagaimana perlakuanku pada ibu, itu urusanku." Aku mendumel sepanjang jalan. Entahlah ... rasanya ibu dan suamiku selalu memihak pada Lastri. Padahal dia bukan siapa-siapa. Sengaja kupacu motor dengan kecepatan tinggi meski dingin angin terasa menyiksa. Sesampainya di rumah Kinanti, suasana lebih hangat. Rumah kecilnya penuh suara tawa dan obrolan para guru. Sejenak, beban yang menyesakkan dadaku sedikit terangkat."Kenapa, Buu, kok wajahnya ditekuk begitu? Biasanya datang sumringah," goda Kinanti yang menyambutku di depan. "Lagi bete,"

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status