"Harusnya tidak perlu kalau hanya untuk sepotong roti, Bu. Kecuali jika anak ibu terlalu pelit dan perhitungan," ujar Asih dengan nada dingin yang penuh sindiran. Ia memang selalu punya cara menyulut emosi, terutama emosiku."Sudah, sudah. Asih, ayo kita kembali ke depan!" akhirnya ibu kepala sekolah turun tangan, menengahi sebelum percakapan di dapur itu menjadi semakin tak terkendali."Ibu katanya tadi mau ke toilet," celetuk Kinanti dengan polos, entah sengaja atau tidak."Ndak usah. Nanti saja," sahut ibu kepala sekolah cepat-cepat, lalu pergi dengan langkah cepat kembali ke ruang utama.Satu per satu staf dan guru meninggalkan dapur. Beberapa yang tadinya hendak ke toilet mendadak berubah pikiran, mungkin karena ingin menghindari canggungnya suasana. Hening menggantung di udara seperti lem yang menempel di tenggorokan. Anak-anakku membantuku mengeluarkan suguhan ke meja tamu. Tapi saat acara selesai, aku sadar banyak piring masih penuh. Kue-kue yang sudah susah kusajikan tak ter
Sedangkan yang lain masih tertegun berdiri di tempatnya, Asih langsung menyelonong melewatiku tanpa peduli pada tatapan semua orang. Dia melangkah cepat, nyaris tergesa, seolah ingin segera menghapus pemandangan yang tak layak dari depan matanya.Ia menghampiri ibu yang terduduk lemas di lantai. Ibu sedang berusaha membersihkan bungkus roti bluder yang jatuh dan kini kotor terkena debu. Tangannya gemetar, bukan hanya karena usia, tapi karena malu. Mata ibu menunduk, seakan ingin lenyap dari tempat itu."Ayo saya bantu bangun, Bu!" ucap Asih sembari meraih tangan ibu. Nadanya terdengar tegas, tapi juga menyiratkan amarah yang dipendam. Ia mengangkat tubuh ibu perlahan. Ibu berdiri dengan terbata, lalu meletakkan kembali roti bluder itu ke atas piring.“Jangan dikembalikan, Bu! Ambil saja. Biar saya yang bayar!” kata Asih, tajam.Tangannya menyelusup ke dalam tas selempang cokelatnya, lalu mengeluarkan dompet bermerk yang seolah ikut bicara bahwa dia punya cukup—atau lebih—untuk mengat
Satu minggu kemudian...Sejak pulang kerja, aku sibuk wira-wiri mengambil pesanan makanan untuk acara arisan guru hari ini. Beberapa penjual bersedia mengantar ke rumah, tapi ada juga yang menolak pengantaran, jadi aku harus mengambilnya sendiri. Badanku lelah, tapi kupaksakan demi jamuan yang sempurna. Aku ingin semuanya tampak rapi dan enak disajikan. Tidak boleh ada yang kurang."Satu, dua, tiga ..." Aku menghitung satu-satu makanan apa yang sudah tersaji di meja. Di ruang makan, beberapa buah segar sudah siap tersusun di atas meja. Anak-anak membantuku menatanya ke dalam piring-piring saji. Mereka tampak semangat, walaupun sesekali tangan mereka hendak mencomotnya. Kue-kue basah baru saja diambil oleh Danar dan langsung dipindahkan ke nampan panjang berlapis renda. Aku mengatur semuanya dengan detail, seolah ini bukan sekadar arisan, tapi pesta penting yang harus sempurna."Tinggal bluder yang belum datang," gumamku sambil melihat jam dinding."Tolong coba hubungi kontak karyawa
Pagi yang dimulai seperti biasa. Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri di balik jendela kamar, tapi suara aktivitas dari dapur dan jalanan kecil di depan rumah sudah mulai terdengar. Aku tengah bersiap untuk berangkat kerja. Baju kerja sudah rapi tergantung di gantungan belakang pintu, tas sudah aku susun sejak malam. Anak-anak sudah berangkat lebih dulu bersama ayahnya. Rumah terasa sedikit lebih sepi setelah kepergian mereka.Namun, ada satu suara yang sedari malam belum juga hilang—tangisan bayi yang memekakkan telinga.Sejak semalam, suara itu tak berhenti. Tangisan panjang, sesenggukan, lalu kembali meraung. Ibu bolak-balik ke ruang tamu, sesekali mengintip dari balik gorden. Wajahnya muram. Aku yang dari tadi hanya memperhatikan akhirnya membuka suara."Anak siapa sih yang nangis terus dari tadi malam, Bu? Bikin tidur nggak nyenyak," gerutuku sambil memijat pelipis. Mataku terasa berat. Kepala pun berdenyut. Rasanya aku hanya sempat tidur satu atau dua jam malam tadi."Ya
Tanpa mencium tangannya seperti biasa, aku menyalakan motor dan melesat pergi. Mood-ku sudah rusak sejak sore, dan sekarang makin keruh. Aku benci diceramahi. Aku bukan anak kecil. Aku tahu apa yang aku lakukan. Dan Lastri... dia memang sudah keterlaluan. Dia yang duluan memulai drama itu di depan ibu-ibu kompleks."Kenapa dia selalu dibela? Selalu dianggap baik sedangkan aku adalah sebaliknya. Padahal aku nggak pernah ngusik hidup orang lain. Soal bagaimana perlakuanku pada ibu, itu urusanku." Aku mendumel sepanjang jalan. Entahlah ... rasanya ibu dan suamiku selalu memihak pada Lastri. Padahal dia bukan siapa-siapa. Sengaja kupacu motor dengan kecepatan tinggi meski dingin angin terasa menyiksa. Sesampainya di rumah Kinanti, suasana lebih hangat. Rumah kecilnya penuh suara tawa dan obrolan para guru. Sejenak, beban yang menyesakkan dadaku sedikit terangkat."Kenapa, Buu, kok wajahnya ditekuk begitu? Biasanya datang sumringah," goda Kinanti yang menyambutku di depan. "Lagi bete,"
Aku membalikkan badan dan berjalan pulang, langkahku mantap walau dadaku masih sesak oleh kemarahan yang belum sepenuhnya reda. Tak kupedulikan wajah Lastri yang pucat pasi karena kena skakmat barusan. Aku tahu kata-kataku menamparnya lebih keras daripada tangan siapa pun. Biar saja. Sudah lama dia perlu tahu batas. Hari ini aku beri dia pelajaran yang tak akan dia lupa seumur hidupnya.Sampai di depan pintu, ibu langsung menghadangku. Matanya menatap penuh cemas, tapi aku tak sudi membaca perasaan itu lebih dalam.“Ngapain berdiri di situ? Minggir dulu. Aku mau lewat. Jangan menghalangi jalan!” bentakku tanpa ragu.Ibu menatapku sejenak sebelum akhirnya membuka mulut, “Ngapain sih ribut-ribut sama tetangga?”Nadanya terdengar menasihati, tapi lebih dari itu—seolah memancing amarahku. Aku tahu dia membela Lastri. Dia memang selalu begitu. Entah sejak kapan aku sadar bahwa aku tak pernah menjadi anak kesayangannya. Sejak kecil aku sudah terbiasa mengurus diriku sendiri.“Bukan urusan i