Home / Lainnya / Anakku Terlalu Pelit / 19. Musuh Kedua

Share

19. Musuh Kedua

Author: Devie Putri
last update Last Updated: 2025-06-24 20:41:43

Pagi yang dimulai seperti biasa. Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri di balik jendela kamar, tapi suara aktivitas dari dapur dan jalanan kecil di depan rumah sudah mulai terdengar.

Aku tengah bersiap untuk berangkat kerja. Baju kerja sudah rapi tergantung di gantungan belakang pintu, tas sudah aku susun sejak malam. Anak-anak sudah berangkat lebih dulu bersama ayahnya. Rumah terasa sedikit lebih sepi setelah kepergian mereka.

Namun, ada satu suara yang sedari malam belum juga hilang—tangisan bayi yang memekakkan telinga.

Sejak semalam, suara itu tak berhenti. Tangisan panjang, sesenggukan, lalu kembali meraung. Ibu bolak-balik ke ruang tamu, sesekali mengintip dari balik gorden. Wajahnya muram. Aku yang dari tadi hanya memperhatikan akhirnya membuka suara.

"Anak siapa sih yang nangis terus dari tadi malam, Bu? Bikin tidur nggak nyenyak," gerutuku sambil memijat pelipis. Mataku terasa berat. Kepala pun berdenyut. Rasanya aku hanya sempat tidur satu atau dua jam malam tadi.

"Ya
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Anakku Terlalu Pelit   20. Reputasi Yang Hancur

    Satu minggu kemudian...Sejak pulang kerja, aku sibuk wira-wiri mengambil pesanan makanan untuk acara arisan guru hari ini. Beberapa penjual bersedia mengantar ke rumah, tapi ada juga yang menolak pengantaran, jadi aku harus mengambilnya sendiri. Badanku lelah, tapi kupaksakan demi jamuan yang sempurna. Aku ingin semuanya tampak rapi dan enak disajikan. Tidak boleh ada yang kurang."Satu, dua, tiga ..." Aku menghitung satu-satu makanan apa yang sudah tersaji di meja. Di ruang makan, beberapa buah segar sudah siap tersusun di atas meja. Anak-anak membantuku menatanya ke dalam piring-piring saji. Mereka tampak semangat, walaupun sesekali tangan mereka hendak mencomotnya. Kue-kue basah baru saja diambil oleh Danar dan langsung dipindahkan ke nampan panjang berlapis renda. Aku mengatur semuanya dengan detail, seolah ini bukan sekadar arisan, tapi pesta penting yang harus sempurna."Tinggal bluder yang belum datang," gumamku sambil melihat jam dinding."Tolong coba hubungi kontak karyawa

  • Anakku Terlalu Pelit   19. Musuh Kedua

    Pagi yang dimulai seperti biasa. Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri di balik jendela kamar, tapi suara aktivitas dari dapur dan jalanan kecil di depan rumah sudah mulai terdengar. Aku tengah bersiap untuk berangkat kerja. Baju kerja sudah rapi tergantung di gantungan belakang pintu, tas sudah aku susun sejak malam. Anak-anak sudah berangkat lebih dulu bersama ayahnya. Rumah terasa sedikit lebih sepi setelah kepergian mereka.Namun, ada satu suara yang sedari malam belum juga hilang—tangisan bayi yang memekakkan telinga.Sejak semalam, suara itu tak berhenti. Tangisan panjang, sesenggukan, lalu kembali meraung. Ibu bolak-balik ke ruang tamu, sesekali mengintip dari balik gorden. Wajahnya muram. Aku yang dari tadi hanya memperhatikan akhirnya membuka suara."Anak siapa sih yang nangis terus dari tadi malam, Bu? Bikin tidur nggak nyenyak," gerutuku sambil memijat pelipis. Mataku terasa berat. Kepala pun berdenyut. Rasanya aku hanya sempat tidur satu atau dua jam malam tadi."Ya

  • Anakku Terlalu Pelit   18. Mendapat Rejeki

    Tanpa mencium tangannya seperti biasa, aku menyalakan motor dan melesat pergi. Mood-ku sudah rusak sejak sore, dan sekarang makin keruh. Aku benci diceramahi. Aku bukan anak kecil. Aku tahu apa yang aku lakukan. Dan Lastri... dia memang sudah keterlaluan. Dia yang duluan memulai drama itu di depan ibu-ibu kompleks."Kenapa dia selalu dibela? Selalu dianggap baik sedangkan aku adalah sebaliknya. Padahal aku nggak pernah ngusik hidup orang lain. Soal bagaimana perlakuanku pada ibu, itu urusanku." Aku mendumel sepanjang jalan. Entahlah ... rasanya ibu dan suamiku selalu memihak pada Lastri. Padahal dia bukan siapa-siapa. Sengaja kupacu motor dengan kecepatan tinggi meski dingin angin terasa menyiksa. Sesampainya di rumah Kinanti, suasana lebih hangat. Rumah kecilnya penuh suara tawa dan obrolan para guru. Sejenak, beban yang menyesakkan dadaku sedikit terangkat."Kenapa, Buu, kok wajahnya ditekuk begitu? Biasanya datang sumringah," goda Kinanti yang menyambutku di depan. "Lagi bete,"

  • Anakku Terlalu Pelit   17. Gunjingan Tetangga

    Aku membalikkan badan dan berjalan pulang, langkahku mantap walau dadaku masih sesak oleh kemarahan yang belum sepenuhnya reda. Tak kupedulikan wajah Lastri yang pucat pasi karena kena skakmat barusan. Aku tahu kata-kataku menamparnya lebih keras daripada tangan siapa pun. Biar saja. Sudah lama dia perlu tahu batas. Hari ini aku beri dia pelajaran yang tak akan dia lupa seumur hidupnya.Sampai di depan pintu, ibu langsung menghadangku. Matanya menatap penuh cemas, tapi aku tak sudi membaca perasaan itu lebih dalam.“Ngapain berdiri di situ? Minggir dulu. Aku mau lewat. Jangan menghalangi jalan!” bentakku tanpa ragu.Ibu menatapku sejenak sebelum akhirnya membuka mulut, “Ngapain sih ribut-ribut sama tetangga?”Nadanya terdengar menasihati, tapi lebih dari itu—seolah memancing amarahku. Aku tahu dia membela Lastri. Dia memang selalu begitu. Entah sejak kapan aku sadar bahwa aku tak pernah menjadi anak kesayangannya. Sejak kecil aku sudah terbiasa mengurus diriku sendiri.“Bukan urusan i

  • Anakku Terlalu Pelit   16. Pembalasan Untuk Lastri

    Hari semakin sore. Cahaya matahari mulai meredup, meninggalkan semburat jingga di langit barat. Aku tahu waktuku di rumah Sekar sudah cukup lama. Jam dinding tua di ruang tamu menunjukkan pukul setengah lima. Aku pun memutuskan untuk pamit. Tak ingin orang rumah khawatir jika aku pulang terlalu malam. Sebelum melangkah keluar, aku mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasku, menyerahkannya kepada ibunya Sekar dengan kedua tangan."Apalagi ini, Bu?" tanyanya, wajahnya tampak bingung. Ia menatapku dengan sorot mata penuh tanya, seperti enggan menerima."Sedikit rejeki buat keluarga ibu. Semoga bermanfaat, ya. Tolong diterima," ujarku sambil tersenyum lembut, meskipun nadaku setengah memaksa. Ia terlihat ragu sejenak, sebelum akhirnya menerimanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca."Terima kasih banyak bantuannya, Bu. Semoga rejeki ibu sekeluarga semakin dilancarkan," doanya dengan tulus.Aku membalasnya dengan anggukan kecil lalu segera keluar. Langkahku ringan, seperti ada beban yang

  • Anakku Terlalu Pelit   15. Fakta Tentang Lastri

    "Sudah, Bu. Jangan dihiraukan! Mari masuk!" perempuan itu menyelamatkanku dari suasana tak menyenangkan barusan.Aku hanya mengangguk kecil, tak ingin memperpanjang masalah. Tanpa menimpali ucapan Lastri yang sempat melontarkan sindiran tajam, aku segera melangkah masuk ke rumah Sekar. Ada rasa lega sekaligus malu menyelusup di dada. Belum genap lima menit berada di lingkungan ini, sudah saja disambut konflik kecil. Entah kenapa, Lastri selalu bersikap seperti orang iri jika melihatku. Sambil menenangkan diri, aku duduk di kursi kayu sederhana yang disediakan di ruang tamu. Ruang itu kecil dan pengap, namun tetap terasa hangat oleh sambutan tuan rumah yang ramah."Silakan duduk, Bu! Maaf kursinya keras. Saya nggak punya sofa yang empuk," ucapnya dengan sungkan. Aku pun membalasnya dengan senyum. "Ah ... nggak apa-apa kok, Bu.""Saya buatkan minum dulu ya, Bu," ucap perempuan itu sambil setengah membungkuk. Lalu dia berjalan pergi menuju dapur untuk membuatkanku minum. Sembari menun

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status